“Apa?! Tidak mungkin!” Sekujur tubuh Clarissa berkeringat dingin. Berkali-kali dia menggeleng dan menggumamkan kata tidak mungkin. Tubuhnya mendadak terasa seringan kapas. Dia seperti melayang di udara dan berjalan di atas awan saat melangkah menuju sofa. “Aksa anak yang penurut. Dia tidak mungkin tega melakukan hal segila itu.” Clarissa terus mengingkari berita yang disampaikan Agung. “Mama lihat saja sendiri!” Agung menyodorkan ponselnya kepada Clarissa. Tadi, sebelum meninggalkan pekarangan rumah Ainun, dia masih berusaha curi-curi kesempatan untuk merekam sisa-sisa pembakaran yang dilakukan Aksa. Mata Clarissa melotot seolah-olah akan meloncat keluar dari rongganya. Dia sungguh tak percaya dengan apa yang disaksikannya. “Oh, gaun-gaun mahalku,” ratapnya. “Ini tidak bisa dibiarkan, Ma!” Marsha yang sedari tadi diam menangisi nasib gaun-gaun mewahnya mulai kebakaran jenggot setelah melihat langsung aksi pembakaran yang dilakukan Aksa. “Kita harus minta ganti rugi! Enak saja dia
“Kamu yakin akan membiarkan Ainun dan anaknya tinggal di sini?” Ranty memandang serius pada Agnes dengan ekspresi yang rumit. Dia sungguh tak memahami jalan pikiran putrinya sendiri. “Hanya untuk sementara, Ma,” sahut Agnes, memandang lepas panorama di luar jendela kamar Ranty. Pepohonan dan segala sesuatu di luar sana tak lagi berbayang. Pertanda perputaran waktu tepat tengah hari. Terdengar helaan napas berat dari mulut Ranty. “Terserah kamu saja! Kamu sudah dewasa. Tahu mana yang baik dan buruk untuk dirimu.” “Iya, Ma. Tenang saja! Aku sudah mempertimbangkannya masak-masak.” Agnes berlutut di samping kanan mamanya. Seulas senyuman manis merekah dari bibir merahnya saat tangannya mengelus kulit keriput Ranty. “Ainun wanita yang baik, Ma. Aku yakin Mama pasti akan menyukainya.” Promosi Agnes tentang sosok Ainun sukses membuat alis Ranty saling bertaut. Matanya menyipit heran. Dia benar-benar tak mengenali anak gadisnya. Bagaimana bisa Agnes tak merasa cemburu pada Ainun? Apa semu
Agnes tercacak pada tempatnya berdiri. Memandang tak berkedip pada sepasang insan berlainan jenis dengan tubuh yang masih saling menempel satu sama lain. “Demi Allah! Ini tidak seperti apa yang kau pikirkan.” Keringat dingin mengucur di kening dan pelipis Aksa. Dia tidak pernah mengira Agnes akan memergokinya dalam adegan seperti itu. Adegan di mana Ainun menelungkup di atas tubuhnya dengan kedua tangan tepat berada di dadanya. Buru-buru Aksa menyingkirkan tubuh Ainun yang mengimpitnya. Ainun pun bergegas bangkit. Dia tegak dengan kepala tertunduk. Jari-jarinya saling bertaut dan gemetar. Dia tak ubahnya seperti seorang pencuri yang tertangkap basah saat beraksi. Seperti tersadar dari hipnotis, Agnes mengerjap cepat. Dipungutnya kantong bawaannya yang tadi terempas ke lantai. Dia melangkah ke sofa di ruang tamu rumah baru itu dengan wajah datar. Sama sekali tak melirik pada Aksa. Entah malu menyaksikan adegan suaminya dengan Ainun tadi, atau mungkin juga berusaha meredam marah. Ak
Agnes tak peduli ketika Aksa berlalu dari hadapannya. Biar saja lelaki itu pergi. Ternyata dia kecele. Aksa tidak meninggalkan kamar. Lelaki itu beranjak ke kamar mandi. “Sekarang aku sudah bersih, kan?” Aksa mengenyakkan pantat di samping Agnes. Agnes bergeser ke kiri tanpa mengalihkan matanya dari majalah financial yang dibacanya. “Hei! Aku sudah mandi lo.” “EGP!” Agnes keluar dari kamar itu setelah menyambar ponselnya dari atas meja. Dia tak menggubris panggilan Aksa. Saat melintasi ruang tengah, sudut mata Agnes menangkap siluet seorang anak kecil berlari mengejar ibunya, menuju kamar tamu. 'Ainun … cepat juga geraknya,' batin Agnes dalam hati. Diurungkannya niatnya untuk ikut bersantai dengan mamanya di teras depan. Dia berbelok ke belakang. Sudah lama dia tak merasakan embusan angin segar di taman belakang membelai permukaan kulitnya. Memanjakan matanya tarian ikan koi pada kolam berair bening, Agnes merogoh kantong ketika gawainya bergetar. [Mbak … aku benar-benar min
“Tidak! Aku tidak mau dipenjara!” jerit Marsha. “Aku tidak bersalah!” Marsha memberontak sekuat tenaga ketika dua orang polisi menyeretnya untuk bertapa di balik jeruji besi. “Mas Agung, tolong! Mereka yang seharusnya dipenjara, bukan aku!” Jari-jarinya yang masih bergerak bebas mengacung pada Serra, Agnes, dan juga Aksa. Dia tidak terima diperlakukan bak narapidana. Saat polisi membeberkan fakta tentang kejadian yang sebenarnya, Agung hanya bisa ternganga. Dia tidak menyangka selesai Serra diinterogasi, Aksa dan Agnes akan menemui polisi yang mem-BAP Serra. Rekaman CCTV dan video yang mereka pegang cukup menjadi bukti siapa pelaku kriminal yang sesungguhnya. Pada rekaman tersebut tampak jelas Marsha datang marah-marah. Terjadi perang mulut selama beberapa waktu, yang berakhir dengan Marsha menyerang Serra. Marsha mencekik leher Serra dengan beringas. Demi membela diri, Serra yang kebetulan juga memiliki kemampuan bela diri, menguak tangan Marsha dan mendorongnya sekuat tenaga.
Agnes melangkah ke teras belakang. Purnama di langit malam bertengger anggun pada pucuk pohon. Berpagar cincin emas dan berhiaskan taburan bintang. Baru saja Agnes hendak duduk di kursi, sayup-sayup telinganya menangkap suara seseorang tengah bercakap-cakap. Agnes membatalkan niatnya untuk duduk di kursi. Dia kembali tegak lurus. Rasa penasaran menuntun langkah kakinya menuju sumber suara. “Aksa?” bisik Agnes tak percaya. Lelaki yang selalu dihindarinya semenjak pulang dari membebaskan Serra itu terlihat berbicara serius melalui ponsel. Entah apa yang dibahas Aksa. Agnes tidak dapat mendengar dengan jelas. Tampaknya Aksa sengaja berbincang dengan nada pelan dan sangat hati-hati. Satu hal yang tertangkap cukup jelas di telinga Agnes hanyalah sebuah perintah tak terbantah yang meluncur dari bibir Aksa. “Terus awasi! Aku akan terbang ke sana besok pagi.” Tak ingin Aksa memergokinya sedang menguping pembicaraan, Agnes berjinjit mundur. “A—” Cepat-cepat dia membekap mulutnya sendiri
Suara dering ponsel menghentikan langkah Aksa. Beberapa detik setelah menutup panggilan telepon, Aksa melangkah tergesa-gesa meninggalkan Agnes. Lupa akan niatnya untuk menyapa wanita itu. Entah kenapa dia merasa seperti pernah bertemu dengannya. Ucapan syukur mengalir bak tetesan hujan dalam hati Agnes. Tak henti dan tak pernah putus. Hampir saja penyamarannya terbongkar. Dia tidak pandai berbohong. Selama berada dalam lift, Agnes menimbang-nimbang apakah dia akan menikmati makan siang yang sudah sangat terlambat—atau makan malam yang terlalu awal—di restoran hotel tersebut atau di luar. Ketika lift berdenting diiringi pintu yang menyibak dengan sendirinya, Agnes memutuskan untuk menikmati kuliner di luar hotel. Hari pertama tiba di negeri singa itu tidak terlalu buruk bila diawali dengan wisata kuliner. Membaur bersama penduduk lokal dan para pelancong lainnya, Agnes menikmati sajian halal dengan suapan perlahan. Membiarkan rasa yang dicecap lidahnya meresap dalam. Tanpa sadar Ag
Bruuk! “Akh!” Agnes merintih kesakitan. Tubuh kekar seorang pria baru saja menabraknya dengan kekuatan penuh. Membuatnya jatuh tersungkur. Agnes tidak tahu apakah dia harus menangis atau bersyukur atas musibah yang baru menimpanya itu. Pastinya, posisi jatuhnya kini menjadi kamuflase yang sangat bagus untuk melepaskan kembali alat penyadap miliknya. Sebelum sang penabrak menyadari keberadaan benda itu di belakang kursi santai, tangan kiri Agnes meraih benda itu, seolah-olah dia sedang berusaha menggapai sandaran kursi tersebut untuk membantunya berdiri. “Are you alright?” tanya sang penabrak yang tak lain ternyata Seth. “I’m sorry. I didn’t do it on purpose.” Seth mengulurkan tangan. Bermaksud ingin membantu Agnes berdiri. “Get your hand off her!” sentak Pamela pada Seth. Didorongnya tubuh lelaki itu dengan kasar. Perhatian Pamela beralih pada Agnes. Dia pun membantu sahabatnya itu untuk bangkit. “Kamu enggak apa-apa?” “Lo, kalian dari Indonesia juga?” kaget Seth. Pamela mengab