Share

Bab 12

*Happy reading*

"Apa maksud kamu tadi?!" 

Kak Sean langsung menghardikku, sesampainya kami di Loft.

"Maksud aku? Apa?" 

Bukan aku tak mengerti arah pertanyaan Kak Sean, hanya saja, aku ingin memastikan saja dugaanku.

"Gak usah pura-pura, Rara. Saya tahu kamu pasti mengerti maksud pertanyaan saya. Kamu itu bukan orang bodoh!" tukas Kak Sean, masih dengan nada kesal yang sama.

Aku pun akhirnya menghela napas sebentar, sebelum menjawab, "Apa yang Kakak maksud adalah, aku yang mengenalkan Kakak sebagai sepupu?"

"Tentu saja! Apa lagi selain itu?!" Jawabnya cepat. Bahkan terlalu cepat menurutku. 

"Lho, aku kira Kakak memang ingin dikenal dengan status seperti itu di sini?"  

Tak ayal, aku pun bertanya balik. Karena bingung dengan sikapnya ini. Kenapa dia harus marah, kalau dia sendiri mengaku sebagai sepupuku pada Ana.

"Saya tidak pernah bilang begitu!" tegasnya.

"Tapi kemarin Kakak mengenalkan diri sebagai sepupu aku 'kan pada, Ana?" Aku mencoba membela diri.

"Ana? Siapa?" Kak Sean makin kebingungan.

"Tetangga Loft ini."

Dia pun lalu terdiam, seraya berpikir. Mungkin dia sedang mencoba mencerna dan mengingat sesuatu.

"Maksud kamu wanita tua yang punya gaya nyentrik itu?" Kak Sean mencoba menkonfirmasi.

"Iya, dia Ana." Aku mengaminkan.

Dia pun terlihat membuang muka dengan tatapan yang ... entahlah, seperti kikuk atau canggung.

Namun dari rona raut wajahnya, aku tahu kekesalannya sudah sedikit berkurang.

"Kalau itu jelas perkara beda." 

Nyatanya, dia tak serta merta mengaku salah. Dia masih bersikukuh, seakan tak mau aku merasa menang menghadapinya.

Padahal, menang apa, sih? Ini kan bukan perlombaan.

"Beda gimana?" 

Tentu saja itu membuat aku kembali bingung. Karena makin ke sini, aku malah merasa Kak Sean ini seperti bunglon.

"Jelas saja Beda. Wanita tua itu kan tetangga kamu. Dia pasti akan bergosip jika tahu saya suami kamu, tapi tidak pernah terlihat. Saya tak ingin jadi buah bibir. Sementara yang tadi di kampus, kan teman-teman kamu. Mereka harus tahu kalau kamu sudah menikah, agar tak ada yang berani mengajak kamu kencan. Ingat Rara, istri itu pakaiannya suami."

Kok, terdengar egois, ya? Maksudnya apa coba? Tetangga gak boleh tahu aku sudah menikah, sementara teman wajib tahu.

Padahal, temanku justru lebih sering berkunjung ke sini daripada tetangga. Lalu, kalau mereka menanyakan keberadaan Kak Sean yang tak pernah terlihat? Aku harus jawab apa?

Apa Kak Sean tak pernah dikunjungi teman selama ini?

"Tapi kak--"

"Sudahlah! Saya malas bahas ini lagi. Kamu tuh emang bandel, ya? Udah tahu salah, masih saja ngeyel. Bisa gak sih, nurut sama suami sedikit aja? Mau, kamu saya labeli istri durhaka?"

Astaga!

Aku salah apa lagi? Kenapa semua yang aku lakukan sepertinya tak ada yang benar di mata Kak Sean.

"Kamu tuh harus benar-benar belajar sama Audy. Karena Audy itu bukan cuma penurut, tapi pandai membuat hati saya tenang. Makanya saya bangga punya istri seperti dia."

Audy lagi! Audy lagi!

Jujur saja, aku sebenarnya tidak pernah ingin cemburu, atau menganggap Kak Audy itu adalah sainganku selama ini. 

Karena apa? Karena aku sadar diri aku cuma piguran di sini. Aku pengganggu dan hanya cadangan. 

Aku tahu dan berusaha menerima takdirku itu.

Tetapi, jika Kak Sean terus saja membandingkan kami dengan sengaja. Lama-lama aku bisa kesal juga.

Karena aku juga manusia biasa, yang bisa sakit hati dan punya rasa egois.

Tidak masalah jika dia tidak mencintaiku, atau terpaksa ada di sini bersamaku karena tuntutan Mama Sulis. Makanya dia selalu ketus dan tak sudi melirikku. Aku mengerti itu.

Namun bagaimanapun aku ini juga istrinya, kan? Bisakah dia menghargai aku sedikit saja?

Tak perlu berlebihan. Cukup jaga perasaanku dan tak usah membandingkan aku dengan istrinya yang lain. Karena aku juga bisa sakit hati. Atau ... lebih baik diam dan acuhkan aku saja. Aku akan lebih menghargai itu.

"Ck, benar-benar payah." Kak Sean pun berdecak kesal. Sebelum akhirnya pergi meninggalkanku, menuju lantai atas tempat kamar utama berada.

Tuhan ... sampai kapan aku harus bertahan dengan pernikahan ini?

***

Setelah kejadian itu. Aku pun memilih meminimalisir interaksiku dengan Kak Sean. 

Bukan menghindar tentu saja, karena itu tidak mungkin dan rasanya terlalu childish. 

Aku tetap melayaninya sesuai permintaannya, kok. Menyiapkan baju dan sarapannya. Pulang lebih cepat jika dia minta, bahkan tidur lebih cepat jika dia mulai mengeluh tak bisa tidur jika lampu masih menyala. 

Aku turuti semua maunya. Meski tugas-tugas kuliahku kadang jadi kacau dan sering mendapat teguran dari kelompok kerjaku. Tapi bagiku, menghadapi mereka lebih mudah daripada menghadapi Kak Sean.

Entahlah. Aku malas saja berdebat dengan Kak Sean. Apalagi jika sudah membawa-bawa nama Kak Audy. Malasku jadi double-double.

Karena itulah, aku mencoba tak banyak bicara lagi padanya, dan hanya berinteraksi secukupnya. Apa pun aku lakukan agar dia tidak sampai ngomel.

Aku benar-benar mencoba menjadi istrinya yang baik. Agar dia tak menyakiti hatiku lagi.

Sayangnya harapanku terlalu tinggi sepertinya. Karena sebaik apapun aku menjaga hatiku. Kak Sean bisa dengan mudahnya membuatnya hancur hanya dengan satu kata.

Audy!

Dia menyebutkannya saat mendapatkan pelepasannya, ketika memperkosaku!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Asri Asri
lah katanya nggak akan menyentuh kalo nggak cinta, lah ini? sebel aku
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status