Share

Part 6

Kara mematikan komputernya setelah merampungkan naskah untuk episode minggu depan. Setelah itu ia bergegas mandi karena hari ini ia akan pergi ke kantor Pengacara bernama Dean itu untuk mengembalikan uang sogokan yang diberikan Ibu Wilson.

Sesuai pendiriannya, ia tak akan bergeming dengan semua tawaran Ibu Wilson sampai Rumi bisa dibebaskan dari kasus ini.

Setelah tiga puluh menit bersiap, Kara pun keluar dari kamarnya lalu langsung menuju pintu keluar. Namun langkahnya terhenti sejenak karena ada telepon yang masuk.

Ia melihat kata Ayah di layar ponselnya, maka ia pun langsung buru-buru mengangkatnya.

“Ya Yah, kenapa?”

“Kar, kamu lagi sibuk?”

“Mau keluar sih, tapi gak apa-apa, kenapa Yah?”

“Oh kamu mau pergi, yaudah nanti aja Ayah telepon lagi.”

“Eh gak apa-apa Yah, ngomong aja.”

“Sudah nanti aja, Ayah tutup teleponnya ya.”

Sedetik kemudian sambungan telepon pun terputus, meski bingung namun Kara langsung meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ayahnya memang sering iseng meneleponnya tanpa alasan, mungkin ini salah satu keisengannya. Maka Kara akan membiarkannya saja, lagi pula Ayahnya mengatakan jika akan menghubunginya kembali nanti.

Kara pun segera bergegas keluar dari rumahnya, tak lupa kotak berisi uang cash ia jinjing di dalam paper bag.

Sementara itu di Gedung lantai 8 Alpha Law Firm, Dean terlibat pembicaraan serius dengan Direktur Firma Hukum ini. Yaitu Mahendra Balin, tepatnya Paman Dean sendiri. Hendra adalah adik dari Ayah Dean yang sudah meninggal 15 tahun yang lalu.

“Kamu menangani berapa kasus sekarang?” tanya Hendra dari atas bangkunya yang empuk.

“Tiga kasus, satu sudah hampir berakhir, dua masih baru mulai sidang.” Jawab Dean yang duduk di depannya.

“Serahin dua kasus yang baru mau sidang ke Junior kamu, kamu urus kasus yang sudah mau selesai aja.” ucap Pamannya yang membuat Dean sedikit terkejut.

“Kenapa?” tanya Dean heran.

“Fokus aja berobat dulu, jangan berusaha terlalu keras.”

“Tapi―”

“Kamu mau bener-bener dikeluarin dari keluarga?” tanya Hendra sambil mengelus perut buncitnya.

“Tapi Om…”

“Kalo Kakek kamu tau kamu masih suka bikin ulah lagi, dia akan beneran anggap kamu gila.”

Dean menggertakkan giginya sambil mencengkram pulpen yang sedang dia pegang.

Hendra mendesah pelan sambil geleng-geleng kepala lalu mengambil koran di atas mejanya dan menggulungnya asal lalu ia gunakan untuk menyambit kepala Dean.

“Dasar Bocah! Gitu aja marah!” kekehnya tak habis pikir.

Dean langsung meringis sambil mengusap kepalanya, Pamannya yang satu ini memang suka sekali meledeknya.

“Kemarin kamu abis berantem lagi di persidangan kan? Mana ada Pengacara yang sampe mukulin tersangka, kamu tau berapa uang damai yang keluarin biar kamu gak di tuntut balik?” tanyanya sambil bersiap memukul kepala Dean lagi, namun kali ini Dean bisa menghindar.

“Masalahnya dia terus kasih kesaksian palsu di persidangan, Om tau berapa banyak wanita yang dia perkosa? Dipenjara seumur hidup bahkan gak cukup buat dia!” Dean mencoba membela diri.

“Ah udah-udah ah, bisa-bisa Om ketularan kamu, Om gak mau ngabisin masa tua ketemu psikiater.”

Dean mendengus malas, tak bisa ia pungkiri jika ia memang masih sulit mengontrol emosinya yang mudah sekali terpancing.

“Mulai sekarang kamu fokus di kasus perceraian aja, jangan ambil kasus lain, paham?”

Dean tak menjawab, ia hanya melihat ke arah lain dengan tatapan kesal.

“Dasar Bocah berengs… ah… tuh kan, kamu ini emang penuh aura jelek, harusnya kamu itu pergi ke dukun, bukan ke Psikiater.” Ledek Hendra lagi.

“Oke oke! Hanya kasus perceraian, Om puas?” Dean akhirnya mengalah, toh ia memang punya banyak jam terbang dalam memenangkan kasus perceraian, walau ia sendiri sebenarnya lebih menyukai kasus-kasus kriminal yang berat.

“Bagus, setidaknya kamu bisa sedikit tenang, kamu harus jaga sikap, jangan sampai Kakek kamu tau kalau kamu masih menjalani pengobatan, sudah cukup dengan Ibu kamu.” Jelas Hendra yang memang mengkhawatirkan posisi Dean di dalam keluarga Balin.

Dean hanya bisa mengangguk pelan, ia paham betul maksud dari perkataan Pamannya.

“Akhir pekan ini datang ke rumah Kakek, semua keluarga wajib datang, entah ada apa, tapi kayaknya ada yang mau dia sampaikan.”

Dean tak menjawab, ia malah bangun dari duduknya lalu pamit keluar. Dan dengan langkah gontai ia kembali ke ruangannya, duduk di sofa panjang yang ada di tengah-tengah ruangan lalu menyandarkan punggungnya.

Jika ia datang ke rumah Kakeknya, itu berarti ia harus siap menghadapi sikap dingin Kakeknya, belum lagi Kakeknya yang selalu menatapnya dengan tatapan acuh. Entah, ia pun tak yakin jika Kakeknya masih menganggapnya sebagai Cucu. Itu semua tentu ada alasannya, Kakeknya sebenarnya menentang pernikahan kedua orang tuanya karena Ibunya bukan berasal dari keluarga yang terpandang, saat itu Ibunya adalah seorang Aktris Teater yang baru meniti karirnya.  

Namun naas, 15 tahun yang lalu, kedua orang tuanya terlibat kecelakaan mobil hingga Ayahnya meregang nyawa di tempat, sementara Ibunya mengalami luka serius hingga kehilangan setengah ingatannya. Ya, Karin, wanita paruh baya yang Dean temui kemarin di rumah sakit jiwa adalah Ibu kandungnya.

Dean mengendurkan dasinya lalu membuka kancing paling atas kemejanya, ia lalu bangkit untuk mengambil obatnya yang ada di laci kemudian meminumnya dengan dibarengi segelas air. Setelah itu ia mengatur napasnya perlahan sambil menghitung satu sampai lima di dalam hati.

Karena masalah inilah Dean mengalami hari-hari yang buruk hingga akhirnya ia didiagnosis menderita BPD (Borderline Personality Disorder) dimana seseorang dengan kondisi mental dan suasana hati yang gampang berubah-ubah dan kadang bisa memicu perilaku impulsif.

Sudah lima tahun ini Dean rutin pergi ke Psikiater untuk mengobati penyakitnya, dan sudah menunjukan tanda-tanda kemajuan sejak dua tahun terakhir karena ia rutin meminum obat dan menjaga emosinya agar tetap stabil. Meski kadang serangan panik itu masih suka datang saat ia beradu argumen di pengadilan dengan pihak lawan kliennya

Hanya ia dan Herman, yang mengetahui masalah sebenarnya. Itulah yang membuat ia dekat dengan Pamannya yang sudah ia anggap sebagai Ayahnya sendiri.

Dean kembali mengatur napasnya yang sudah tampak lebih stabil dari sebelumnya. sampai sebuah telepon masuk lewat interkom yang ada di atas mejanya.

“Ya, kenapa?” tanya Dean sedikit lemas pada resepsionis yang menghubunginya.

“Ada tamu Pak, Ibu Rumi.”

“Oh, iya, suruh ke ruangan saya.” Sahut Dean lalu menutup teleponnya.

Dean pun memasukkan kembali botol obatnya ke dalam laci lalu megancing kembali kerah kemejanya dan membetulkan letak dasinya.

Tak lama terdengar suara ketukan pintu dan sedetik kemudian munculah kepala Kara dari balik pintu sambil tersenyum penuh kemenangan.

“Lo? Bukanya…” suara Dean tertahan begitu memahami situasinya. Jelas saja wanita Singa ini berbohong pada reseptionis agar bisa bertemu dengannya.

“Kenapa? Kaget banget, kecewa ya bukan Rumi yang dateng?” ejek Kara yang main melenggang begitu saja ke dalam ruangan Dean.

Dean mengdengus kasar, baru saja ia meminum obatnya, namun sumber kemarahan barunya malah muncul.

“Ngapain lagi lo kesini?” tanya Dean langsung.

Kara sedikit terkejut karena Dean tak menggunakan bahasa formal lagi padanya. Sepertinya pria ini benar-benar menganggap urusan mereka sudah selesai setelah memberikannya uang damai.

“Gue mau balikin ini.” sahut Kara sambil meletakkan paperbag berisi kotak uang yang Dean berikan kemarin.

Dean menghela napas panjang, kenapa wanita ini selalu memperpanjang permasalahan.

“Gue bilang itu hadiah dari Bu Wilson, tolong terima aja.” ucap Dean sabar.

“Lo pikir gue gampangan? Gue gak mau makan uang sogokan.” Ketus Kara.

“Denger, mau gimanapun Mbak Rumi harus bersaksi di pengadilan.”

“Bukanya ada hukum kalau saksi diperbolehkan menolak bersaksi?”

Dean geleng-geleng kepala sambil bertolak pinggang, “Dia bersaksi untuk membersihkan namanya sendiri, lo gak mau temen lo keseret masalah penipuan kan? Makanya dia harus memberi kesaksian di persidangan.” Jelas Dean dengan sisa kesabarannya.

Kara menggigit bibir bawahnya, tentu saja ia tau, namun ia tau jika Rumi takut berada di persidangan karena ia trauma dengan perceraian dengan suaminya dulu, itu sebabnya ia tak mau Rumi merasa sedih lagi karena harus masuk ke ruang persidangan. Ditambah lagi biar bagaimanapun Rumi pasti disalahkan oleh pihak Ibu Wilson karena ia adalah selingkuhan suaminya. Kara tidak bisa menjamin jika Rumi nanti akan dirisak dengan serangan verbal.

“Pokoknya gue tetep pada pendirian gue!” tegas Kara sambil melipat tangannya di depan dada.

Dean mengangkat kotak uang itu lalu memberikannya pada Kara, “Ambil!” perintahnya.

“Gue gak mau!” Kara memberikannya lagi pada Dean dengan kasar.

Dean pun menggertakkan giginya lalu menggebrak mejanya sendiri dengan keras.

“MAU LO APA? LO MAU GUE NYERET BU WILSON KE SINI BUAT MINTA MAAF SAMA LO? APA GUE HARUS BUAT DIA BERLUTUT DI DEPAN LO? KENAPA LO SELALU MEMPERKERUH MASALAH!” Teriak Dean tepat di depan Kara.

Kara sempat diam tak bergeming selama beberapa detik karena kaget dengan reaksi Dean yang begitu berlebihan, apakah Dean baru saja membentaknya?

“Lo bentak gue?” tanya Kara tak percaya dengan mata melotot.

“KENAPA? APA MAU LO SEKARANG?” tanya Dean balik dengan suara yang sama tingginya.

Kara membuang napas kasar, “Whoah! Ternyata selama ini gue salah, lo bukan Pengacara, tapi PREMAN!” bentak Kara tak kalah sengit.

“Terserah! Sana kalau mau tuntut! Cari pengacara yang bagus, lawan gue di persidangan!” tantang Dean.

Lagi-lagi Kara membuang napas kasar, Pengacara ini memang benar-benar membuatnya tak habis pikir. Sebenarnya bukan ini yang ia harapkan.

“KENAPA? GAK BERANI? SANA KE KANTOR POLISI, GUE AKAN PASTIIN JUSTRO LO YANG MASUK PENJARA!” bentak Dean sambil mengacungkan telunjuknya di depan wajah Kara.

Rupanya keributan di ruangan Dean terdengar sampai ke luar, sialnya Hendra yang sedang melintas di depan ruangan Dean juga ikut mendengar keributan itu.

Akhirnya dua orang staf dan Herman masuk ke dalam ruangan Dean.

“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Hendra bingung.

Kara langsung menoleh, setelah itu ia langsung menghampiri Hendra yang sepertinya orang penting di gedung ini, bisa dilihat dari pakaiannya yang sama rapinya dengan Dean.

“Pak tolong, dia bentak-bentak saya.” Adu Kaca cepat sambil menunjuk Dean.

Hendra melihat ke arah Kara dan Dean secara bergantian, sepertinya keponakannya ini kembali terlibat cekcok wanita ini.

“Pak Dean, ada apa ini?” tanya Hendra tegas.

“Dia masuk ke sini tanpa izin.” Jawab Dean.

“Masuk tanpa izin? Bohong Pak! Bapak Bos disini ya? Pak, saya ini keluarga saksi, dan dia ngancam akan nuntut saya ke pengadilan, padahal saya juga korban penyerangan dari keluarga kliennya dia.” Jelas Kara dengan emosi menggebu.

“Klien gue udah maaf dan kasih uang damai, kenapa lo masih memperpanjang masalah!” Dean kembali memelototi Kara.

“Lo pikir semuanya bisa selesai pakai uang damai? Gue rugi secara materi dan moril.” Sengit Kara tak mau kalah.

“LO BISA DI―”

“CUKUP!!” Hendra buru-buru memotong kata-kata Dean lalu menarik napas panjang. Setelah itu ia berbalik menhadap Kara.

“Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini, bagaimana kalau Mbak menunggu di ruangan saya saja.” Ucapnya dengan suara tenang.

Kara masih mengatur napasnya yang naik turun, setelah itu ia mengangguk cepat, ia juga sudah malas berlama-lama melihat wajah Dean. Dan akhirnya dengan diantar seorang staf, Kara pergi ke ruangan Hendra.

Setelah Kara pergi, Hendra langsung menutup pintu ruangan Dean dan berjalan menghampiri Keponakannya.

“Baru tadi dibilang jangan buat ulah!” semprot Hendra kesal sambil mencari koran untuk menyambit kepala Dean lagi.

“Dia duluan yang ngajak ribut!” sanggah Dean yang mundur beberapa langkah.

“Bisa-bisanya Pengacara malah ribut dengan saksi, kalau dia nuntut balik gimana? Bagaimana kalau saksi nanti mengubah kesaksian di persidangan yang memberatkan klien kamu, kamu mau kalah dan masuk penjara?” omelnya yang sudah gemas dengan emosi keponakannya yang gampang sekali meledak.

Dean tak menjawab, ia lebih memilih untuk pergi meninggalkan ruangannya saja.

Hendra hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengusap leher belakangnya, “Hhh…. Stress!” ucapnya lalu keluar dari ruangan Dean untuk menemui Kara yang menunggu di ruangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status