Benar ucapan Lindsay, ia menunggu sampai paling akhir, dan akhirnya kami berjalan bersamaan menuju aula depan kampus. Aku sudah menitipkan karya masterpiece-ku pada panitia pameran lukisan.
Acara akan dimulai dua menit lagi, dan semua panitia sudah berbaris rapi mengenakan alamamater berwarna biru tua. Aku berdiri di samping lukisanku, bersiap kalau ada orang yang bertanya tentang lukisanku ini. Aku melukis sebuah wajah pria berhidung ala Eropa, berambut ikal hitam, berseragam tentara di zaman dahulu kala, aku melukis versi realistik dari Napoleon Bonaparte. Aku pelukis realis, aku suka menggambar sejak aku kecil dan selagi remaja aku menyukai manga, dan inilah aku... seorang mahasiswi jurusan lukis yang sedang menjual lukisannya untuk bertahan hidup.
Ada beberapa orang yang berhenti di lukisanku, dua dari mereka bertanya siapa gerangan yang aku lukis dan jenis cat yang aku pakai. Aku menjawab bahwa pria tegak di lukisanku adalah panglima perang Napoleon Bonaparte, bahkan aku menjelaskan sejarah sesungguhnya tokoh itu. Selesai aku menjelaskan... mereka lalu berbalik dan berjalan begitu saja. Memang kenapa? Apa aku salah?
Inilah namanya kualat, aku pernah mendengar kalau berdoa harus selalu yang bagus. Inilah yang terjadi, lima menit sebelum acara selesai... lukisanku tak ada yang mau beli. Aku berdiri dengan lemas di samping kanvas milikku. Bagaimana ini? Apakah aku harus kelaparan lagi minggu depan?
Tepat dua menit sebelum acara selesai, ketua panitia, Felix, menghampiriku.
"Rose. Ada yang telepon mau beli lukisanmu," ucap pria berwajah oriental itu.
"Heh? Ha? Apa? Kok bisa?" tanyaku heran dan kaget.
"Ya, mungkin dia sudah ke sini dan lupa mau beli. Dia mau beli 2000$, kamu kan pasang harga 1500$? Jadi tawarannya diterima, kan?" tanyanya lagi.
"Iya, dong. Aku jual ke orang itu!" ucapku lega, bersyukur dan akhirnya tersenyum bahagia.
Aku akhirnya berjalan menuju Lindsay, ia sejak tadi duduk di pinggir taman. Ia duduk dengan sebuah kopi dingin di tangannya. Lindsay memakai kacamata hitam dan melepaskan jaket kulitnya. Kehadirannya sendiri di kampus ini sudah sangat mencolok. Hari ini ia memakai pakaian mahal dan mostly terbuat dari kulit, entah dari fashion house mana.
"Sudah laku lukisanku!" seruku girang kepada Lindsay. "Sepertinya aku akan bahagia sepanjang hari ini!"
"Yay! Great! Kau memang berbakat, Rose!" ucap Lindsay senang, ia berdiri dan menggandengku menuju parkiran. Kami berjalan menuju sebuah mobil hitam mengkilat dan pasti harganya mahal.
"Kita langsung ke pusat kota menuju toko yang akan menjadi venue kue dan pastry di pesta pertunanganku."
Aku menatap ragu ke arah mobil yang sekarang terlihat semakin dekat, entah mengapa aku punya feeling yang tak enak mengenai mobil ini. Semua perasaan buruk itu ternyata terbukti, pemilik dari mobil yang aku dan Lindsay naiki adalah none other than... David Robinson.
"Kenapa lama sekali?!" omelnya kepada Lindsay. Aku hanya diam, berusaha menenangkan hati dan pikiranku.
'Namaste....'
'Namaste...' seperti yang diajarkan salah satu temanku yang berprofesi sebagai instruktur yoga untuk menenangkan pikiran. All I have to do is, tutup telinga anggap aku tak mendengar apa-apa.
"Aku menunggu Rose! Ia sedang jual lukisannya! Ayo jalan... kau sekarang sudah mirip Nana... cerewet!" jawab Lindsay akhirnya membungkam omelan David.
Pria itu menyetir dengan lihai di jalanan yang sepi, kota Vegas di Sabtu sore seharusnya ramai, tapi kenapa tiba-tiba hari ini sangat sepi?
Mobil terparkir di sebuah outlet kue pengantin mewah dan besar di salah satu distrik padat kota gemerlap ini. Lindsay dan aku turun bergandengan tangan, diikuti David yang berjalan sambil menggerutu di belakang. Aku sedikit merasa tak percaya diri berada di toko ini, sebuah toko yang pelayannya berpakaian rapi dengan kesan chic dan cute. Lindsay dan David berpenampilan layaknya model, hanya aku yang mewakili penampilan mahasiswa bangkrut khas kota ini, jeans lusuh dan sebuah blouse berwarna pudar. Lindsay sangat sering berniat memberikanku pakaiannya, tapi... mereka takkan muat, kan?
"Ini adalah vanilla cake, chocolate cake, dan red velvet cake, kau bisa memilihnya untuk base, sedangkan untuk hiasan, kami akan menghiasnya sesuai dengan permintaanmu, kue bertingkat tiga dan dipenuhi dengan sugar based red rose," ucap sang manajer meletakkan tiga piring sedang berisi tiga jenis kue yang akan dijadikan dasar kue pertunangan Lindsay.
Aku dan Lindsay mengambil garpu yang disediakan dan mencoba potongan kecil cake di depan kami. Seperti sudah ditebak... semuanya terasa enak, tapi aku lebih menyukai vanilla cake karena lebih ringan dan manisnya sedang. Juga menurutku vanilla lebih berkesan romantis.
David hanya melipat tangannya di depan dada. Menunggu dengan bosan. Aku bersyukur, ia mungkin sudah tobat karena mulut beracun itu tak meledekku sejauh ini.
"I like vanilla better," ucapku mengutarakan pendapatku.
Lindsay mengangguk. "Aku juga, tapi calon tunanganku menyukai cokelat. Bagaimana ini?" tanyanya dalam dilema.
"Setahuku sejak awal kau yang memilih segalanya dan kekasihmu itu tinggal duduk manis menerima. Kau tak perlu mempertimbangkan keinginannya kalau ia tak mau bercapek-capek mengantarkanmu mengurus segalanya," ucapku sedikit berbisik.
Kalau aku boleh jujur, aku tak suka pria itu. Rick adalah mantan playboy waktu aku di high school. Aku dan Rick lulusan high school yang sama, ia adalah certified player. Seorang pelajar paling terkenal di sekolah kami karena dia adalah pemain inti tim rugby. Rick hampir sama sepertiku, ia berasal dari Texas dan keluarganya bukan golongan kaya raya, bedanya ia menggunakan semua milik orang tuanya untuk hidup hedon, dan membeli semua pakaian yang membuatnya terlihat seperti orang kaya.
"For the first time, aku baru tahu kalau kau bisa berpikir, kukira otakmu juga terlalu padat dengan lemak," celetuk David tersenyum sinis kepadaku. "Aku setuju dengan si Gendut, I don't like that man, ia terlihat licik."
Well, mulut setan itu kembali beraksi di saat baru saja aku menjalani hidup yang damai. Aku hanya melengos malas tak mau mengomentari omongannya. 'Namaste... namaste....'
"I love him, Dave! Shut it!" ucap Lindsay kesal.
"Love is indeed blind," omel David.
Aku diam, tak mau terlibat dalam perang mulut antar saudara. Sementara David berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah jendela. Mungkin menenangkan pikiran? Aku hanya membatin... 'Tak bisakah kau enyah dari muka bumi ini agar aku bisa menenangkan hidupku?'.
Lindsay akhirnya memilih kue vanilla sebagai base, lalu sekarang giliran memilih pastry yang akan dihidangkan untuk tamu. Beberapa karyawan menata meja di depan kami dan meletakkan beberapa piring berisi pastry beraneka jenis."Rose, aku butuh bantuanmu. Ayo pilihkan dua puluh yang terbaik!" pinta Lindsay kepadaku dengan wajah merengek."Dua puluh? Jadi kau mau aku mencicipi semuanya?!" balasku tak percaya."Hehe, lalu bagaimana lagi?" tanyanya ulang sambil meringis."Langsung pilih saja! Aku sudah tak sanggup makan lagi!" omelku. Memang aku tak suka kue-kuean, jadi di bagian ini aku menyerah kalah."Oh ya? Kau bisa tak sanggup makan? Menarik!" bisik David di sampingku. Aku tak menengok ataupun membalas ucapannya, wajahku menatap lurus pada sebuah croissant cokelat di depanku."Kupikir-pikir.... Kau memang terlihat kurusan, kau diet ya?" lanjut David lagi. Ak
Aku tersadar dengan bau antiseptik yang menyengat, tubuhku terasa habis dipukuli.Aku menoleh di sebelah kanan, ada David yang sedang bersandar di kursi tunggu rumah sakit dengan lengan kemejanya digulung sampai siku. Jadi aku di rumah sakit? Memang ada apa?"Kau sudah sadar?" ucap suara bariton yang paling kubenci. Aku menoleh ke arahnya dengan kedua alis terangkat. "Kau pingsan dan aku membawamu ke sini. Kau memiliki peradangan di lambung... setidaknya kau harus dirawat dulu baru bisa pulang.""Senin depan aku ada ujian di kampus!" ucapku horor, ini adalah pekan Minggu tenang ujian akhir semester. Berikutnya Adalah pekan ujian akhir semester."Be good. Jadi kau bisa ikut ujian hari Senin nanti. apa yang dikatakan dokter dan hentikan diet bodohmu itu! Kau hanya membuat tubuhmu menderita!" omelnya. Aku sedang sakit seperti ini, ia masih sempat-sempatnya memarahiku."Aku tidak die
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang wanita berusia setengah abad membawakan nampan dengan senyuman lebarnya ke dalam kamar yang kugunakan. "Selamat pagi... aku yang ditugaskan Tuan Robinson untuk memasak untukmu... aku Alice." Ia meletakkan mangkuk berisi bubur di nakas, juga obat yang harus kuminum. Aku tersenyum lebar. "Terima kasih, Alice." "Kau punya kekasih yang hebat dan baik," ucapnya lalu berjalan keluar. Wait... what? Kekasih yang baik? Maksudnya siapa? Dave?? Demi Dewa Ubur-ubur... jangan sampai itu terjadi! Aku tak rela hidupku ditindas oleh pria seperti dirinya! "Rose, kau bagaimana? Better?" Lindsay datang ke kamarku dengan pakaian trendy serba army. Ini hari libur kuliah dan ia sangat bergaya. Ini sudah memasuki pekan tenang menjelang ujian akhir. "Yes and no. Masih perih untuk menelan," jawabku tersenyum kecil. "Kau m
Aku jauh lebih sehat sekarang, dan hari ini adalah hari terakhir ujian akhir semesterku. Selama ini aku tinggal di apartemen Lindsay dan dirawat oleh Alice. Ia memberiku makanan setiap dua jam sekali dan obat-obatan. Aku jauh lebih kuat dan ringan sekarang. Aku selesai mengerjakan semua ujianku hari ini sementara Lindsay sudah selesai sejak tiga jam yang lalu, ia berjanji menungguku di parkiran. Here I am menunggu plus mencari Lindsay dan mobilnya. Aku mencoba menelepon ponselnya, namun tak diangkat. Sampai ada mobil putih berhenti di depanku. "Naik!" ucap suara pria saat jendela setengah terbuka. Aku menunduk sedikit untuk melihat siapa gerangan pria dengan suara menyebalkan itu. Dan bodohnya aku yang harus memastikan dengan mata dari indra pendengaranku... deep down aku sudah tahu kalau itu Dave. Ah, kenapa ia sudah pulang? Aku baru selesai menjawab semua e-mail penawaran iklannya dua hari yang lalu dan sejauh in
Dave menyewa satu lantai penuh hotel Ritz Carlton di Las Vegas, aula hotel ini yang akan menjadi venue acara pertunangan Lindsay dan Rick.Aku sudah membeli gaun yang pantas untuk acara esok malam. Aku sekamar dengan Lili dan di kamar sampingku adalah Rowena dan Gracia. Dave berada di kamar paling bagus dan Lindsay di sampingnya. Kami akan menginap tiga hari di hotel ini karena acara pertunangan Lindsay akan berlangsung besok malam."Aku sudah keluar uang sangat banyak untuk acaramu, so you better treat me better, Sis!" omel Dave, yang dijawab sebuah senyuman paling merekah dari Lindsay. Menurut Lindsay, Dave baru saja membayar kontan semua tagihan acaranya termasuk liburan Lindsay dan Rick pasca acara. Aku selalu membatin kenapa Rick tidak ada andil dalam acara ini? Bahkan berdasarkan keterangan Lindsay, Dave yang membayar bahkan sampai hal yang paling sepele... valet mobil."Rose... kau kelihatan lebih kurus." Lili yang sedang bersandar
"Dave! Dave, hentikan!" teriakku, aku menggandoli tangan Dave. Tangannya yang kuat menghajar Rick sampai ia berdarah-darah, tubuh Rick bergetar hebat dan ia seperti kehabisan napas. Dave masih menggila membabi-buta memukul wajah, dada, dan kepalanya. Ia tak menggubris omonganku dan masih memukuli Rick dengan nafsu."Dave, dia bisa mati!" Aku menahan tangannya lagi, dan berteriak sekencang-kencangnya. Lindsay sepertinya sangat syok dan memeluk Lili erat. Ia kalut antara takut dan sedih melihat sosok Rick yang benar-benar babak belur."Rose, Rick sudah mau mati!" teriak Lili yang membuat aku juga ikut panik. Dave tak ada tanda akan berhenti menghajar Rick."Ia tak mendengarkanku!" keluhku frustrasi."Alihkan perhatiannya!" perintah Lili kepadaku. Aku berpikir... apa yang harus kulakukan untuk mengalihkan perhatiannya? Tubuhnya terlalu tinggi untuk kuraih, aku juga kalah kuat kalau harus menarik tubuhnya."Apa?!" teriakku kesal dan putus asa."
Aku menangkis tangannya yang mau menyentuh pundakku. Enak sekali dia?! Sudah menghinaku habis-habisan, menciumku lalu memaksaku untuk jadi kekasihnya. Dikira aku bonekanya apa?!"No... Hell... Way!" Ucapku pedas. Bukannya merasa tersinggung ia malah senyum lebih hebat."Kalian keluar, aku harus berbicara dengan pacar baruku ini..." Perintah Dave kepada Lindsay dan Lili, yang herannya mereka taati tanpa perlawanan. Keduanya keluar dari kamar membuatku dan Dave berduaan saja di kamar ini."Kau terlalu menyebalkan untuk jadi kekasihku." Ucapku memulai diskusi yang semoga saja terberujung pertengkaran hebat."Aku? Menyebalkan? Ada jutaan perempuan di sana yang mengantri untuk ada di posisimu sekarang.""Mereka pasti gila. Sudahlah Dave, aku berhenti jadi asistenmu, dan karena pertunangan Lindsay dibatalkan... Aku juga akan pindah dari apartemenmu... Aku mau hidup mandiri, lagi pula aku sudah bisa lulus, aku hanya menunggu semua surat-surat dan dokumen
Aku dan Dave ada di restoran di lantai bawah hotel. Ia masih dengan keras kepala memaksaku untuk mengikutinya kemanapun ia pergi. Seperti saat ini, tengah malam dan ia kelaparan. Lindsay dan Lili memutuskan menginap dan baru pulang besok pagi, sama sepertiku dan Dave. Ya..sejak kejadian itu ia memaksaku untuk tidur di kamar yang sama dengannya. Walau aku memastikan bahwa ia tidur di sofa...dan aku di kasur. Tapi, Dave dengan kekeraskepalaanya, di pagi hari...seperti tadi pagi ia sudah berada di sampingku.Walau aku memastikan, tak ada tubuhku yang digerayanginya."Kau tak mau makan?" Tanya Dave, ia sedang memakan sebuah steak ribs yang sangat besar, double portion. Padahal dia sendiri yang bilang harus paham kalori, dan pembakaran lemak, tapi tengah malam begini ia makan makanan semacam itu.Aku menggeleng, kutopanh daguku dengan tangan, dan sejak tadi aku menguap. Dave memaksa makan di restoran yang sebenarnya sudah tutup ini, sepertinya ia membayar lebih agar