Share

4. Duo Versailles

"Lihat, dasar sinting. Panas-panas pakai pakaian tebal," komentar seorang polisi, mengamati pemuda berjas panjang kulit warna hitam, berjongkok di pinggir jalan setapak. Pemuda itu mengelus jejak kereta kuda memakai tangan.

"Apa yang dia cari?" tanya polisi lain.

"Kamu pikir aku Bapaknya?" Polisi pertama semakin penasaran mendekati Rion. "Nak, jika ingin bermain jangan di sini."

"Aku bukan anakmu dan aku sedang tidak ingin bermain, jadi diamlah." 

"Pergilah! Di sini tempat kejadian perkara, bodoh!"

Pandangan dingin Rion membuat polisi itu terdiam, kembali menemui temannya.

Rion Lampagne, manusia mungil berperawakan kurus seperti anak kecil, tapi umurnya sudah selapan belas tahun. Dia berkulit putih terawat khas bangsawan. Rambut sedikit kusam tanda jika dia sering berada di bawah matahari. Jas detektif tebal di hari panas, juga memakai celana hitam panjang, topi vedora, dan sepatu bot lapangan, sering membuatnya dikira bocah ingusan yang sedang bermain detektif.

Seorang pemuda manutang jenis guguk jangkung kurus keluar dari semak belukar. Kerah dan beberapa bagian sudut kemeja nampak lebih gelap karena keringat. dia mengipas badan berkulit kuning cerah memakai kertas, menenteng jas panjang serupa seperti milik Rion.

"Aku benci daerah Parisi," keluh Alfa. "Panasnya seperti di penggorengan."

"Pernah digoreng?" celetuk Rion dengan nada dingin.

"Itu perumpamaan. Jangan terlalu serius dengan ucapanku."

"Ucapan seorang detektif harus serius. Jika tidak bagaimana detektif bisa dipercaya?"

Alfa bedecak kesal. "Apa yang kamu temukan?" 

"Jejak kereta kuda," jawab Rion. "Kereta ini kelebihan muatan mengangkut sesuatu dari arah hutan."

Rion memiliki kemampuan analisa hitam putih. Khusus di matanya jika tengah serius, semua di sekitar menjadi hitam putih. Ia bisa melihat lima kereta kuda dikawal puluhan pasukan berkuda melintas dari hutan. Roda kayu kereta kuda menekan tanah di jalan setapak di depannya, membuat jejak lebih dalam di bagian yang dilalui karena muatan yang berlebih.

Dia bangkit dari jongkok. Seketika pandangan di sekeliling kembali berwarna seperti biasa. Rion hendak masuk ke hutan tetapi dua polisi Parisi menghalangi.

"Wilayah terbatas untuk umum. Menjauhlah, Nak."

Alfa menunjukkan badge bundar kepada mereka. "Alfa Velvet dan ini Rion Lampagne. Detektif ibu kota Marseille, divisi khusus."

Kedua polisi langsung berdiri tegap memberi hormat.  "Maaf atas ketidaktahuan kami. Silahkan, Tuan."

Kedua detektif berjalan santai memasuki hutan rimbun menuju pertambangan tua. Sementara itu, kedua polisi mengamati mereka sambil berbincang.

"Ya Tuhan, itu duo Versailles, kan?"

"Jika mereka di sini, berarti insiden Batalion 10th merupakan insiden besar?"

Duo di kirim langsung oleh Raja guna menyelidiki penculikan warga Frankia ras manutang di Parisi. Raja sangat tidak percaya pada kepolisian karena merasa mereka terlalu korup.

Garis polisi membentang di sekitar pertambangan tua. Beberapa polisi menjaga di sana. Para polisi nampak bingung akan kehadiran dua pemuda. Seorang dari mereka mendekati Rion.

"Komandan kompi polisi batalion cadangan 15th, ada yang bisa aku bantu?"

Alfa menunjukkan badge di tangan. Benda berwarna putih dengan lambang bunga kejora hitam di depan dua pedang.

Sontak komandan memberi hormat. "Maaf, saya tidak tahu--"

"Tidak usah terlalu formal," ujar Rion, menyalakan tembakau dalam cerutu kayu melengkung. "Bagaimana laporan sementara?"

Sambil melangkah Komandan membaca dokumen yang dibawa seorang polisi. "Menurut penyidik, Batalion 10th kepolisian Parisi bertempur melawan para penculik. Nyaris semua polisi tewas."

"Berapa jumlah korban?" tanya Alfa.

"Polisi dua puluh orang, bandit dua belas orang. Kurang lebih sepuluh polisi kabur."

"Bagaimana dengan para manutang yang diculik?"

"Kemungkinan diungsikan."

"Kemungkinan," gumam Rion. "Kalimat tidak pasti yang sangat menyebalkan."

Komandan sigap menyalakan sumbu teplok, mengawal kedua detektif masuk ke tambang. Cahaya matahari semakin sirna. Aroma darah menyengat. Udara pengap. Banyak sel kosong di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan. Mereka sampai di ruang luas kosong.

Komandan berkata, "Menurut tim penyidik, sel-sel ini menjadi tempat tahanan manutang. Kemungkinan ruang luas ini digunakan sebagai arena pelatihan atau semacamnya."

"Atau semacamnya, menarik. Penyidik macam apa yang berkata penuh ketidakyakinan seperti itu?" tanya Rion.

"Maaf, saya hanya menyampaikan."

Alfa untuk menyalakan obor di dinding. Ruang goa menjadi terang. Tak sengaja Rion menginjak pecahan kaca. Benda itu terlalu tebal untuk menjadi sekedar kaca biasa. 

"Komandan, apa yang penyidik katakan tentang remah kaca ini?" tanya Rion.

"Mereka mengira itu pecahan botol minuman keras karena mengandung senyawa ber-alkohol."

"Mengira?" Rion mengendus pecahan kaca berbau anyir menyengat. Ia membiarkan Alfa mengendus lalu pemuda jangkung itu mengernyit.

"Ini abrosidan," ujar Alfa.

Abrosidan adalah senyawa pengawet, juga biasa digunakan untuk penelitian biotik. Ia memandang sekitar. Terdapat jejak meja di lantai dekat dinding.

Kemampuan hitam putih muncul. Dia melihat tabung-tabung besar berisi cairan abrosidan di tengah ruang, berisi makhluk aneh. Dia pergi ke sel kosong, mendapati cairan garing sperma milik manusia, juga ovum milik manutang perempuan. Sepertinya para gadis manutang mendapat pelecehan. Terdapat pecahan rantai baru di lantai. Seketika penglihatan kembali normal.

"Sepertinya mereka melakukan eksperimen biologi," ujar Rion. "Mereka bukan pedagang budak ilegal. Mereka menculik manutang untuk membuat sesuatu dan menempatkan ke dalam tabung berambrosidan, lalu tabung pecah karena suatu hal dan makhluk itu menghabisi mereka semua."

"Makhluk apa?" tanya Alfa.

Rion tidak menjawab karena Komandan berada di dekat mereka. Ketiganya kembali menuju muka tambang. Rion berjongkok, mendapati sisa cengkeraman pada cagak di muka goa. 

"Ini cengkraman manusia. Dia berusaha sekuat tenaga untuk lolos dari sesuatu yang menariknya masuk ke goa."

Polisi bingung mendengar percakapan kedua detektif. Ketiganya lanjut berjalan. Alfa dan polisi mengikuti Rion menyusuri tanah sekitar di muka goa, hingga pemuda itu memungut sesuatu.

Sebuah sisik kecil seperti sisik ular warna hitam tergeletak di tanah. Dia mengoper pada Alfa. Manutang itu berusaha menghancurkan sisik, tapi gagal. Kuku tajam tidak mampu melubangi sisik. 

Rion menaruh benda itu ke atas batu. Beberapa polisi penasaran mendekat, menonton apa yang hendak dia lakukan. Alfa menghantam benda kecil di atas batu memakai pedang berulang kali, sisik itu tidak hancur.

"Ada masalah apa pada batu itu?" tanya Komandan.

"Bukan batu, tapi sisik." Rion menunjuk batu. "Lihatlah, hanya tergores."

Komandan meminjam benda itu, memutar-mutar lalu mencoba menusuk benda memakai ujung rapier. Senjatanya berhasil menembus pecahan sisik. Rion dan Alfa terkejut tidak percaya dengan apa yang mereka lihat sampai gagal berkedip.

"Bagaimana mungkin?" Rion mengamati benda itu sekali lagi.

"Wah, Komandan hebat!" puji seorang polisi. Mereka bertepuk tangan menyambut keberhasilan bahkan ada yang bersiul.

"Oh, ternyata begitu." Rion menyeringai, meminjam kuku tajam Alfa untuk melubangi sisik. "Benda itu sangat kuat di satu sisi, tapi sangat lemah di bagian lain."

"Yah, kami kira Komandan kuat, ternyata--" keluh polisi manutang muda.

"Ada apa dengan wajah lesu itu, manutang jelek!" hardik Komandan, mengundang tawa dari polisi lain.

Rion tersenyum lembut. Ia membungkuk di hadapan Komandan. "Terima kasih atas waktu dan bantuannya."

"Kami senang bisa membantu kalian."

Alfa berdeham. "Tolong rahasiakan kedatangan kami. Kami permisi dulu."

Seketika semua polisi dan Komandan memberi hormat dengan tegang pada Rion dan Alfa yang melangkah pergi.

"Rion, apa pemilik sisik ini sama seperti yang di Prussia?" tanya Alfa, memakai jas panjangnya.

"Aku harap bukan."

"Jadi bagaimana? Kita melapor ke Komandan Tinggi Parisi--"

"Ada kejanggalan. Kalau yang dikatakan Komandan Tinggi tentang pertarungan di depan tambang benar, harusnya kita tidak menemukan sisik ini."

"Jangan-jangan orang Parisi terlibat."

Rion menggeleng. "Tidak bersalah sebelum dibuktikan bersalah. Praduga tidak bersalah, asas yang harus dijaga. Jangan pernah menduga tanpa bukti. Walau memiliki motif sekalipun."

Rion menunggang kuda putih, memandang Alfa yang menaiki kuda warna cokelat. " Aku rasa ini bukan masalah sipil lagi, melainkan ancaman militer. Kita ke Marseille, melaporkan semua ini ke Raja sekarang juga."

"Yes, your grace."

Keduanya memutar kuda, memacu cepat menuju arah berlawanan dari Parisi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status