Share

01

“Lizaa! Kamu ini masih mau tidur? Ayo bangun! Ini kan sekarang hari pertama kamu masuk sekolah. Bikin malu aja kalau telat! Udah sana!” Panggil seorang wanita paruh baya sambil menggoyang-goyangkan tubuh gadis yang tertidur di kasur.

“Haah? Apa?” Balas gadis itu pun dengan malas. Dia merasa kepalanya sedikit berat dan sedikit pusing.

“Kenapa Mama manggilnya aku pakai sebutan Liza?” Sanggahnya sambil menguap.

Gadis itu kebingungan dengan ucapannya sendiri. Menguap, pusing, kepala yang terasa berat. Ia cukup yakin kalau ia seharusnya sudah mati dan akhirnya bisa melihat malaikat bersayap cantik yang terbang dihadapannya.

Gadis yang dipanggil Liza itu perlahan membuka matanya dan memperhatikan sekeliling. Ia cukup yakin bahwa mau dilihat bagaimana pun ini jelas bukan kamarnya. Ia pun bertanya-tanya sebenarnya dia berada di mana.

“Lizaaa! Ayo keluar! Sarapan!” Sahut wanita itu tadi sekali lagi.

“Hah tunggu? Apa apa? Aku harus apa?” Ucap gadis itu kebingungan dalam hati.

Setelah berdiri dan berputar-putar, Liza-gadis itu memutuskan untuk mengikuti alurnya dulu. Ia yakin kalau hal yang terjadi sekarang ini tidak bisa segera ia cerna tepat setelah bangun tidur. Satu-satunya penjelasan masuk akal yang bisa ia simpulkan yaitu salah satu dari dua set ini adalah mimpi. Namun ia tidak tahu entah dirinya yang bunuh diri itu adalah mimpi, atau dirinya yang sekarang dan tadi dipanggil Liza ini adalah mimpi yang sebenarnya.

Liza keluar dari kamar dengan kepala yang celingak-celinguk seperti maling yang mengamati kondisi rumah target. Dia kemudian bertemu dengan dua orang yang sedang sarapan bersama. Sepertinya wanita itu adalah yang tadi membangunkannya, kemudian si pria yang berada di samping pasti adalah suaminya. Liza menarik kursi dengan canggung dan bergabung di meja makan.

“Permisi Om, Tante.” Gumamnya dengan nada yang sopan.

Liza kebingungan dengan ucapannya sendiri. Tapi dia berpikir mungkin ini bukan masalah yang harus dipikirkan, sebab dia juga tidak tahu harus memanggil mereka berdua dengan sebutan apa.

“Heh, Liza! Pagi-pagi begini kenapa bicaranya sudah ngelantur? Ayo cepat makannya, terus mandi, terus sekolah.” Tegur wanita itu dengan wajah serius. Liza merasa sedikit terindimidasi dengan suasani ini.

“Ah jangan gitu lah Bu! Paling hari pertama juga ndak ngapa-ngapain. Guru-gurunya juga pasti duduk nyantai di majelis.” Balas si suami menanggapi teguran istrinya itu dengan kesan membela Liza.

“Ya, Pak, tapi masa’ anak gadis apa apa lelet. Ini Liza udah SMA lho kok masih diingatkan dulu kalau mau ke sekolah aja.”

Liza memilih untuk makan dengan tergesa-gesa karena tidak mampu mengikuti pembicaraan ini. Dia khawatir kalau nanti ditanyai oleh pertanyaan yang membingungkan, pikirnya bisa gawat kalau dia menjawab pertayaan itu dengan aneh. Setelah selesai makan, Liza bergegas kembali ke kamar untuk memikirkan pelan-pelan apa yang sudah terjadi.

Kamar Liza cukup luas mengingat dia hanya tidur sendiri di sana, berukuran empat kali enam meter dengan dua lemari dan tempat tidur besar. Liza membuka isi lemari, memeriksa laci-laci, juga gantungan di dinding. Dia kemudian sadar kalau semua ini mirip dengan yang pernah dia lihat di majalah simpanan Mamanya edisi 2015 an. Baju-baju yang ia temukan di dalam lemari pun sepertinya pernah tren di sekitaran tahun itu. Liza juga menemukan sebuah dompet berisi karti keluarga dan foto-foto jadul.

“Eliza Anggraini”

”INI PERSIS KAYAK NAMANYA MAMA!” Teriaknya dalam hati.

“Eh tunggu! Gimana bisa? Bentar bentar? Aduh duh kepalaku pusing, mual, mules, muntaber. Toilet mana toilet?” Batinnya lagi.

Liza berlari ke luar kamar untuk buang air. Wanita yang tadi lagi-lagi menegurnya untuk tidak berlari di dalam rumah, juga jangan bercanda kalau tidak tahu di mana toilet rumah sendiri berada.

“Handuknya sudah di dalam. Sekalian mandi!” Teriak wanita itu lagi dari luar.

Liza pun patuh untuk mandi, setelah itu dia kembali ke kamar untuk berpakaian.

“Tadi wanita itu bilang kalau ini adalah hari pertama masuk sekolah, kalau tidak salah SMA. Putih abu mana putih abu?” Liza membongkar lemarinya dengan tergesa-gesa.

“Ah ini dia, ketemu!”

Dia segera mengenakan seragam dan pergi ke meja rias untuk melihat penampilannya sendiri. Dia pun menyadari kalau wajahnya yang sekarang terlihat sama persis dengan wajahnya dulu waktu SMA.

”Sepertinya aku juga tau gimana nanti jadinya kalau udah tua, tinggal ingat-ingat aja muka Mama kayak gimana.”

“Eh, ini tubuh Mama, kan?”

“Terus wanita tadi aku harus panggil apa? Ibuk? Nenek?” Tanyanya sendiri terus-menerus karena kebingungan.

“HEH LIZA! AYO CEPAT BERANGKAT! NANTI MACET!”

Liza terkejut mendengar teriakan Ibu-Nenek nya yang menggema. Dia segera bergegas memakai sepatu, meminta izin, lalu berlari mencari kereta cepat.

Ketika Liza berada di keramaian sekitar jalan raya, ia baru sadar kalau di masa ini sepertinya alat transportasi umum seperti kereta belum sebanyak di masa depan. Mamanya pernah bercerita kalau dia sering naik angkot, kendaraan kecil seperti bus kecil dengan warna yang mencolok.

Liza akhirnya naik ke salah satu angkot yang berhenti di bahu jalan, yang kemudian diberitahu seorang teman kalau itu disebut ngetem. Dia duduk di antara dua ibu-ibu yang kelihatannya akan pergi ke pasar.

Selama di dalam angkot, Liza masih terus saja bertanya kepada dirinya sendiri. Tentunya di dalam hati mengingat dia tidak ingin mati karena malu apabila curhatannya terdengar oleh banyak orang

“Setelah ini aku harus bagaimana? Apa aku harus terus menjalani kehidupan sebagai Mama? Atau apa aku lebih baik mengakhiri keanehan ini dengan kembali bunuh diri? Ini jelas bukan bagian dari kehidupan yang aku kenal. Aku tidak ingin merasakan sakit seperti yang pernah Mama rasanya dulu. Aku juga tidak ingin mengumpulkan dendam dan kegelisahan kepada keturunanku nanti mengenai drama kehidupan yang pahit. Aku tentu tidak ingin sampai jatuh cinta kepada lelaki brengsek itu.”

“Andai saja Ayah ada di sini.”

....

“Sebenarnya trik apa yang ia gunakan? Aku pernah baca soal ilmu pelet yang digunakan untuk menarik perhatian pasangan idaman di masa lalu. Kalau benar ia menggunakan pelet, aku akan menjotosnya sampai mampus, tidak akan kubiarkan dia sampai menggunakannya padaku.”

“Eh tunggu. Menggunakannya? Padaku?”

“Mungkin aku bisa saja terus hidup sebagai Mama. Aku bisa mencari ayah dan mencegah kematiannya. Aku juga bisa mencari bajingan itu dan balas dendam kepadanya. Setelah itu aku akan pikirkan cara untuk membiarkan Mama menikmati kehidupan bahagianya yang benar.”

“Mama terlalu polos, terlalu baik. Kebaikan itu merangkap jadi kelemahannya.”

“Dengan begini aku yakin kalau pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja.”

“Neng! Turun di mana?” tanya seorang supir angkot yang mengejutkan Liza dari lamunan panjangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status