“Nona, dengarkan aku!”
Lelaki itu berkata dengan sungguh-sungguh. Wajahnya yang semula memelas, kini berubah serius. Dia memutar tubuh, tepat berhadapan dengan Agnes. Kerah bajunya masih melekat erat pada tangan wanita tak dikenalnya itu.
Agnes sedikit bergidik ketika tatapannya bersirobok dengan netra gelap lelaki di depannya. Pandangan dalam itu seperti akan menyedotnya ke dalam pusaran resah dan marah.
“Aku tidak punya waktu untuk mendengarkanmu.”
Agnes memalingkan muka dan kembali mengayun langkah sambil menyeret lelaki asing itu.
“Nona … baiklah … kalau kau tetap bersikukuh dengan keyakinanmu dan tidak percaya padaku. Terserah kau saja,” lirih lelaki tersebut. “Tapi … tolong … jangan serahkan aku ke kantor polisi. Ada wanita dan anak kecil yang harus kunafkahi.”
“Itu masalahmu,” timpal Agnes tak acuh. “Kenapa kamu tidak memikirkan akibatnya sebelum berbuat?”
Jawaban Agnes membuat lelaki tersebut merasa panas hati. Dia mencekal tangan Agnes yang menguasai kerah bajunya. Namun, sebelum dia berhasil membebaskan diri, Agnes sudah memutar tubuhnya dan memelintir tangannya ke belakang.
“Akh!” rintih lelaki tersebut.
Dia merasakan kesakitan yang luar biasa pada tangannya. Tenaga wanita tersebut tidak bisa dianggap remeh. Kalau dia terus melawan, bisa-bisa tulangnya remuk. Dia pun terus memutar otak untuk meluluhkan hati wanita tersebut.
Dia tahu pasti, sekeras-kerasnya seorang wanita tetap saja berhati lembut. Sikap keras dan tegas seorang perempuan tak ubahnya seperti buah durian. Kulitnya memang keras dan berduri tajam, dapat melukai dan menyakiti bila tak hati-hati menyentuhnya. Namun, semua itu hanyalah untuk melindungi kelembutan yang tersembunyi di bagian dalam.
“Nona … aku tidak masalah kau menyerahkan aku ke kantor polisi, asal ….” Lelaki tersebut menjeda perkataannya, mengundang lirikan tajam dan tatapan penuh selidik dari Agnes.
“Ini bukan saatnya bernegosiasi, Tuan!”
“Tapi, aku harus melakukannya, Nona!”
“Oke. Baiklah.”
Agnes mengalah. Bukan karena merasa kasihan pada tampang memelas yang dipertontonkan lelaki tak dikenalnya itu, melainkan lantaran rasa penasaran yang tiba-tiba saja menggelitik hatinya.
Merasa mendapat angin segar, bola mata lelaki tersebut berbinar cerah.
“Aku tak peduli berapa lama aku harus mendekam di balik terali besi untuk mempertanggungjawabkan sesuatu yang sebenarnya tidak kulakukan,” cerocos lelaki tersebut. “Asal kau bersedia menanggung biaya hidup dua orang perempuan dewasa dan seorang balita yang selama ini menjadi tanggung jawabku.”
Agnes mendelik. “Apa?! Kamu gila? Kamu pikir aku siapamu?” protes Agnes. “Aku bahkan tidak mengenalmu. Jadi, kenapa aku harus bertanggung jawab terhadap keluargamu?”
Lelaki tersebut menghela napas panjang dan berkata, “Kalau begitu, lupakan saja niatmu untuk menyerahkan aku ke kantor polisi.”
“Tidak bisa! Jelas-jelas kamu telah melakukan tindak kriminal,” bantah Agnes.
“Harus berapa kali kubilang bahwa aku tidak melakukan hal sebodoh itu?”
Agnes mulai meragukan prasangkanya sendiri setelah melihat kegigihan lelaki tersebut mempertahankan keyakinannya. Apa dia salah menilai?
Agnes memutar kembali rekaman yang tersimpan di memori otaknya. Mengingat setiap detail kegaduhan yang terjadi beberapa waktu lalu. Selang beberapa waktu, sudut bibirnya menjungkit naik.
“Kamu punya bukti dan saksi?”
Lelaki tersebut meremas rambutnya dengan frustrasi. Tentu saja dia tidak punya bukti, apalagi saksi. Sebaliknya, fakta tentang keberadaan dompet seorang wanita di tangannya tadi telah memberatkan dirinya sebagai tersangka.
“Aku tahu aku tidak bisa memenuhi keinginanmu itu, Nona,” lirih lelaki tersebut.
Matanya berkaca-kaca. Terbayang wajah kisut seorang wanita berusia senja terbaring lemah di atas pembaringan tanpa mampu bergerak sama sekali, kecuali kedipan mata dan anggukan kepala. Sesekali sedikit gerakan tangan.
Terlintas pula kelebat lucu seorang bocah perempuan berusia lima tahun yang selalu menyambut kepulangannya dengan senyuman terkembang tanpa mengetahui betapa pahit kehidupan masa kecilnya. Wajah sendu seorang wanita muda yang memaksakan senyum pun tak luput dari ingatannya.
Lelaki tersebut memejamkan mata. Jika dia benar-benar harus bertapa di penjara, bagaimana nasib tiga orang yang menjadi tanggungannya itu?
Dia tidak punya apa pun yang bisa diwariskan untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka. Dia hanya seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu setelah di-PHK dari sebuah perusahaan dua tahun yang lalu.
Sekali lagi dia menatap sayu pada wanita ayu yang berdiri angkuh di depannya.
“Tolong … aku bersedia melakukan apa saja asal kau tidak memenjarakanku.”
Agnes terkesiap. Dia dapat melihat netra gelap lelaki tersebut berkilat. 'Dia menangis?' batinnya.
Entah kenapa tiba-tiba saja rasa iba menyusupi nuraninya. Dia menjadi tidak tega untuk meneruskan niatnya. Sorot mata lelaki itu sangat jujur. Bulir bening yang menggantung di sudut matanya tidak bisa dianggap sebagai air mata buaya, tidak pula sebagai tangisan bombay.
Mendadak bayang mamanya yang duduk termenung di atas kursi roda berkelebat di pelupuk mata Agnes.
“Kamu yakin bersedia melakukan apa pun?” Agnes menatap serius pada lelaki tersebut.
“Ya. Apa pun asal tidak berakhir di penjara.”
Agnes berpikir sejenak. Menimbang-nimbang hukuman apa yang pantas dia berikan kepada lelaki tersebut. Kemudian, dia menggeleng. Bukan haknya untuk menghukum seseorang.
“Hem ….” Agnes masih berpikir. “Kalau begitu kamu bekerja sebagai sopir pribadiku tanpa digaji selama sebulan,” cetusnya beberapa detik kemudian.
“Hah!”
Lelaki tersebut terperangah. Bekerja selama sebulan tanpa gaji? Yang benar saja. Mau makan apa keluarganya?
“Kenapa? Tidak mau?” ujar Agnes. “Ya sudah. Kita ke kantor polisi.”
“Tidak! Tidak! Aku tidak mau ke kantor polisi.”
“Oke. Kuanggap kamu mau menjadi sopir pribadiku.”
Lelaki tersebut melongo setelah mendengar keputusan sepihak dari Agnes. Terlambat! Dia tidak bisa melarikan diri. Agnes sudah mencengkeram lengan kiri atasnya dan menyeretnya menuju sebuah taksi online.
“Ayo turun!”
Agnes sudah keluar dari mobil dan menunggu dengan tidak sabar.
Lelaki tersebut masih duduk bengong. Di depannya berdiri kokoh sebuah rumah besar dengan halaman yang sangat luas dan dipenuhi dengan berbagai tanaman langka.
“Ayo!” Agnes semakin naik geram.
Setelah membuang napas kencang, lelaki tersebut akhirnya menjulurkan kaki keluar dari mobil dan menginjak bumi dengan perasaan tak menentu.
“Lo, kamu sudah pulang, Nes?” sapa Ranty yang sedang berjemur di teras.
“Enggak kok, Ma,” sahut Agnes. “Cuma mau mengambil mobil.”
“Oh.” Ranty cuma ber-oh.
“Siapa dia?” Ranty melirik sosok lelaki muda yang berdiri tertunduk di halaman.
Agnes berpaling mengikuti arah pandangan mamanya. Diperhatikannya penampilan lelaki yang baru ditemuinya tersebut.
Dia sedikit terkesima. Tadi dia tidak begitu memperhatikan sosok yang diancamnya itu. Tingginya sekitar 180 cm. Rambutnya yang berwarna ginger brown ditata dengan gaya undercut messy. Terlihat berantakan seperti baru saja dihempas badai, tetapi sangat menawan pada wajah lelaki tersebut.
Ketampanannya semakin sempurna dengan alis tebal dan bulu mata panjang nan lentik. Wajah yang sangat proporsional itu mengingatkan Agnes pada Robert Pattinson, pemain Twilight.
'Ya Tuhan! Bagaimana bisa dia mempunyai wajah sesempurna itu?' batin Agnes.
Sebuah ide gila tiba-tiba saja muncul di benaknya. Tak ia pedulikan bahwa lelaki asing itu terlihat lebih muda darinya.
“Di–dia pacarku, Ma.”
Agnes sedikit gugup ketika mengatakan itu dengan nada pelan. Takut lelaki asing tersebut akan mendengar jawabannya. Bukankah sangat memalukan bila mengakui seseorang sebagai pacar, padahal faktanya justru tidak saling kenal?
Ranty menatap lekat pada lelaki tersebut. “Siapa namanya? Kenapa tidak disuruh masuk dan dikenalkan sama mama?”
Agnes mematung. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Sebuah kebohongan kecil telah menjadi batu loncatan untuk menciptakan sebuah kebohongan yang lebih besar. Haruskah dia kembali menipu demi terlepas dari pertanyaan rutin sang mama?
***
“Kita mau ke mana, Nona?” Agnes masih melempar pandang ke luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi oleh sandiwara berbisa yang tadi dimainkannya di hadapan sang mama. Untung saja lelaki asing yang diketahui bernama Aksa itu tidak terlalu ambil peduli dan tidak banyak tanya. Itu karena dia memang tidak mendengar dialog pertama antara Agnes dan mamanya. Jadi, dia hanya menjawab seadanya pertanyaan yang diajukan Ranty, dengan jujur dan tanpa rasa canggung. “Nona Agnes!” Kali ini Aksa memanggil dengan nada lebih keras. “Hah! Apa?” Agnes gelagapan. “Ke mana sekarang?” “Tentu saja ke kantorku.” “Aku tidak tahu di mana kantormu, Nona.” Agnes menoleh kaget pada Aksa yang masih fokus di belakang roda kemudi. “Bisa tidak kalau kamu memanggilku Agnes saja? Tidak perlu embel-embel ‘Nona’ yang menggelikan itu.” “Rasanya sangat tidak sopan. Aku kan hanya karyawan, bukan teman sepermainan.” “Kalau kamu pikir dengan sebuah panggilan kehormatan seseorang bisa menjadi sangat terhormat, kamu k
“Papa!” Seorang bocah perempuan yang tengah duduk di pangkuan mamanya segera melompat turun dan berlari menyongsong kepulangan Aksa. “Halo, Sayang!” Aksa mengecup gemas pipi gembul sang bocah, lalu menggendongnya. Seorang perempuan berkerudung menyambut kedatangan Aksa dengan senyuman menawan. Wajah teduhnya mirip sekali dengan Maudy Koesnaedi—Aktris lawas yang tersohor pada era 90-an. “Sebaiknya Mas mandi dulu,” ujarnya. “Kyra sama mama lagi, ya ....” Bocah cantik itu segera meluncur turun dari gendongan Aksa. Selesai mandi dan berganti pakaian, Aksa merebahkan tubuh lelahnya di atas sofa di ruang tengah. Meskipun rumahnya sederhana dan tidak terlalu besar, Aksa masih bersyukur dia tidak perlu tinggal di rumah kontrakan. “Kopinya, Mas.” Aksa membuka matanya yang sempat terpejam. Dilihatnya Ainun sudah ikut duduk di dekatnya. Aksa menyesap kopi panas itu dengan perlahan. Meresapi rasa pahit di setiap tetesnya. Sepertinya Ainun lupa menaruh gula atau mungkin juga gulanya suda
Aksa tersungkur tepat di ujung sepatu si lelaki perlente. Dorongan kuat Freddy menyebabkan wajahnya hampir menghantam lantai pelataran parkir dengan telak. “Jadi, kau bersikeras untuk tidak mau melunasi utangmu?” Lelaki perlente itu bertanya dengan nada dingin dan menginjak kepala Aksa dengan kaki kanannya. Aksa mengeritkan gigi. Menahan geram yang bergejolak di dalam dada. Ingin sekali dia bangkit dan merobohkan lelaki perlente tersebut. 'Kalau aku melawan sekarang, tidak mustahil mereka akan merusak atau bahkan menghancurkan mobil Agnes. Lebih baik aku mengalah saja,' batin Aksa, menimbang-nimbang untung rugi jika dia melakukan konfrontasi fisik. “Aku janji aku akan membayar semua utangku, Tuan Alvist,” ujar Aksa. “Tapi tidak sekarang. Beri aku waktu!” “Aku sudah memberimu waktu berbulan-bulan, tapi kau malah melarikan diri alih-alih membayar utangmu padaku,” balas Alvist. “Aku sudah tidak bisa menoleransi lagi. Bayar sekarang atau ….” Alvist tidak meneruskan kata-katanya. Dia
“Aaargh!” Aksa bangkit dari pembaringan dan meremas rambutnya dengan frustrasi. Dia berjalan lesu meninggalkan kamar dan duduk di teras samping. Rembulan menggantung di langit malam. Sedikit bersembunyi di balik pucuk pohon. Kerlip taburan bintang yang biasa memagari sang dewi malam kini tak lagi terlihat. Ke mana bintang-gemintang itu menghilang? Aksa memandang sayu pada pendar rembulan yang kian memudar. Kesendirian seakan telah menyebabkan dewi malam itu bermuram durja. Tiba-tiba saja Aksa merasa dia tak ubahnya seperti bulan yang mulai menghilang, tersaput mega kelam. Perlahan Aksa bangkit, mengayun langkah menuju halaman yang tidak begitu luas. Dia melangkah gontai dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana. Sesekali dia menarik kerah bajunya untuk melindungi lehernya dari serangan hawa dingin. 'Ya Tuhan, tidak adakah jalan lain yang bisa kutempuh?' batin Aksa, bertanya gundah. Agnes menolak keras untuk memotong gajinya sebagai jalan pelunasan utang. Gilanya, wanit
Detak jantung Agnes berdebar kencang ketika menyaksikan Nevan telah meletakkan gagang telepon dan berpaling kepadanya. Senyuman yang terbit di wajah lelaki tersebut terlihat mengerikan dengan bola mata berkilat licik. Dalam hati, Agnes tak henti-hentinya melafal doa agar Aksa segera kembali. Atmosfer ruang kerja Nevan mendadak terasa pengap dan lembap. Aura hangatnya telah berganti dengan suasana dingin dan mencekam, laksana sebuah gua gelap yang belum pernah terjamah. Langkah kaki Nevan yang berjalan mendekat terdengar seperti dentuman meriam di medan perang. Begitu menakutkan dan membuat bulu kuduk merinding. “Maaf! Aku butuh ke toilet sebentar!” pamit Agnes, buru-buru tegak. Dia mengayun langkah panjang menuju pintu sebelum Nevan semakin memangkas jarak di antara mereka. Nevan mengatupkan rahang rapat-rapat begitu Agnes menghilang di balik pintu tanpa menunggu persetujuannya. “Tak seorang pun bisa melarikan diri dariku,” geram Nevan. Manik matanya berkilat semakin tajam. Dia s
“Terima kasih, Mbak!” ujar Aksa begitu turun dari mobil. “Besok tidak usah kerja dulu,” tegas Agnes. “Istirahatlah sampai kondisimu benar-benar pulih!” “Ya, Mbak.” “Tunggu!” Baru beberapa langkah berjalan, Aksa kembali balik badan. Agnes memanggilnya. Apa wanita itu berubah pikiran? “Ya, Mbak?” Aksa mendekat dan sedikit membungkuk pada jendela mobil Agnes. “Ambil ini!” Agnes menyodorkan kantong keresek berisi kotak kepada Aksa. Ragu-ragu Aksa mengulurkan tangan dan meraih kantong tersebut. “Apa ini, Mbak?” tanyanya. “Hanya hadiah kecil untuk keluargamu.” Agnes menyahut santai, lalu mengoper gigi persneling dan menginjak pedal gas untuk meninggalkan rumah Aksa. Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Tidak enak jika istri Aksa melihat kehadirannya. Aksa hanya bisa tegak bengong seperti orang linglung, menatap kepergian Agnes yang menyisakan kabut putih tipis dari hasil pembakaran mesin kendaraannya. UHUK! UHUK! Aksa terbatuk. Entah karena efek karbon monoksida yang ditinggalk
Agnes berjalan mondar-mandir bak setrikaan sedang bekerja. Jari-jarinya agak bergetar. Sedari kemarin dia menunggu Aksa menghubunginya, tetapi teleponnya tidak sekali pun berdering. Mendadak Agnes menjadi semakin gugup. Apa Aksa marah? Dia tidak bermaksud menjatuhkan harga diri lelaki tersebut. Dia hanya ingin membantu. Agnes mengeluarkan gawai dari sakunya. Menggenggamnya erat seakan-akan takut barang itu akan terlepas dari tangannya. 'Telepon tidak ya?' Pertanyaan penuh keraguan terus bergema di kepala Agnes. Sebagian sisi hatinya ingin sekali menghubungi Aksa detik itu juga. Namun, sisi hati yang lain justru mencegahnya. Entah sudah berapa lama Agnes bolak-balik dari ujung ke ujung di ruang kerjanya tersebut. Adakalanya dia menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Berusaha melonggarkan rongga dadanya yang terasa bagai diimpit batu besar. “Bagaimana kalau dia marah dan tidak terima?” Agnes terus bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu. “Jadi … benar Mbak yang mengir
“Gila kamu, Aksa!” Dendra memaki keponakannya sembari menghentikan langkah dan tegak dengan berkacak pinggang. Dari kejauhan dia masih bisa menyaksikan bayangan Agnes bercengkerama dengan mamanya dari balik kaca jendela yang sedikit gelap. “Cuma itu yang terlintas di pikiranku, Paman.” Aksa juga tidak tahu kenapa pada saat Ranty meminta jaminan, bibirnya spontan mengucap janji dengan lantang bahwa dia tidak akan menceraikan Agnes kecuali jika Agnes sendiri yang mengajukan gugatan cerai kepadanya. “Seharusnya kamu pakai batas waktu.” Dendra sangat menyayangkan kecerobohan Aksa. Walaupun dia tidak berharap rumah tangga keponakannya itu hancur di tengah jalan, dia juga tidak yakin Aksa mampu memegang teguh janjinya. Terlebih dengan mengingat usia Aksa yang lebih muda dari Agnes dan perkenalan mereka yang terbilang singkat. “Sudahlah, Paman,” tukas Aksa. “Semua sudah terjadi. Doakan saja aku bisa memenuhinya. Memangnya Paman tidak senang melihat rumah tanggaku langgeng?” “Bukan begi