Tiga jam lamanya Dean memacu mobilnya hingga sampai ke Bandung Kota, kini Ia dan Kara hanya perlu waktu 30 menit untuk sampai di Lembang, tempat Ayah Kara tinggal.
“Nanti mampir dulu ke toko kue.” kata Kara yang dari tadi lebih banyak diam.
“Lo mau beli kue?” tanya Dean yang masih fokus menyetir.
“Ckckck, lo beneran gay ya?”
“Apa hubungannya kue sama gay?” tanya Dean sambil meringis heran ke arah Kara.
“Lo pasti gak pernah main ke rumah Pacar, udah jadi kebiasaan kalo cowok dateng ke rumah cewek itu harus bawa sesuatu.”
Bibir Dean membulat, “Oh… yaudah kita mampir aja dulu Mall, beli baju atau sepatu gitu buat Ayah lo.”
Kara berdecak malas sambil geleng-geleng kepala, “Kan, makin yakin gue.” gumamnya.
“Kenapa? Kenapa cuma bawa kue? Lo bilang gue harus buat Ayah lo terkesan supaya dia nerima gue. beliin aja sekalian apa yang dia suka.” tanya Dean bingung.
“Ah udah-udah, males gue jelasinnya, nanti setelah lampu m
“Silakan pesanannya Pak.” Rumi memberikan segelas ice latte pada seorang pelanggan. “Terima kasih.” sahut pelanggan itu lalu pergi ke mejanya. Andrea yang sedang berada di area kasir datang menghampiri Rumi sambil melepas apronnya. “Mbak Rumi, saya istirahat dulu ya.” Rumi melirik ke arah Andrea lalu berpindah ke arah jam dinding yang tetempel di dinding. “Iya Ndre, tinggal aja dulu.” ucapnya karena jam memang sudah menunjukan pukul 12.25 siang. Namun tiba-tiba ada seorang pelanggan datang. Rumi yang mengenali pelanggan itu langsung berlari menyambutnya, menyalip Andre yang baru akan keluar dari meja kasir. “Mas Hadi!” seru Rumi senang begitu Om Cabang Garutnya datang. Ia bahkan langsung menggandeng lengan Hadi dan membawanya ke salah satu meja yang kosong. Andre yang menyadari Bosnya mendapat tamu langsung mengurungkan niatnya untuk istirahat. Ia pun masuk kembali ke area kasir dan memakai apronnya.
Dean dan Kara berjalan lurus menuju taman yang berada di halaman belakang, dimana keluarga Balin sudah berkumpul di meja makan panjang yang dipenuhi cangkir teh dan berbagai jenis kue. Hendra yang menyadari kehadiran Dean pertama kali langsung berdiri untuk menyapa Dean yang benar-benar datang bersama Kara. “Dean, akhirnya kamu datang juga.” sapanya yang membuat semua anggota keluarga Balin melihat ke arah Kara. Orang asing yang baru pertama kali muncul di pertemuan keluarga mereka. Dean pun tersenyum canggung lalu sedikit menunduk pada para Paman dan Bibinya, juga tentu saja pada Sang Kakek yang masih saja terlihat dingin. Kara yang menyadari adanya kecanggungan diantara Dean dan keluarganya menjadi ikut canggung dan merasa serba salah, haruskah ia menyapa lebih dulu atau menunggu sampai Dean bicara? Untungnya Hendra yang sudah paham dengan situasi dingin ini langsung mencairkan suasana dengan menyapa Kara lebih dulu. “Kara, terima kasih suda
Dean benar-benar serius dengan ucapannya. Tak peduli dengan izin Kakeknya, ia mempersiapkan pernikahannya dengan Kara secepat mungkin. Ia juga meminta Hendra untuk mendatangi Ayah Kara di Bandung untuk melamar Kara secara resmi. Untungnya Paman dan Bibi Dean yang lainnya mendukung dan turut membantu pernikahan Dean. Mulai dari menyiapkan gedung, baju pengantin, dan semua tetek bengek yang harus ada di upacara pernikahan. Pernikahan mereka pun juga sudah di daftarkan di KUA yang dijadwalkan akan berlangsung 2 minggu lagi. Semua persiapan dilakukan secepat dan serapi mungkin. Kara yang mempercayakan semua pernikahan ini pada Dean hanya bisa menunggu dengan sedikit perasaan waswas. Untung saja semua keluarganya setuju dan tak ada yang menaruh curiga. Sehingga ia bisa terus mengikuti alur sandiwara ini dengan baik. Apalagi ia tak perlu repot-repot mempersiapkan pernikahan ini. Keluarga Dean benar-benar mengambil alih semuanya dari A-Z. Seperti saat ini, ia tau-ta
Ballrom utama di sebuah hotel bintang 5 terlihat indah dengan hiasan serba putih yang banyak di dominasi oleh bunga mawar putih dan Lily. Tamu undangan yang berasal dari berbagai kalangan pun satu persatu mulai datang dan memenuhi kursi yang tersedia di Ballroom mewah itu. Terlihat keluarga Dean duduk di sebuah meja bundar besar bersama dengan keluarga Kara yang sudah berada di jakarta sejak tiga hari lalu. Dua minggu sejak fitting gaun pengantin terasa sangat cepat. akhirnya tepat hari ini Dean dan Kara akan melangsungkan pernikahan. Di ruang ganti, Kara mengamati pantulan dirinya di depan cermin dengan perasaan yang campur aduk. Ia tak terlihat seperti dirinya sendiri. Ia tak menyangka jika dirinya bisa secantik ini mengenakan gaun pernikahan. Ada perasaan aneh muncul di dalam hatinya, ia memang belum ingin menikah sekarang, tapi bukan berarti ia tak ingin menikah, namun bagaimana jika ini adalah pernikahan satu-satunya dalam hidupnya?&nb
Kara masuk ke dalam kamar barunya untuk pertama kali. Semua barang-barangnya memang sudah di pindahkan ke rumah Dean sejak dua hari yang lalu, sehingga ia bisa langsung menempati kamarnya. Dean pun sepertinya juga menata barang-barangnya dengan baik sehingga terlihat rapi dan nyaman untuk di tempati. Ia pun mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih nyaman lalu duduk di meja komputernya. "Ah iya, gue harus setor naskah ke Pak Sunil dulu." Setelah mengirim naskahnya, ia pun berniat untuk menelepon Rumi, namun saat layar ponselnya tak sengaja menampilkan foto pernikahannya tadi membuatnya berhenti sejenak. Foto itu adalah foto yang Gilang kirimkan padanya yang dia ambil dengan kameranya. Ia melihat seluruh anggota keluarnya tersenyum bahagia di atas pelaminan bersama ia dan Dean. Dan lagi-lagi wajahnya memanas, ia pun mematikan layar ponselnya lalu bertelungkup di atas meja sambil menahan air matanya agar tak jatuh lagi. "Gak apa-apa K
Kara memasukan ponselnya dengan kesal ke dalam saku jaketnya begitu membaca pesan chat yang masuk dari Dean. Kenapa Pria itu tau saja jika ia sedang berada di minimarket sekarang. Sampai-sampai ia menyuruhnya membeli sabun mandi. “Baru sehari, dia udah nyuruh-nyuruh gue!” gumam Kara sambil memasukkan sabun cair ke dalam keranjang belanjanya. Setelah mendapatkan semua barang yang ia butuhkan, ia pun segera pergi ke kasir untuk membayar semuanya. Setelah itu ia keluar dari minimarket yang memang ada di lantai pertama Apartemen Dean. Ia agak kesulitan karena tak membawa tote bag, dan kebetulan stok tote bag di minimarket pun juga sedang habis. Ia pun berjalan dengan susah payah membawa semua belanjaannya menuju lift. Namun langkahnya tertahan karena ada tiga Ibu-ibu yang menghalangi jalannya. “Kaya Istrinya Pak Dean.” selidik Bu Bambang, Ibu RT Winter Garden Apartement yang mencoba melihat wajah Kara dibalik tumpukan barang belanjaan Kar
Selesai rapat gabungan di kantornya, Dean berniat ingin memeriksa file kasus yang baru datang ke mejanya tadi pagi. Namun ia mengurungkan niatnya karena tiba-tiba ia teringat dengan Ibunya. Ia belum mengunjunginya karena sibuk mengurus pernikahannya kemarin. Ia hanya memantau perkembangan Ibunya lewat Suster yang bertanggung jawab menjaga Ibunya. Ia pun memakai jasnya kembali lalu mengambil kunci mobilnya dan pergi ke area parkir untuk mengambil mobilnya. Tak lupa sebelum ia pergi ke Rumah Sakit, ia mampir ke toko Donat untuk membeli Donat favorit Ibunya. Keadaan Ibu Dean pun sudah membaik, ia sudah keluar dari ruang ICU sejak seminggu yang lalu dan kini telah kembali ke kamarnya. Tak makan waktu lama, mobil sedan hitam Dean sudah memasuki area parkir Rumah sakit. Ia pun langsung menuju kamar Ibunya yang berada di lantai 3. “Bu Karin.” panggil Dean yang mengintip sedikit dari balik pintu. “Pak Pengacara!” seru Karin yang senang karena su
“Pokoknya saya mau nuntut orang ini atas kasus penyerangan!” kelakar Pria bernama Jody, Pria yang ribut dengan Kara di Taman. “Yang harusnya masuk penjara itu lo! Orang yang main kekerasan dengan anak kecil!” sahut Kara tak kalah emosi. “Coba tolong tenang dulu, jelasin dari awal sebenarnya ada apa.” lerai Pak Dodo, Petugas keamanan di Apartemen Winter Garden. “Pak Dodo, Bu Dean ini mengatakan yang sebenarnya, liat nih, tangan Si Jojo sampe biru begini.” tambah Bu Bambang yang mengenali anak kecil itu. Anak kecil berumur tujuh tahun itu bernama Jojo, dia tinggal di unit 506 yang berada di lantai 5. “Iya Pak Dodo, bawa aja nih orang ke kantor polisi!” tambah Bu Haikal ikut memanas-manasi. “Haduh Ibu-ibu, sabar dulu, coba saya mau tanya Jojo dulu, Jojo, bener kamu di pukul sama Om ini?” tanya Pak Dodo. Jojo tak menjawab, ia hanya diam sambil bersembunyi di belakang Kara. “Dia pasti syok, sampe gak bisa bicara.” ketus Kara sambil