Share

2. Kebohongan Kecil

“Nona, dengarkan aku!”

Lelaki itu berkata dengan sungguh-sungguh. Wajahnya yang semula memelas, kini berubah serius. Dia memutar tubuh, tepat berhadapan dengan Agnes. Kerah bajunya masih melekat erat pada tangan wanita tak dikenalnya itu.

Agnes sedikit bergidik ketika tatapannya bersirobok dengan netra gelap lelaki di depannya. Pandangan dalam itu seperti akan menyedotnya ke dalam pusaran resah dan marah.

“Aku tidak punya waktu untuk mendengarkanmu.”

Agnes memalingkan muka dan kembali mengayun langkah sambil menyeret lelaki asing itu.

“Nona … baiklah … kalau kau tetap bersikukuh dengan keyakinanmu dan tidak percaya padaku. Terserah kau saja,” lirih lelaki tersebut. “Tapi … tolong … jangan serahkan aku ke kantor polisi. Ada wanita dan anak kecil yang harus kunafkahi.”

“Itu masalahmu,” timpal Agnes tak acuh. “Kenapa kamu tidak memikirkan akibatnya sebelum berbuat?”

Jawaban Agnes membuat lelaki tersebut merasa panas hati. Dia mencekal tangan Agnes yang menguasai kerah bajunya. Namun, sebelum dia berhasil membebaskan diri, Agnes sudah memutar tubuhnya dan memelintir tangannya ke belakang.

“Akh!” rintih lelaki tersebut.

Dia merasakan kesakitan yang luar biasa pada tangannya. Tenaga wanita tersebut tidak bisa dianggap remeh. Kalau dia terus melawan, bisa-bisa tulangnya remuk. Dia pun terus memutar otak untuk meluluhkan hati wanita tersebut.

Dia tahu pasti, sekeras-kerasnya seorang wanita tetap saja berhati lembut. Sikap keras dan tegas seorang perempuan tak ubahnya seperti buah durian. Kulitnya memang keras dan berduri tajam, dapat melukai dan menyakiti bila tak hati-hati menyentuhnya. Namun, semua itu hanyalah untuk melindungi kelembutan yang tersembunyi di bagian dalam.

“Nona … aku tidak masalah kau menyerahkan aku ke kantor polisi, asal ….” Lelaki tersebut menjeda perkataannya, mengundang lirikan tajam dan tatapan penuh selidik dari Agnes.

“Ini bukan saatnya bernegosiasi, Tuan!”

“Tapi, aku harus melakukannya, Nona!”

“Oke. Baiklah.”

Agnes mengalah. Bukan karena merasa kasihan pada tampang memelas yang dipertontonkan lelaki tak dikenalnya itu, melainkan lantaran rasa penasaran yang tiba-tiba saja menggelitik hatinya.

Merasa mendapat angin segar, bola mata lelaki tersebut berbinar cerah.

“Aku tak peduli berapa lama aku harus mendekam di balik terali besi untuk mempertanggungjawabkan sesuatu yang sebenarnya tidak kulakukan,” cerocos lelaki tersebut. “Asal kau bersedia menanggung biaya hidup dua orang perempuan dewasa dan seorang balita yang selama ini menjadi tanggung jawabku.”

Agnes mendelik. “Apa?! Kamu gila? Kamu pikir aku siapamu?” protes Agnes. “Aku bahkan tidak mengenalmu. Jadi, kenapa aku harus bertanggung jawab terhadap keluargamu?”

Lelaki tersebut menghela napas panjang dan berkata, “Kalau begitu, lupakan saja niatmu untuk menyerahkan aku ke kantor polisi.”

“Tidak bisa! Jelas-jelas kamu telah melakukan tindak kriminal,” bantah Agnes.

“Harus berapa kali kubilang bahwa aku tidak melakukan hal sebodoh itu?”

Agnes mulai meragukan prasangkanya sendiri setelah melihat kegigihan lelaki tersebut mempertahankan keyakinannya. Apa dia salah menilai?

Agnes memutar kembali rekaman yang tersimpan di memori otaknya. Mengingat setiap detail kegaduhan yang terjadi beberapa waktu lalu. Selang beberapa waktu, sudut bibirnya menjungkit naik.

“Kamu punya bukti dan saksi?”

Lelaki tersebut meremas rambutnya dengan frustrasi. Tentu saja dia tidak punya bukti, apalagi saksi. Sebaliknya, fakta tentang keberadaan dompet seorang wanita di tangannya tadi telah memberatkan dirinya sebagai tersangka.

“Aku tahu aku tidak bisa memenuhi keinginanmu itu, Nona,” lirih lelaki tersebut.

Matanya berkaca-kaca. Terbayang wajah kisut seorang wanita berusia senja terbaring lemah di atas pembaringan tanpa mampu bergerak sama sekali, kecuali kedipan mata dan anggukan kepala. Sesekali sedikit gerakan tangan.

Terlintas pula kelebat lucu seorang bocah perempuan berusia lima tahun yang selalu menyambut kepulangannya dengan senyuman terkembang tanpa mengetahui betapa pahit kehidupan masa kecilnya. Wajah sendu seorang wanita muda yang memaksakan senyum pun tak luput dari ingatannya.

Lelaki tersebut memejamkan mata. Jika dia benar-benar harus bertapa di penjara, bagaimana nasib tiga orang yang menjadi tanggungannya itu?

Dia tidak punya apa pun yang bisa diwariskan untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka. Dia hanya seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu setelah di-PHK dari sebuah perusahaan dua tahun yang lalu.

Sekali lagi dia menatap sayu pada wanita ayu yang berdiri angkuh di depannya.

“Tolong … aku bersedia melakukan apa saja asal kau tidak memenjarakanku.”

Agnes terkesiap. Dia dapat melihat netra gelap lelaki tersebut berkilat. 'Dia menangis?' batinnya.

Entah kenapa tiba-tiba saja rasa iba menyusupi nuraninya. Dia menjadi tidak tega untuk meneruskan niatnya. Sorot mata lelaki itu sangat jujur. Bulir bening yang menggantung di sudut matanya tidak bisa dianggap sebagai air mata buaya, tidak pula sebagai tangisan bombay.

Mendadak bayang mamanya yang duduk termenung di atas kursi roda berkelebat di pelupuk mata Agnes.

“Kamu yakin bersedia melakukan apa pun?” Agnes menatap serius pada lelaki tersebut.

“Ya. Apa pun asal tidak berakhir di penjara.”

Agnes berpikir sejenak. Menimbang-nimbang hukuman apa yang pantas dia berikan kepada lelaki tersebut. Kemudian, dia menggeleng. Bukan haknya untuk menghukum seseorang.

“Hem ….” Agnes masih berpikir. “Kalau begitu kamu bekerja sebagai sopir pribadiku tanpa digaji selama sebulan,” cetusnya beberapa detik kemudian.

“Hah!”

Lelaki tersebut terperangah. Bekerja selama sebulan tanpa gaji? Yang benar saja. Mau makan apa keluarganya?

“Kenapa? Tidak mau?” ujar Agnes. “Ya sudah. Kita ke kantor polisi.”

“Tidak! Tidak! Aku tidak mau ke kantor polisi.”

“Oke. Kuanggap kamu mau menjadi sopir pribadiku.”

Lelaki tersebut melongo setelah mendengar keputusan sepihak dari Agnes. Terlambat! Dia tidak bisa melarikan diri. Agnes sudah mencengkeram lengan kiri atasnya dan menyeretnya menuju sebuah taksi online.

“Ayo turun!”

Agnes sudah keluar dari mobil dan menunggu dengan tidak sabar.

Lelaki tersebut masih duduk bengong. Di depannya berdiri kokoh sebuah rumah besar dengan halaman yang sangat luas dan dipenuhi dengan berbagai tanaman langka.

“Ayo!” Agnes semakin naik geram.

Setelah membuang napas kencang, lelaki tersebut akhirnya menjulurkan kaki keluar dari mobil dan menginjak bumi dengan perasaan tak menentu.

“Lo, kamu sudah pulang, Nes?” sapa Ranty yang sedang berjemur di teras.

“Enggak kok, Ma,” sahut Agnes. “Cuma mau mengambil mobil.”

“Oh.” Ranty cuma ber-oh.

“Siapa dia?” Ranty melirik sosok lelaki muda yang berdiri tertunduk di halaman.

Agnes berpaling mengikuti arah pandangan mamanya. Diperhatikannya penampilan lelaki yang baru ditemuinya tersebut.

Dia sedikit terkesima. Tadi dia tidak begitu memperhatikan sosok yang diancamnya itu. Tingginya sekitar 180 cm. Rambutnya yang berwarna ginger brown ditata dengan gaya undercut messy. Terlihat berantakan seperti baru saja dihempas badai, tetapi sangat menawan pada wajah lelaki tersebut.

Ketampanannya semakin sempurna dengan alis tebal dan bulu mata panjang nan lentik. Wajah yang sangat proporsional itu mengingatkan Agnes pada Robert Pattinson, pemain Twilight.

'Ya Tuhan! Bagaimana bisa dia mempunyai wajah sesempurna itu?' batin Agnes.

Sebuah ide gila tiba-tiba saja muncul di benaknya. Tak ia pedulikan bahwa lelaki asing itu terlihat lebih muda darinya.

“Di–dia pacarku, Ma.”

Agnes sedikit gugup ketika mengatakan itu dengan nada pelan. Takut lelaki asing tersebut akan mendengar jawabannya. Bukankah sangat memalukan bila mengakui seseorang sebagai pacar, padahal faktanya justru tidak saling kenal?

Ranty menatap lekat pada lelaki tersebut. “Siapa namanya? Kenapa tidak disuruh masuk dan dikenalkan sama mama?”

Agnes mematung. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Sebuah kebohongan kecil telah menjadi batu loncatan untuk menciptakan sebuah kebohongan yang lebih besar. Haruskah dia kembali menipu demi terlepas dari pertanyaan rutin sang mama?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status