Share

Musuh Besar Si Gendut
Musuh Besar Si Gendut
Penulis: Abarakwan

1. Mahasiswa Miskin

Aku mahasiswa miskin yang mengandalkan beasiswa, aku pendek dan bertubuh gempal. Yup... hidupku sempurna. Aku cukup berbakat di dunia seni, khususnya di bidang lukisan. Aku berhasil mendapatkan beasiswa full-coverage dan bertemu dengan teman sejatiku, teman yang menyelamatkanku dari putus sekolah. Lindsay Robinson.

Lindsay Robinson adalah putri dari keluarga konglomerat asal Yunani. Ia cantik, tinggi, putih, dan dari atas ke bawah tubuhnya semua terpasang barang branded. Sangat bertolak belakang denganku. Ia mengambil jurusan business management untuk meneruskan bisnis ayahnya kelak, karena kakak dari Lindsay sangat tidak tertarik dengan dunia bisnis. Ia adalah seorang atlet, pemain sepak bola internasional. Bukankah itu luar biasa?

 "Rose... Rose...!" Suara seorang perempuan memanggilku dari belakang. Aku sekarang berada di area kampus, di depan fakultasku. Aku menoleh dan melihat Lindsay berjalan dengan wajah kesal ke arahku. Ia memakai setelan burberry dari atas ke bawah. Sahabatku yang satu ini memang lebih cocok sebagai seorang fashion model di peragaan busana merek high fashion. Tak ada yang melekat di tubuhnya yang bukan merupakan keluaran barang high fashion. Ia bahkan memakai sebuah tas yang lebih mirip keranjang ibu-ibu ke pasar... dan ia membelinya dengan harga 500 juta. Ya, dia memang segila itu.

"Rose Watson! Kau sungguh sahabat yang menyebalkan! Berani-beraninya kau tak hadir di acara ulang tahunku semalam! Aku menunggumu semalaman!" omelnya kepadaku.

Aku memang tak memenuhi undangannya. Sebuah pesta ulang tahun yang kedua puluh. Lindsay menyewa sebuah klub mahal hanya untuk merayakan ulang tahunnya. Ia hanya mengundang sepuluh temannya—termasuk aku, dan kakak lelakinya. Si atlet sepak bola internasional dan memiliki gelar best butt of the year, ya betul, pantatnya indah. Benar-benar gila! Dialah yang menjadi alasan aku menolak datang di pesta itu. Karena dua nama tak bisa bersama, nama Rose dan David tak bisa berada terlalu dekat, kami membutuhkan jarak ribuan meter untuk saling hidup tenang dan damai. Seperti sebuah magnet yang bertolak belakang.

David Robinson memiliki hobi memprediksi ukuran pakaianku yang ekstra size, juga memprediksi banyaknya persentase lemak yang tertimbun di tubuhku, ya, dia semenyebalkan itu.

"Aku masuk angin. He he," jawabku menyengir kuda. Otakku sedang memproses alasan paling epic untuk kejadian itu... dan kepala cerdas ini menghasilkan jawaban itu, masuk angin. Ya, aku memang cerdas!

"Still... kau seharusnya mengabariku! Mengirim pesan atau apalah. Lagi pula kau bisa minum obat dan berangkat mengenakan jaket lalu menyewa taksi! Kau hanya making excuse!" tuduhnya. Dan memang ia benar, aku hanya beralasan. Ia bisa marah besar kalau aku mengeluarkan alasanku sebenarnya, aku tak mau bertemu David.

"Aku benar-benar sakit, Linds! Sorry..." rengekku dengan wajah paling menyedihkan yang kupunya.

"Kau nanti sore, wajib ke apartemenku. Aku sedang mempersiapkan acara pertunanganku dengan Rick, seminggu lagi di Ritz Carlton. Kau wajib datang, tak ada alasan apa pun, kalau perlu aku akan menyeretmu untuk datang," ancamnya dengan jari telunjuk mengacung ke arahku.

Hmm, aku harus beralasan apa lagi? Semoga saja si pria seratus persen otot itu tidak ada. Ya... dia selalu membanggakan dirinya yang tak memiliki lemak barang satu persen pun, sedangkan aku memiliki lebih dari tujuh puluh persen lemak. Apakah aku pernah memastikannya? Tentu tidak... Geez! Merepotkan sekali. Sejak kecil aku sudah besar seperti ini, mau diet macam apa pun. Ya, seperti inilah tubuhku sejak lahir. Setidaknya aku pintar! Juga berbakat! Ya kan?

"Apa pun yang terjadi, aku akan menyeretmu ke apartemenku. Aku akan menyuruh David membopongmu. Setidaknya ia bisa menggunakan otot-ototnya itu agar lebih berguna," keluh Lindsay dan membuatku tertawa terbahak-bahak.

"Let's eat. Aku lapar... kau mau kan mentraktirku? Minggu ini uangku belum cair," pintaku dengan tragis.

Lindsay sudah tahu betul keadaan perekonomianku. Semester kemarin aku hampir saja putus kuliah, uang beasiswaku belum cair dan aku harus membayar semua biaya semester ini dalam jangka waktu dua hari. Lindsay adalah penyelamatku... ia membayarkan biaya semester ini.

"Thanks, kau menyelamatkanku semester ini. Beasiswaku entah kenapa lama sekali cairnya, aku mencari tambahan untuk hidup dari membuat ilustrasi freelance," ucapku di kantin. Lindsay membelikan dua porsi spaghetti. Saat kubilang dua porsi, bukan berarti untukku dan untuk Lindsay. Dia adalah tipe perempuan yang suka menyiksa diri, seperti sekarang, Lindsay lebih menikmati sebuah salad tanpa mayonaise sambil mendengarkan omongan sahabatnya dengan sabar.

"Gak masalah, itu uang David!" jawabnya enteng. Jawaban itu sontak membuatku hampir memuntahkan semua spaghetti nan nikmat yang masih kukunyah di dalam mulutku ini.

"Uang dia?! Kenapa baru bilang sekarang, sih?!" protesku.

"Waktu itu, cuma David yang punya uang cash sebanyak itu. Uang jajanku sudah habis, jadi cuma dia yang bisa kumintai uang. Lindsay tertawa.

“Lagian kalau David, kamu nggak perlu bayar, uang dia banyak kok! Dia baru aja jadi brand ambassador dari brand celana dalam,” jawab Lindsay dengan ceria. 

'Bagaimana ini? Aku sudah sering diledek oleh pria itu, dan sekarang dia juga yang sudah membayar SPP-ku. AGH!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status