Share

04

***

Terlepas dari kejadian kemarin yang merupakan pengecualian khusus tidak rasional, Liza harusnya berangkat sekolah cukup awal hari ini. Karena sebenarnya dia itu bukanlah pribadi yang pemalas dan sering terlambat, Liza sendiri berpikir kalau dia harusnya bisa bangun lebih pagi dan membantu ibu-nenek memasak. Dia sudah bertahun-tahun menjadi wanita karir yang sekaligus merangkap jadi tulang punggung keluarga berusia dua puluh delapan tahun, kemudian mati dan berpindah tubuh menjadi Mama nya sendiri.

Tetapi pagi ini Liza disibukkan untuk memilah-milah lajur mana yang harus aku ambil untuk menaklukan kehidupan Mama ini. Sebab siapa sangka kalau ternyata selama ini dia memiliki seorang kakak laki-laki-paman. Liza-Rani yang dulu hampir belum pernah datang ke rumah keluarga Mama atau Papa, tetapi cukup sering bermain ke rumah Ayah. Mungkin dulu beberapa kali pernah saat bayi, ketika Liza masih gadis kecil nan lugu, yang belum bisa mengingat banyak hal.

Sebelum Mamanya menikah lagi, Liza bersama orang tuanya tinggal di perkotaan yang dekat dengan rumah keluarga Ayahnya. Dia cukup sering bermain ke rumah mereka dengan sepeda. Ayah Liza-Rani adalah anak tunggal, tetapi ada cukup banyak teman sepermainannya yang seumuran di sana. Sedang di rumah mereka hanya ada bayi kecil atau pasangan tua, mungkin ada beberapa anak kuliahan, tetapi sepertinya orang-orang itu terlalu sibuk mengerjakan proyek tugasnya masing-masing.

Liza juga hampir terlambat  karena sempat berdebat juga dengan kakak-paman nya itu. Liza memang mengakui kalau dia yang salah, kakaknya cuma butuh gunting untuk  melepaskan kancing celananya yang tersangkut dengan benang-benang kusut. Tetapi gadis itu terlalu membesar-besarkan masalah soal pelecehan seksual, bahkan membuat aturan 3 meter. Tidak boleh mendekat lebih dari itu kecuali dia sendiri yang mengizinkannya.

"Bu, Liza berangkat sekolah dulu, ya!"

Liza segera menyambar tas di sofa depan dan berlari pergi. Karena terburu-buru dia jadi terlupa mengucap salam, mungkin bisa nanti saja. Mama juga orangnya memang ceroboh dan pelupa, kan? Liza berlari dan mengejar angkot paling pagi (sebenarnya tidak juga, hari ini kan kesiangan).

"Abang, langsung jalan, ya! Udah telat banget nih!" Serunya.

"Ah, dah macam kondektur bus pula kau buat aku?" Logat bataknya mengeras, tapi sepertinya dia orang yang baik. Dia bukan supir yang membawa Liza dan Randi kemarin.

"Tunggulah sikit, tiga empat lagi masih kosong. Kalau mau jalan sekarang, kau bayarkanlah sekali untuk bangku kosong itu!"

Liza mendengus sebal, uang sakunya hanya cukup untuk makan bakso atau nasi goreng di kantin sekolah, ditambah camilan dan minum tentunya. Karena terlambat tadi, dia lupa menyiapkan bekal.

Bangku-bangku kosong tadi diisi bapak-bapak preman dengan tubuh gempal yang datang buru-buru. Gantian si abang yang sebal, sepertinya dua preman itu bisa naik gratis. Apa ya namanya? Hak istimewa? Uang keamanan? Padahal tau begini dia bisa langsung jalan, mungkin nanti ada tiga empat perempuan langsing yang mau mengisi.

***

Tidak ada yang terlalu berbeda dari kemarin. Pak Tono penjaga sekolah masih membiarkan Liza masuk dengan sedikit wajah memelas, "Masih hari pertama, pak."

Kelas pagi ini tidak berjalan serius, beberapa guru masih cuti dan menambah jam kosong di hari ini. Liza berpikir untuk bergabung dengan beberapa kelompok baru yang mulai terbentuk di kelas.

Ada tipikal anak-anak rajin yang fokus meningkatkan urusan belajar mereka, merapat enam orang di bangku paling depan paling tengah. Ada juga laki-laki yang sepertinya sibuk bermain game, mereka menyudutkan diri di sisi ujung kiri belakang kelas, ada delapang orang. Kemudian yang terakhir adalah kumupulan orang-orang pendiam, mungkin karena kesamaan yang tidak suka bicara banyak, tahu tahu mereka sudah berkumpul saja di sepanjang sisi kanan kelas.

Sisanya mungkin terbagi menjadi orang-orang seperti Liza, entah yang ingin bergabung ke salah satu kelompok yang sudah ada, orang-orang yang tidak peduli sama sekali, atau yang ingin membentuk kelompok baru. Tetapi sebelum Liza bisa mengajak salah satu dari mereka bicara, Randi sudah siaga dan duduk di atas mejanya tanpa peringatan.

“Ganggu.” Keluh Liza padanya.

“Biarin.”

“Kamu nggak mau nyari temen?”

“Buat apa? Kan udah kemarin?”

Liza baru ingat kalau kemarin Randi sudah mengajak semua anak cowok di kelas untuk adu panco. “Apakah itu salah satu ritual khusus pertemanannya, ya? Ah terserahlah.” Pikir Liza.

“Aku mau cari teman!”

“Untuk apa? Kan aku ada di sini?”

“Aku mau putus.”

Kelas yang tadinya cukup berisik menjadi tiba-tiba hening. Liza baru sadar kalau dirinya meminta putus kepada Randi dengan spontan. “Bagaimana ini? Aku takut dia akan main tangan dan menamparku, atau alih-alih menarikku ke belakang sekolah dan mengancamku dengan sesuatu. Mama aku takut!” Pikiran negatif memenuhi kepala Liza.

“Ah begini loh, soal waktu itu. Aku tidak terlalu merasa kalau aku suka sama kamu. Mungkin karena penempatan waktunya aja, ya? Tapi aku nggak benci sama kamu kok, cuma perasaan khusus kayak cinta itu emang nggak ada sama sekali.”

Satu hal yang bisa Liza syukuri dari penempatan orang-orang di kelas adalah, sepertinya tidak satupun dari perempuan yang membencinya di kantin kemarin berada di sini. Laki-lakinya juga sama, sepertinya orang yang tidak menyukainya dan Randi tidak ada di sini, mereka kemarin juga tidak terlihat menolak saat tiba-tiba diajak adu panco. Tetapi kabar kalau Liza-Mama berpacaran dengan Randi sepertinya sudah jadi berita utama di halaman depan sebuah majalah, semua orang tentunya sudah tahu.

Kringgg....

Bel tanda istirahat pertama berbunyi.

“Um, aku ke toilet dulu, ya?”

Liza berjalan cepat keluar kelas. Gadis itu memang takut dengan Randi, tetapi bahkan untuk orang seperti dia, tiba-tiba menampar perempuan bukanlah bagian dari prinsipnya. Liza masuk ke salah satu toilet untuk duduk dan berpikir.

“Hei, ini sebenarnya bukan pilihan yang buruk. Harusnya aku memang sudah melakukannya dari awal, karena aku harus mencari suami yang baik untuk Mama. Randi-Papa mungkin adalah orang yang bisa menggaet banyak hati perempuan, tetapi aku tidak akan mentolerir siapa pun dengan sikap yang di bawah standar. Walau wajahnya aku akui cukup tampan.”

Beberapa saat kemudian toilet menjadi mendadak menjadi cukup ramai dan berisik. Suara langkah kaki dan tertawaan terdengar memenuhi ruangan sempit, mungkin ada delapan sembilan perempuan tiba-tiba datang dan berkumpul.

“Eh dengerrr! Liza udah putus sama Randi!”

“Kan masih sepihak, Randinya belum bilang setuju.”

“Tapi kan udah ada titik terang. Gue gila benci parah sama cewek gajelas itu. bisa-bisanya Randi suka sama dia? Nggak logis, kan?”

“Pasti pelet!”

“Hahahaha iya bener!”

“Itu cewek nggak mungkin bisa dapetin satu cowok pake usahanya sendiri. Apalagi, Randi?

“Nah ya! Gue juga kalau pake pelet juga pasti nggak cuma satu, sepuluh yang kayak Randi bisa didapetin mah!”

Kringgg....

“Nanti kita ketemu di tempat biasa.”

Bel pun berbunyi, mereka serempak meninggalkan toilet dan masuk ke kelas masing-masing.

“Ini hanya dugaanku saja, tapi Mama hanya dibenci karena pacaran dengan Randi saja, kan? Mama tidak pernah melakukan hal aneh yang membuat banyak orang tidak menyukainya dari awal. Benar kan, ya?”

***

Sepanjang hari Liza tidak melihat adanya perubahan pada Randi. Mungkin anak itu dari awal tidak menyukai dirinya-Mama, mungkin saja dia terlalu bosan dengan banyaknya perempuan-perempuan lebay yang terlalu memujanya, membuat dia mau mau saja menerima pengakuan Mama.

Ahaha tidak mungkin dong. Ini kan bukan alur cerita di drama TV?

Setelah istirahat kedua berakhir, guru-guru yang masuk berikutnya langsung memberikan materi. Untunglah Liza cukup percaya diri dengan materi SMA awal, dia juga merasa kalau setidaknya dirinya sudah lebih pintar dari kumpulan calon anak teladan yang duduk di depan kelas, karena habis belajar kemarin malam tentunya. Guru-guru ini memberikan semacam tes di awal pertemuan untuk mencari tahu kemampuan dasar dari siswa-siswa yang akan mereka ajari. Seperinya Liza akan betah dengan guru-guru seperti ini.

Bel tanda pulang sekolah pun berbunyi, Liza pun pulang naik angkot yang kali ini penuh dengan perempuan dari sekolahnya. Setelah gadis itu turun dari angkot, dia berjalan ke arah rumah melewati gang kecil, tetapi sebelum ia sampai ke rumah, mereka-perempuan-perempuan yang tadi duduk bersamanya di angkot sudah mengikuti dan menyergap Liza di tengah jalan.

“Akhirnya sendirian juga.”

“Rumah lo jauh banget gila! Di pelosok ya ini?”

“Ya mau diliat dari mana juga dia emang jelas-jelas kampungan.”

Mereka mengerubungi dan menertawai Liza, beberapa dari mereka berpisah dan sepertinya berjaga di ujung-ujung pintu masuk gang. Cukup jelas bagi gadis itu untuk memahami kalau aku sudah terkepung.

Mereka merebut paksa tas Liza, membongkar, dan menginjak isinya. Liza sepertinya kurang tahu bagaimana perundungan yang biasa dilakukan perempuan, karena dia sendiri belum pernah mengalami atau melihatnya. Setelah dia perhatikan baik-baik, sepertinya beberapa di antara mereka adalah kakak kelas. Benar-benar kumpulan orang merepotkan.

“Asal lo tau aja, ya! Randi emang nggak pernah suka sama lo! Kenapa lo bikin pernyataan kayak Randi sendiri yang suka sama lo!”

“Iya! Jangan kepedean, deh! Jijik!”

“Uwaah, mereka merundungiku seperti gadis kecil yang cemburu.” Pikir Liza

Setelah mengingat-ingat, Liza sadar suara mereka persis dengan yang tadi berisik di toilet.

“Oh andaikan kalian tahu aku ada di sana tadi.”

“Hah? Ngomong apaan lo?”

_______________________________________

Catatan: Aku mencoba membuat konflik yang nyata di sini, tapi bahkan bagiku sendiri aku merasa kalau ini masih belum cukup. Juga aku minta maaf soal kata-kata yang diucapkan dalam hati oleh Liza (dan mungkin karakter lain) aku ketik dengan tanda petik seperti dialog biasa, karena tampilan tulisan miring di GoodNovel sedikit berbeda, menjadi lebih besar dan terlalu mencolok. Omong-omong terima kasih sudah membaca!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status