Share

Part 8

Dean berjalan memasuki sebuah rumah mewah bergaya khas eropa lalu menuju ruang keluarga yang berada di bagian tengah rumah . Ia bisa melihat Kakeknya yang sedang duduk di kursi roda dan di sekelilingnya ada anak-anak dan menantunya. Dean pun segera bergabung dan memilih duduk di kursi yang jauh dengan Kakeknya.

Lesmana Balin, Kakek Dean yang kini berusia hampir 70 tahun tersenyum lebar saat melihat lima Cicitnya yang berlarian di dalam ruangan luas itu sambil bercanda. Kakek tua itu memang sudah tak mampu berjalan sejak ia terserang stroke lima tahun lalu. Namun semangatnya masih kuat, ia bahkan masih berkontribusi pada semua Firma Hukum yang ia miliki. Alpha Law Firm hanyalah salah satu dari empat Firma Hukum yang ia punya, tiga Firma Hukum lainnya terdapat di Surabaya, Bali, dan Malaysia.

"Jangan kencang-kencang larinya." titahnya pada seorang cicitnya yang baru berusia lima tahun.

Lesmana memiliki empat orang anak, dan semuanya laki-laki, Ayah Dean adalah anak pertamanya, lalu anak kedua adalah Alfian Balin yang merupakan direktur Di Alpha Law Firm yang berada di Surabaya, lalu anak ketiganya adalah Devano Balin, yang bertanggung jawab pada Firma Hukum yang berada di Malaysia, barulah Hendra anak terakhir yang awalnya bertanggung jawab memegang divisi Bali, namun sejak kematian Ayah Dean, ia di pindahkan ke Jakarta. Namun ia tetap bertanggung jawab pada divisi Bali.

Saat makanan sudah siap, seluruh keluarga itu pun pindah ke ruang makan untuk makan siang bersama. Tak terkecuali Dean, ia ikut makan sambil sesekali bercanda dengan para keponakannya yang masih kecil.

Meski Dean tak ikut mengobrol, namun mata Kakeknya sesekali melirik waspada ke arahnya tanpa sepengetahuannya. Kakek tua itu memang sudah ingin berbicara dengan Dean secepatnya. Dan setelah makan-makan selesai, seluruh anak-anaknya pun pamit pulang.

"Dean, teteap di sini, ikut Kakek!" perintahnya lalu mendorong kursi rodanya sendiri dengan tangan menuju halaman belakang rumahnya.

Sesampainya di halaman belakang yang merupakan sebuah taman yang didesign cantik dengan ditanami banyak bunga dan adanya kolam ikan koi berbagai corak, Dean duduk di bangku kayu panjang, tepat di depan Kakeknya.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Lesmana heran karena Hendra ikut duduk di samping Dean.

“Ah… cuacanya cerah.” sahutnya tak nyambung sambil menghirup napas kencang.

Kening Lesmana langsung mengernyit, ia sudah paham pasti ia disini untuk mendampingi Dean. Hendra memang selalu menjadi penengah diantara hubungan dinginnya dengan Dean.

“Terserah lah.” ucap Lesmana pasrah sambil membuka kacamata minusnya.

Hendra pun tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya pada Dean. Ia tak akan membiarkan Dean berbicara empat mata saja dengan Ayahnya. Jika tidak diawasi, bisa saja Dean berulah dan membuat Kakeknya semakin kesal padanya. Padahal ia sungguh ingin Dean mendapat perhatian dari Ayahnya sama seperti Ayahnya memberi perhatian pada anak kandungnya.

“Kakek dengar kamu berulah lagi di persidangan.” ucap Lesmana membuka obrolan.

Dean mendesah pelan, kaliamat awal yang Kakeknya ucapkan saja sudah tak enak di dengar telinganya, bagaimana ia bisa berdamai dengan Kakeknya.

“Ah… itu bukan apa-apa, ada kesalahpahaman kecil di pengadilan, tapi itu semua udah selesai, gak ada yang perlu di khawatirkan.” Jelas Hendra cepat.

“Ayah nanya Dean, bukan kamu!” ucapnya tegas.

Lesmana kembali melihat ke arah Dean yang masih terdiam, “Kamu masih pergi ke psikiater?” tanyanya lagi.

“Sekarang dia sudah jarang pergi ke sana, karena memang kondisinya udah jauh lebih baik.” Sahut Hendra lagi tanpa diminta.

Lesmana langsung menatap tajam ke arah Hendra agar Hendra menutup mulutnya.

“Gimana kabar Ibu kamu?” tanya Lesmana, kali ini terdengar lebih dingin dari dua pertanyaan sebelumnya.

“Baik.” Sahut Dean singkat tanpa menatap Kakeknya.

Lesmana menghela napas berat, Anak ini memang tak pernah menunjukan rasa hormat padanya.

“Jangan khawatir, saya dan Ibu saya gak Gila.” Sahut Dean dingin yang membuat Lesmana dan Hendra terkejut.

Karin memang mengalami syok luar biasa akibat kecelakaan 15 tahun lalu, sebelum kecelakaan itu terjadi, Ayah Dean yaitu Darren dan Karin terlibat cekcok karena Karin mengetahui jika suaminya berselingkuh dengan wanita lain, padahal ia begitu tulus mencintai suaminya hingga ia meninggalkan karir keartisannya agar bisa mengabdi pada Sang Suami. Itu sebabnya kenyataan itu amat membuat Karin terpukul. Hingga saat ia siuman dari kecelakaan itu, yang tersisa di ingatannya hanya Suaminya yang berselingkuh, ia tak mengingat kejadian lain dalam hidupnya.

Karin bahkan tak mengingat wajah dan nama Dean sama sekali yang saat itu masih berusia 12 tahun, yang ia ingat ia hanya memiliki seorang anak laki-laki dari pernikahannya dengan suaminya. Hingga bertahun-tahun lamanya, ingatan itulah yang tersisa dan melekat di pikiran Karin, sampai Dean tumbuh dewasa ia masih tetap tak mengenali Dean dan menganggap jika anaknya yang masih berumur 12 tahun masih menunggunya di rumah.

“Ah, Dean ini emang suka bercanda hahaha, ya kan Dean, jangan bercanda begitu, emang siapa yang bilang kamu dan Ibu kamu Gila.” Hendra berusaha memperbaiki kata-kata Dean dengan tawa canggungnya.

“Kamu masih saja seperti ini, apa kamu pikir yang terjadi sama Ibu kamu itu salah Kakek? Kalau kamu gak suka dengan keluarga ini, silakan pergi, kenapa masih di sini?” tantang Lesmana.

Gigi Dean kembali bergemeretak, tangannya bahkan terkepal kuat hingga urat di punggung tangannya terlihat.

Andai saja Kakeknya tau jika anak laki-lakinya justru berselingkuh menghianati Ibunya, mungkin ia akan merasa malu, namun Dean menutup rahasia ini rapat-rapat karena tak ingin ada masalah lain yang menimpa Ibunya, belum tentu pula Kakeknya percaya jika ia ceritakan yang sebenarnya. Mungkin ia malah akan dituduh meusak nama baik Ayahnya sendiri.

Hendra pun segera bangun dari duduknya, “Ayah panasnya mulai terik, kita masuk aja ke dalam, biar saya yang bicara sama Dean.” ajaknya lalu bersiap mendorong kursi roda Lesmana.

“Tunggu! Ayah mau dengar jawaban anak ini!” tolaknya tegas.

Hendra pun ketar-ketir, ia benar-benar takut Dean akan meledak, apalagi wajah anak itu sudah memerah.

“Jawab Dean! Kamu masih mau bertahan di keluarga ini atau tidak?” tanyanya lagi penuh penekanan.

Dean menelan salivanya yang tertahan di tenggorokannya yang terasa kering. Ingin rasanya ia keluar dari keluarga ini, namun jika mengingat perjuangan dan pengorbanan Ibunya dulu, ditambah dengan kondisinya sekarang yang amat menyedihkan, membuatnya tak tega bila Ibunya masih harus menghadapi kenyataan bila ia juga ditendang dari keluarganya sendiri.

“Kalau kamu masih mau menyandang nama Balin, setidaknya tunjukan rasa hormat kamu!”

Hendra pun langsung menghampiri Dean, “Dean, minta maaf cepet!” bisiknya pelan.

Dean tak mengatakan apapun, ia hanya membungkuk kecil pada Kakeknya.

Lesmana membuang napasnya kasar, “Menikahlah.” Ucap lesmana tiba-tiba yang membuat Hendra dan Dean sedikit terkejut.

“Menikah?” tanya Hendra dengan wajah bingung.

“Kalo kamu masih mau berada di keluarga ini, menikahlah, kamu harus meneruskan keturunan keluarga Balin, bukan jadi orang menyedihkan yang selalu menyalahkan orang lain atas kejadian yang menimpa kamu.” tuturnya yang membuat Dean menatap ke arahnya.

“Nikahi seorang wanita baik-baik dan jelas asal usulnya, bersikap baik pada semua anggota keluarga Balin, dengan begitu kamu masih Kakek akui sebagai anggota keluarga, bahkan jika kamu benar-benar melakukannya dengan baik, Kakek akan biarkan kamu memimpin Alpha Bali.” Tambahnya tegas.

Hendra langsung melongo, ia tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Ayahnya. Ini benar-benar kesempatan emas bagi Dean untuk mendapat pengakuan Ayahnya.

Namun pikiran Dean jauh berbeda dengan Hendra, ia bahkan semakin membenci Kakeknya. Haruskah seorang Kakek menunjukan perhatiannya dengan syarat? Bukankah harusnya Kakeknya menyayanginya tanpa syarat apapun?

“Jangan datang kesini lagi sebelum kamu bisa memperbaiki sikap kamu, atau paling tidak harus bawa calon istri kamu.” Tutupnya lalu menyuruh Hendra untuk membawanya ke dalam rumah.

Dean menyugar rambutnya ke atas, kepalanya kini berdenyut kencang mendengar persyaratan konyol yang diajukan Kakeknya. Haruskah ia melakukan semua itu demi mendapat pengakuan Kakeknya?

*** 

Kara melipat selimut Ayahnya lalu menggantungnya di pinggir ranjang Ayahnya. Setelah itu ia merapikan gelas-gelas kosong dan kulit buah yang berantakan di atas meja.

“Sore ini kamu balik aja ke Jakarta, nanti kerjaan kamu terganggu.” Ucap Sanjaya yang sedang menghabiskan makan siangnya.

“Nanti aja, kalo Ayah udah pulang.” Sahut Kara.

“Ayah udah gak apa-apa, paling besok boleh pulang.”

“Ya berarti Kara pulangnya lusa atau nanti aja sekalian pas weekend.”

“Jangan lama-lama di sini, nanti kerjaan kamu terganggu.”

“Ayah kan tau aku biasa kerja di rumah.”

“Ya tetep aja, kamu bisa gak fokus, katanya kamu lebih seneng nulis di kompter dari pada di laptop.”

Kara tersenyum, Ayahnya memang benar, ia memang sangat nyaman dengan komputernya, ia jarang pergi menulis di luar seperti di café atau taman karena tentu saja ia tak bisa membawa komputernya ikut serta.

“Udah lah, lagian emang Ayah anak kecil pake ditemenin segala, Gilang noh temenin, nanti dia bolos lagi mentang-mentang gak ada kamu.”

“Tenang aja, udah Kara ancem kok, pasti dia gak akan macem-macem.”

Sanjaya tertawa kecil, “Kamu sehat kan? Kok keliatannya malah makin kurus ya?”

“Di Jakarta kurus tuh cantik.” Sahut Kara asal.

Yeuh nih anak, cantik tapi sakit teh buat apa.”

“Yah, ikut Kara aja yuk ke Jakarta.”

“Enggak ah, Ayah gak suka, panas.”

“Nanti Kara pasangin AC di kamar Ayah deh.”

“Beda atuh Neng, udara AC sama udara alami.”

“Rumah Kara jauh dari jalan raya kok, gak bakal panas atau berisik.” Paksa Kara yang terus berusaha.

“Udah ah, kamu ganggu acara makan besar Ayah.” Tolaknya sambil menggigit sepotong perkedel kentang.

“Makan besar apanya, cuma makan makanan rumah sakit hambar aja.” Gumam Kara yang langsung mendapat sentilan di dahi dari Ayahnya.

Ngagerenyem wae kaya mesin kapal macet.” ejek Sanjaya.

Kara pun mengusap dahinya sambil mengerucutkan bibirnya, setelah itu ia menarik kursi lalu duduk menghadap Ayahnya.

“Yah, kemaren Bu Diana lama di sini?”

“Gak terlalu lama, soalnya dia mau jenguk temennya juga yang dirawat di lantai atas.”

Bibir Kara membulat otomatis sambil mengangguk, “Em… Ayah emang masih deket sama Bu Diana ya?” tanyanya lagi.

Sanjaya meletakkan sendoknya lalu mengelap mulutnya dengan tisu. Sepertinya ia sudah tau arah pembicaraan putrinya.

“Lagi Kar?” tanyanya.

“Lagi apanya?” tanya Kara balik pura-pura tak tau.

“Ayah masih baik-baik aja sendiri, kamu gak perlu pusingin itu.”

“Tapi yah, Bu Diana kan orang baik, nanti nyesel tau-tau Bu Diana diambil orang.”

“Dimana-mana orang tua yang nyuruh anaknya menikah, bukan sebaliknya.” Ucap Sanjaya gregetan.

“Iya tapi kan sambil nunggu, Ayah aja duluan.” Seloroh Kara santai.

“Gak, Ayah mau liat kamu jadi Manten dulu.”

Kara menyugar rambutnya ke atas, sudah pasti Ayahnya akan meberinya jawaban seperti ini.

“Lagian emang kamu belom punya calon Kar? Kalo udah kenalin atuh ke Ayah.”

“Calon dari Hongkong!”

“Tuh kan, yaudah kamu fokus aja sama kerjaan kamu, sekaligus cari calon, gak usah mikirin Ayah.”

Kara tak menjawab, ia hanya menunduk sambil memainkan kukunya. Sanjaya tentu paham maksud putrinya, namun ia tak bisa menikah begitu saja hanya karena keadaannya yang sedang sakit. Ia memang menyukai Diana, namun ia ingin menikah karena ingin memiliki teman berbagi di masa tuanya nanti, bukan menikah agar ada seseorang yang bisa mengurusnya ketika sakit.

“Kara, Ayah masih bisa urus diri Ayah sendiri, doakan aja supaya Ayah sesat selalu, itu udah cukup.” Ucapnya bijak sambil mengusap kepala anak gadisnya.

“Apa kalau Kara menikah, Ayah juga akan menikah?”

Sanjaya mengangguk, “Bu Diana wanita yang baik, tentu Ayah mau menikahi dia, tapi kami juga punya kewajiban untuk mengurus anak-anak kami dulu, kalau kami berjodoh suatu saat pasti akan menikah.” Ucapnya lembut.

“Apa Ayah masih belum bisa lupain Ibu?” tanya Kara hati-hati.

“Seburuk apapun Ibu kamu, dia tetaplah Ibumu, dia juga tetap Istri Ayah, jadi sampai kapan pun, jangan pernah lupakan Ibumu ya.”

Kara mengangguk kecil. Andai saja Ibunya tak tergoda dengan materi yang diberikan laki-laki lain saat itu, mungkin mereka masih hidup bersama hingga saat ini.

Saat Kara berumur 10 tahun, Ibu Kara meninggalkan rumah karena pergi dengan laki-laki lain yang jauh lebih kaya dari Ayahnya yang saat itu masih berpangkat Kopral di satuan Angkatan Laut. Ia tega meninggalkan Kara dan juga Gilang yang masih berusia 3 tahun. Namun satu tahun kemudian malah datang berita duka jika Ibu Kara meninggal karena tertabrak mobil saat hendak menyeberang jalan.

Kara selalu berusaha mengubur kenangan tentang Ibunya karena ia begitu sakit hati dengan apa yang dilakukan Ibunya. Mengapa Ibunya begitu tega menelantarkan anak dan suaminya dan berakhir dengan kematian yang mengenaskan tanpa berusaha meminta maaf lebih dulu pada ia, Ayah dan juga adiknya.

Itulah yang membuat Kara selalu merasa prihatin pada Ayahnya, Ayahnya berjuang membesarkannya dan Gilang seorang diri. Ditengah kewajibannya yang sering pergi berlayar demi menafkahi keluarganya.Ia berjanji dalam hatinya jika ia akan menikah secepatnya, agar Ayahnya juga bisa merasakan sedikit kebahagiaan di sisa hari tuanya. Agar Ayahnya tak perlu merasa kesepian lagi setiap malamnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status