Share

08

“Kak, jadi nggak nganterin aku nya ke rumahnya Nabila?”

“Yaudah, ayok!”

Liza naik ke motor diboncengi kakaknya untuk pergi ke rumah Nabila. Sepertinya entah di dunia ini atau dunia sebelumnya, Liza masih belum pernah sama sekali belajar membawa motor. Setelah melewati beberapa persimpangan, juga berhenti sekali karena Liza memaksa ingin mencoba bakso bakar yang asapnya memenuhi sepanjang trotoar, akhirnya mereka sampai di rumah Nabila. Liza turun dari motor dan memanggil Nabila dari luar pagar.

“Nabilaaa! Ini aku Liza!”

“Iyaaaa! Buka aja langsung pintu pagarnya.”

Liza yang baru mendengar teriakan seseorang dari dalam rumah segera menoleh untuk memberitahu kakaknya kalau motornya lebih baik dimasukkan ke dalam saja. Tetapi tanpa sungkan ternyata kakaknya sudah lebih dulu membuka pagar dan mendorong motornya maju ke depan. Kemudian menutup pintu dan duduk di kursi depan dengan santainya. Liza yang melihat tingkah kakaknya yang seenaknya merasa kebingungan dan sebal di saat yang bersamaan.

“Kak! Apa apaan, sih? Nggak sopan banget tahu! Akunya aja baru kenal banget sama Nabila. Jangan bikin malu dong!” Seru Liza ke arah kakaknya yang duduk tidak peduli sambil memperhatikan bunga di taman depan rumah. Beberapa saat kemudian pintu depan rumah Nabila terbuka dan keluar seorang wanita yang melambaikan tangan ke arah Kakaknya Liza.

“Hai, Chaca.”

“Hai, Gilang.”

“Kakak siapa?” Liza bertanya kebingungan karena kakaknya terlihat begitu akrab dengan tuan rumah yang sepertinya bukan lah Nabila.

“Aku kakaknya Bila, Za.”

“Terus kok kenal sama kakakku? Dan, aku?” Liza bertanya dengan raut wajah kebingungan.

“Kami kan... pacaran...? Kamu nggak ingat? Kakak kan juga dulu sering main ke rumah kamu?”

“Beneran?”

“Cuma sih emang ya akhir-akhir ini enggak, sibuk nugas terus ada kepanitian di kampus.”

“Oohhh.”

Sesaat Liza bingung juga kenapa Ibunya juga seperti sudah kenal dekat dengan Nabila, padahal dia belum bercerita banyak dan hanya menaruh pakaian Nabila d mesin cuci. Pakaian itu juga bukan seragam dengan nama yang tercetak di atasnya. Kakaknya juga, hanya dengan satu arahan yang sebenarnya rancu, dia sudah langsung tahu ke mana harus membawa motornnya. Sebelumnnya Liza hanya berpikir kalau kakaknya jenius, atau mungkin esper yang bisa membaca pikiran orang lain. Tetapi kalau benar begitu dia akan jadi sangat seram, mungkin Liza bisa saja memaksa kakaknya untuk angkat kaki dari rumah, mengusirnya dengan seluruh kemungkinan.

“Lizaaaaa! Jadi mampir, ya?” Seru Nabila setelah menampakkan wajahnya dari balik pintu. Suaranya memecah keheningan sejenak dari kecanggungan Liza yang terlihat seperti orang bodoh, meskipun  Liza hanya fokus pada pikirannya sendiri.

“Hai, Bil! Ini nih baju aku udah aku cuci. Makasih banget yaa udah pinjemin kemarin, juga udah ngizinin nginap.”

“Lagian kemarin kakak sempat manggil kamu pas kamu keluar dari WC, kan? Kamu aja yang nggak ngelirik.” Chaca menyinggung soal kejadian semalam, ditambah lagi ia masih sedikit banyak penasaran bagaimana Liza bisa lupa dengannya.

“Oh iya ya, kak? Maaf ya?”

Liza sebenarnya mendengar kalau ada suara yang halus memanggilnya dari satu tempat di belakangnya. Tetapi perlu di ketahui kalau seberani apapun Liza dengan berbagai tantangan dan tekanan, dia benar-benar takut dengan hantu dan perkara mistis. Tentu saja dia segera menjinjit dan masuk ke kamar Nabila tanpa menunggu lama. Dia juga tidak mau bicara soal adanya ‘hantu’ di rumah Nabila. Selain pembicaraan tentang hal itu tidak akan berlangsung sekejap, dia juga tidak ingin membuat Nabila merasa tidak nyaman berada di dalam rumahnya sendiri.

“Kamu juga terakhir main ke rumah Liza pas liburan kemarin kan, Bil? Masa Liza nggak ingat kakak.”

“Iyaa! Pas pertama ketemu di SMA aja Liza pake perkenalan diri segala. Tau nggak, kak? Lengkap sama jabat tangan dan salam selamat pagi yang formal banget!”

Meskipun itu bukan salah Liza-Rani sama sekali, wajah gadis itu menjadi merah pucat menahan malu. Pembicaraan itu sedikit membuatnya merasa ingin kabur untuk buang air. Tapi dia belum tahu, atau tidak ingat dengan denah rumah ini.

“Aku jadi malu gara-gara kitanya udah kenal dari SD. Nah awalnya aku pikir dia bercanda, tapi mukanya serius banget!” Jelas Nabila lagi, membuat kedua kakak adik perempuan itu tertawa terbahak-bahak sambil melihat ke arah Liza.

“Maaf ya Bila, Chaca. Kemarin pas liburan Liza sempat jalan-jalan ke pantai, terus sialnya kepala dia kejatuhan buah kelapa ampe pingsan seminggu. Pas sadar juga dia gabisa bedain mana kodok mana kecoa. Parah banget sih.” Gilang mencoba bercanda kepada Nabila dan Chaca dengan wajah serius. Tetapi kedua kakak adik itu cukup polos, mereka percaya saja dengan penjelasan Gilang.

“Bener, Za? GWS, yaa! Maaf banget kemarin nggak tahu kabar jadi nggak bisa jenguk. Dokter kamu bilang apa?”

“Nggak sampe geger otak, kan ya?”

“Iya emang kodok sama kecoa sama sama bikin jijik. Tapi poinnya bukan itu sableng!” Seru Liza sambil menendang bokong Gilang.

"Nggak Nabila, kak Chaca. Aku nggak kejatuhan apa  apa, cuma banyak pikiran aja akhir-akhir ini. Itu aja kok!” Ujar Liza memberikan pembenaran, lebih dari kakaknya yang menyebalkan itu.

“Makasih yaa, dan maaf udah bikin khawatir.” Tambahnya lagi

“Nggak apa apa, Za. Santai aja kali.”

“Lagian mumpung udah di sini. Nggak mau sekalian mampir aja?”

“Nah iya, Za! Aku ke belakang dulu sama kakak bikinin minuman. Kak Gilang nggak keberatan kan kalau main dulu? Sekalian karena udah lama nggak ke sini jugaa!”

Gilang mengangguk perlahan sementara Nabila dan Chaca pergi ke belakang untuk menyiapkan minuman dan membawa camilan. Liza duduk dengan sungkan di atas sofa yang sempat ia perhatikan tadi. Mungkin sugesti dari cerita Nabila soal dia sudah mengenal Nabila dan Chaca lebih dulu, dia merasa sudah pernah dan memang beberapa kali berkunjung ke sini.

Ruang tamu rumah Nabila memiliki dua sofa besar dan tiga sofa untuk satu orang, sebuah meja panjang dengan bunga di tengahnya, juga foto keluarga yang digantung di dinding. Beberapa kali terdengar gemburan suara mesin kendaraan dari luar, mengingat jalan di depan rumah Nabila cukup besar, meski tidak bisa disebut sebagai jalan utama.

“Kalau jalannya bagus gini dan nggak jauh dari sekolah, kenapa Nabila naik angkot, ya?” Pikir Liza.

“Maaf menunggu lamaa!” Nabila dan kakaknya Chaca datang membawa nampan berisi empat minuman, yang sepertinya adalah teh, juga sekaeng biskuit.

“Isinya bukan rengginang kan?” Celetuk Gilang tiba-tiba setelah memandangi kaleng biskuit itu dengan tatapan aneh.

Mereka berempat tertawa bersamaan. Gilang duduk menyandarkan punggungnya ke sofa sambil membuka kaleng itu dengan santai.

“LOH KRIPIK SINGKONG!”

***

Setelah berbicara selama satu jam di Rumah Nabila, Liza merasa sudah harus pulang karena di luar matahari sudah mulai turun dari kedudukannya yang tinggi. Angin berhembus sepoi-sepoi, membawa suasana sore yang menenangkan.

“Mampir lagi, yaa!”

“Iyaaa. Nanti kalau hujan lagi aku mampir deh!”

“Nggak gituu! Main aja! Nggak pake alasan juga nggak masalah. Nggak perlu nunggu hujan jugaa!”

“Bye Gilang.”

“Bye Chaca.”

Dua orang itu berpamitan dengan singkat. Tadi saat mengobrol keduanya juga tidak terlihat ingin berduaan atau mendekat satu sama lain. Liza sendiri juga cukup bingung kenapa Chaca mau saja berpacaran dengan kakaknya, pria yang membosankan dan tanpa daya tarik. Selain itu sepertinya mereka sudah berpacaran cukup lama. Cinta memang bukan sesuatu yang bisa dimengerti dengan melihatnya sekilas. Mencoba sekeras apapun kedua orang yang ingin bersatu, bila keadaan dan garis yang menyatukan mereka tidak ada, mereka tidak akan punya akhir berdua di ujung jalan. Sedangkan bagi mereka yang terlihat datar dan tanpa ambisi, boleh jadi ada tali tambang kuat yang menahan mereka berdua untuk terus berhubungan.

Semilir angin sore masih saja terus berhembus, melewati kedua kakak adik yang tidak akur menaiki motor berdua. Kalau saja mereka adalah sepanjang kekasih, mungkin seorang tukang potret yang kebingungan mencari referensi akan dengan senang hati mengambil gambar mereka tanpa dibayar. Tapi sayangnya mereka adalah Liza dan Gilang. Gilang bukanlah sebuah soal, tidak akan mempermasalahkan banyak hal, tetapi yang dibelakangnya itu adalah Liza. Gadis SMA tahun pertama itu duduk mundur di atas besi pegangan paling belakang motor dengan mengangkangkan kakinya jauh jauh dari kakaknya. Belum cukup dengan itu, dia juga memaksa kakaknya untuk duduk merosot ke depan, menyisakan jarak sekitar tiga atau empat puluh senti di anatara punggung dan perut mereka.

“TIGA METER WOY!” Kata liza memberi peringatan.”

“Nggak mungkin lah, geblek! Motor aja nggak sampai segitunya!”

“YA DIUSAHAIN!”

“MIKIR DONGGGG!”

Mereka berdua berdebat terus sepanjang jalan bahkan hingga sampai ke rumah. Tetapi culasnya Liza di depan Ibunya, dia akan berganti mode menjadi adik penyayang. Sebab ia benar-benar menganggap kalau omelan Ibu-Neneknya itu menyeramkan sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status