Dean memarkir mobilnya tepat di depan Aprodite Café. Ia mengambil sebuah kotak dari kursi belakang mobilnya lalu turun dari mobil. Setelah itu ia berjalan ke arah pintu masuk dengan percaya diri.
ia lega karena saat pintu terbuka, orang pertama yang ia lihat adalah orang yang ia cari. Apalagi orang itu kini sedang menatapnya dengan tatapan tak suka. Sesuai tebakannya.
“Pak Dean?” Suara Rumi membuat Dean menoleh ke arah lain.
“Selamat siang Mbak Rumi.” Sapa Dean ramah.
“Ada apa ke sini? Apa ada masalah lagi?” tanya Rumi takut.
“Ah, enggak, berkas Mbak Rumi kemarin udah saya serahkan ke pengadilan. Pak Fatur juga sudah di tangkap semalam, tinggal nunggu persidangan aja.” jelas Dean
Mata rumi langsung membulat saking kagetnya, “Beneran? Mas Fatur udah ketangkep?” tanyanya takpercaya.
Dean mengangguk, “Ya, dia sembunyi di rumah temannya selama ini.”
“Ah syukurlah, semoga dia mendekam di penjara, dasar cowok berengsek! Ups… maaf.” Ucap Rumi tak enak karena memaki di depan Dean.
Dean tersenyum maklum.
“Oh ayo duduk dulu Pak, saya buatkan minum.” tawar Rumi.
“Ah sebenarnya, saya kesini karena ada perlu dengan Mbak Kara.” sahut Dean sambil melirik sekilas ke arah Kara yang masih mengawasinya dengan tatapan sinis dari balik area barista.
Meski agak bingung, Rumi pun mengangguk lalu membawa Dean ke salah satu meja kosong, setelah itu ia buru-buru menghampiri Kara.
“Ngapain tuh Berandal kemari?” tanya Kara begitu Rumi datang padanya.
“Dia mau ketemu lo Kar.” Bisik Rumi.
Kening Kara langsung berkerut, “Ngapain?”
“Mana gue tau, udah sana temuin.”
“Dia kesini bukan mau bahas kasus lo?”
“Enggak, eh ternyata Si Buncit udah ketangkep semalem!” pekik Rumi girang.
“Yang bener lo?”
Rumi mengangguk mantap.
“Oke, biar gue pastikan dulu.” ucap Kara tegas lalu meletakkan lap mejanya dan pergi menuju meja Dean.
Dean menarik napas panjang saat Kara terlihat mulai berjalan ke arahnya, ia harus mengatur emosinya agar sakit kepalanya tak kambuh tiba-tiba. Ia pun mengulas senyum kecil saat Kara duduk di depannya.
“Siang Mbak Kara.” Sapa Dean.
Kara hanya mengangguk kecil, “Bener Fatur udah ketangkep?” tanyanya langsung penuh selidik.
“Ya, semalam, dia sudah ditahan di polsek sekarang, dan akan mulai sidang minggu depan.” Jawab Dean.
“Kalo gitu Rumi udah bisa bebas dari kasus ini kan?”
“Mbak Rumi harus bersaksi di persidangan.”
“Apa perlu? Bukannya bukti-bukti udah cukup?”
“Kesaksiannya tetap di perlukan.” sahut Dean berusaha sabar.
“Gimana kalo keluarganya Bu Singa ngelukain dia di persidangan? Apa lo bisa menjamin? Kalau pun dia harus bersaksi, dia harus dilindungi sama lembaga perlindungan saksi.”
Dean mendengus kecil, wanita ini pasti kebanyakan menonton drama investigasi.
“Saya pastikan hal itu tidak akan terjadi, kami melindungi semua saksi yang hadir di persidangan.” Ucapnya profesional.
Kara tertawa hambar, “Lo yakin? Mengingat gimana gilanya klien lo malam itu kayaknya gue gak bisa percaya gitu aja.”
Dean pun langsung teringat dengan tujuan utamanya. Ia pun meletakkan sebuah kotak karton berwarna silver di atas meja dan menggesernya ke arah Kara.
“Ibu Wilson minta maaf karena gak bisa nemuin Mbak secara langsung karena kondisi mentalnya masih terguncang atas perbuatan suaminya. Jadi dia menitipkan ini ke saya untuk Mbak.” Jelasnya.
Kara menatap penuh selidik ke arah kotak sebesar ukuran kotak sepatu itu.
“Ini sebagai ucapan maaf dari Bu Wilson karena salah mengira kemarin, dia benar-benar menyesal dan secara tulus meminta maaf.”
Kara terkekeh kecil, “Whoah… ternyata nyalinya gak segede yang gue kira.” sindir Kara.
“Saya harap Mbak Kara tidak memperpanjang masalah ini.”
“Bawa lagi, gue gak butuh.” Tolak Kara lalu menyilangkan tangannya di depan dada.
“Tolong terima niat baik Klien saya.” Ucap Dean lalu berdiri, “Kalau gitu saya pamit pergi, selamat siang.” Tambahnya lalu pergi begitu saja.
“Heh! Pak Pengacara! Langsung pergi gitu aja? bawa lagi kotaknya!” Seru Kara kencang, namun Dean tetap berlalu dan benar-benar pergi.
Rumi yang sudah penasaran dari tadi langsung menghampiri Kara, “Eh ada apaan sih? Ngapain dia?”
“Dia ternyata mau nyogok gue!” ketus Kara.
Rumi melihat kotak di atas meja lalu langsung mengambil dan membuka tutupnya. Matanya langsung melotot saat melihat tumpukan uang cash pecahan seratus ribu memenuhi kotak itu.
“Kar, uang!” pekiknya pelan.
Kara pun ikut melotot melihat tumpukan uang itu.
“Wah Bu Wilson pasti kaya, dia abis ditipu banyak sama Suaminya tapi masih bisa ngasih uang ke lo sebanyak ini.” komentar Rumi.
Kara buru-buru menutup kotak itu lalu merebutnya dari tangan Rumi.
“Gue mau balikin!” ucapnya yakin.
“Kok di balikin, udah terima aja, lagian Si Fatur juga udah jelas bersalah.”
“Lo mau dateng ke persidangan jadi saksi?”
“Gak ah, gak mau gue!” tolak Rumi cepat.
“Makanya itu, kasus gue dan Bu Singa harus jadi jaminan buat lo.”
“Tapi...”
“Udah jangan banyak protes, gue bakal balikin uangnya, enak aja main nyogok-nyogok gue, dikira gue gampangan apa!”
***
Usai menemui Kara, Dean tak langsung kembali ke kantornya. Ia mampir ke sebuah Rumah Sakit Jiwa yang berada tak jauh dari kantornya, hanya satu jam perjalanan. Tak lupa sebelumnya ia mampir ke toko kue untuk membeli donat berisi krim Blueberry untuk seseorang yang akan ia kunjungi.
Setelah memarkir mobilnya, ia pun segera masuk dan berjalan ke arah taman rumah sakit yang berada di sisi utara gedung rumah sakit ini. langkahnya begitu ringan karena ia sudah melangkah ke tempat ini sebanyak ratusan kali, ia bahkan menyapa beberapa perawat yang sudah ia kenal.
Hingga ia sampai di pintu taman yang saat ini sedang ramai karena jam makan siang sudah berakhir, maka banyak pasien yang bermain dan beristirahat di taman ini. Seperti seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon Tabebuya dengan kembang merah mudanya yang sedang bermekaran.
Dean merapikan jasnya dan sedikit menyingkap rambutnya ke atas yang sedikit turun menutupi dahi agar terlihat lebih rapi. Setelah itu ia menarik napas panjang dan berjalan santai menuju wanita tua itu.
“Bu Karin.” Sapanya pelan agar tak mengagetkan wanita tua dengan rambut hitam lembut yang terurai hingga ke bahu.
Wanita itu pun langsung tersenyum cerah begitu melihat Dean datang.
“Pak Pengacara!” serunya senang lalu langsung menggeser duduknya agar Dean bisa duduk di sampingnya.
“Kenapa gak pakai jaket, anginnya lumayan kenceng.” ucap Dean yang bersiap melepas jasnya, namun Karin buru-buru menahannya.
“Ah… gak usah, anginnya sejuk.” tolaknya riang.
Dean pun tersenyum lalu mengangguk kecil, “Sudah makan?”
Karin mengangguk, lalu melirik kantong plastik yang Dean bawa.
“Ah… ini, rasa Blueberry.” Seru Dean yang langsung mendapat tepukan senang dari Karin.
“Pelan-pelan aja.” ucap Dean karena Karin tampak terlalu bersemangat membuka kotak donat itu.
“Pak Pengacara, apa sidangnya sebentar lagi bisa dimulai?” tanya Karin lalu mengigit sepotong donat.
Dean tersenyum kecil, “Hm… ya, tapi saat ini saya masih harus mengurus dokumen-dokumennya.”
Karin tampak kecewa mendengar jawaban Dean, “Saya mau secepatnya bercerai, saya terus bermimpi buruk tiap malam.”
“Iya, tapi tolong sabar sedikit lagi ya, kalau semua sudah siap, Ibu Karin pasti bisa bercerai.”
“Hm… kasian anak saya, dia pasti terlalu lama nunggu saya, siapa yang jemput dia di sekolah.” Lirih Karin yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Tenang aja, nanti saya akan jemput anak Bu Karin ya.” hibur Dean dengan senyum getir.
Karin langsung tersenyum lega, ia pun segera menutup kembali kotak donat yang di dalamnya masih berisi empat donat.
“Kalo gitu, pas Pak Pengacara jemput anak saya, tolong kasih donat ini buat dia ya, dia juga suka donat ini, karena dulu saya sering buatin dia donat rasa bluberry buat bekalnya ke sekolah.” Ucapnya lalu memberikan kotak donat itu kembali pada Dean.
Dean pun menerima donat itu lalu mengangguk mantap sambil tersenyum.
Lalu tak lama datang seorang perawat yang hendak menjemput Karin agar bisa kembali beristirahat di kamarnya.
“Bu Karin, sudah mulai sore, ayo balik ke kamar.” Ajak perawat itu ramah.
“Yah Suster, saya masih ngobrol sama Pak Pengacara.” Tolak Karin.
“Sudah Sore Bu Karin, nanti saya datang lagi.” ucap Dean.
Karin sedikit kecewa, namun ia menurut dan mengikuti ajakan Suster itu.
“Jangan lupa donatnya ya Pak Pengacara, bilang saya kangen saya sama anak saya.” ucap Karin sebelum pergi.
Dean hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan pelan dan senyum sendu hingga Karin berjalan masuk kembali ke dalam gedung. Setelah itu ia pun berjalan ke mobilnya untuk kembali ke kantor karena masih ada kasus lain yang sedang ia kerjakan.
Namun sebelum ia menyalakan mobilnya, ia menoleh ke arah kotak donat yang ada di bangku samping. Setelah itu ia membuka bungkusnya dan mengambil satu donat. Ia menatap donat itu cukup lama sampai akhirnya ia memakan donat itu.
“Hm, memang enak…” gumamnya lirih.
Kara mematikan komputernya setelah merampungkan naskah untuk episode minggu depan. Setelah itu ia bergegas mandi karena hari ini ia akan pergi ke kantor Pengacara bernama Dean itu untuk mengembalikan uang sogokan yang diberikan Ibu Wilson. Sesuai pendiriannya, ia tak akan bergeming dengan semua tawaran Ibu Wilson sampai Rumi bisa dibebaskan dari kasus ini. Setelah tiga puluh menit bersiap, Kara pun keluar dari kamarnya lalu langsung menuju pintu keluar. Namun langkahnya terhenti sejenak karena ada telepon yang masuk. Ia melihat kata Ayah di layar ponselnya, maka ia pun langsung buru-buru mengangkatnya. “Ya Yah, kenapa?” “Kar, kamu lagi sibuk?” “Mau keluar sih, tapi gak apa-apa, kenapa Yah?” “Oh kamu mau pergi, yaudah nanti aja Ayah telepon lagi.” “Eh gak apa-apa Yah, ngomong aja.” “Sudah nanti aja, Ayah tutup teleponnya ya.” Sedetik kemudian sambungan telepon pun terputus, mes
Kara menghabiskan segelas air putih dingin dengan banyak es batu dalam waktu singkat untuk mendinginkan suhu tubuhnya yang terasa panas. Rumi yang melihat wajah suntuk Kara hanya bisa menunggu sampai Kara menceritakan kejadian apa yang baru saja ia alami sampai wajahnya semerah udang rebus. Pulang dari kantor Dean, Kara memang langsung pergi ke Aprodite Café. “Gila! Dasar orang gila, stress, psyco, preman!” rutuk Kara sambil menggenggam gelasnya dengan kuat. “Ada apalagi sih Kar? Lo abis berantem sama preman mana lagi?” tanya Rumi tak habis pikir. “Pengacara Berandalan itu lah, siapa lagi!” sahut Kara ketus. “Pak Dean? Lo beneran jadi balikin uang yang kemaren?” “Iya lah, ogah gue nerimanya!” Rumi mendesah berat, “Pasti lo ribut di sana kan?” “Gue dateng baik-baik ya, eh tau-tau dia bentak gue, ngancam mau masukin gue ke penjara lagi!” “Udah deh Kar lupain aja, biarin deh gue jadi saksi di persidangan, dari pada
Dean berjalan memasuki sebuah rumah mewah bergaya khas eropa lalu menuju ruang keluarga yang berada di bagian tengah rumah . Ia bisa melihat Kakeknya yang sedang duduk di kursi roda dan di sekelilingnya ada anak-anak dan menantunya.Dean pun segera bergabung dan memilih duduk di kursi yang jauh dengan Kakeknya. Lesmana Balin, Kakek Dean yang kini berusia hampir 70 tahun tersenyum lebar saat melihat lima Cicitnya yang berlarian di dalam ruangan luas itu sambil bercanda. Kakek tua itu memang sudah tak mampu berjalan sejak ia terserang stroke lima tahun lalu. Namun semangatnya masih kuat, ia bahkan masih berkontribusi pada semua Firma Hukum yang ia miliki. Alpha Law Firm hanyalah salah satu dari empat Firma Hukum yang ia punya, tiga Firma Hukum lainnya terdapat di Surabaya, Bali, dan Malaysia. "Jangan kencang-kencang larinya." titahnya pada seorang cicitnya yang baru berusia lima tahun. Lesmana memiliki empat orang anak, dan semuanya laki-laki, Ayah Dean ad
Dean membasuh wajahnya dengan air wastafel yang dingin berkali-kali untuk menyegarkan wajahnya. Ia tak bisa tidur dengan nyenyak semalam karena perkataan Kakeknya yang terus terngiang-ngiang di kepalanya. Mengapa Kakeknya menyuruhnya menikah tiba-tiba seperti ini.Apa Kakeknya pikir ia tak cukup dewasa sampai ia harus menikah terlebih dahulu? Apa kedewasaan bisa diukur jika orang itu sudah menikah? Hal ini justru semakin membuatnya malas berada di dalam keluarga ini, namun lagi-lagi ia teringat oleh Ibunya. Haruskah ia mengikuti perintah Kakeknya? Lagi pula bukankah Kakeknya akan memberikan salah satu Firma Hukum miliknya kepadanya? Dean menatap wajahnya yang basah lewat cermin yang ada di depannya. Pikirannya malah semakin kalut. Lebih baik ia segera mandi dan pergi bekerja, karena hari ini ia ada janji dengan Ibu Wilson yang akan datang ke kantornya. Sementara itu di waktu yang sama, Kara sedang memasukkan baju-baju Ayahnya ke dalam
Dean menarik selimutnya sampai setinggi leher. Lalu memandang langit-langit kamarnya yang gelap sambil mengatur ritme napasnya. Sudah beberapa hari ini ia tak bisa tidur nyenyak. Ia pun mencoba mengosongkan pikirannya agar bisa cepat terlelap. Namun bunyi dering telepon tiba-tiba memecah keheningan di kamarnya. Ia melihat kontak Hendra di layar ponselnya, apalagi yang akan dikatakan Pamannya kali ini? “Ya Om.” Sapa Dean. “Kamu hari ini kemana aja? kenapa gak ke kantor?” tanya Hendra langsung. “Meeting di luar sama klien.” “Selama itu? Berapa klien yang kamu temui? Bukanya Om udah bilang untuk mengurangi kasus yang kamu pegang.” “Om, bisa kita bicara besok aja? Saya lelah.” Ucap Dean dengan dengan suara lirih. “Eh tunggu-tunggu jangan di tutup dulu!” cegah Hendra cepat. “Apa lagi?” “Besok kamu pergi ke tempat yang Om suruh ya, ketemu sama kenalannya temen Om.”
Dean membuka kancing kemejanya yang paling atas agar bisa bernapas leluasa sambil membalas tatapan Kara yang kini sedang menatapnya dengan tatapan yang sengit. “Kayaknya gue memang salah orang, orang yang gue temuin VANYA, bukan siapa tadi nama lo?” ketus Dean malas. Kara mendengus kasar, “Kalo gitu sejak kapan nama lo berubah jadi KAIVAN? Bukanya lama lo Preman atau sejenisnya?” ketus Kara balik. Ia lalu memperhatikan Dean dari ujung kaki sampai ujung kepala, Pria mana yang mengenakan pakaian serba hitam di acara kencan pertama, apa ia habis pulang melayat? Jelas sekali Pria ini tak ada niat berkencan sama sekali. Dean mengancing jasnya kembali, “Kayaknya kita salah paham, jadi lebih baik gue pergi sekarang.” ucapnya lalu bangkit. “Ya, sana pergi, gue juga salah orang.” sahut Kara jutek sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. Dean pun langsung keluar dari Café untuk mengambil mobilnya yang terparkir. Sementara Kara langsung menghela napas k
Dean menghentikan mobilnya begitu sampai di depan Aprodite café, ia sengaja tak turun, hanya membuka kaca mobilnya saja karena Kara dan Rumi memang sudah berdiri di depan pintu café. “Ayo masuk, gue anterin pulang.” ajak Dean. Kara langsung menoleh ke arah Rumi, untuk memastikan Rumi juga mendengar hal yang sama dengannya. “Dia mau nganterin gue Rum?” bisik Kara. Rumi mengangguk cepat, dengan wajah sama bingungnya dengan Kara. “Tenang aja, gue gak akan nurunin lo di tengah jalan lagi.” tambah Dean. “Udah sana cepet, ikut aja.” bisik Rumi sambil mendorong Kara agar menerima ajakan Dean. Meski ragu namun akhirnya Kara masuk juga ke mobil Dean, lagi pula ia harus mengambil tasnya. Dan setelah Kara masuk ke mobilnya, Dean pun segera memacu kembali mobilnya. Kara curi-curi pandang ke arah Dean yang masih fokus menyetir, namun meski pandangannya lurus ke depan, entah mengapa Kara merasa pandangan Dean terlihat kosong.
Bau harum semur Ayam berkumpul di dapur rumah Kara. Gilang yang masih mengenakan kolor pendek terlihat sedang menyendok sedikit kuah Semur yang sudah mendidih sejak 10 menit lalu. “Hm… kurang kecapnya dikit lagi.” gumamnya lalu menuang kecap sebanyak dua sendok makan. Setelah itu ia berjoget kecil sambil menunggu Semur Ayamnya matang sempurna. Ia mengencangkan volume musik yang ia dengarkan melalui ear phone dan mulai bergoyang asal sambil pura-pura lipsing dengan centong semurnya yang ia anggap sebagai mic. Kara yang terbangun dengan aroma enak semur pun langsung masuk ke dapur dan mendapati Adiknya sedang berjoget tak jelas di depan kompor. “Gilang!” panggil Kara, namun Gilang tak mendengarnya dan masih asik berjoget. Kara pun mengambil daun bawang yang ada di atas meja dan menggunakannya untuk menyambit Gilang. “Anjir kaget gue!” seru Gilang sambil melepas earphone-nya. “Ya lo ngapain pagi-pagi kesurupan di dapur?”