Share

5. Pameran Lukisan

Benar ucapan Lindsay, ia menunggu sampai paling akhir, dan akhirnya kami berjalan bersamaan menuju aula depan kampus. Aku sudah menitipkan karya masterpiece-ku pada panitia pameran lukisan.

Acara akan dimulai dua menit lagi, dan semua panitia sudah berbaris rapi mengenakan alamamater berwarna biru tua. Aku berdiri di samping lukisanku, bersiap kalau ada orang yang bertanya tentang lukisanku ini. Aku melukis sebuah wajah pria berhidung ala Eropa, berambut ikal hitam, berseragam tentara di zaman dahulu kala, aku melukis versi realistik dari Napoleon Bonaparte. Aku pelukis realis, aku suka menggambar sejak aku kecil dan selagi remaja aku menyukai manga, dan inilah aku... seorang mahasiswi jurusan lukis yang sedang menjual lukisannya untuk bertahan hidup.

Ada beberapa orang yang berhenti di lukisanku, dua dari mereka bertanya siapa gerangan yang aku lukis dan jenis cat yang aku pakai. Aku menjawab bahwa pria tegak di lukisanku adalah panglima perang Napoleon Bonaparte, bahkan aku menjelaskan sejarah sesungguhnya tokoh itu. Selesai aku menjelaskan... mereka lalu berbalik dan berjalan begitu saja. Memang kenapa? Apa aku salah?

Inilah namanya kualat, aku pernah mendengar kalau berdoa harus selalu yang bagus. Inilah yang terjadi, lima menit sebelum acara selesai... lukisanku tak ada yang mau beli. Aku berdiri dengan lemas di samping kanvas milikku. Bagaimana ini? Apakah aku harus kelaparan lagi minggu depan?

Tepat dua menit sebelum acara selesai, ketua panitia, Felix, menghampiriku.

"Rose. Ada yang telepon mau beli lukisanmu," ucap pria berwajah oriental itu.

"Heh? Ha? Apa? Kok bisa?" tanyaku heran dan kaget.

"Ya, mungkin dia sudah ke sini dan lupa mau beli. Dia mau beli 2000$, kamu kan pasang harga 1500$? Jadi tawarannya diterima, kan?" tanyanya lagi.

"Iya, dong. Aku jual ke orang itu!" ucapku lega, bersyukur dan akhirnya tersenyum bahagia.

Aku akhirnya berjalan menuju Lindsay, ia sejak tadi duduk di pinggir taman. Ia duduk dengan sebuah kopi dingin di tangannya. Lindsay memakai kacamata hitam dan melepaskan jaket kulitnya. Kehadirannya sendiri di kampus ini sudah sangat mencolok. Hari ini ia memakai pakaian mahal dan mostly terbuat dari kulit, entah dari fashion house mana.

"Sudah laku lukisanku!" seruku girang kepada Lindsay. "Sepertinya aku akan bahagia sepanjang hari ini!"

"Yay! Great! Kau memang berbakat, Rose!" ucap Lindsay senang, ia berdiri dan menggandengku menuju parkiran. Kami berjalan menuju sebuah mobil hitam mengkilat dan pasti harganya mahal.

"Kita langsung ke pusat kota menuju toko yang akan menjadi venue kue dan pastry di pesta pertunanganku."

Aku menatap ragu ke arah mobil yang sekarang terlihat semakin dekat, entah mengapa aku punya feeling yang tak enak mengenai mobil ini. Semua perasaan buruk itu ternyata terbukti, pemilik dari mobil yang aku dan Lindsay naiki adalah none other than... David Robinson.

"Kenapa lama sekali?!" omelnya kepada Lindsay. Aku hanya diam, berusaha menenangkan hati dan pikiranku.

'Namaste....'

'Namaste...' seperti yang diajarkan salah satu temanku yang berprofesi sebagai instruktur yoga untuk menenangkan pikiran. All I have to do is, tutup telinga anggap aku tak mendengar apa-apa.

"Aku menunggu Rose! Ia sedang jual lukisannya! Ayo jalan... kau sekarang sudah mirip Nana... cerewet!" jawab Lindsay akhirnya membungkam omelan David.

Pria itu menyetir dengan lihai di jalanan yang sepi, kota Vegas di Sabtu sore seharusnya ramai, tapi kenapa tiba-tiba hari ini sangat sepi?

Mobil terparkir di sebuah outlet kue pengantin mewah dan besar di salah satu distrik padat kota gemerlap ini. Lindsay dan aku turun bergandengan tangan, diikuti David yang berjalan sambil menggerutu di belakang. Aku sedikit merasa tak percaya diri berada di toko ini, sebuah toko yang pelayannya berpakaian rapi dengan kesan chic dan cute. Lindsay dan David berpenampilan layaknya model, hanya aku yang mewakili penampilan mahasiswa bangkrut khas kota ini, jeans lusuh dan sebuah blouse berwarna pudar. Lindsay sangat sering berniat memberikanku pakaiannya, tapi... mereka takkan muat, kan?

"Ini adalah vanilla cake, chocolate cake, dan red velvet cake, kau bisa memilihnya untuk base, sedangkan untuk hiasan, kami akan menghiasnya sesuai dengan permintaanmu, kue bertingkat tiga dan dipenuhi dengan sugar based red rose," ucap sang manajer meletakkan tiga piring sedang berisi tiga jenis kue yang akan dijadikan dasar kue pertunangan Lindsay.

Aku dan Lindsay mengambil garpu yang disediakan dan mencoba potongan kecil cake di depan kami. Seperti sudah ditebak... semuanya terasa enak, tapi aku lebih menyukai vanilla cake karena lebih ringan dan manisnya sedang. Juga menurutku vanilla lebih berkesan romantis.

David hanya melipat tangannya di depan dada. Menunggu dengan bosan. Aku bersyukur, ia mungkin sudah tobat karena mulut beracun itu tak meledekku sejauh ini.

"I like vanilla better," ucapku mengutarakan pendapatku.

Lindsay mengangguk. "Aku juga, tapi calon tunanganku menyukai cokelat. Bagaimana ini?" tanyanya dalam dilema.

"Setahuku sejak awal kau yang memilih segalanya dan kekasihmu itu tinggal duduk manis menerima. Kau tak perlu mempertimbangkan keinginannya kalau ia tak mau bercapek-capek mengantarkanmu mengurus segalanya," ucapku sedikit berbisik.

Kalau aku boleh jujur, aku tak suka pria itu. Rick adalah mantan playboy waktu aku di high school. Aku dan Rick lulusan high school yang sama, ia adalah certified player. Seorang pelajar paling terkenal di sekolah kami karena dia adalah pemain inti tim rugby. Rick hampir sama sepertiku, ia berasal dari Texas dan keluarganya bukan golongan kaya raya, bedanya ia menggunakan semua milik orang tuanya untuk hidup hedon, dan membeli semua pakaian yang membuatnya terlihat seperti orang kaya.

"For the first time, aku baru tahu kalau kau bisa berpikir, kukira otakmu juga terlalu padat dengan lemak," celetuk David tersenyum sinis kepadaku. "Aku setuju dengan si Gendut, I don't like that man, ia terlihat licik."

Well, mulut setan itu kembali beraksi di saat baru saja aku menjalani hidup yang damai. Aku hanya melengos malas tak mau mengomentari omongannya. 'Namaste... namaste....'

"I love him, Dave! Shut it!" ucap Lindsay kesal.

"Love is indeed blind," omel David.

Aku diam, tak mau terlibat dalam perang mulut antar saudara. Sementara David berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah jendela. Mungkin menenangkan pikiran? Aku hanya membatin... 'Tak bisakah kau enyah dari muka bumi ini agar aku bisa menenangkan hidupku?'.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status