Share

Part 7

Kara menghabiskan segelas air putih dingin dengan banyak es batu dalam waktu singkat untuk mendinginkan suhu tubuhnya yang terasa panas.

Rumi yang melihat wajah suntuk Kara hanya bisa menunggu sampai Kara menceritakan kejadian apa yang baru saja ia alami sampai wajahnya semerah udang rebus. Pulang dari kantor Dean, Kara memang langsung pergi ke Aprodite Café.

“Gila! Dasar orang gila, stress, psyco, preman!” rutuk Kara sambil menggenggam gelasnya dengan kuat.

“Ada apalagi sih Kar? Lo abis berantem sama preman mana lagi?” tanya Rumi tak habis pikir.

“Pengacara Berandalan itu lah, siapa lagi!” sahut Kara ketus.

“Pak Dean? Lo beneran jadi balikin uang yang kemaren?”

“Iya lah, ogah gue nerimanya!”

Rumi mendesah berat, “Pasti lo ribut di sana kan?”

“Gue dateng baik-baik ya, eh tau-tau dia bentak gue, ngancam mau masukin gue ke penjara lagi!”

“Udah deh Kar lupain aja, biarin deh gue jadi saksi di persidangan, dari pada lo jadi ikut terlibat gini.”

“Enggak enggak, udah kita harus kekeuh seperti rencana awal, lo mau di salahin sama keluarganya Bu Wilson? Belum lagi kalo Si Fatur masih nyalahin lo di persidangan.”

Rumi menunduk sambil memainkan kukunya, ia memang takut dan tak siap menerima semua itu.

“Tapi kalo lo jadi ikut keseret kaya gini, gue gak tega, lo kan gak salah apa-apa Kar, biarin deh, gue ikhlas jadi saksi, tapi nanti lo temenin gue di persidangan ya.”

Kara menatap wajah sedih Rumi sesaat lalu menghabiskan minumannya.

“Gue gak akan kenapa-napa, udah lo jangan khawatir, serahin aja semuanya sama gue.” ucap Kara dengan suara yang lebih tenang.

Rumi membalas tatapan Kara yang terlihat tulus, setelah itu ia mengangguk kecil. Beruntungnya ia punya sahabat yang begitu mengerti dirinya.

“Terus gimana kelanjutannya?”

“Tadi gue sempet ngobrol sama direktur Alpha Law Firm, dia bilang nanti bakal usahain lo bisa bebas dari kasus ini, apalagi keterlibatan lo sama Fatur itu kecil.”

“Beneran?”

Kara mengangguk mantap, “Emang dasar tuh Pengacara Berandal aja yang pengen gedein kasus ini, segala semua orang mau ditarik jadi saksi, sekalian aja tukang parkir, karyawan minimarket, tukang bakso atau siapapun yang pernah ngobrol sama Fatur dijadiin saksi juga.” Oceh Kara.

Rumi terkekeh pelan, “Yaudah syukur kalau memang begitu, tapi mulai sekarang mending lo menjauh dari Pak Dean deh, biar gak makin runyam lagi.”

“Lo pikir gue seneng berurusan sama tuh Preman? Liat mukanya aja gue males.”

Rumi terkekeh lagi, “Eh telepon tuh.” Tunjuk Rumi yang menyadari ponsel Kara di atas meja bergetar.

Kara pun buru-buru mengangkatnya karena ia melihat nomor Bibinya dari Bandung.

“Halo Bi?”

“Kar, kamu bisa pulang ke Bandung sekarang?” Bibinya langsung bertanya begitu mendengar suara Kara. Tentu saja hal itu membuat Kara degdegan.

“Kenapa Bi?”

“Ayah kamu masuk rumah sakit lagi.”

Jantung Kara langsung berdebar, “Ayah kenapa Bi? Kambuh lagi?”

“Iya, tapi ini mah kata dokternya kudu dirawat.”

Pikiran Kara langsung blank, “Oke oke, Kara pulang sore ini ya, Ayah di rawat di RS mana Bi?”

“Di RSUD biasa, nanti kamu ke rumah aja dulu, minta anterin Mang Farid ke RS-nya.”

“Gak usah Bi, nanti Kara langsung ke RS aja, titip Ayah dulu sebentar sampe Kara dateng ya, mungkin malem Kara sampe.”

“Ya udah kalo begitu, hati-hati ya.”

Sambungan telepon pun terputus.

“Kenapa Si Abah?” tanya Rumi penasaran yang yang biasa memanggil Ayah kara dengan panggilan Abah.

“Kambuh lagi jantungnya.” Sahut Kara lemas.

“Dirawat?”

Kara mengangguk, “Jangan-jangan karena itu lagi tadi pagi dia telepon.”

“Sempet telepon lo tadi pagi?”

“Iya, yaudah gue balik dulu ya, mau ambil laptop sama baju.” Pamit Kara cepat.

***

Kara memindahkan file naskah dari komputernya ke dalam flashdisk lalu meletakkan flashdisk itu bersama dengan laptopnya ke dalam tas. Ia juga memasukan beberapa potong baju juga dompet dan perlengkapan make-up. Setelah itu ia langsung pergi ke stasiun dengan ojek online untuk naik kereta dengan jadwal terdekat agar bisa sampai ke Bandung dengan segera.

Untungnya ia tak menunggu lama, satu jam setelah ia sampai di stasiun ada kereta yang berangkat menuju Bandung.Di kereta ia menelepon Adiknya karena ia belum sempat mengabarinya. 

Kereta cepat yang membawa Kara ke bandung akhirnya sampai setelah tiga jam perjalanan. Untungnya rumah sakit tempat Ayahnya di rawat tak jauh dari stasiun, sehingga ia bisa langsung naik ojek pangkalan agar cepat tiba di rumah sakit.Setelah menelepon Bibinya untuk menanyakan dimana letak ruang rawat Ayahnya, Kara pun langsung mempercepat langkahnya.

Ia pun tiba di lantai rumah sakit besar itu, ia berjalan ke sebuah lorong pertama yang ia temui dan masuk ke dalam ruangan berntanda Angrek 2A.

“Ayah.” Panggil Kara begitu melihat Ayahnya sedang duduk di kasur paling pojok di ruang rawat yang memiliki 4 kasur.

“Kara?” Ekspresi Ayahnya justru sama kagetnya dengan wajah Kara.

“Ayah gimana? Masih sakit?” tanya Kara khawatir sambil mengusap punggung Ayahnya.

“Edah, kamu manggil Kara?” Ayahnya malah bertanya pada Bibi Kara tadi yang bernama Edah.

“Iya.” Sahutnya sambil meringis.

Ayah Kara pun langsung meringis, setelah itu ia berpaling menatap Anak gadisnya.

“Ayah gak apa-apa, tadi cuma sesak sedikit.” Jelas Sanjaya Ahmad, Ayah Kara.

Kara langsung meghela napas lega, beruntung Ayahnya tak dalam kondisi serius.

“Edah, ngapain kamu manggil Kara segala, dia kan sibuk, kasian jauh-jauh ke sini.” Omelnya pada Adiknya.

“Cuma sesek apa, tapi sampi pingsan kok.” Elak Edak.

“Pingsan Yah?” tanya Kara penasaran.

“Ayah cuma kecapean, kemarin abis kerja bakti di masjid.”

“Kan kara udah bilang, jangan kerja yang berat-berat ah.” Omel Kara yang sudah ratusan kali menasihati Ayahnya agar tak melakukan aktifitas fisik yang berlebihan.

“Iya iya hehehe…” kekeh Sanjaya.

Kara mendengus sebal, bagaimana bisa Ayahnya tertawa seperti ini setelah membuat ia khawatir bukan kepayang.

Namun selang beberapa detik, tiba-tiba datang seorang wanita paruh baya dengan membawa sekeranjang buah. Kara yang mengenali wanita itu langsung bangun dari duduknya dan menyapanya.

“Bu Diana.” Sapa Kara sambil tersenyum.

“Loh ada Kara?” tanyanya kaget begitu melihat Kara.

“Iya Bu, baru datang?”

Diana mengangguk lalu langsung berpindah melihat ke arah Sanjaya, “Pak Jaya gimana keadaannya?”

“Eh, oh iya udah gak apa-apa kok.” sahutnya kikuk.

“Edah ngabarin tadi katanya pingsan di kamar mandi.” Jelas Diana.

“Iya, tapi gak apa-apa kok.”

“Syukur lah, saya takutnya jatoh.”

Edah pun langsung mencolek Kara agar ikut dengannya.

“Em saya sama Kara mau beli minum ke luar dulu, kasian ini Kara baru sampe, pasti belum makan juga.” Ucapnya sambil menarik lengan Kara.

“Yaudah pesen dulu, nanti makannya di sini aja ya Kar.” Sahut Sanjaya.

“Gak ah, nanti Ayah minta.” Ledek Kara yang langsung di balas dengan wajah masam Sanjaya.

“Tinggal dulu ya Bu Diana.” Pamit Kara lalu pergi keluar bersama Bibinya menuju kantin rumah sakit yang berada di lantai 1.

Sesampainya di sana ia dan Bibinya lalu memesan teh hangat dan pisang goreng.

“Bi, Ayah beneran pingsan tadi?” Kara masih penasaran dengan konsisi Ayahnya yang  sebenarnya.

“Iya, yang tau Si Baron, pas mau pinjem pompa sepeda.” Jelas Edah yang teringat kejadian tadi siang saat anaknya berlari melapor padanya jika Sanjaya pingsan di kamar mandi.

“Terus kata Dokter tadi gimana?”

“Ya memang sesek aja sih, mungin bener juga karena kecapean kemaren, kerja baktinya seharian.”

Kara menghela napas berat, bagaimana jika di masa depan hal ini akan terulang lagi. Ia tau jika penyakit Ayahnya memang sewaktu-waktu bisa kambuh karena penyakit jantung yang di derita Ayahnya sudah lama, seingatnya sejak ia lulus SMA.

“Maaf ya Bi, Kara suka ngerepotin, makasih udah jagain Ayah.”

Yeh Si Kara, Ayah kamu kan Aanya Bibi, ya sudah sepatutnya Bibi jagain atuh.”

Kara tersenyum getir, andai saja Ayahnya mau ikut tinggal di jakarta bersamanya.

“Tapi Kar, mumpung kamu di sini, Bibi mau ngomong.”

“Ngomong aja Bi.” Ucap Kara lalu menyesap the hangatnya.

“Kamu tau kan Mang Farid suka pindah-pindah dinas, nah insyaallah bulan depan Mang Farid mau dipindahin ke Batam dan kayaknya Bibi sama Baron the mau ikut, soalnya dinasnya lama, sampe empat tahun.” Curhat Edah yang suaminya adalah seorang Marinir.

“Jauh amat Bi, ati-ati nanti Bibi gak punya temen di sana, kan gak ada yang bisa bahasa sunda.” Ledek Kara.

“Ih kamu mah becanda wae.” Seru Edah sambil menepuk lengan Kara.

“Yaudah bagus, ikut aja Bi, zaman sekarang banyak pelakor, kalo gak diikutin nanti Mang Farid buka cabang di sana gimana.” Kara lanjut meledek.

“Bisa aja nyautnya kamu mah! Eh tapi gimana itu akhirnya nanti, Jamal ama Jamila bakal nikah gak? Pada heboh itu Ibu-ibu di rumah ngomongin sinetron kamu.” Rumpi Edah yang memang tau pekerjaan Kara.

“Rahasia! Enak aja mau tau duluan.” Tolak Kara dengan wajah tengilnya.

“Ih percuma kenal ama orang dalem, tetep aja Bibi gak bisa tau jalan ceritanya duluan.” Cibir Edah.

Kara tertawa kecil, memang Bibinya ini hanya meneleponnya untuk dua alasan, pertama untuk memberi tau kabar Ayahnya, kedua menerornya untuk memberi tau kelanjutan alur sinetron ‘Menantu Beban Mertua’.

“Tapi gini loh Kar maksud Bibi cerita begini, kamu kan tau cuma Bibi saudara yang tinggal deket sama Ayah kamu, kalau Bibi pergi nanti yang jagain Ayah kamu siapa? Kamu tau kan Ayah kamu suka kambuh begitu. Coba kamu bayangin kalau suatu hari dia pingsan kaya tadi dan baru beberapa hari ketauan. Kan bahaya.”

Raut wajah Kara langsung berubah. Apa yang dikatakan Bibinya memang benar, bagaimana jika kejadian hari ini terulang lagi suatu hari nanti.

“Kar, maaf bukan Bibi mau ikut campur masalah urusan keluarga kamu. Tapi kalau Bibi boleh kasih saran, lebih baik paksa aja Ayah kamu buat tinggal sama kamu di jakarta.”

“Bi, kaya gak tau Ayah aja, mana mau dia Ikut Kara ke Jakarta.”

“Itu dia yang bikin Bibi gak tenang dan kepikiran mau pergi.”

Kara terdiam, namun ia harus memikirkan cara agar ia bisa menjaga Ayahnya.

“Kar, bukanya Bibi usil, tapi memang kamu belum ada rencana buat menikah?” tanya Edah hati-hati yang tau jika anak-anak zaman sekarang sering sensitif bila ditanya soal pernikahan.

Kara menggeleng, “Belum Bi, calon aja gak punya.” Sahut Kara.

“Kita semua kan tau kalo Ayah kamu deket sama Bu Diana, tapi tiap disuruh nikah bilangnya nanti aja kalau kamu udah nikah.”

“Emang Bu Diana masih deket sama Ayah?”

“Masih atuh, kalo Bibi liat mah emang dua-duanya sama-sama suka.” bisiknya.

Kara terdiam sesaat, ia memang tau jika ayahnya dekat dengan Diana, seorang janda yang berprofesi sebagai Bidan di desanya. Ia juga pernah meminta Ayahnya untuk menikah saja dengan Diana, lagi pula Kara juga tak keberatan, Diana sepertinya orang yang baik dan tulus. Namun Ayahnya mengatakan jka ia tak mau menikah jika Kara belum menikah dengan alasan ia tak mau mendahului anaknya.

“Mungkin aja Kar kalau Ayah kamu menikah lagi, dia jadi punya teman, yang bisa saling menjaga.”

Kara menyesap lagi tehnya yang mulai dingin.

“Kalau kamu memang belum siap menikah, coba kamu bicara lagi sama Ayah kamu, barangkali dia mau menikah lebih dulu. Gak enak juga kan diliat tetangga, Ayah kamu sering ngobrol sama Bu Diana, yah walau ngobrolnya juga di tempat ramai dan banyak orang, tapi keduanya kan statusnya sama-sama single, bisa jadi fitnah dan omongan tetangga.” Tambah Edah lagi.

Kara mengangguk pelan, ia paham dengan maksud nasihat Edah, sepertinya ia memang harus berbicara pada Ayahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status