***
Langit yang mendung membuat cahaya matahari masuk menyelinap kecil-kecil dari balik awan. Pagi ini adalah salah satu pagi baru yang sedikit banyak menenangkan hati Liza, dia merasa sudah menyelesaikan permasalahan awalnya sebelum nanti dirinya-Mamanya mengalami hal yang tidak mengenakkan sebagai akibat dari pernikahannya dengan Randi-Papa. Liza memulai paginya dengan cukup awal hari ini, menyelesaikan cucian, membantu menyiapkan sarapan, juga berberes untuk dirinya sendiri.
“Za, cuciannya taruh di ember aja!” Sahut Ibu-Neneknya mengingatkan. Tidak ada yang tahu kapan hujan akan turun, menjemurnya sekarang mungkin hanya akan menambah pekerjaan saja.
“Iya, Bu!” Liza menuruti perkataan Ibunya, kemudian setelah sarapan dia segera mandi dan berpakaian.
Sudah sekitar dua minggu sejak dia meminta putus dengan Randi. Bahkan untuk laki-laki bebal sepertinya, dihina dengan tiga paragraf berantai pasti sudah membuatnya kapok untuk mendekati Liza-Mama lebih jauh lagi. Dengan begini Liza hanya perlu mencari Ayahnya dan memulai kehidupan bahagia yang seharusnnya.
Liza berjalan melewati rumah tetangga untuk sampai ke jalan raya dan naik angkot. Cuaca yang malas seperti memaksa orang-orang untuk bersiap lebih awal. Nenek yang biasa menyiram bunga tidak terlihat di halaman rumahnya, om-om yang biasa sudah ribut dengan renovasi rumah juga sepertinya belum muncul.
Dia naik angkot seperti biasa, kemudian turun dan masuk kelas seperti kebanyakan anak yang biasa pula. Liza tumbuh menjadi anak periang dan disukai banyak orang, sedangkan di sisi lain, perlahan Randi mulai menjadi berandalan yang sesungguhnya. Perubahan sikap Randi terus saja membuat Liza-Rani semakin paham dan percaya kalau Randi adalah Calon Papanya.
“Mau bagaimana pun aku harus menghentikan itu. Pokoknya jangan sampai terjadi.”
“Hmm? Kenapa, Za?” Tanya salah satu temannyaa.
Liza tak sadar kalau emosinya meluap hingga bicara tanpa kontrol, padahal seharusnya dia bicara dalam hati saja. Liza sedang belajar bersama dengan teman-teman barunya di kelompok baru. Sepertinya itu adalah kelompok ke empat dengan gabungan orang-orang paling absurd dan aneh. Ada yang ke sekolah hanya bermain gitar, bermain game, jarang masuk, ada yang semangat belajar, juga ada yang otaknya penuh cinta.
“Ah enggak, nggak kenapa napa.”
“Eh eh mau nanya dong, soal yang ini nyelesainnya gimana, ya?”
“Oh ini?” Liza menjelaskan runtutan cara menjawab salah satu soal matematika yang ditanyakan temannya dengan malas. Sejak tadi hujan sudah turun dengan malu-malu, rintik-rintik halus yang lambat, membuat Liza dan beberapa temannya menguap berkali-kali.
“Eh, Zaaa. Sadar nggak sih? Akhir-akhir ini banyak yang merhatiin kamu?”
“Hmm? Enggak, biasa aja kayaknya.”
“Lagi lagi nih. Padahal kamu cantik banget loh, Za. Pinter lagi!”
“Nggak minat cari pacar gitu?”
“Engg- kayaknya enggak dulu deh, aku mau langsung cari calon suami.”
“Waaah dewasa banget.”
Teman-temannya salah paham dengan jawaban Liza. Bukannya dia benar-benar tidak tertarik dengan urusan percintaan, hanya saja belakangan ini dia sedang fokus mencari calon suami mama-Ayahnya sendiri. Apa jadinya kalau nanti Ayahnya mundur karena bertemu Liza saat sedang berpacaran dengan orang lain?
“Eh, Zaa! Tuh liat, anak basket. Nathan dari tadi ngelirik kamu dari luar loh. Nggak mau disapa aja?” Kata salah satu temannya sambil menyentil bahu Liza. Di luar sana terlihat ada seorang laki-laki yang berdiri bersama temannya memandangi Liza tanpa berkedip.
“Nathan, ya?” Liza teringat sebagian kepingan memori lama.
***
“Ayah Ayah!”
“Iya Ranii? Kenapaa?”
“Sini sini dulu, foto bentar sama Ayah, sama teman Ayah juga.”
“Anakku belum sekolah aja bacanya udah lancar banget!”
“Anakku udah bisa naik sepeda. Ngebut lagi!”
“Anakku—“
***
Di sekolah ini ada berapa Nathan ya?”
“Hmm? Kurang tahu juga, sih. Di kelas ini aja ada satu. Mungkin di sekolah ada lima atau tujuh? Pasaran, sih.”
“Hahhahahaha!”
“Kenapa, Za? Udah nyantol aja sama Nathan yang anak basket.”
“Belum, kok.”
“Waaah belum tuh katanya. Berarti ada kesempatan nih.”
“Tapi sayang, Za. Yang ngejar lo kan bukan Nathan doang.”
Nathan adalah nama depan Ayah Rani, calon suami Liza-Mamanya di masa depan. Rani tidak pernah tahu nama lengkap Ayahnya. Selain dulu dia yang masih kecil tidak pernah mencoba mencari tahu, Papanya juga sudah membuang semua dokumen yang berhubungan soal Ayahnya dulu. Randi di masa depan terlihat begitu membenci sosok Nathan.
Beberapa hari terakhir, Liza sudah menemukan dua orang teman akrab yang kebetulan juga pulang searah. Seringkali mereka bertiga pulang bersama naik angkot. Tetapi hari ini hujan turun dengan derasnya, membuat banyak orang ingin cepat-cepat pulang dan tidak ingin mampir dulu. Akibatnya angkot-angkot yang biasanya harus berkeliling mencari penumpang, kali ini sudah penuh duluan. Liza dan dua orang temannya yang dari tadi menunggu angkot lewat terlihat sudah pasrah.
“Duhh, ini gara-gara Bu Nizmi ngasih materinya kelamaan.”
“Iya, padahal dia paling sering nyinggung soal disiplin waktu.”
“Sendirinya enggak padahal.”
“Hahahahahaha.”
“Liza, Anggi, mau ke rumah aku dulu?” Ajak Nabila salah satu teman baru Liza.
“Kamu pas naik angkot turunnya emang duluan, sih. Tapi keburu kalau kita lari dari sini? Makin kehujanan yang ada.” Liza mencoba memikirkan tawaran Nabila.
“Enggak basah banget kok. Kalau naik angkot kan emang harus lewat jalan raya. Nah kita lewat jalan tikus aja. Sebenarnya rumah aku juga nggak jauh dari sekolah.”
Liza menimbang-nimbang tawaran Nabila, tetapi sebelum ia bisa mengutarakan pendapatnya, Anggi sudah lari duluan.
“Liza, Nabil, ayo buruan!”
“Eh eh iya. Ayo, Za!”
Liza yang tertinggal terpaksa berlari mengikuti dua temannya itu. Sayang sekali di tengah jalan hujan semakin lebat dan membuat mereka malah basah kuyup. Kembali ke sekolah juga tidak ada akan sempat, mereka pun berlari lebih cepat di bawah titik-titik air yang jatuh serentak.
“Huuuh, sampaii.”
“Wah basah banget nih. Kalian langsung masuk aja. Aku mau ambilin handuk dulu.” Kata Nabila sambil mencari handuk, kemudian dia kembali dan membuat minuman hangat.
“Kalau basahnya kayak gitu mendingan kalian langsung mandi, deh. Takutnya kan demam.”
“Yaudah, aku masuk duluan, ya?” Pinta Anggi sambil membuka pintu kamar mandi.
“Kamu nanti juga, Za. Nanti aku bawain baju ganti. Pakai pakaian basah gitu nggak nyaman pastinya, kan?”
“Mmhm.” Jawab Liza sambil mengangguk.
“Hujannya masih deras, ya?”
***
Setelah mereka bertiga selesai mandi dan berganti pakaian, mereka berkumpul di kamar Nabila untuk belajar. Meskipun niatnya begitu, pada akhirnya meraka juga akan bergosip sambil menunggu hujan reda. Nabila sudah memasukkan baju teman-temannya ke pengering pakaian. Liza sungkan kalau-kalau terpaksa pulang dengan pakaian harian pinjaman Nabila. Tetapi hujan yang semakin deras memaksa mereka untuk mengambil pilihan.
“Za, Anggi, malam ini mau nginap aja nggak?”
***Liza dan Anggi setuju untuk menginap di rumah Nabila karena besok juga merupakan hari libur. Liza meminta izin untuk menelepon rumahnya dan memberitahu soal ini, Ibunya yang mengangkat mengizinkannya untuk menginap. Kemudian di pagi hari, mereka bangun dan sarapan bersama. Liza masih sungkan memakai pakaian Nabila untuk dibawa berjalan ke rumah, tetapi dia juga tidak enak kalau mengembalikannya begitu saja.“Bajunya aku masukin tas, tapi nanti aku cuci, kok. Mungkin sore aku bakal mampir ke sini buat ngembaliinnya.” Ujar Liza.“Ya ampun nggak apa apa kali, Za. Anggi aja pakai sampai pulang, tuh.” Balas Nabila sambil menunjuk Anggi.“Hehehehe.” Anak yang ditunjuk itu hanya cengengesan dan memiringkan kepalanya. “Nggak apa apa kali, Za. Jangan malu beda dikit,” jelasnya pada Liza.“Nggak, deh.”Liza naik angkot bersama dengan Anggi setelah diantar Nabila ke jalan raya. Liza juga s
“Kak, jadi nggak nganterin aku nya ke rumahnya Nabila?”“Yaudah, ayok!”Liza naik ke motor diboncengi kakaknya untuk pergi ke rumah Nabila. Sepertinya entah di dunia ini atau dunia sebelumnya, Liza masih belum pernah sama sekali belajar membawa motor. Setelah melewati beberapa persimpangan, juga berhenti sekali karena Liza memaksa ingin mencoba bakso bakar yang asapnya memenuhi sepanjang trotoar, akhirnya mereka sampai di rumah Nabila. Liza turun dari motor dan memanggil Nabila dari luar pagar.“Nabilaaa! Ini aku Liza!”“Iyaaaa! Buka aja langsung pintu pagarnya.”Liza yang baru mendengar teriakan seseorang dari dalam rumah segera menoleh untuk memberitahu kakaknya kalau motornya lebih baik dimasukkan ke dalam saja. Tetapi tanpa sungkan ternyata kakaknya sudah lebih dulu membuka pagar dan mendorong motornya maju ke depan. Kemudian menutup pintu dan duduk di kursi depan dengan santainya. Liza yang melih
***“Dek, dek! Boleh banget nih dilihat-lihat dulu selebarannya! Nanti kami mau mampir ke kelas kalian, lho! Ditunggu, yaa!”Beberapa anak dari anggota inti berbagai klub terlihat sibuk mengelilingi lorong sekolah, mereka juga mengunjungi berbagai tempat di mana anak-anak baru berkumpul. Hari ini adalah hari pengenalan ekstra kurikuler, dengan kata lain hari berburu anggota baru.Sekolah tempat Liza dan teman-temannya belajar ini bisa dibilang adalah satu dari beberapa sekolah yang sangat diperhatikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Membuat urusan biaya dan jaminan pendidikannya begitu terkendali dan efisien.Permasalahan soal dana pemasukan klub bahkan tidak menjadi perkara yang memusingkan. Anggota-anggota yang tergabung tidak perlu susah-susah mengutip dan mendatai satu persatu siapa saja yang belum membayar iuran rutin. Sebab di sekolah ini, semua klub yang sudah terdaftar akan mendapatkan suntikan dana dari sekolah. Bisa saja disebut se
***Mengadaptasi dari sebuah set lakon drama percintaan klasik remaja sekolah menengah atas yang sempat ramai di awal abad ke dua puluh satu —meskipun penulis tidak tahu pasti kapan sebenarnya set ini diperkenalkan pada publik, boleh jadi ini berasal dari kisah nyata. Tetapi bila benar demikian, sungguh dua orang yang dijadikan referensi dari semua akar kisah tabrak-tabrakan itu patutnya menjadi kekasih yang tak terpisahkan—. Dua orang insan dengan karakter yang jomplang, atau mereka dengan ketertarikan yang cukup kecil, bertabrakan ketika salah satu dan/atau keduanya sedang terburu-buru. Biasanya ide kreatif pengatur adegan akan ‘bermain’ setelah tabrakan itu berlangsung.Ada yang barang bawaanya terjatuh, keduanya merasa perlu untuk mengambilkannya, mungkin di beberapa kejadian mereka akan secara tidak sengaja berpegangan tangan. Ada yang mengelus kepalanya, terantuk cukup keras lalu terkejut karena bertemu musuh bebuyutannya, atau bisa jadi s
***Bel sudah berbunyi, tetapi Liza dan Randi baru saja meninggalkan lorong tempat mereka berdua bertabrakan tadi. Mereka harus mampir ke toilet untuk ‘ritual siram lap’ dan Liza butuh mengganti seragamnya dengan kemeja yang dibawa Randi. Setelah mereka kembali ke kelas, meja-meja sudah disusun berdekatan menjadi beberapa kelompok. Sepertinya akan ada tugas presentasi atau semacamnya.Beberapa orang mungkin punya pendapatnya sendiri soal tugas kelompok. Ada yang sangat suka dengan aktivitas yang melibatkan banyak orang, mereka bisa mendengar berbagai pendapat yang berbeda, merasakan sensasi mengatur diatur, juga keterburu-buruan saat tenggat waktu sudah dekat tetapi anggota yang berpartisipasi tidak sampai setengahnya. Ada juga orang yang benci betul dengan kelompok, mungkin mereka tidak suka harus diatur, atau kelompoknya hanyalah pengikut tanpa salah satu calon pemimpin di dalamnya. Mereka yang benci juga kebanyakan tidak mau direpotkan oleh pekerjaan ang
***“Beneran ngikutin aku pulang nih?” Tanya Liza kepada Randi yang berjalan di sampingnya. Mereka berdua naik dan turun angkot bersama-sama, tetapi karena mood Liza yang tidak terlalu baik, mereka tidak bicara apapun sepanjang perjalanan. Randi yang bosan keusilannya tidak digubris sejak tadi memilih untuk bersiul sepanjang perjalanan.“Iya emang. Nggak boleh apa?” Tanya Randi menghentikan siulannya, kemudian memasukkan tangannya ke saku celana.“Nggak tahu.”“Eh, Ran. Di sana tadi itu tempat apa sih?”“Di sana di mana?”“Tadi pas persimpangan habis keluar dari jalan deket sekolah. Orang-orang di sana pada pake jas terus banyak bodyguard gitu.”“Oh itu. Biasaa, banyak hotel esek-esek di sana. Kamu masih bocil nggak usah kepo mau liat-liat.”“Dih sembarangan, siapa juga yang kepo.” Ujar Liza membantah ucapan Randi. “Lagian kamu
***Tidak ada hal yang benar-benar sempurna di dunia ini, tidak ada mungkin kecuali hanya Tuhan. Bahkan ketika ada seseorang yang memiliki wajah rupawan, tubuh yang bagus, tapi seringnya diberkahi dengan otak yang tidak lebih baik dari kebanyakan orang. Biasanya orang-orang normal hanya berputar di antara tiga itu saja, paling banyak punya dua kelebihan dengans satu kekurangan pelengkap. Ya meskipun ada yang kurang beruntung membawa dua atau bahkan ketiga kekurangan itu, sedang ada orang baik yang terlihat memiliki segalanya— latar belakang, lingkaran pertemanan, semuanya terlihat hebat. Tetapi bila benar begitu, maka ia cukup hebat dalam menyembunyikan kekurangannya.Hal yang sama juga terjadi kepada Liza, gadis yang sebelumnya adalah wanita dewasa dengan ingatan yang sama namun berpindah ke tubuh perempuan berusia lima belas tahun, harusnya dia menjadi sosok panutan yang kata-katanya dapat diikuti oleh bocah-bocah di sekitarnya. Hanya saja satu hal, gadis ini k
***Manusia yang hidup di dunia ini bergerak megikuti tujuannya masing-masing. Beberapa orang mungkin menggambarkan kehidupan dunia sebagai permainan peran dengan peta yang sangat besar. Tidak ada keharusan di mana kamu harus mengikuti objektif yang diberikan. Tidak ada tuntutan kamu harus menjadi raja, kepala negara, pekerja kantoran, pemadam kebakaran, pengangguran, orang biasa, orang jahat, bos suatu kelompok kriminal, atau apapun. Semua itu adalah pilihan dan kendalimu atas dirimu sendiri. Meskipun ada beberapa tatanan yang membantu menyusun dan mengatur kehidupan manusia dalam bentuk pedoman yang diyakini banyak pengikutnya.Berbuatlah kebaikan, hindarilah kejahatan, sederhananya begitu.Ya mungkin terkadang alam bawah sadar memberikan beberapa pengaruh di luar dari kontrol manusia sebagai pengguna dari permainan peran multi pemain raksasa ini.Orang yang tidak memiliki tujuan besar di hidupnya cenderung akan merasa bosan dan lelah sepanjang waktu. T