Share

02

“Duh gawat! Gara-gara terlalu mikirin soal ke depannya harus apa, aku sampai lupa nanya Mama sekolah di mana.” Keluh Liza dalam hatinya lagi.

“Eng, eh. Anu!”

“Kiri, bang!” sahut seorang laki-laki dengan seragam putih abu yang sebelumnya duduk di depannya.

“T-turun di sini juga, bang!” Ucapnya tergagap mengikutinya.

Liza merasa malu dengan kelakuannya. Dia juga kebingungan dengan siapa laki-laki yang berada di berjalan di depannya. Laki-laki itu memakai seragam yang sama dengannya, tetapi dia tetap tidak yakin apakah mereka berdua sekolah di tempat yang sama.

“Za! Dari tadi kenapa linglung nggak jelas sih? Abis kecopetan?” Tanya laki-laki itu memulai pembicaraan.

“HAH APA IYA ENGGAK!” Balas Liza tergagap.

“Hah apa?” Laki-laki itu kebingungan dengan jawaban Liza.

Jangan coba bertanya soal Liza, dia sendiri jelas kebingungan dengan jawabannya sendiri. Laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan ‘Za’, membuatnya bertanya-tanya apakah Mamanya satu sekolah dengan laki-laki itu.

“Eng-enggak, ini aku tadi pagi telat bangun, terus lupa sarapan.”

“Kayak biasanya emang kamu mah.”

“Ahaha? Eh, biasa?”

“Iya. Baru banget pas Ujian Nasional kemarin! Inget nggak kamu ngelamun pas kepsek bilang kalau yang libur itu khusus kelas 7 sama 8. Kenapa kamu ikutan libur juga? Untung datangnya hampiiirr banget telat.”

“Ahahaha... Pernah, ya?”

“Iya. Ceroboh banget! Hati-hati aja nanti jadi penyakit keturunan, bisa nular ke anak kamu nanti!”

“Ngomong ape lu monyet!?” Inginnya Liza menyindir dengan kata-kata itu, hanya saja dia pikir mereka masih belum sangat dekat.

Mamanya memang orang yang ceroboh, tapi gadis itu tidak menyangka kalau ini sudah biasa terjadi sejak dulu. Liza juga bertanya-tanya apakah laki-laki ini adalah teman masa kecilnya Mama.

Setelah turun dari angkot, Liza mengikuti laki-laki itu dari belakang. Meskipun beberapa kali dia memintanya untuk jalan di samping, Liza menolaknya dengan lurus. Dia berdalih kalau takut nanti bertemu kakak kelas, padahal itu karena dia tidak tahu harus jalan kemana. Meskipun sebenarnya dia bisa pura-pura lupa jalan dan dimaklumi, dengan memanfaatkan sifat Mama yang natural cerobohnya.

Tetapi sebelum itu, Liza harus memastikan nama laki-laki itu.

“WOY RANDI! SIALAN BISA MASUK SMA JUGA?” Teriak seorang anak laki-laki lain dari belakang mereka.

Nama itu mengejutkan Liza untuk sesaat.

“Ya bisa lah kunyuk. Emang dikira gue mau berhenti ampe SMP doang apa?”

“Yah soalnya pas SMP elo masuk sekolah aja sekali sebulan! Emang pas ujian kemarin nilainya cukup masuk sini?”

“CUKUP DONG HAHAHAHA!”

“Terus kalau jarang masuk, lo ke sekolah nyari apa heh?”

“Jajan sih yang jelas.”

“Kalo cewek?”

“NIH  KAN UDAH ADA LIZA!”

Randi tiba-tiba memeluk Liza dari samping, membuatnya terkejut dan reflek menjauh. Dia kaget dengan perlakuan tiba-tiba dari laki-laki itu.

“OPSS! UDAH PUTUS NIH!”

Beberapa perempuan di dekat mereka menatap Liza dengan ekspresi yang bermacam-macam. Tapi kebanyakan wajahnya jadi berseri, bagai lega dengan pernyataan itu.

Liza yang dari awal sudah bingung jadi tambah bingung lagi. Belum lagi perkataan laki-laki yang menghampiri mereka tadi soal ‘putus’. Mungkinkah mamanya pernah berpacaran dengan laki-laki ini? Liza sedikit meragukan pemikirannya, sebab laki-laki ini bernama Randi, seseorang dengan nama yang sangat familiar di telinganya. Dia memohon-mohon agar kesimpulan yang dia pikirkan itu salah.

 “Nggak! Mana ada putus! Ya kan, Za?”

“Eng, mmhm!” gumam Liza sambil mengangguk.

“Elo sih tiba-tiba ngomongin cewek. Ngamuk kan dia?”

LIza memperhatikan sekeliling, perempuan-perempuan yang menatap mereka tadi tiba-tiba sudah mengganti ekspresi.

“Uwah ada apa dengan cewek-cewek ini?” Batinnya. Mereka semua tanpa disadari sudah memasang muka masam.

“Udah, yuk, Za! Langsung ke kelas!” Ajak Randi sambil menggandeng tangan Liza.

“Denger-denger kepsek emang nggak masuk nih, semoga aja nggak ada upacara pembukaan apa dah.” Kata teman Randi tadi menambahkan.

Setelah memeriksa papan pengumuman, ternyata Liza dan Randi berada di kelas yang sama. Mereka pun masuk ke ruangan dan duduk bersampingan. Tetapi wali kelas yang masuk di jam pertama berinisiatif untuk langsung mengatur tempat duduk, membuat wajah Randi cemberut sepanjang pelajaran.

Tetapi bagi Liza, event atur tempat duduk ini benar-benar menakutkan hingga membuatnya hampir menangis.

“Randi Wijaya. Hmm kamu lumayan tinggi, ya? Ke baris paling belakang paling kiri.” Kata wali kelasku mengatur tempat duduk.

Liza terus-terusan meyakinkan dirinya atas kenyataan yang tidak terhindarkan lagi. Ia berdoa agar semua ini hanyalah kebetulan, sebab ia berpendapat kalau semua ini terjadi terlalu cepat. Laki-laki yang ditemuinya di angkot pagi ini adalah Randi Wijaya, seseorang yang akan jadi Papanya nanti di masa depan.

“Eliza Anggraini, paling depan paling kanan.”

***

 “Bu, pikir-pikir ulang dong! Masa saya ditaruh di paling belakang sudut gini, tar kalau saya main main mulu gimana?” Randi mengeluh setelah pembagian tempat duduk selesai.

“Ya kamu belajar dong! Siswa ke sekolah kan emang tujuannya belajar.”

“Ah anu, Bu! Saya minus!” Katanya membela diri.

Wali kelas mereka mengeluarkan gestur melempar Randi dengan spidol. Sialnya randi merespon lemparan palsu itu dengan menutupi kepalanya dan mengelak ke samping.

“Ngapain kamu? Bukannya mata kamu minus?”

“Mata saya emang minus, Bu. Tapi khusus buat Ibu saya fokusnya mati-matian!” Gombalan Randi membuat kelas riuh dengan sorakan, tetapi tetap saja tidak ada perubahan. Randi harus mau duduk di tempat yang sudah diputuskan. Walaupun sebenarnya Liza yang memaksanya untuk duduk di tempat masing-masing, sebab kalau tidak begitu, Randi akan memaksa menggelar koran untuk duduk di samping Liza sepanjang jam pelajaran berlangsung

“Nggak usah ah. Malu-maluin!” Tolaknya tegas.

***

Beberapa guru sudah masuk ke kelas untuk berkenalan dengan para siswa, mereka bicara soal sistem pembelajaran dan mau pakai buku yang bagaimana, juga sesekali bergosip ria tentang apapun yang terlintas di pikiran mereka. Liza mulai teringat lagi perasaan saat-saat SMA nya dulu. Pagi tadi istirahat pertama ditiadakan karena bel sekolah belum diatur dan sepertinya semua siswa baru terlalu taat peraturan untuk tidak keluar dan berkeliling tanpa arah. Cukup berbeda dengan SMA yang bisa Liza bayangkan.

Kecuali manusia satu ini, Randi, dia benar-benar tidak bisa diam. Belum lama ini dia sudah mengajak semua anak cowok di kelas untuk adu panco. Liza mengelus dada pertanda tidak mengerti bagaimana Mama bisa berakhir pacaran dengannya. Mungkin kalau lah Liza mendengar bahwa Mama yang menyatakan perasaan duluan kepadanya, jantungnya bisa copot.

Liza masih menaruh harapan kalau paling tidak ada satu juta orang dengan nama Randi Wijaya yang tersebar di dunia.

“Seperti ayolah, tidak mungkin dia, bukan?”

Tidak lama kemudian bel istirahat kedua dibunyikan, mungkin sebagai kompensasi, atau karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi— juga hari pertama bukanlah hari yang sibuk karena kebanyakan guru sepertinya masih mengurus masalah arsip dan dokumen, mereka semua bebas melakukan apa saja hingga bel pulang sekolah berbunyi. Randi mengajak Liza makan ke kantin. Tetapi sebelum itu dia memeriksa dulu isi tasnya, kalau tidak salah tadi Ibunya sudah menitapkan bekal untuk dibawa.

Liza menolak ajakan Randi dan memilih untuk makan di kelas. Sepengalamannya yang berpikir kalau uang jajan tiga tahun selama SMA baiknya ditabung, dia lebih memilih untuk membawa bekal dari rumah. Sebab dia bisa foya-foya saat sudah lulus nanti. Hanya saja anak ini benar-benar keras kepala, sepertinya Randi ini adalah tipe orang yang tidak pernah menerima penolakan. Dia membawa kabur kotak bekal Liza ke kantin, membuat gadis itu terpaksa mengikuti kemauannya. Sungguh anak yang merepotkan.

Mereka berdua makan di kantin dengan situasi yang canggung. Mungkin karena sudah lama sejak terakhir kali Liza makan berdua dengan laki-laki. Lebih-lebih situasi ini terasa aneh karena tidak ada orang yang makan di dekat mereka. Kebanyakan perempuan di sekitar kantin bahkan menatap Liza dengan sinis.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Kami masih siswa baru kan, ya? Tidak mungkin sudah pernah bikin kasus? Aku bahkan sudah bersiap kalau-kalau ada kakak kelas yang menggoda atau tiba-tiba datang meminjam uang.” Pikir Liza.

“Eh, Randi! Kamu nggak ngerasa aneh banyak yang ngejauhin kita?”

“Kha? Apha? Gluk gluk gluk gluk.”

“Ih apaan dah. Lagian kok bisa minum sambil nyebut gluk gluk gitu?”

“Ahh seger. Kenapa kenapa?”

“Kenapa orang ngejauhin kita?”

“WOY RANDI PACARAN BAE NIH!”

Seorang laki-laki tiba-tiba datang dan menepuk punggung Randi. Liza kesal karena pertanyaannya di potong. Tapi tunggu, sepertinya laki-laki ini adalah teman Randi yang menyapa mereka tadi. Liza melirik sedikit ke arah seragamnya

“Namanya... Joko, ya?” gumamnya kecil.

“Eh Joko, kamu tau nggak kenapa orang-orang dari tadi nyikapin kami aneh banget?” Tanya Liza langsung.

“Lah bukannya emang udah biasa ya?”

“Maksud kamu?”

“Itu, loh! Semenjak kejadian palak-palakan pas SMP.”

Liza melirik ke arah Randi yang tidak peduli. Dia asyik sendiri menyeruput kuah baksonya.

“Aku lupa...”

“Kamu kan pernah jadi panitia pas kelas 8 buat nyiapin perpisahan. Nah pas acaranya beres, ada kakak kelas yang narik kamu ke belakang. Kamu dituduh nilep uang acara berapa juta gitu. Nah kakak kakak kelas ini bawa anak cowok tiga orang terus nahan kamu. Ya mungkin kalau nggak ada Randi kamu udah diperkosa, kelihatannya emang juga mereka benci banget sama kamu— ADAW! SAKIT BEGO!”

Randi tiba-tiba menoyor kepala Joko dengan garpu.

“Yah tapi orang mana percaya sama apa yang kejadian di belakang. Anak-anak taunya Randi sama cowok-cowok itu bonyok, udah. Terus kakak kelas yang manggil kamu tadi nuduh kalau Randi manggil mereka buat nantang berantem. Padahal dipikir baek-baek juga itu karangan banget— ADAW! DIBILANGIN JUGA SAKIT BEGO!”

“Gara-gara itu yang bikin Randi di skors 2 minggu. Tapi si kampret keterusan jarang masuk sekolah lama banget. Masuk juga buat ngelengkapin kehadiran minimal. Tapi pinter juga lo ya jarang masuk masih lulus ujian? Joki di mana, Bos?”

Randi bersiap menjitak kepala Joko, tetapi terlambat karena anak itu segera berdiri menjauh.

“Ops kagak kena! Gue balik dulu bre!” Pamit Joko.

“Pacaran jangan sampai kebablasan yee!” Tambahnya lagi.

“Berisik banget tuh anak.” Dengus Randi sambil membawa mangkok miliknya ke depan. Padahal dia sendiri adalah anak dengan tipe yang sama.

Perkataan Joko memang menjawab pertanyaan Liza soal kenapa Randi dijauhi. Randi salah dikira sebagai berandalan yang suka mengajak adu jotos. Tetapi dia masih belum paham kenapa perempuan-perempuan itu masih terus-terusan menatapnya dengan sudut mata yang tajam?

“Maaa! Mama dulu ngapain aja sih?” Batin Liza.

Setelah makan siang Randi meminta agar Liza langsung ke kelas, katanya dia ada urusan serius dengan lubang WC, padahal bisa saja langsung bilang kalau butuh buang air. Liza berjalan menyusuri lorong untuk kembali ke kelas, tetapi ketika di tengah jalan tiba-tiba Joko menghampirinya dan bicara sesuatu.

“Dipikir-pikir, Za. Lo berani juga langsung nembak Randi di depan anak-anak, guru, sama kakak kelas yang bonyok pas kejadian itu? Audiens-nya nggak kira-kira, Bos!”

Lutut Liza lemas, hampir tidak sanggup kalau disuruh terus menopang tubuhnya untuk tetap berdiri.

Kalau lah tidak malu, ingin rasanya dia berteriak ‘MAMAAA!’ begitu keras hingga rasa kesalnya terpuaskan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status