Tatapan Agnes masih terpaku pada wajah Gugun. Bibirnya masih enggan melontar kata. Rasa malu lantaran pernah salah sangka membelit erat kepercayaan dirinya. “Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan, Nona!” Berpikir bahwa ada kemungkinan wanita di depannya itu segan untuk mulai bicara, akhirnya Gugun membuka percakapan. “Kalau kau datang tanpa tujuan, sebaiknya kau pulang.” Gugun yakin, Agnes tidak mungkin terbang sejauh itu hanya untuk mampir menyapa. Mereka bukan teman. Dia juga tidak bodoh. Pasti wanita itu sengaja datang untuk menemuinya setelah menyelidiki latar belakang kehidupannya. Teguran Gugun menyatukan kembali kesadaran Agnes yang terpecah-belah. Agnes membersihkan tenggorokannya yang tersumbat karena rasa grogi dengan sebuah dehaman kecil. “Aku ke sini untuk beberapa hal,” tutur Agnes. “Pertama, aku ingin minta maaf atas kesalahpahaman yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu.” Bola mata Gugun memancarkan sebersit kilat yang menyimpan misteri. Pengakuan teru
“Anda akan datang, Tuan?” Peter—asisten pribadi Gugun—menunggu dengan sabar di depan meja bosnya itu. “Undangan makan siang ini begitu mendadak,” sahut Gugun. “Aku tidak yakin bisa menghadirinya.” “Tapi, Tuan … undangan itu Tuan Seth sendiri yang mengantarnya kemari.” “Apa?!” “Benar, Tuan. Tadi dia ingin menemui Anda secara langsung,” beritahu Peter. “Hanya saja ….” Peter tak meneruskan kata-katanya. Keraguan mengikat lidahnya. Sebelah alis Gugun terangkat tinggi. Dia meletakkan penanya. Tatapannya kini menusuk tajam bola mata Peter. “Tu–Tuan Seth tidak ingin mengganggu kebersamaan Anda dengan Nona Aileen.” “Hubungi dia secepatnya!” titah Gugun. “Bilang aku akan datang.” “Siap, Tuan!” Peter membungkuk, lalu undur diri. Gugun bersandar pada kursi putarnya. Jari-jarinya saling terkait. Seth menyempatkan diri untuk mengantar undangan itu secara langsung ke kantornya. Padahal, sebenarnya lelaki itu bisa saja meneleponnya. “Mencurigakan!” desis Gugun. “Apa ini ada hubungannya deng
Agnes baru saja selesai membersihkan wajah dari sisa-sisa make-up. Wajahnya terasa ringan dan segar. Masih tersisa waktu lebih dari satu jam sebelum check-out dari hotel. Tidak buruk jika dia memanfaatkan waktu tersebut untuk tidur siang sejenak. Tiga puluh menit pun sudah cukup. Agnes hendak merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk hotel tersebut ketika suara ketukan pintu memaksanya untuk menunda keinginan itu. Berpikir bahwa itu mungkin Pamela yang berubah pikiran, Agnes bergegas membuka pintu. “Ka–kamu?” Aksa mematung selama beberapa detik, sama terkesimanya dengan Agnes. “Agnes?!” desisnya. Agnes tersadar dari kekagetannya. Secepatnya dia membanting pintu. Sial! Dia salah menduga. Ternyata orang yang berdiri di depan pintu kamarnya adalah Aksa. Lebih sial lagi, dia sudah tidak dalam mode penyamaran. Dia tampil dengan wajah asli. Aksa mendorong pintu kamar Agnes agar tidak tertutup. Lelah dan mengantuk membuat Agnes kalah tenaga dari Aksa. Lelaki itu berhasil masuk. Tatapan ta
“Mau ngapain?” Gugun mencekal pergelangan tangan Seth. “Ngetuk pintulah! Kau pikir apa lagi yang akan kulakukan?” “Tidak baik mengganggu privasi orang!” “Ini bukan masalah mengganggu privasi atau bukan,” sewot Seth. “Ini tentang sebuah pembuktian. Benar enggak Aksa tadi ke sini?” “Jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu!” Seth mengabaikan wejangan Gugun. Dia yakin sekali bahwa Aksa pasti menemui perempuan bernama Red itu. Seth mengetuk pintu kamar. Semakin lama suaranya bertambah kencang. Di sampingnya, Gugun tegak mematung sambil melempar pandang ke segala arah. Memperhatikan kalau-kalau ada penghuni kamar lain yang terganggu dengan keributan yang ditimbulkan Seth. “Sudahlah! Ayo kembali! Kita tunggu di kamar saja!” ajak Gugun. “Tidak. Aku akan tetap menunggu di sini.” “Sampai kapan? Ya kalau Aksa di dalam sana. Kalau tidak? Buang-buang waktu!” “Aku sangat yakin dengan firasatku.” Kembali Seth mengetuk pintu. Aksa baru saja keluar dari kamar mandi dengan tubuh terba
“Kau bisa membawa ini bersamamu.” Aksa meletakkan beberapa dokumen dan barang penting di depan mata Gugun. Gugun masih tergugu, memandangi kertas yang terkembang di genggaman tangannya. Perlahan dia mulai melipat kertas itu. Dia juga melipat amplop itu menjadi lipatan kecil, lalu memasukkan ke kantong pada bagian dalam jas yang dikenakannya. Dengan jari-jari yang masih gemetar, dia menarik tanda pengenal dari dalam dompetnya. Dia juga merogoh saku. Mengeluarkan sebuah ponsel dari sana. “Ini nomor pribadiku,” ujarnya saat meletakkan gawai itu di atas meja. Aksa dan Agnes serentak menghela napas lega. Begitu pula Seth. “Pilihan yang sangat bijak, Bro!” puji Seth seraya menepuk pundak Gugun. Agnes sudah melangkah ke pintu. Gugun mengiringinya dengan perasaan berkecamuk tak menentu. Langkah Gugun terhenti kala dia merasakan tangan Aksa menahan pundaknya. Dia menoleh, lalu memeluk saudara kembarnya itu selama beberapa waktu. “Apa kau ingin aku membelikan sesuatu untuk istri dan anak
Refleks tangan gemetar Gugun mengusap kepala Kyra penuh kasih. Setelah cukup lama membiarkan Kyra melepas rindu, Gugun berjongkok. Bibirnya mengukir senyum. “Apa sekarang tante cantik sudah sembuh?” tanya Kyra. “Kata mama, papa tidak pulang karena harus merawat tante cantik.” Kepolosan Kyra membuat hati Gugun terenyuh. Dia benar-benar bersalah. Dia telah menelantarkan istri dan anaknya dalam jangka waktu yang lama. “Mulai sekarang, papa akan selalu pulang.” Getar rindu memicu gerak tangan Gugun untuk mendekap erat putrinya. Tanpa dapat dicegah, dua bulir bening menggelinding jatuh dari sudut matanya. Memandang takjub dari tempatnya berdiri, Ainun ikut menyeka air mata. Hatinya berkata penuh damba. 'Ah, andai Mas Gugun yang kembali ….' Dia masih belum tahu bahwa lelaki yang saat ini memeluk putrinya adalah suami yang selama ini sangat dirindukannya. Gugun mengangkat tubuh mungil Kyra dalam gendongannya. Berjalan mendekati Ainun. Rasa hatinya tak menentu saat itu. “Kau lebih ringa
Senyuman di wajah Aileen sirna dalam sekejap. “Ini tidak mungkin!” gumamnya. Tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Isi paket yang baru dibukanya itu sungguh tidak sesuai dengan apa yang dibayangkannya. Tidak ada kotak perhiasan besar seperti yang dilihatnya di pameran. Hanya amplop berwarna cokelat dan lembaran koran. Aileen mengacak-acak isi kotak itu dengan kedua tangannya. Mencari-cari benda yang diinginkannya. Matanya terbelalak tatkala menemukan sebuah kotak kecil berwarna merah. Itu kotak berisi cincin. Dia masih mengingat dengan sangat jelas ketika menyematkan cincin pertunangan ke jari manis Gugun. Detak jantungnya tiba-tiba saja berpacu cepat. Gugun mencintainya. Lelaki itu tidak mungkin memutuskan pertunangan setelah membeli kalung idamannya, bukan? Dia melihat langsung lelaki itu menyodorkan kartu untuk membayar harga pembelian kalung tersebut. Di saat Aileen masih termangu dan hanyut dalam pemikirannya tentang Gugun, Nyonya Alberto ikut memeriksa isi paket tersebut
Agnes duduk di depan meja rias. Menatap sayu pada pantulan dirinya di dalam cermin. Polesan make-up tipis telah menyamarkan rona pucat wajahnya. Membuatnya tampak lebih bercahaya. Agnes membuang napas. Mencermati penampilannya yang tak lagi memiliki rambut di kepala. Konon rambut merupakan mahkota wanita. Dia telah kehilangan mahkota terindah itu. Yang tersisa hanyalah kepala plontos. Menyedihkan sekali! Agnes tersenyum miris. “Seperti apa pun penampilanmu, kau tetap terlihat cantik di mataku.” Aksa melangkah santai menghampiri Agnes. Dia baru saja selesai berpakaian. Dikecupnya puncak kepala Agnes yang terlihat licin. “Kamu hanya ingin menghiburku, kan?” “Aku mengatakan yang sebenarnya.” Aksa meremas lembut pundak Agnes. Pandangan mereka bertemu di dalam cermin. Aksa menarik naik kedua sudut bibirnya. “Kecantikan yang sesungguhnya dari seorang wanita tidak terletak pada wajah dan penampilannya, melainkan pada hatinya,” komentar Aksa. “Semakin bersih dan baik hati seorang wanita