Share

07

***

Liza dan Anggi setuju untuk menginap di rumah Nabila karena besok juga merupakan hari libur. Liza meminta izin untuk menelepon rumahnya dan memberitahu soal ini, Ibunya yang mengangkat mengizinkannya untuk menginap. Kemudian di pagi hari, mereka bangun dan sarapan bersama. Liza masih sungkan memakai pakaian Nabila untuk dibawa berjalan ke rumah, tetapi dia juga tidak enak kalau mengembalikannya begitu saja.

“Bajunya aku masukin tas, tapi nanti aku cuci, kok. Mungkin sore aku bakal mampir ke sini buat ngembaliinnya.” Ujar Liza.

“Ya ampun nggak apa apa kali, Za. Anggi aja pakai sampai pulang, tuh.” Balas Nabila sambil menunjuk Anggi.

“Hehehehe.” Anak yang ditunjuk itu hanya cengengesan dan memiringkan kepalanya. “Nggak apa apa kali, Za. Jangan malu beda dikit,” jelasnya pada Liza.

“Nggak, deh.”

Liza naik angkot bersama dengan Anggi setelah diantar Nabila ke jalan raya. Liza juga sudah mengingat-ingat jalan menuju rumah Nabila. Persiapan kalau dia butuh mampir lagi atau sekadar bermain. Anggi turun lebih dulu, menyisakan Liza sendiri sampai ke gang dekat tempat tinggalnya.

“Randi, ya?”

Meskipun Randi masih SMA dan secara teknis dia belum melakukan kejahatan apapun, hal ini tidak menjamin kalau di masa depan dia tidak akan berubah menjadi pribadi yang brengsek. Liza merasa sedikit bersalah, namun tidak mau berhutang soal Randi yang pernah menyelamatnya-Mamanya saat insiden itu.

“Tetapi untuk yang kemarin, mungkin aku harus berterima kasih dengan baik. Aku tidak mau menyisakan trauma di tubuh Mama.”

Liza menyusuri gang kecil itu untuk pulang, di perjalanan dia bertemu dengan tetangga yang kemarin tidak terlihat. Pagi ini cukup cerah, membawa cahaya hangat yang membuat orang-orang bersemangat memulai hari.

“Lihat tuh, kasihan sekali.”

“Iyaa.”

“Sebegitunya kesusahan sampai pulang pagi.”

“Benaaar.”

Liza kebingungan dengan omongan tetangganya. Dikasihani? Untuk apa? Dia hanya terpaksa menginap karena terjebak hujan semalaman. Liza mempercepat langkahnya dan segera pulang. Meskipun ia tidak mengerti maksud dari tetangganya itu, ia merasa sedang dicemooh.

“Aku pulaang!” Seru Liza sambil membuka pintu.

Dia berjalan masuk dan meletakkan tasnya di sofa, kemudian segera ke belakang, memasukkan pakaian Nabila ke mesin cuci dan mandi. Ketika Liza akan masuk ke kamar untuk berganti pakaian, dia menemukan kakaknya sedang membongkar lemarinya.

“HAAAH!? NGAPAIN HEI MALING!” Teriak Liza dengan nada yang mengundang keributan.

“Apasih? Cuma mau nyari kemeja aku yang kamu pinjam, sekarang lagi butuh. Mana?”

“Hah? Kemeja? Nggak ada, tuh!” Jawab Liza ketus, padahal dia belum memeriksa betul apa saja isi dari lemarinya-Mamanya.

“Yaudah sana keluar! Nanti aku cari lagi!”

Kakaknya tidak mengindahkan perkataan Liza, dia masih terus saja mencari kemejanya di dalam lemari.

“Ngapain masih di sini, heh”

“Nyari kemeja.”

“Ya ampun kak! Aku nggak peduli entah misal ada biawak atau beruang nangkring di sini. Selama aku nggak ngizinin kakak masuk, kakak jangan dekat dekat!”

“Tapi kenapa? Emangnya kakak lebih parah dari biawak atau beruang?”

“Ya aku nggak mau!”

“Kenapa?”

“Kakak pedofil...”

“Hah!? Kok bisa mikir gitu?”

“Eng—“

“Kakak mesum!”

“Mana ada.”

“Boong.”

“Udah udah sana keluar.”

Liza mengusir kakaknya keluar dari kamar, setelah dia melempari kakaknya dengan buku-buku dan alat tulis. Kemudian dia berpakaian dan mencari kemeja yang terlihat seperti kemeja laki-laki. Beberapa saat selanjutnya dia ke belakang untuk memeriksa cuciannya dan bertemu dengan Ibu.

“Heh liza, kamu! Tidak sopans sekali sama kakak sendiri?”

“Emang kenapa sih, Bu?” Tanya Liza dengan nada yang masih kesal. Ternyata perdebatannya dengan kakaknya tadi terdengar oleh ibu. Mungkin salah-salah tetangga di samping juga mendengar mereka sedang ribut.

“Dia juga sama adik sendiri nempel banget.”

“Kan dia cuma nyari kemejanya doang, kamu yang minjem lagi.”

“Aku nggak inget pernah minjem.” Elak Liza.

“Lah waktu kamu berangkat sekolah terus kesangkut pagar rumah, kemeja kamu ketarik terus robek. Kamunya aja sampai nangis.” Jelas Ibunya mengingatkan apa yang terjadi dulu.

“Heboooh banget.” Tambahnya lagi dengan mulut mencibir mengejek Liza. Meskipun waktu itu pastinya adalah kelakuan Mamanya, Liza merasa malu sendiri dengan apa yang dia dengar dari Ibu.

“Haaah??”

“Makanya. Kakak kamu yang nggak tahan sama teriakan kamu, kepaksa minjemin kemejanya dia.”

“Oh.” Balas Liza ketus.

“Judes banget. Sama orang lain terserah, tapi sama orang tua sopan dikit!” Kata Ibu sambil mencubit pinggang Liza. Meskipun dulunya dia sudah dewasa, seorang wanita berumur dua puluh delapan tahun, tetapi dengan tubuh dan lingkungan tempat dia tumbuh sekarang membuat Liza-Rani bersikap semakin menyesuaikan dengan umur fisiknya.

“Iya dia, sih.”

“Pokoknya dia yang salah.” Liza lagi-lagi masih menyalahkan kakaknya tanda tidak terima.

“Udah deh jangan ribut terus. Nanti kamu pastiin minta maaf ke dia.”

Liza mengangguk pelan, kemudian membantu ibunya mengupas wortel dan memotong bayam. Dia juga membantu menata piring yang sebagian sedang dicuci Ibunya. Dapur yang tidak terlalu besar itu terasa hangat meskipun tidak ada kompor yang menyala dan hanya diisi oleh dua orang saja. Liza kemudian pergi ke mesin cuci untuk memeriksa cuciannya, baju yang dipinjamkan Nabila dan rencananya akan ia kembalikan sore ini.

“Oiya, cucian kamu udah ibu pindahin ke jemuran, bentar lagi kering. Jangan lupa bilang makasih juga sama Nabila.”

“Iya, Bu.”

“Terus juga disetrika, jangan dikasih gitu aja.”

“Iyaaaaa, Ibuuuuuuu.”

Liza pergi ke kamarnya dan mengambil kemeja yang sebelumnya sudah dia lipat lagi dengan rapi. Kemudian dia berjalan ke kamar kakaknya, sebuah ruangan dengan pintu cokelat muda dan penuh dengan banyak tempelan logo yang tidak Liza kenali. Gadis itu mengetok pintunya tiga kali, kemudian menunggu dengan sabar. Orang yang berada di dalamnya segera membukakan pintu, tetapi meskipun pintunya belum terbuka sepenuhnya, Liza sudah bicara duluan.

“Kak minta maaf.”

“Kenapa kamu? Tumben banget?”

“Ibu abis ngerukyah atau...”

“Kamu abis disogok sate ayam?”

“Enggak!”

“Kok tahu aku suka sate.” Tanya Liza yang sementara fokus ke salah satu topik yang disebutkan kakaknya barusan.

“Ya iya kan emang dari dulu.”

Ternyata mama punya selera makan yang sama dengannya, garis keturunan memang luar biasa.

“Beliin aku sate ayam!” Pinta Liza. Kakaknya tidak tahu entah Liza meminta dengan serius atau tidak, atau hanya bercanda agar permintaan maaf yang dia lancarkan tidak terasa kaku dan canggung

“Yaudah nanti.” Balas kakaknya singkat.

“Sekalian itu....”

“Kenapa?”

“Anterin aku ke rumah nabila, pake motor.”

“Iya iyaa.”

Setelah ketiga jarum jam dinding berputar sesuai porosnya, membuat waktu bergerak maju menjadi beberapa jam, sepertinya pakaian yang tadi sedang dijemur oleh Ibu sudah kering. Liza pergi ke belakang untuk memeriksa jemuran itu, kemudian mengangkat pakaian Nabila juga beberapa kain lain yang sudah kering dan dijemur bersamaan. Liza masuk ke kamar dan mengambil setrika dari lemari. Sebelumnya dia sempat dimarahi Ibu karena tidak tahu letak setrika sendiri, juga karena dianggap terlalu sering lupa atas banyak hal.

“Kamu coba cek ke dokter gih, Za. Ibu aja yang hitungannya sudah tua ini saja masih belum pikun sama sekali, masa kamu masih SMA sudah sebegininya.” Terang Ibu menjelaskan kekhawatirannya.

“Ah tidak apa apa, Bu. Biasa mah ini, sebentar lagi juga hilang.”

“Kamu pernah jatuh?” Ibunya curiga kalau-kalau anaknya punya cedera di kepala, membuat anaknya hilang ingatan.

“Keluarga Ibu nggak ada tuh yang pikunan, dari Bapak juga. Ibu juga nggak nemu kamu dari kardus di depan pintu. Kamu anak Ibu kan, ya?” Ibu-Nenek Liza-Rani benar-benar punya imajinasi yang liar, untung saja anaknya menghentikan pemikiran negatif wanita itu sebelum dia bisa menebak kalau anaknya yang asli, Liza, sudah berganti jadi cucunya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status