Share

3. Karir Polisi

Dalam barak kepolisian Parisi keduanya menanti. Ramza terlentang di kasur sambil memakan apel merah sementara Haikal mondar-mandir tidak tenang di belakang pintu yang tertutup. 

"Kenapa kamu bisa santai begini?" sahut Haikal.

"Hidup sudah berat, harus dibawa santai."

Haikal mendengus kesal. "Dengar serigala, hidup tidak semudah itu. Instingku mengatakan kita akan ketiban sial."

Ramza duduk mengecup sisa sari apel di jari tangan kanan. "Maksudmu?"

Haikal duduk di tepi kasur di sebelah Ramza. "Primus terlalu percaya diri. Dia menyeringai. Aku tidak suka jika dia banyak bicara, tapi lebih tidak suka jika dia diam seperti tadi."

"Kamu terlalu banyak berpikir. Lagi pula bukan hanya polisi, penjaga, dan penduduk sipil juga dikirim ke sana."

"Instingku selalu benar, Ram."

"Tidur, istirahat. Lebih baik bersiap untuk menghadapi hari esok." Ramza tidur berbalik badan menghadap beberapa kasur kosong berjajar. 

Kasur-kasur anggota Batalion 10th. Tadi malam masih terisi. Ramsa mengepal sampai kuku menusuk kulit telapak tangan. Marko, Noir, keduanya senior yang pertama menyambutnya dan Haikal masuk ke Batalion 10th. Ia merasa lemah tidak mampu berbuat banyak untuk teman-teman. Ia memejam, air mata mengalir.

Tidur Ramza tidak nyenyak. Rasa bersalah terlalu besar. Malah Haikal yang mengorok besar sampai sinar hangat matahari menyusup masuk melalui jendela barak. 

Kegaduhan di luar membuat keduanya bangun. Seorang polisi membuka pintu barak. 

"Hei kalian beruda, Komandan menanti kalian di kantor!"

Setelah bersiap, keduanya pergi menuju gedung kepolisian kota Parisi. Sebuah bangunan bertingkat lima berhalaman luas, terpisah dari gedung-gedung lain. Di halaman samping beberapa polisi berlatih menembak musket, beberapa penjahat digiring masuk ke penjara bawah tanah di bawah kantor, pemandangan normal di sana. 

Mereka sampai di depan ruang Komandan Tinggi di lantai tiga.

"Perasaanku tidak enak," bisik Ramza. "Bagaimana ini? Pura-pura sakit?" 

"Telat." Haikal menjadi yang pertama masuk.

Komandan duduk di kursi kerja melihat hasil jepretan. Primus dan dua temannya berdiri tegap di depan meja Komandan Tinggi. Sementara Paman gendut berdiri di sebelah Komandan, sedikit membungkuk memandang foto di tangan Komandan. 

Haikal dan Ramza memberi hormat. Belum sempat bicara, Komandan Tinggi menyela.

"Istirahat di tempat." Ia menaruh foto ke meja, memandang tajam Haikal dan Ramza. "Mana, katanya ada manusia kadal? Di sana hanya ada mayat teman-teman kalian dan para penjahat." 

Ramza hendak menjawab, tapi Primus memotong. "Mereka pasti akan berkata, foto itu palsu." 

Telunjuk Razael mengetuk foto di atas meja kayu. "Semua orang yang dikirim ke sana tidak melihat manusia kadal."

"Komandan, di sana pasti ada sisa manusia yang menjadi makanan manusia kadal," sahut Ramza. "Di sana pasti ada satu manusia kadal tewas."

"Jadi kamu berusaha berkata jika aku mengarang semua ini?" ujar Razael

Ramza dan Haikal memandang satu persatu foto. Hanya ada mayat polisi yang terluka akibat peperangan. 

"109, 107, 101, 98, 95 dan 50. Mereka tidak ditemukan. Mereka pengecut yang kabur." Primus menyeringai. "Komandan Tinggi, mungkin keluarga mereka bisa dipenjarakan sebagai pengkhianat."

"Belum tentu," jawab Paman. "Aku kenal Noir, dia bukan pengecut!"

"Apa kamu berada di sana?" tanya Primus. 

Ramza kenal nomor-nomor itu. Mereka yang berjuang mati menjadi makanan para manusia kadal dan sekarang mereka difitnah tanpa bisa membela diri.

Ramza mengepal tangan memandang bengis pada Primus. Terdengar suara napas menggebu. Ramza benar-benar ingin mencakar muka Primus.

"Kenapa serigala, mau membunuhku?" ledek Primus.

"Suatu saat nanti."

"Insting binatangmu muncul?" Primus menuding Ramza. "Komandan, kalau keduanya tidak dihukum, mereka bakal berbuat seenaknya sendiri. Jangan karena mereka titipan Perdana Menteri, Anda bersikap lunak!"

"Komandan," sela Paman. "Mereka berani kembali, itu tandanya mereka mengerti atas kesalahan mereka. Mohon beri kesempatan kedua. Lagi pula Perdana Menteri--"

"Mereka mencoreng nama Perdana Menteri, pecat, dan biar Perdana Menteri yang menghukum," sahut Primus.

"Komandan, bagaimana Anda menjelaskan pada Perdana Menteri kelak?" tanya Paman gendut.

Primus tidak mau kalah. "Komandan, mohon bersikap adil. Mereka memfitnah saya sebagai pengecut, nyatanya mereka yang kabur!"

"Cukup!" bentak Razael. "Kalian minta maaf pada Primus karena kalian memfitnah dan semua kesalahan kalian akan kuampuni."

"Minta maaf?" tanya Haikal.

"Nak, turuti saja," pinta Paman.

"Beruntung kalian titipan Perdana Menteri, tidak dihukum," ujar Primus.

Haikal menaruh pedang patah ke meja, juga badge polisi. "Aku berhenti." Ia keluar dari ruang.

"Haikal!" Ramza memandang Razael. "Maafkan dia, Komandan. Kadang dia suka lupa posisinya sebagai apa." Ramza menaruh gagang rapier juga badge miliknya ke meja. Ia mundur, membungkuk dalam ke hadapan Komandan Tinggi.

"Apa-apaan ini?" tanya Razael, berdiri dari duduknya.

"Maaf Komandan. Aku memundurkan diri! Sampai jumpa!" Ramza berhasil mengejar Haikal di depan pintu gerbang kantor. "Hei, kenapa terburu-buru?" 

"Jika kamu mau merubah keputusanku, lupakan."

Ramza menggeleng. Kedua tangan melipat di belakang kepala. "Malas."

"Tumben."

"Aku juga berhenti, kok."

"Serius? Tapi kenapa? Bukankah kamu selalu memuji Razael?"

Ramza mengangguk. "Dia sangat baik karena memberiku banyak apel merah. Hanya saja aku tidak ingin bekerja di bawah pimpinan Primus." 

Keduanya sampai di barak. Mereka mengemasi pakaian dalam hening, hingga suara derap kaki mendekat.

"Kalian benar-benar pergi?" Paman gendut mendatangi mereka. 

Keduanya berhenti sejenak berbenah, menyambutnya di depan pintu kamar barak. Ramza bersemangat membuka lebih lebar pintu.

"Ayo Paman, masuk anggap barak sendiri."

Paman tertawa lepas. "Kamu memang selalu membawa santai semua suasana, ya?" Dia memberi Ramza dan Haikal masing-masing satu kantung berisi uang receh emas. "Komandan Tinggi bilang, itu pesangon kalian. Perjalanan ke Rems cukup jauh." 

Ramza membungkuk bersama Haikal. "Terima kasih, Paman. Sampaikan terima kasih pada Komandan Tinggi."

Paman mengangguk. "Tetaplah semangat." Ia mengusap air yang menetes dari mata, "Ini bukan air mata, hanya kelilipan, sampai jumpa." pergi meninggalkan keduanya. 

Paman sering minum bersama Haikal dan anggota batalion 10th. Beliau suka meminta Ramza memijat pundaknya. Tentu paman itu spesial bagi Ramza dan Haikal. 

"Ayo pergi," sahut Haikal dengan nada bicara ketus, membawa buntalan pergi dari kamar.

Ramza memandang sekitar. Banyak kenangan bersama Batalion 10th. Suara tawa mereka masih terngiang. Bayang ketika mereka bermain catur di tengah ruang, ketika ada yang berulang tahun, semua perlahan sirna. Sekarang yang ada hanya kasur-kasur kosong.

"Kami pergi, ya." Ia membungkuk lalu membawa buntalan miliknya menyusul Haikal. 

Haikal berhenti melangkah, merebut kantung uang Ramza yang baru datang.

"Hei! Kenapa mengambil uangku?"

Haikal mengembalikan separuh isi kantung uang Ramza, menaruh ke kantung miliknya lalu mengembalikan. "Ayo, ke rumah Noir."

Keduanya menuju distrik kumuh. Aroma busuk, jalan gang becek, beberapa orang mencuci pakaian di gang sempit. Mereka tiba di sebuah rumah berdinding batu gelap berlumut. Beberapa bagian dinding bolong dan ditampal memakai kayu palang, tidak berbeda dengan rumah yang mengapit di sisi kiri dan kanan.  

"Permisi, Nyonya Noir," ujar Haikal. 

"Iya, siapa ya?" Wanita kurus berperut bunting mendekati mereka. Dia basah kuyup karena mencuci bersama ibu-ibu.

"Ini, ada uang dari Paman Noir."

"Mana Noir?"

"Paman sibuk menjalankan tugas dari Komandan," ujar Haikal. "Benar, kan Ramza?"

Ramza mengangguk, memberi senyum terbaik. Dia tidak bisa berbohong, tapi memang Noir menjalankan tugasnya sebagai polisi.

"Hah, dasar pria tidak berguna." Nona Noir mengambil kantung uang itu. "Hei, kalian mau makan dulu? Aku membuat pie apel."

Ramza menggeleng. Dia tahu mungkin pie itu satu-satunya makanan Nyonya Noir.

Keduanya membungkuk kecil berpamitan kepada beliau. Baru beberapa langkah, mereka bertemu Razael menunggang kuda bersama beberapa polisi. Keduanya membungkuk memberi hormat.

"Tidak usah formal. Apa yang kalian lakukan? Belum kembali ke Reims?" tanya Razael.

"Menemui istri Paman Noir," jawab Haikal. "Permisi." Ia pergi begitu saja tanpa memandang Komandan. Rasa kesal masih hangat.

Ramza mengikuti sahabatnya.

Razael bicara kencang. "Korporal, pastikan semua keluarga polisi mendapat tunjangan dan anak istri mereka terjamin hidupnya!"

Ramza tersenyum mendengar hal itu. Sekarang dia bisa tenang pergi ke Reims.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status