Share

Istri Sebatas Status
Istri Sebatas Status
Author: Lathifah Nur

1. Insiden

Menggelikan sekali! Mengapa orang-orang selalu heboh mempergunjingkan dan mencibiri seorang wanita hanya karena dia belum menikah di saat usia sudah menginjak kepala tiga?

Agnes tak percaya bagaimana dia masih bisa bertahan hidup di lingkungan dengan pemikiran yang superkolot itu. Ah ya! Tentu saja karena dia tidak pernah memedulikan semua itu.

Persetan dengan semua anggapan orang. Toh hidup bukan untuk menyenangkan setiap orang yang ditemuinya, melainkan untuk membahagiakan diri sendiri.

“Sampai kapan kamu mau terus sendiri, Nes?”

Agnes menghentikan langkah dan menghela napas panjang. Selalu pertanyaan yang sama setiap kali dia akan berangkat kerja. Kebiasaan rutin Ranty.

“Sampai Allah mengirimkan jodoh yang tepat, Ma.”

Agnes melingkarkan lengannya, memeluk sang mama dari belakang. Wanita paruh baya itu masih saja bergelut dengan kebiasaannya. Duduk di atas kursi roda sembari menatap bentangan cakrawala dari balik jendela ruang tengah.

Sebuah kecupan sayang dari bibir merah Agnes mendarat mulus di pipi sang mama.

Wanita itu membuang napas kecewa. Lagi-lagi dia juga mendengar jawaban yang sama setiap harinya, seperti rekaman kaset yang terus diputar ulang.

“Mama sudah semakin tua, Nes,” keluh Ranty.

“Lah, yang bilang Mama bertambah muda siapa?” seloroh Agnes. “Aku juga mau diwarisi ilmu awet muda kalau begitu, Ma.”

“Agnes!” Emosi Ranty mulai menggeliat bangun. Anak gadis semata wayangnya itu selalu saja pandai berkilah.

“Dah, Ma ….”

Agnes berlalu setelah mengecup pipi mamanya dan terkekeh halus. Tak merasa bersalah sama sekali karena telah mempermainkan emosi sang mama di pagi hari.

Berjalan dengan langkah tergesa-gesa dari gerbang rumahnya, Agnes sedang tidak ingin membawa mobil sendiri. Dia memutuskan untuk naik taksi online.

“Astagfirullah!”

Agnes menjerit kaget dan sontak melompat ke tepi. Sebuah motor dengan pengendara ugal-ugalan nyaris saja menyerempet dirinya. Untung dia gesit menghindar.

“Memangnya dia pikir ini jalan nenek moyangnya,” gerutu Agnes.

Mood-nya sedari pagi memang tidak terlalu bagus. Sekarang menjadi semakin bertambah buruk gara-gara insiden tersebut.

Agnes membanting tas ke atas meja begitu tiba di ruang kerjanya. Hari baru saja dimulai, tetapi dia sudah merasakan lelah yang luar biasa.

Kalau saja ada lubang hitam yang mampu menyedotnya ke dimensi lain, mungkin Agnes tidak akan segan-segan untuk menceburkan diri ke sana.

Dia bosan mengurai rentetan pertanyaan dan kenyataan yang sama setiap hari. Kepalanya seakan mau meledak lantaran harus terus berpura-pura bahwa dia baik-baik saja dan benar-benar tidak peduli dengan semua itu.

Faktanya, hati kecilnya selalu menjerit galau dalam kesendirian. Gadis mana yang mau terus melajang sampai tua? Bayangan keterbatasan usia subur seorang wanita sudah cukup menjadi momok yang sangat menakutkan bagi seorang gadis, apalagi ditambah dengan cibiran masyarakat dan gelar yang dilekatkan di belakang namanya—Agnes si perawan tua.

Agnes kembali bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar. Beberapa pasang mata saling kedip dan bertanya heran tanpa suara. Pagi ini, bos cantik mereka bukan hanya terlihat kusut dan tidak bergairah, tetapi juga seperti kehilangan sukma.

“Wah, tumben si bos kabur pagi-pagi begini,” cerocos seorang gadis berambut ikal sebahu.

“Kamu ini seperti tidak kenal Mbak Agnes saja, Ser,” balas gadis lain berkerudung putih tulang.

“Aku tahu dia sering keluar, tapi biasanya tidak sepagi ini. Kayak orang lagi stres. Kamu merasa begitu tidak, Vi?”

Serra dan Vivian sudah cukup lama bekerja di butik milik Agnes. Mereka sudah hafal betul keseharian wanita lajang tersebut. Agnes hanya akan meninggalkan ruang kerjanya kalau dia sudah lelah bergelut dengan desain pakaian model terbarunya.

“Sudahlah. Tidak usah dipikirkan,” putus Vivian. “Mungkin Mbak Agnes sedang banyak masalah. Dia butuh refreshing. Tugas kita jaga butik.”

Serra sedikit mendengkus kesal. Bukan pada Agnes ataupun Vivian. Terbayang dalam benaknya seorang desainer lain yang bekerja untuk Agnes. Wanita angkuh itu akan bersikap seolah-olah dialah sang pemilik butik kalau Agnes tidak di tempat. Menyebalkan sekali!

***

Jalanan belum terlalu ramai. Toko-toko baru mulai menggeliat bangun. Beberapa petugas kebersihan masih sibuk mengepel lantai dengan tulisan ‘Tutup’ masih melekat pada pintu masuk atau jendela kaca. Baru sebagian kecil jajaran toko tersebut yang siap menerima pengunjung.

Taksi yang ditumpangi Agnes berhenti pada salah satu pusat perbelanjaan besar. Agnes pun melesat turun dan membayar ongkos.

Setelah mengucapkan terima kasih sebagai wujud penghargaan atas jasa si sopir taksi, Agnes berjalan santai memasuki mal tersebut.

Entah apa yang akan dibelinya, dia pun tidak tahu. Dia hanya menuruti kata hati untuk sekadar mencari hiburan.

Di tengah suasana mal yang masih agak sepi, kehadiran Agnes tampak mencolok dengan penampilan khas wanita kantoran. Ah, masa bodohlah! Agnes terus berjalan pelan, mengitari mal sepuas hati tanpa tujuan yang pasti.

Aktivitas pengunjung semakin ramai. Agnes sedikit menepi. Dia tidak suka berdesak-desakan atau tersenggol oleh orang-orang yang berlalu lalang.

“Copeeet! Tangkap lelaki itu!”

Terdengar teriakan lantang diiringi riuh suara langkah berlarian.

“Hei! Apa yang ka—”

“Ssst!”

Seorang lelaki muda memotong bentakan Agnes dengan menyilangkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. Dia berjongkok di belakang Agnes, meminta perlindungan.

Beberapa lelaki dan seorang petugas keamanan celingukan di depan Agnes. Mencari-cari pencopet yang mereka buru.

Lelaki muda yang bersembunyi di belakang Agnes semakin merapat mundur sembari menarik helaian baju yang menggantung untuk menutupi diri.

Agnes balik badan dan bersedekap tangan, menatap tajam pada lelaki yang masih berusaha menyembunyikan wajah tanpa mengetahui bahwa para pemburu telah berlalu dari hadapannya.

“Kamu benar-benar pencopet, kan?”

Lelaki itu mendongak. Mulutnya ternganga. Matanya melotot. Dia tidak menyangka wanita cantik yang menjadi dewi penolongnya itu juga menganggap dirinya seorang pencopet.

“Bu–bukan! Aku tidak melakukan hal serendah itu,” sangkalnya sambil menggerakkan kedua tangannya dengan liar.

“Itu apa? Buktinya ada dompet di tanganmu.”

“Hah!”

Lelaki itu baru menyadari bahwa tangan kanannya masih memegang sebuah dompet wanita. Refleks dia membanting dompet tersebut ke sembarang arah.

“Hei! Apa yang akan kau lakukan?” tanya lelaki tersebut.

Wajahnya berubah panik ketika melihat Agnes merogoh kantong dan mengeluarkan ponsel. Siap untuk menelepon seseorang.

“Menurutmu apa yang akan aku lakukan?” tanya Agnes, melirik dingin. “Tentu saja aku akan menghubungi polisi.”

“Tunggu, Nona!”

Lelaki tersebut sontak bangkit dan menahan tangan Agnes. “Tolong … jangan lakukan itu! Aku benar-benar tidak mencopet.”

Agnes masih memasang wajah datar dan seringai dingin. “Cuih! Kamu pikir aku percaya?” sinisnya. “Bukti nyata sudah jelas di depan mata.”

Lelaki itu membuang pandang pada dompet yang masih tergeletak di lantai mal. “A–aku juga tidak tahu mengapa dompet itu bisa ada di tanganku.”

“Jangan banyak alasan! Ayo ikut aku!” Agnes mendengkus dan menarik kerah baju lelaki tersebut setelah menyambar bukti tindak kriminal yang ada di dekatnya.

“Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak bersalah!”

“Nanti saja kamu buktikan di kantor polisi.”

“Apa?!”

Lelaki tersebut menghentikan langkah. Mendengar kantor polisi membuat bulu kuduknya merinding. Dia pun menangkupkan kedua tangan di depan dada. Sorot matanya memelas.

“Kumohon … percayalah padaku! Bukan aku pelakunya.”

Agnes masih bergeming dan semakin mempererat cengkeramannya pada kerah baju lelaki tersebut.

“Kamu bisa menjelaskannya kelak.”

***

Lathifah Nur

Hai sobat readers, Ini buku kedua author di GoodNovel, setelah buku pertama—My Obsessive Ex—tamat. Mohon dukungan vite-nya ya. Terima kasih

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status