Agnes menyeka kristal bening yang meluruh dari sudut matanya. Emosinya terhanyut mendengar kidung lara kehidupan masa kecil Aksa. “Kau menangis? Membuat aku benar-benar terlihat menyedihkan!” Meskipun bibirnya melontarkan keluhan mengejek kepada Agnes, Aksa merasakan hatinya menghangat ketika menyadari bahwa Agnes berempati terhadap nasibnya yang kurang beruntung di masa lalu. Setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Agnes mengumbar senyuman hangat. “Dengan begitu aku yakin kamu akan lebih menghargai orang lain dan memahami makna kata bahagia yang sesungguhnya.” Agnes juga semakin paham sekarang mengapa Aksa begitu melindungi Ainun dan Kyra. Dia sudah merasakan pahitnya diabaikan. Jadi, wajar jika dia tidak ingin Kyra mengalami hal yang sama. “Kamu enggak dendam kan sama mama?” “Entahlah. Aku hanya merasa berat untuk menemuinya lagi.” Agnes sangat mengerti. Siapa pun yang pernah disakiti—apalagi dalam jangka waktu lama—tentu sulit untuk benar-benar bersikap normal. Mungkin me
“Pa, Aksa tidak pernah berniat untuk mempermalukan Papa ataupun Mama,” ujar Agnes, merasa tidak nyaman dengan perdebatan mertua dan suaminya. “Ainun memang bukan istri Aksa. Selama ini, dia hanya berusaha melindungi Ainun dan Kyra.” Muka Haidar menggelap. Dia paling benci dibohongi. “Kalau dia bukan istri dan anakmu, untuk apa kau peduli pada mereka?” semburnya, menatap garang pada Aksa. “Mereka keluarga Eksa, Pa. Bagaimana mungkin aku menelantarkan mereka?” “Apa? Jangan bercanda, Aksa! Eksa sudah lama mati! Mayatnya bahkan tidak pernah bisa ditemukan.” Aksa membuang pandang ke lantai. “Ya. Bagi Papa sama Mama Eksa sudah mati. Kalian tidak pernah peduli setelah dia melarikan diri.” Bulir bening di sudut mata Clarissa menggelinding jatuh mendengar penuturan Aksa. Sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan mereka, dia memang tidak pernah mempertanyakan keberadaan Eksa semenjak anaknya itu memberontak dan minggat dari rumah. Dia tidak pernah tahu bahwa Eksa telah mengganti nama pangg
Mobil Aksa meninggalkan butik Agnes dengan kecepatan rendah. Di sebelah Aksa, Agnes duduk tenang. Seulas senyuman tipis menghias wajahnya. “Kelihatannya kau senang sekali dengan pertemuan ini,” goda Aksa di sela-sela kesibukannya mengendalikan roda kemudi. “Ini pertama kalinya aku bisa makan di luar semenjak kecelakaan itu,” timpal Agnes, “Bohong kalau aku bilang aku tidak senang, apalagi … ini juga pengalaman pertama kita menikmati makan siang bersama keluarga Eksa.” “Kau benar. Sampai sekarang, terkadang aku masih merasa seperti mimpi bisa bertemu Eksa lagi.” “Kalian pasti telah melewati hari-hari yang sangat sulit.” Agnes dapat melihat betapa dekatnya hubungan mereka berdua. Setelah menyimak kisah pilu kehidupan masa kecil Aksa, dia mengerti mengapa Aksa mau mengorbankan status lajangnya demi menjaga dan melindungi Ainun. Alih-alih cemburu pada masa lalu Aksa, dia malah bersyukur mendapatkan lelaki sebaik Aksa. Seorang lelaki yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga ser
Dada Haidar bergemuruh karena darah yang mendidih. Di sampingnya, Jovanta—pengacara yang dipercayainya untuk menangani kasus Agung—mengimbangi langkah cepatnya memasuki ruang tahanan. Haidar mengeritkan gigi ketika melihat Agung meringkuk di balik jeruji besi. Begitu menyadari kehadiran Haidar, Agung bergegas bangkit menemui papanya. “Keluarkan aku dari sini, Pa!” Tangan Agung menggapai udara, berusaha menjangkau Haidar yang tegak dua langkah darinya. Wajahnya tampak lebih tirus. Tulang pipinya mulai mencuat, padahal dia baru mendekam di sel tahanan sementara selama dua minggu. Melihat kulit wajah Agung terlihat kusam dan pucat, hati Haidar terenyuh. Marahnya perlahan memudar, berganti rasa iba. Bagaimanapun, Agung tetaplah anak sulungnya. Mana ada orang tua yang tidak merasa tertekan saat anaknya masuk penjara. Namun, Haidar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan Agung. Dia tidak memiliki cukup uang untuk membayar jaminan. Perusahaan keluarga yang selama ini dikelola oleh A
Menggelikan sekali! Mengapa orang-orang selalu heboh mempergunjingkan dan mencibiri seorang wanita hanya karena dia belum menikah di saat usia sudah menginjak kepala tiga? Agnes tak percaya bagaimana dia masih bisa bertahan hidup di lingkungan dengan pemikiran yang superkolot itu. Ah ya! Tentu saja karena dia tidak pernah memedulikan semua itu. Persetan dengan semua anggapan orang. Toh hidup bukan untuk menyenangkan setiap orang yang ditemuinya, melainkan untuk membahagiakan diri sendiri. “Sampai kapan kamu mau terus sendiri, Nes?” Agnes menghentikan langkah dan menghela napas panjang. Selalu pertanyaan yang sama setiap kali dia akan berangkat kerja. Kebiasaan rutin Ranty. “Sampai Allah mengirimkan jodoh yang tepat, Ma.” Agnes melingkarkan lengannya, memeluk sang mama dari belakang. Wanita paruh baya itu masih saja bergelut dengan kebiasaannya. Duduk di atas kursi roda sembari menatap bentangan cakrawala dari balik jendela ruang tengah. Sebuah kecupan sayang dari bibir merah Agn
“Nona, dengarkan aku!” Lelaki itu berkata dengan sungguh-sungguh. Wajahnya yang semula memelas, kini berubah serius. Dia memutar tubuh, tepat berhadapan dengan Agnes. Kerah bajunya masih melekat erat pada tangan wanita tak dikenalnya itu. Agnes sedikit bergidik ketika tatapannya bersirobok dengan netra gelap lelaki di depannya. Pandangan dalam itu seperti akan menyedotnya ke dalam pusaran resah dan marah. “Aku tidak punya waktu untuk mendengarkanmu.” Agnes memalingkan muka dan kembali mengayun langkah sambil menyeret lelaki asing itu. “Nona … baiklah … kalau kau tetap bersikukuh dengan keyakinanmu dan tidak percaya padaku. Terserah kau saja,” lirih lelaki tersebut. “Tapi … tolong … jangan serahkan aku ke kantor polisi. Ada wanita dan anak kecil yang harus kunafkahi.” “Itu masalahmu,” timpal Agnes tak acuh. “Kenapa kamu tidak memikirkan akibatnya sebelum berbuat?” Jawaban Agnes membuat lelaki tersebut merasa panas hati. Dia mencekal tangan Agnes yang menguasai kerah bajunya. Namu
“Kita mau ke mana, Nona?” Agnes masih melempar pandang ke luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi oleh sandiwara berbisa yang tadi dimainkannya di hadapan sang mama. Untung saja lelaki asing yang diketahui bernama Aksa itu tidak terlalu ambil peduli dan tidak banyak tanya. Itu karena dia memang tidak mendengar dialog pertama antara Agnes dan mamanya. Jadi, dia hanya menjawab seadanya pertanyaan yang diajukan Ranty, dengan jujur dan tanpa rasa canggung. “Nona Agnes!” Kali ini Aksa memanggil dengan nada lebih keras. “Hah! Apa?” Agnes gelagapan. “Ke mana sekarang?” “Tentu saja ke kantorku.” “Aku tidak tahu di mana kantormu, Nona.” Agnes menoleh kaget pada Aksa yang masih fokus di belakang roda kemudi. “Bisa tidak kalau kamu memanggilku Agnes saja? Tidak perlu embel-embel ‘Nona’ yang menggelikan itu.” “Rasanya sangat tidak sopan. Aku kan hanya karyawan, bukan teman sepermainan.” “Kalau kamu pikir dengan sebuah panggilan kehormatan seseorang bisa menjadi sangat terhormat, kamu k
“Papa!” Seorang bocah perempuan yang tengah duduk di pangkuan mamanya segera melompat turun dan berlari menyongsong kepulangan Aksa. “Halo, Sayang!” Aksa mengecup gemas pipi gembul sang bocah, lalu menggendongnya. Seorang perempuan berkerudung menyambut kedatangan Aksa dengan senyuman menawan. Wajah teduhnya mirip sekali dengan Maudy Koesnaedi—Aktris lawas yang tersohor pada era 90-an. “Sebaiknya Mas mandi dulu,” ujarnya. “Kyra sama mama lagi, ya ....” Bocah cantik itu segera meluncur turun dari gendongan Aksa. Selesai mandi dan berganti pakaian, Aksa merebahkan tubuh lelahnya di atas sofa di ruang tengah. Meskipun rumahnya sederhana dan tidak terlalu besar, Aksa masih bersyukur dia tidak perlu tinggal di rumah kontrakan. “Kopinya, Mas.” Aksa membuka matanya yang sempat terpejam. Dilihatnya Ainun sudah ikut duduk di dekatnya. Aksa menyesap kopi panas itu dengan perlahan. Meresapi rasa pahit di setiap tetesnya. Sepertinya Ainun lupa menaruh gula atau mungkin juga gulanya suda