Share

Bab 3

Amber pun selalu bingung dengan mimpinya ini. Mimpi yang tidak pernah terlihat jelas penampakannya. Hanya saja, ketika pistol itu mengeluarkan peluru, gambaran di mimpinya terasa jelas. Sayang, hanya sampai di situ saja apa yang ia harapkan. Selebihnya, ia selalu tak dapat mengetahui siapa saja orang yang berada di dalam mimpi yang rajin datang itu.

"Apakah itu masa laluku?" gumamnya pensaran sambil mencoba mengingat sesuatu. Tapi setiap kali , usahanya selalu terblokir dan tidak membuahkan hasil. Ia selalu saja tak dapat mengingat apa pun mengenai mimpi itu.

Amber minum sisa air pada botol air mineral yang berada di tasnya. Setelah cukup untuk menenangkan diri, dia pun kembali merehatkan dirinya. Tubuhnya benar-benar perlu diistirahatkan sekarang. Jika dipaksakan lagi, nanti dia bisa sakit. Lalu jika dia sakit, dia tidak bisa mencari pekerjaan, jika dia tidak bisa bekerja, maka dia tidak bisa menghasilkan uang.

Tidak bisa seperti itu! Tubuhnya sangat berharga, jadi dia harus sangat menyayangi dan menghargai tubuhnya sendiri. Tidur! Tidur! Tidur! Amber pun terbawa arus mimpi.

Dan di luar sana, hujan mengguyur bumi. Seakan alam pun mendukungnya untuk terlelap dalam tidur. Fajar yang menyingsing pun di halangi awan kelabu. Benar-benar mendukungnya untuk beristirahat dan melupakan semua urusan dunianya untuk beberapa saat.

Sementara di sebuah rumah megah bergaya eropa klasik, seorang wanita tengah duduk termenung di kursi goyangnya. Menatap keluar jendela yang terbuka dengan tatapan gamang.

Sampai fajar datang, dirinya masih terjaga dari lelapnya malam. Kelopak matanya seakan bertengkar dan tak ingin bersatu. Membuatnya terus membuka mata sambil memikirkan sesuatu.

Rambut cokelatnya menjuntai ke bawah melewati bahu juga melewati sandaran kursi goyang itu. Mungkin karena malam hari, jadi ia tidak begitu menata rambutnya. Rambut panjangnya tergerai begitu saja.

Wanita itu adalah Terra Klarybel. Benar, dia merupakan kakak dari Amber. Usianya terpaut tujuh tahun dengan adiknya, jadi sekarang wanita itu berumur tiga puluh tahun. Dia sama cantiknya dengan Amber, hanya saja gaya mereka berbeda. Jika Amber terkesan cuek dan apa adanya, Terra lebih suka merias diri dan lebih feminim ketimbang adiknya. Meskipun begitu, mereka selalu menjadi incaran para pria.

"Hujan!" gumamnya sambil memandang rintik air yang berjatuhan. Ia tersenyum sinis seraya mendengus pelan.

Dia merapatkan jubah tidurnya, merasakan dinginnya hujan yang menerjang badan. Terra benci hujan, ia tidak suka. Hujan membuatnya selalu teringat pada sesuatu yang sangat menyakitkan baginya.

Dor!

Suara tembakan itu selalu ia kenang sampai saat ini dan nanti. Dia kemudian tertawa pelan, menertawai dirinya juga hujan yang datang. Merasa lucu dengan ironi hidupnya sendiri. Sungguh takdir sangat pintar memainkan hidup seseorang.

"Mommy!" Suara serak seorang bocah membuatnya berhenti dari segala pikirannya yang kalut. Terra pun menghampiri putranya yang terbangun di tempat tidur.

Pagi datang bersamaan dengan berhentinya hujan. Sinar mentari perlahan mengintip dari balik awan-awan yang masih menggumpal. Namun suasana masih terasa lembab dan basah. Beberapa lembar daun meneteskan sisa air hujan.

Pukul tujuh pagi, Rainer keluar dari rumah dengan menggunakan hoodie hitam ciri khasnya. Ia memulai kehidupan bersama dengan insan-insan yang lainnya.

Menatap jejak di lantai, ia rasa ia memiliki tetangga baru sekarang. Jadi suara bising semalam berasal dari pintu di sebelahnya. Semoga saja tetangga barunya itu tidak menyebalkan.

Ketika semua orang sudah mulai bekerja dan melalui harinya, Amber baru saja terbangun dari lelapnya yang terasa penat. Ketika bangun, ia meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Merentangkan kedua tangannya ke atas sambil meliuk-liuk merasakan otot di tubuhnya yang mulai terasa mengendur.

Sambil mengerjap Amber memungut ponselnya yang entah sejak kapan tergeletak di lantai. Sepertinya ia ingat jika sebelum tidur ponselnya itu berada di sebelahnya. Ia melihat jam di sana.

"Tidaaaakkkk!" Teriakannya menggelegar di dalam apartemen sederhana itu. Sehingga barang-barang di sana gemetar ketakutan mendengar suara mengerikan itu.

Amber langsung berlari keluar kamar. Menyambar handuk di luar pintu, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Amber menyiksa pintu itu dengan bantingan keras.

Melihat pada ponselnya yang masih menyala, di layar pipih itu tertera jika saat ini sudah menunjukkan pukul sepuluh. Bagaimana dia tidak berteriak, Amber ada janji untuk konsultasi skripsinya dengan dosen pembimbing jam sepuluh pagi ini.

Dia sudah menggagalkan konsultasi ini sebanyak dua kali, jika kali ini dia terlambat, maka ia tidak dapat bertemu dosen pembimbingnya lagi. Dan proses pengerjaan skripsinya bisa terhambat. Padahal ia sudah ingin sekali urusan rumit ini selesai dengan cepat. Sehingga ia juga bisa cepat mencari pekerjaan yang lebih baik.

Tak lama layar ponselnya menyala kembali,,,,

Oliver, nama si pemanggil yang membuat ponselnya terus berdering.

ade eka

yuk,, semangat bacanya ya

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status