Share

Part 5

Dean memarkir mobilnya tepat di depan Aprodite Café. Ia mengambil sebuah kotak dari kursi belakang mobilnya lalu turun dari mobil. Setelah itu ia berjalan ke arah pintu masuk dengan percaya diri.

ia lega karena saat pintu terbuka, orang pertama yang ia lihat adalah orang yang ia cari. Apalagi orang itu kini sedang menatapnya dengan tatapan tak suka. Sesuai tebakannya.

“Pak Dean?” Suara Rumi membuat Dean menoleh ke arah lain.

“Selamat siang Mbak Rumi.” Sapa Dean ramah.

“Ada apa ke sini? Apa ada masalah lagi?” tanya Rumi takut.

“Ah, enggak, berkas Mbak Rumi kemarin udah saya serahkan ke pengadilan. Pak Fatur juga sudah di tangkap semalam, tinggal nunggu persidangan aja.” jelas Dean

Mata rumi langsung membulat saking kagetnya, “Beneran? Mas Fatur udah ketangkep?” tanyanya takpercaya.

Dean mengangguk, “Ya, dia sembunyi di rumah temannya selama ini.”

“Ah syukurlah, semoga dia mendekam di penjara, dasar cowok berengsek! Ups… maaf.” Ucap Rumi tak enak karena memaki di depan Dean.

Dean tersenyum maklum.

“Oh ayo duduk dulu Pak, saya buatkan minum.” tawar Rumi.

“Ah sebenarnya, saya kesini karena ada perlu dengan Mbak Kara.” sahut Dean sambil melirik sekilas ke arah Kara yang masih mengawasinya dengan tatapan sinis dari balik area barista.

Meski agak bingung, Rumi pun mengangguk lalu membawa Dean ke salah satu meja kosong, setelah itu ia buru-buru menghampiri Kara.

“Ngapain tuh Berandal kemari?” tanya Kara begitu Rumi datang padanya.

“Dia mau ketemu lo Kar.” Bisik Rumi.

Kening Kara langsung berkerut, “Ngapain?”

“Mana gue tau, udah sana temuin.”

“Dia kesini bukan mau bahas kasus lo?”

“Enggak, eh ternyata Si Buncit udah ketangkep semalem!” pekik Rumi girang.

“Yang bener lo?”

Rumi mengangguk mantap.

“Oke, biar gue pastikan dulu.” ucap Kara tegas lalu meletakkan lap mejanya dan pergi menuju meja Dean.

Dean menarik napas panjang saat Kara terlihat mulai berjalan ke arahnya, ia harus mengatur emosinya agar sakit kepalanya tak kambuh tiba-tiba. Ia pun mengulas senyum kecil saat Kara duduk di depannya.

“Siang Mbak Kara.” Sapa Dean.

Kara hanya mengangguk kecil, “Bener Fatur udah ketangkep?” tanyanya langsung penuh selidik.

“Ya, semalam, dia sudah ditahan di polsek sekarang, dan akan mulai sidang minggu depan.” Jawab Dean.

“Kalo gitu Rumi udah bisa bebas dari kasus ini kan?”

“Mbak Rumi harus bersaksi di persidangan.”

“Apa perlu? Bukannya bukti-bukti udah cukup?”

“Kesaksiannya tetap di perlukan.” sahut Dean berusaha sabar.

“Gimana kalo keluarganya Bu Singa ngelukain dia di persidangan? Apa lo bisa menjamin? Kalau pun dia harus bersaksi, dia harus dilindungi sama lembaga perlindungan saksi.”

Dean mendengus kecil, wanita ini pasti kebanyakan menonton drama investigasi.

“Saya pastikan hal itu tidak akan terjadi, kami melindungi semua saksi yang hadir di persidangan.” Ucapnya profesional.

Kara tertawa hambar, “Lo yakin? Mengingat gimana gilanya klien lo malam itu kayaknya gue gak bisa percaya gitu aja.”

Dean pun langsung teringat dengan tujuan utamanya. Ia pun meletakkan sebuah kotak karton berwarna silver di atas meja dan menggesernya ke arah Kara.

“Ibu Wilson minta maaf karena gak bisa nemuin Mbak secara langsung karena kondisi mentalnya masih terguncang atas perbuatan suaminya. Jadi dia menitipkan ini ke saya untuk Mbak.” Jelasnya.

Kara menatap penuh selidik ke arah kotak sebesar ukuran kotak sepatu itu.

“Ini sebagai ucapan maaf dari Bu Wilson karena salah mengira kemarin, dia benar-benar menyesal dan secara tulus meminta maaf.”

Kara terkekeh kecil, “Whoah… ternyata nyalinya gak segede yang gue kira.” sindir Kara.

“Saya harap Mbak Kara tidak memperpanjang masalah ini.”

“Bawa lagi, gue gak butuh.” Tolak Kara lalu menyilangkan tangannya di depan dada.

“Tolong terima niat baik Klien saya.” Ucap Dean lalu berdiri, “Kalau gitu saya pamit pergi, selamat siang.” Tambahnya lalu pergi begitu saja.

“Heh! Pak Pengacara! Langsung pergi gitu aja? bawa lagi kotaknya!” Seru Kara kencang, namun Dean tetap berlalu dan benar-benar pergi.

Rumi yang sudah penasaran dari tadi langsung menghampiri Kara, “Eh ada apaan sih? Ngapain dia?”

“Dia ternyata mau nyogok gue!” ketus Kara.

Rumi melihat kotak di atas meja lalu langsung mengambil dan membuka tutupnya. Matanya langsung melotot saat melihat tumpukan uang cash pecahan seratus ribu memenuhi kotak itu.

“Kar, uang!” pekiknya pelan.

Kara pun ikut melotot melihat tumpukan uang itu.

“Wah Bu Wilson pasti kaya, dia abis ditipu banyak sama Suaminya tapi masih bisa ngasih uang ke lo sebanyak ini.” komentar Rumi.

Kara buru-buru menutup kotak itu lalu merebutnya dari tangan Rumi.

“Gue mau balikin!” ucapnya yakin.

“Kok di balikin, udah terima aja, lagian Si Fatur juga udah jelas bersalah.”

“Lo mau dateng ke persidangan jadi saksi?”

“Gak ah, gak mau gue!” tolak Rumi cepat.

“Makanya itu, kasus gue dan Bu Singa harus jadi jaminan buat lo.”

“Tapi...”

“Udah jangan banyak protes, gue bakal balikin uangnya, enak aja main nyogok-nyogok gue, dikira gue gampangan apa!”

***

Usai menemui Kara, Dean tak langsung kembali ke kantornya. Ia mampir ke sebuah Rumah Sakit Jiwa yang berada tak jauh dari kantornya, hanya satu jam perjalanan. Tak lupa sebelumnya ia mampir ke toko kue untuk membeli donat berisi krim Blueberry untuk seseorang yang akan ia kunjungi.

Setelah memarkir mobilnya, ia pun segera masuk dan berjalan ke arah taman rumah sakit yang berada di sisi utara gedung rumah sakit ini. langkahnya begitu ringan karena ia sudah melangkah ke tempat ini sebanyak ratusan kali, ia bahkan menyapa beberapa perawat yang sudah ia kenal.

Hingga ia sampai di pintu taman yang saat ini sedang ramai karena jam makan siang sudah berakhir, maka banyak pasien yang bermain dan beristirahat di taman ini. Seperti seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon Tabebuya dengan kembang merah mudanya yang sedang bermekaran.

Dean merapikan jasnya dan sedikit menyingkap rambutnya ke atas yang sedikit turun menutupi dahi agar terlihat lebih rapi. Setelah itu ia menarik napas panjang dan berjalan santai menuju wanita tua itu.

“Bu Karin.” Sapanya pelan agar tak mengagetkan wanita tua dengan rambut hitam lembut yang terurai hingga ke bahu.

Wanita itu pun langsung tersenyum cerah begitu melihat Dean datang.

“Pak Pengacara!” serunya senang lalu langsung menggeser duduknya agar Dean bisa duduk di sampingnya.

“Kenapa gak pakai jaket, anginnya lumayan kenceng.” ucap Dean yang bersiap melepas jasnya, namun Karin buru-buru menahannya.

“Ah… gak usah, anginnya sejuk.” tolaknya riang.

Dean pun tersenyum lalu mengangguk kecil, “Sudah makan?”

Karin mengangguk, lalu melirik kantong plastik yang Dean bawa.

“Ah… ini, rasa Blueberry.” Seru Dean yang langsung mendapat tepukan senang dari Karin.

“Pelan-pelan aja.” ucap Dean karena Karin tampak terlalu bersemangat membuka kotak donat itu.

“Pak Pengacara, apa sidangnya sebentar lagi bisa dimulai?” tanya Karin lalu mengigit sepotong donat.

Dean tersenyum kecil, “Hm… ya, tapi saat ini saya masih harus mengurus dokumen-dokumennya.”

Karin tampak kecewa mendengar jawaban Dean, “Saya mau secepatnya bercerai, saya terus bermimpi buruk tiap malam.”

“Iya, tapi tolong sabar sedikit lagi ya, kalau semua sudah siap, Ibu Karin pasti bisa bercerai.”

“Hm… kasian anak saya, dia pasti terlalu lama nunggu saya, siapa yang jemput dia di sekolah.” Lirih Karin yang matanya mulai berkaca-kaca.

“Tenang aja, nanti saya akan jemput anak Bu Karin ya.” hibur Dean dengan senyum getir.

Karin langsung tersenyum lega, ia pun segera menutup kembali kotak donat yang di dalamnya masih berisi empat donat.

“Kalo gitu, pas Pak Pengacara jemput anak saya, tolong kasih donat ini buat dia ya, dia juga suka donat ini, karena dulu saya sering buatin dia donat rasa bluberry buat bekalnya ke sekolah.” Ucapnya lalu memberikan kotak donat itu kembali pada Dean.

Dean pun menerima donat itu lalu mengangguk mantap sambil tersenyum.

Lalu tak lama datang seorang perawat yang hendak menjemput Karin agar bisa kembali beristirahat di kamarnya.

“Bu Karin, sudah mulai sore, ayo balik ke kamar.” Ajak perawat itu ramah.

“Yah Suster, saya masih ngobrol sama Pak Pengacara.” Tolak Karin.

“Sudah Sore Bu Karin, nanti saya datang lagi.” ucap Dean.

Karin sedikit kecewa, namun ia menurut dan mengikuti ajakan Suster itu.

“Jangan lupa donatnya ya Pak Pengacara, bilang saya kangen saya sama anak saya.” ucap Karin sebelum pergi.

Dean hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan pelan dan senyum sendu hingga Karin berjalan masuk kembali ke dalam gedung. Setelah itu ia pun berjalan ke mobilnya untuk kembali ke kantor karena masih ada kasus lain yang sedang ia kerjakan.

Namun sebelum ia menyalakan mobilnya, ia menoleh ke arah kotak donat yang ada di bangku samping. Setelah itu ia membuka bungkusnya dan mengambil satu donat. Ia menatap donat itu cukup lama sampai akhirnya ia memakan donat itu.

“Hm, memang enak…” gumamnya lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status