Share

05

***

“Kalian semua yang berada di sini memangnya sebegitu luang sampai tidak punya hal lain yang harus dikerjakan? Uwaah aku iri sekali, orang sibuk sepertiku benar-benar ingin sesekali merasakan kebebasan seperti kalian.”

“Ck! Menyebalkan.”

“Ini cewek mulutnya pedes juga, ya?”

“Lo nggak usah kepedean, deh! Jijik tau!”

Salah satu dari perempuan itu menarik rambut Liza, kemudian yang lainnya terlihat mengeluarkan sebuah gunting. Sepertinya mereka ingin menjahili Liza dengan menggunting beberapa helai-genggam rambutnya. Tetapi sebelum niat jahat mereka terlaksanakan, seseorang tiba-tiba muncul dan melompat sambil dikejar oleh dua orang  perempuan— anggota mereka yang berjaga di depan pintu masuk gang sempit itu.

“Za! Kenapa tiba-tiba duluan? Bukannya tadi kita udah janji mau makan dulu habis pulang sekolah tadi?” Tanyanya tiba-tiba.

“Oh, iya! Kalian-kalian yang berdiri di sana. Bisa tolong enyah dari sini? Melihat pantat babi yang bergoyang mungkin bisa jadi hiburan yang lebih menarik dari pada memaksa diri untuk melihat wajah kalian.”

Kelompok perempuan-perempuan itu kabur terbirit-birit sambil membawa tas mereka karena ucapan orang tadi. Seperti yang bisa diduga dari alur cerita mainstream, orang itu tentunya adalah Randi. Yah meski misalnya Randi tidak akan muncul, Liza sudah menyiapkan banyak dialog untuk dia katakan sebagai pengulur waktu, berharap agar tetangga di sekitarnya lewat dan dia bisa meminta pertolongan, atau menyelinap kabur.

“Mau apa kamu?” Liza dengan ketus melontarkan pertanyaan.

“Kenapa marah begitu? Terima kasihnya mana?” Randi balik bertanya.

“Ayo makan.”

Randi gantian menjadi tokoh yang kebingunan dalam bagian ini, dia merasa aneh dengan ajakan Liza. Tetapi diam-diam, Randi begitu menyukai sisi Liza yang aneh itu. Mereka berdua makan di salah satu warung bakso yang ada di dekat rumah Liza. Saat sedang makan, tiba-tiba Randi menanyakan sesuatu yang aneh.

“Kamu sebenarnya siapa?”

“UHUK UHUK!” Liza terbatuk dengan keras, hampir saja dia tersedak bulatan bakso yang cukup besar. “K-kenapa tanya begitu?” Jawabnya tergagap.

Kipas gantung yang terpasang di dinding warung bakso itu sampai berputar dua kali hingga Randi menjawab pertanyaan itu, membuat Liza merasa cemas setengah mati.

“Bukan apa-apa. Aku tahu kamu ceroboh, tapi tidak mungkin sampai lupa alasan kita berpacaran, kan?”

“Memangnya ada maksud lain?” Tanya Liza penasaran.

“Sungguhan, kamu ini sebenarnya siapa? Nada suara Randi terdengar meninggi tetapi ditahan dari perut.

“A-a, aku ya aku. Eliza Anggraini, lima belas tahun.”

“Bukan itu maksudku.” Randi sepertinya sudah putus asa.

“Baiklah, akan kuperjelas lagi. Tetapi sebelum itu, aku sedikit merasa kalau sudah mengulangi dialog ini puluhan kali.”

“Ya?”

“Kita pacaran karena aku memaksamu, kan? Kenapa kamu bicara seolah kamu memanfaatkan momen dan langsung bilang tertarik kepadaku secara lurus dan langsung? Aku hanya bosan dengan perempuan-perempuan yang selalu saja hanya peduli dan melihat wajah atau tingkahku yang berandalan. Tidak ada yang pernah memperhatikan hal-hal baik yang aku lakukan.”

Ternyata apa yang dipikirkan oleh Liza-Rani selama ini benar, Papanya hanyalah seorang bajingan yang selalu mempermainkan wanita dan mencampakkannya. Pasti Papanya menakut-nakuti Mamanya saat insiden perundungan waktu itu, membuat Mamanya terpaksa menuruti kemauan Randi.

“Oh begitu?” Jawab Liza dengan nada kesal. Dia berusaha sekuat tenaga menyembunyikan emosinya yang meluap tinggi agar tidak meledak.

“Kenapa jawabanmu begitu?”

“Tentu saja aku tau itu. Kamu pikir aku sudah pikun hingga tidak mampu lagi mengingat sesuatu yang sederhana seperti itu? Oh yang benar saja.” Elak Liza sambil menutupi kenyataan kalau dia sebelumnya tidak tahu apa-apa.

“Aku hanya berkata begitu agar perempuan-perempuan yang menatapku dengan sinis, mereka yang benar-benar mengganggu pemandanganku itu bisa berhenti melakukan hal yang kekanak-kanakan.”

“Lagi pula memangnya kamu menyukaiku? Kenapa protes sebegitunya? Bukannya dengan wajah yang tampan dan keahlian menggodamu, kamu bisa menggaet tiga atau empat perempuan lagi? Ayo sana cari yang banyak!” Liza menambahkan jawabannya dengan kesan menantang.

“Lalu bagaimana dengan orang-orang yang bisa jadi akan menganggumu nanti? Tidak ada yang akan melindungimu lagi.”

“Oh sungguh? Pria jantan dengan senyum iblis yang menggoda ini bertaruh bisa melindungiku? Tenang saja, aku bisa mengatasi semua masalah yang akan aku hadapi nantinya. Tidak usah repot-repot memusingkan urusanku.” Balas Liza lagi.

Randi merasa kesal dengan perkataan Liza yang begitu tajam, ia pun pergi keluar dari warung bakso itu. Liza kemudian masih duduk di sana untuk menghabiskan baksonya. Tetapi ketika ia membayar, mamang bakso itu menolak uang Liza, “Udah dibayar tadi, Neng.” Katanya.

“Aneh, kenapa dia sempat sempatnya membayar bagianku? Terus juga mamang itu ada rejeki nomplok bukannya diterima.”

Randi yang di masa depan kabur sambil meninggalkan sejumlah hutang yang banyak ternyata pernah mau mentraktir gadis yang sudah menolak mentah harga dirinya. Entah apa yang terjadi pada Randi di masa depan. Tapi sayangnya hari itu Liza tidak memikirkan hal-hal begitu jauh.

Setelah makan, Liza memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Ia melewati banyak tetangga dan menyapanya dengan ramah. Dari yang Liza pelajari saat menjadi Rani, menjadi tetangga yang baik dan dikenal banyak orang adalah modal yang bagus untuk masa depan. Karena Rani memiliki Mama yang terkena stroke sedang dia sendiri harus bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga, memiliki tetangga yang peduli dan responsif adalah bantuan yang sangat berguna. Boleh jadi ke depannya Liza bisa meminjam alat-alat kebun atau panci dari tetangganya tanpa sungkan.

Meskipun Liza mencoba mengakrabkan diri dengan berbagai tetangga, dia sama sekali tidak bisa berdiri dekat dengan kakaknya sendiri.

“HUSH HUSH AWAS! TIGA METER YO TIGA METER! INGAT!”

Liza selalu memperingati kakaknya dengan raut wajah yang khas dan nada yang khusus pula. Setelah sampai di rumah, dia mandi dan pergi ke dapur untuk membantu ibunya mengerjakan tugas dapur. Kemudian saat malam hari dia belajar untuk materi esok hari. Sesekali untuk melepas bosan, Liza mencoba menggambar. Untungnya bakat yang dia peroleh ketika menjadi Rani tidak hilang meskipun tubuh dan tangannya berubah menjadi milik Mama.

Ponsel Liza berdering, menyala, lalu menampilkan pratinjau pesan.

“Kita putus?” Ternyata pesan yang  dikirimkan oleh Randi

“Ya.” Balas Liza dengan benar-benar singkat.

Pukul sebelas malam, Liza terlelap dalam mimpinya yang menenangkan. Liza bermimpi sedang berada di sebuah ruangan beralaskan karpet lembut bersama Ayah dan Ibu-Mamanya. Mereka berdua sedang setengah duduk setengah tidur sambil mendengarkan cerita Rani kecil tentang sekolahnya.

Oh tunggu, di sebelah sana ada orang tua Ayah, Kakek dan Nenek duduk tersenyum mengangkat tangan ingin menggendong gadis mungil itu. Rani kecil berjalan ke arah mereka juga. Nenek menciumi pipinya dan menyelipkan uang ke dalam saku kecil Rani.

Sungguh suasana keluarga yang begitu hangat. Situasi yang benar-benar dirindukan oleh Rani-Liza selama ini. Tanpa di sadari dalam tidurnya yang nyenyak, air mata mulai turun membasahi pipi dan bantal Liza. Tampak jelas bagaimanya tersakitinya ia selama ini oleh keadaan yang memaksa.

______________________________

Catatan: Sungguhan ada orang yang membaca ini? Aku berpikir kalau cerita yang belum ditanda-tangani tidak akan dibaca oleh siapapun? Mengesampingkan hal itu, terima kasih sudah membaca!

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status