Pemuda Manutang menghindari dedaunan kering dalam gelap hutan, melangkah pelan sambil membungkuk. Hanya cahaya bulan dan bintang yang menjadi penuntun kaki.
Dia berhenti di belakang semak, perlahan menarik keluar pedang tusuk rapier. Telinga serigalanya bergerak-gerak, mata tajam menyongsong ke tambang tembaga tua di depan.
Manutang memiliki paras dan kulit manusia. Yang membedakan dengan manusia adalah kemampuan mereka.
Sebagai Manutang jenis Catt, Ramza memiliki telinga serigala, pendengaran lebih tajam dari manusia. Dia juga bisa melihat lebih baik dalam gelap. Karena kemampuan ini dia dijadikan serdadu pengintai kepolisian Parisi.
"Psst, bagaimana?" bisik Haikal, pemuda Manusia, melangkah membungkuk pindah ke sebelah Ramza.
"Selain dua orang di depan goa dekat obor, ada empat lagi yang berpatroli. Aneh, harusnya tambang itu kosong, kenapa dijaga ketat?"
"Bagus, berarti informan kita jujur."
Haikal memberi kode dengan suara burung hantu pada beberapa orang di belakang.
Salah satu dari mereka mengangguk, perlahan mundur.
Ramza, pemuda berusia sembilan belas tahun, berbadan kurus dengan paras tampan. Rambut sasak berwarna peraknya tumbuh menutup leher. Di bawah jubah hitam intai, nampak kontras kulit warna putih gading wajah dan tangannya.
Sementara Haikal pemuda berusia dua puluh satu tahun, berkulit warna sawo cerah, nampak atletis lebih berotot dari Ramza. Rambutnya hitam selalu cepak. Di bawah tudung hitam wajah machonya nampak menandingi ketampanan seorang pangeran, sembari tadi tak lepas tangannya memegang gagang pedang.
Mereka bersahabat sejak kecil, hidup di bawah atap yang sama, berlatih sebagai squier keluarga Lionese, dan sekarang menjadi serdadu Kepolisian kota Parisi dalam rangka mencari tahu tentang misteri Raizen.
Sekarang mereka dalam misi menyelidiki hilangnya manusia dan manutang di sekitar Parisi.
Cukup lama mereka menunggu, hingga pria tua berjubah hitam mendekat dari belakang. Dia Paman Noir.
"Perintah Komandan Primus, serang langsung," bisik Paman Noir.
Ramza dan Haikal bertukar pandang heran.
"Apa tidak salah?" bisik Ramza, memastikan. "Kenapa tidak kita serang diam-diam saja?"
Paman menjawab, "Hei, aku bukan Komandan." Dia mendesah kesal. "Aneh memang, tapi mau bagaimana lagi, tugas serdadu hanya mengikuti perintah atasan, bukan berpikir."
"Biar kutebak," komentar Haikal, menarik pedang besar di belakang punggung yang sembari tadi dia pegang gagangnya. "Dia ingin membuat kegaduhan, supaya laporannya pada Komandan Tinggi menarik, kan?"
Paman Noir terkekeh. "Nah, masa bodoh dengan itu. Aku hanya ingin segera kembali, menemani istriku yang hamil tua. Fokus saja pada misi, jangan banyak berpikir."
Pria tua itu lebih banyak makan garam dari Ranza dan Haikal. Ucapannya mempengaruhi pendapat mereka berdua. Serdadu memang tidak perlu berpikir, cukup fokus pada misi.
Beberapa serdadu berdiri membidik dengan senjata api laras panjang musket. Suara letusan bersahutan. Kilatan api memecah kegelapan. Setelah menembak, mereka mengisi peluru bundar timah ke mulut musket.
Ramza dan Haikal maju menerjang penjaga goa bersama serdadu lain.
Tusukan senjata Ramza tak terlihat mata. Gerak badan lincah menghindari serangan. Hingga lawannya kewalahan.
Sementara itu tebasan pedang Haikal beradu dengan pedang lawan, begitu kencang ayunan sampai lawan terpental.
Para serdadu berhasil mendesak para bandit masuk ke dalam tambang tua. Sekarang para serdadu bersiap menyerbu masuk.
Namun, suara raungan, suara teriakan minta tolong, dan letusan-letusan senjata, terdengar dari dalam goa.
"Ada apa di sana?" tanya Haikal, lengannya bergetar.
Tidak ada yang bisa menjawab. Para serdadu polisi enggan masuk, perlahan mundur menjauh dari muka goa.
Tiba-tiba dua bandit berlari keluar dari goa, membuat kaget para serdadu.
"Tolong!"
Dari dalam mulut goa muncul lidah panjang, menjerat kaki seorang bandit, menariknya masuk ke goa.
Bandit meronta, berhasil memegang cagak kayu di mulut goa. Dia meratap dengan iba pada temannya. "Tolong, tolong!"
Tapi temannya malah kabur.
Ramza maju menusuk lidah hingga lilitan lidah pada kaki lepas. "Ayo lekas lari," ajak Ramza.
Lidah lain melesat hendak menangkap Ramza, tapi Haikal menebas lidah itu sampai putus.
"Apa-apaan ini? Makhkuk apa yang berada di dalam sana?" tanyanya.
"Monster kadal, monster kadal lepas! Selamatkan diri kalian, larilah!" bandit itu berlari merangkak sampai tersungkur, lalu bangkit kabur menuju kegelapan hutan.
Dari arah yang sama seorang penunggang kuda tiba. Dia Primus, bangsawan komandan kesatuan kepolisian Parisi. Berbadan gagah dan berambut kuning cerah. Pakaian serba putih dengan hias selendang hitam menutup pundak kanan.
Dia menarik pedang perak bergagang emas, sambil memberi perintah pada para serdadu.
"Makhluk-makhluk rendah, apa yang kalian lakukan? Cepat masuk sana!"
"Tapi Tuan," balas Paman Noir. "Di sana ada makhluk aneh. Anda lihat sendiri dua bandit itu--"
"Persetan dengan mereka!" sentak Primus, mengancam Paman Noir dengan ujung pedang. "Cepat masuk atau aku laporkan pada Komandan Tertinggi jika kamu melawan perintah!"
Dia bergumam. "Keparat, kenapa aku harus mendapat serdadu pengecut? Kalau begini bakal lama naik jabatan."
Belum sempat para serdadu bereaksi. Sebuah lidah melesat dari dalam goa menangkap seorang serdadu, membawanya masuk ke goa.
"Maju! Selamatkan teman kita!" teriak Paman Noir.
Bersama beberapa serdadu berpedang masuk membawa obor. Belum sampai tujuan, mereka dikejutkan dengan kemunculan beberapa kadal sebesar manusia yang merayap keluar goa.
Kadal-kadal bersisik berdiri seperti manusia, menerkam seorang serdadu lalu mencabik-cabik dengan cakar tajam melengkung.
Beberapa kadal mengerumuni serdadu, berebut memakannya.
"Apa itu?" tanya Paman Noir tak percaya dengan yang dia lihat, dia melangkah mundur hingga tersandung batu, terjatuh ke belakang.
Belum sempat dia bangkit, seekor kadal menerkamnya.
Ramza berusaha menusuk punggung kadal, tapi rapier-nya malah patah.
Haikal mengayun pedang dari atas, pedangnya gagal menebus sisik kadal.
Ekor kadal berkibas menghantam perut Haikal hingga pemuda itu terjatuh.
"Sialan kamu kadal!" dia bangkit berlari menendang badan kadal.
Melihat ini, Ramza menarik paman Noir lepas dari dominasi kadal.
Luka-luka di sekujur tubuh Paman terlalu parah, lehernya terpotong nyaris setengah, kehilangan satu tangan, dia tak bernapas.
Melihat kejadian ini Primus panik. "Jadi ini kemampuan Raizen? Kalian hadapi mereka, aku … aku akan kembali ke markas meminta bantuan." Dia merebut obor, memacu kuda pergi dari sana.
"Apa? dia komandan, bagaimana mungkin kabur duluan!" keluh Haikal.
Semakin banyak kadal keluar dari mulut goa. Para serdadu kalah banyak hingga satu persatu mereka tewas.
Ramza dan Haikal bersama beberapa teman berusaha kabur, tapi satu persatu mereka diterkam dari belakang.
Suara teriakan kematian membuat bulu roma Haikal berdiri."Bagaimana ini?" tanyanya dengan terengah.
"A-aku tidak tahu. Haikal awas!" Ramza mendorong Haikal ketika seekor kadal raksasa menerkam.
Mereka terjatuh, berguling menghindari cakar kadal.
Tiba-tiba suara ringkik kuda mendominasi. Puluhan pasukan berkuda melesat dari kegelapan malam di hutan. Mereka menabrak para manusia kadal tanpa peduli pada Ramza atau Haikal, mengayun pedang hingga nyaris mengenai keduanya.
Ramza tak mengenali mereka, para pria berpakaian serba putih berjubah hitam. Yang dia tahu ini kesempatan kabur. Dia membantu Haikal yang terluka pergi dari hutan.
Langit gelap bertabur bintang menjadi selimut mereka. Dingin udara tak mampu membuat kering keringat di seragam Haikal dan Ramza. Mereka beruntung menumpang sejenak gerobak tadi, sebelum diturunkan di perempatan. "Harusnya kita bajak gerobak tadi," keluh Haikal. "Kita polisi bukan penjahat," sahut Ramza. "Apa sudah sampai?" Ramza bisa melihat dalam kegelapan seperti serigala. "Aku rasa ini bukit terakhir sebelum sampai ke Parisi." "Sialan Primus. Lihat saja jika Komandan Tinggi mendengar sikap pengecut borjuis itu, bahkan Raja sekali pun tidak bisa menolongnya dari tiang gantung." Keduanya sampai di bukit. Di kejauhan terang nyala obor dalam gelap pertanda kota Parisi sudah di depan mata. Keduanya tertawa riang melihat tembok batu tua berlumut lumut yang mengelilingi kota. Dengan terengah mereka bahu membahu menuju pintu gerbang besar yang tertutup rapat. Keduanya berlari riang seperti bocah menghampiri gerban
Dalam barak kepolisian Parisi keduanya menanti. Ramza terlentang di kasur sambil memakan apel merah sementara Haikal mondar-mandir tidak tenang di belakang pintu yang tertutup."Kenapa kamu bisa santai begini?" sahut Haikal."Hidup sudah berat, harus dibawa santai."Haikal mendengus kesal. "Dengar serigala, hidup tidak semudah itu. Instingku mengatakan kita akan ketiban sial."Ramza duduk mengecup sisa sari apel di jari tangan kanan. "Maksudmu?"Haikal duduk di tepi kasur di sebelah Ramza. "Primus terlalu percaya diri. Dia menyeringai. Aku tidak suka jika dia banyak bicara, tapi lebih tidak suka jika dia diam seperti tadi.""Kamu terlalu banyak berpikir. Lagi pula bukan hanya polisi, penjaga, dan penduduk sipil juga dikirim ke sana.""Instingku selalu benar, Ram.""Tidur, istirahat. Lebih baik bersiap untuk menghadapi hari esok." Ramza tidur berbalik badan menghadap beberapa kasur kosong berjajar.Kasur-kasur
"Lihat, dasar sinting. Panas-panas pakai pakaian tebal," komentar seorang polisi, mengamati pemuda berjas panjang kulit warna hitam, berjongkok di pinggir jalan setapak. Pemuda itu mengelus jejak kereta kuda memakai tangan."Apa yang dia cari?" tanya polisi lain."Kamu pikir aku Bapaknya?" Polisi pertama semakin penasaran mendekati Rion. "Nak, jika ingin bermain jangan di sini.""Aku bukan anakmu dan aku sedang tidak ingin bermain, jadi diamlah.""Pergilah! Di sini tempat kejadian perkara, bodoh!"Pandangan dingin Rion membuat polisi itu terdiam, kembali menemui temannya.Rion Lampagne, manusia mungil berperawakan kurus seperti anak kecil, tapi umurnya sudah selapan belas tahun. Dia berkulit putih terawat khas bangsawan. Rambut sedikit kusam tanda jika dia sering berada di bawah matahari. Jas detektif tebal di hari panas, juga memakai celana hitam panjang, topi vedora, dan sepatu bot lapangan, sering membuatnya dikira bocah ingusan yan
Di tengah hiruk pikuk pasar Ramza bersenandung riang. Dia memegang serbuk lembut kunyit kuning rempah khas dari daerah kekaisaran Mughal. Tangan jahil itu pindah menyentuh barang lain. Kali ini meremas kacang kapri dari kerajaan Britton. Belum puas rasa ingin tahunya, dia mengendus aroma bunga lilly putih khas dari kerajaan Prussian. Tradisi ini selalu dia lakukan ketika melintas di pasar pelabuhan Reims."Ramza." Seorang Nenek sedikit bungkuk pamer apel. Tentu yang dipanggil menghampiri.Ramza mengambil buah di tangan Nenek. "Apel! Makasih Nek." Gigitan besar gigi taring nyaris menyayat habis buah di tangan. Dia sangat suka rasa manis apel."Ini, untuk Haikal." Nenek memberi satu lagi buah apel. "Ke mana saja kalian, kenapa lima tahun belakangan jarang terlihat?""Sibuk Nek. Aku pamit dulu, ya." Ramza melangkah cepat tenggelam dalam laut pengunjung pasar.Ramza dan Haikal lumayan dikenal di kota pelabuhan Rems. Mereka besar di sini. Ketika senggan
Ramza dan Haikal beruntung dipinjami kuda sehingga bisa melesat langsung menuju Marseile. Berjalan kaki mungkin butuh tiga hari, tapi dengan kuda dalam satu hari perjalanan mereka tiba ke tujuan.Keduanya menginap di penginapan luar kota demi menghemat pengeluaran. Hektor memberi uang cukup banyak, tapi Haikal bersikeras untuk menyewa satu kamar, demi menabung uang untuk judi esok sekembalinya ke Reims.Ramza membanting badan ke kasur. Seperti anak kecil kedua kaki dan tangan bergerak naik turun hingga seprei kasur kusut. "Kal, bagaimana cara berjualan narkoba?""Jualan ya di pasar," jawab Haikal, menutup pintu kamar."Jadi kita ke pasar?""Ya iya lah. Kata Paman Hektor barang itu di taruh di gang dekat pasar. Pasti beliau menyuruh kita berjualan di sana.""Yang benar?" Ramza duduk bersila kaki di kasur, memandang Haikal berganti baju. "Emang Paman menyuruh menjual di sana?"Haikal menggeleng . Dia duduk di tepi kasur di sebelah kasur
Suara nyanyian burung begitu merdu di taman bunga yang ditumbuhi banyak bunga berkelopak putih. Cahaya matahari pagi menerpa patung seorang wanita bertelinga singa yang memegang tongkat berkepala bundar ke angkasai ujung taman. Seorang pemuda duduk di kursi batu sambil membaca buku. Jubah putih berornamen di bagian belakang menutup tunik bangsawan putih berkancing emas. Rambut panjangnya terurai ke belakang. Dia Jacob, Raja Frankia. Wajah tirus Jacob mendongak memandang lekat patung di depan. Patung Isabella Lionese, mendiang permaisuri yang sangat dia cintai. "Buku ini telah tamat. Bagaimana menurutmu sayang? Apa cerita novel kali ini bagus? Aku harap bagus. Penulis kesukaanmu, Iskariot, setelah mendengar kamu menyukai bukunya, dia segera membuat buku baru tentang dirimu, sayangku. Besok akan aku coba meminta kopian sebelum terbit dan akan kubacakan untukmu seperti biasa. Semoga kamu suka, ya." Pria tua melangkah mendekat. Jub
Tradisi sebelum masuk ke kantor polisi para penjahat berbaris di depan gedung selama beberapa jam. Mereka dijemur seperti ikan asin, lalu dilempari batu kerikil oleh para polisi dan warga yang melintas. Hal ini khusus bagi mereka yang tertangkap tangan melakukan kejahatan.Setelah tradisi selesai, mereka seperti hewan ternak digiring masuk ke kantor polisi. Sewaktu menjadi polisi Haikal selalu senang menendang pantat para penjahat ketika digiring masuk, sekarang dia tahu rasanya sol sepatu menghantam pantat."Masuk sana, dasar sampah masyarakat!" sentak polisi gendut."Berengsek, minta dihajar?" sentak Haikal."Haikal sabar, ingat kami penjahat," bisik Ramza."Tidak perlu kau ingatkan!" Benar-benar tidak nyaman ketika tali tambang melilit perut. "Tahu begini aku memakai kaos tebal. Sial."Mereka berhenti di depan pintu ruang pemeriksaan. Seorang polisi jangkung berwajah penuh jerawat menyetop mereka. "Kasus apa?""Narkotik," jaw
Pertempuran terjadi di ruang Komandan. Ramza, Haikal dan empat pria bertudung berhasil menang melawan para polisi korup. Beberapa polisi baik bergabung dengan mereka. Para polisi baik ini melihat lambang kerajaan, sehingga mereka tidak terpengaruh oleh ujaran kebencian dari komandan.Walau ruang sekarang berada di kendali polisi baik, tetapi pertempuran tetap pecah di kantor polisi.Di sepanjang lorong para polisi saling baku hantam dan berusaha saling membunuh. Polisi manusia di Ibu kota sepertinya telah lama mengendus rencana 'revolusi' oleh kaum manutang sehingga satu teriakan revolusi saja membuat mereka langsung menyerang manutang. Sekarang semua menjadi rumit seperti benang kusut."Sial, kemana larinya komandan tadi?" tanya Haikal. Ia merapikan jas panjangnya yang kusut."Dia di luar." Ramza menunjuk ke arah taman samping, membuat Jiro dan beberapa polisi mendekati jendela hendak melihat ke sana."Tembak mereka, para pembunuh Komandan T