Share

Bab 2

Langkahku sontak terhenti, kala melihat pemandangan pagi itu di dapur. Pasalnya, aku sudah berusaha pergi sepagi mungkin dari rumah ini. Siapa sangka, aku akan melihat pemandangan ini? Belum cukupkah air mataku semalam, yang hanya bisa melihat kebahagiaan mereka di resepsi lewat jendela kamar.

Seperti apa yang kubilang dari awal? Mereka memang tak akan mencariku. Bahkan semalam mereka kelihatan sangat bahagia sekali. Seakan dunia hanya milik mereka berdua.

Ah, ya. Seharusnya memang itulah yang terjadi. Seharusnya memang kisah ini hanya milik mereka berdua. Karena aku memang hanya pemeran figuran saja di sini.

Namun, Seakan belum cukup kenyataan menamparku semalam akan posisiku sebenarnya. Kini aku harus kembali menerima rasa sakit itu, kala melihat Kak Sean sedang mencumbu Kak Audy dengan sangat panas di sana. Rasanya seperti diremas ribuan tangan tak kasat mata. Sakit sekali!

Kak Audy terlihat duduk di meja bar, dengan kemeja putih kebesaran di tubuhnya, yang kuyakin pasti milik Kak Sean. Sementara Kak Sean sendiri ada di hadapannya, menumpukan satu tangannya di belakang tubuh Kak Audy, sedang tangan yang satunya lagi menekan tengkuk Kak Audy untuk memperdalam ciuman mereka.

Bibir mereka saling bertautan dan saling mencecap dengan panas. Membuat aku ingin sekali berbalik kembali ke dalam kamar saking tidak sanggupnya melihat semua itu. Mereka benar-benar melupakan keberadaanku di Rumah itu.

Ah, lupakan saja. Aku tak ingin menangisi diriku lagi. Sudah kubilang kan, aku harus tau diri di sini. Karena aku memang hanya orang ketiga di antara mereka.

Sebenarnya, aku bukannya tak suka atau benci melihat pemandangan itu. Aku juga bukan gak mau melihat kebahagiaan mereka. Kalau boleh jujur, justru aku malah sangat bahagia melihat kebahagiaan mereka. Setidaknya dalam situasi ini, ada yang bisa berbahagia di antara kami bertiga.

Tak usah pikirkan, bagaimana perasaanku di sini? Karena aku memang tak punya hak apapun, sekalipun untuk cemburu sekalipun. Ingat. Aku cuma pemeran figuran saja di sini. Mereka yang punya kisah.

“Eh, Astaga! Rara!” seru Kak Audy, orang yang pertama menyadari kehadiranku. “Sorry, sorry, kami gak bermaksud—”

It’s oke, Kak. I’m Fine,” selaku cepat. Mencoba bersikap sesantai mungkin, demi membuat kami tidak canggung.

Sekalipun hatiku saat ini bergemuruh hebat dan mataku sangat panas. Aku tetap memaksakan senyum selebar mungkin, saat menghampiri mereka. Kak Audy menyambutku dengan senyum tak kalah lebar. Sementara Kak Sean? Jangan tanya bagaimana dinginnya dia padaku?

Pria itu bahkan langsung memalingkan wajah dengan kesal. Kala Kak Audy memanggil namaku. Seakan memang kehadiranku hanyalah sebuah benalu di hidup mereka. Ah, aku memang benalu.

“Maaf kalo aku ganggu kalian. Aku gak tau kalau kalian ... udah bangun,” kataku tak enak hati, sambil mencuri lirik ke arah Kak Sean yang masih tak mau menatapku sedikit pun. Sebenci itukah dia padaku?

“Ih, apaan sih kamu, Ra. Kita kan udah jadi keluarga sekarang. Kamu udah jadi adikku sejak kemarin. Jadi gak usah gak enak gitu,” jawab Kak Audy dengan riang.

Terlihat sekali kalau dia memang benar-benar bahagia dengan pernikahan ini. Dia bahkan sampai memelukku erat sekali pagi ini.

“Oh, ya. Aku dengar kamu semalam gak enak badan ya, kata Mama? Sorry, ya, Belum sempat nengokin. Abis tamu banyak banget semalam. Btw ... Kamu sakit apa? Kok, gak kasih tau aku sama Sean?” tanya Kak Audy lagi. Membuatku menautkan alis dengan bingung

Sakit? Aku gak pernah bilang gitu? Ah, apa itu alasan yang Mama buat biar mereka tak menanyakanku?

“Ah, iya. Semalam aku memang kurang enak badan. Biasa lah, Kak. Jetlag,” bohongku memaksa senyum tulusku. Sepertinya, mulai sekarang aku akan sering berbohong di depan mereka.

“Oh, gitu. Terus sekarang, gimana keadaan kamu? Sudah sehat, kan? Aku bener-bener minta maaf ya, kalau semalam aku gak bisa nengok kamu. Soalnya tamunya gak ada hentinya. Aku aja sampe migrain kemaren karena kebanyakan berdiri. Untung ada Sean yang mau mijitin semalem. Ya ... walaupun pijitannya jadi plus-plus. Eh!”

Kak Audi berceloteh dengan riang sepanjang cerita. lalu menutup mulutnya di akhir kalimat. Karena menyadari sudah keceplosan.

Entah itu beneran keceplosan atau sengaja. Tapi dari rona wajahnya, sepertinya tak benar-benar menyesal atas ucapannya. Wajahnya merona merah, khas sekali seperti orang yang sedang jatuh cinta.

“Eh, maaf ya, Ra. Aku gak maksud apa-apa, kok. Aku beneran cuma—”

“Gak papa, Kak. Aku ngerti, kok,” selaku cepat. Dengan senyum yang sekuat tenaga masih coba ku pertahankan.

“Beneran?” goda Kak Audi.

“Iya.”

“Ah, kamu memang adikku yang paling baik, Rara!” Kak Audy memelukku sekali lagi dengan riang.

“Kamu tenang aja. Nanti malam Sean bakal jadi milik kamu seutuhnya, kok. Karena sudah seharusnya kita bergantian memilikinya. Dan Aku janji, aku gak bakal ganggu kalian,” lanjut Kak Audi, seraya melepaskan pelukannya. Membuat aku langsung membeku seketika di tempatku.

Aku bukannya gak ngerti akan maksud Kak Audy barusan. Tapi ... jika melihat bagaimana sikap acuh Kak Sean. Aku tau pasti kalau dia sebenarnya gak setuju ide itu. Terlebih, aku belum siap dia makin dibenci lebih lanjut oleh pria itu.

“Wah, sayang banget kalau gitu. Kayaknya malam ini Kak Sean masih harus tetap jadi milik Kakak, Deh,” balasku seriang mungkin.

“Loh, kenapa?” tanya Kak Audi bingung.

Entah sadar atau tidak. Aku melihat Kak Sean menoleh cepat ke arahku, dengan tatapan sama bingungnya dengan istri pertamanya.

“Aku baru aja di telpon Selly. Katanya cabang yang ada di Bandung sedang ada masalah. Jadi ... mungkin aku akan—”

“Selly tidak menelpon saya?” sela Kak Sean dengan cepat.

Akhirnya, setelah beberapa hari ini dia seakan bungkam terhadapku. Tepatnya sejak di Rumah sakit saat kematian Papi. Hari ini Kak Sean mau membuka mulutnya dan melihat aku.

Thanks, God! Aku pun tak dapat menahan senyumku sambil menjawabnya.

“Mungkin Selly tau kalau Kakak sedang tak bisa diganggu,” jawabku singkat. Bahkan hanya segini saja, hatiku sudah sangat bahagia.

“Loh, gak bisa kaya gitulah! Sean kan Wakil Dirut di sana. Sean berhak tau apa yang terjadi sama perusahaan. Sayang, pokoknya kamu nanti harus tegur Selly. Apa-apaan itu sikapnya. Kaya gak hargai kamu aja!” protes Kak Audy menggebu-gebu.

Aku hanya terdiam mendengarnya. Bukannya aku bohong soal pernyataanku tadi. Tapi, aku cuma gak mau memperparah keadaan dengan jawabanku nanti.

“Selly gak salah. Kenapa harus ditegur?”

Entah sejak kapan, Mama Sulis sudah berada di sampingku.

“Loh, tapi kan, Mah—”

“Selly memberi tahu orang yang tepat. Langsung ke Dirutnya, bahkan pemilik sah perusahaan. Jadi, salahnya di mana?” sela Mama cepat. Membungkam Kak Audy dengan telak.

“Oh, iya. Aku lupa kalo kamu udah menggantikan paman Theo,” lirih Kak Audy kemudian.

Sudah kubilang kan, ini tak akan bagus jika dilanjutkan. Aku melirik Kak Sean sebentar. Karena Ingin tau bagaimana reaksinya mendengar ucapan Mamanya?

Benar saja. Kak Sean terlihat mengalihkan pandangan lagi, dengan rahang mengeras kesal. Lalu tak lama setelahnya, pria itu pun beranjak pergi tanpa kata. Aku salah lagi, ya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Blg ndak punya rasa apa2 tp mau nangis tp sedih dicuekin lha gmn toh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status