“Aaargh!”
Aksa bangkit dari pembaringan dan meremas rambutnya dengan frustrasi. Dia berjalan lesu meninggalkan kamar dan duduk di teras samping.
Rembulan menggantung di langit malam. Sedikit bersembunyi di balik pucuk pohon. Kerlip taburan bintang yang biasa memagari sang dewi malam kini tak lagi terlihat. Ke mana bintang-gemintang itu menghilang?
Aksa memandang sayu pada pendar rembulan yang kian memudar. Kesendirian seakan telah menyebabkan dewi malam itu bermuram durja. Tiba-tiba saja Aksa merasa dia tak ubahnya seperti bulan yang mulai menghilang, tersaput mega kelam.
Perlahan Aksa bangkit, mengayun langkah menuju halaman yang tidak begitu luas. Dia melangkah gontai dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana. Sesekali dia menarik kerah bajunya untuk melindungi lehernya dari serangan hawa dingin.
'Ya Tuhan, tidak adakah jalan lain yang bisa kutempuh?' batin Aksa, bertanya gundah.
Agnes menolak keras untuk memotong gajinya sebagai jalan pelunasan utang. Gilanya, wanita itu malah meminta dirinya untuk menikahinya. Apa sekarang zaman benar-benar sudah semakin edan sampai-sampai enau memanjat sigai?
Bagaimana bisa seorang wanita secantik dan sesukses Agnes terlihat begitu putus asa dan menginginkan pria yang baru dikenalnya untuk menjadi suaminya? Jelas-jelas Agnes sudah tahu bahwa dia memiliki keluarga. Lalu, dari mana ide konyol itu muncul?
“Kamu tidak harus menjawabnya sekarang,” kata Agnes. “Pertimbangkan saja dulu! Lagi pula, aku tidak akan menuntut waktumu untuk bersamaku selain dari jam kerja.”
“Tapi, Mbak—”
Kibasan tangan Agnes memotong sanggahan Aksa. “Aku tidak mau mendengar penolakanmu sekarang,” lirih Agnes. “Ini akan menjadi simbiosis mutualisme untuk kita. Utangmu lunas dan kamu tetap mendapatkan gaji secara utuh.”
“Lalu, Mbak dapat apa?” Aksa merasa hanya dia yang diuntungkan di sini.
“Aku?” Agnes melirik serius pada Aksa. Aksa mengangguk.
“Aku akan terbebas dari rongrongan mamaku.” Agnes melempar pandang ke luar jendela. Ada kabut tipis yang menutupi bola mata indahnya. “Syukur-syukur pernikahan ini juga akan mengunci mulut para tetangga.”
Agnes membuang napas resah. Dia sudah sangat lelah dengan semua cibiran dan tatapan mengejek yang dilayangkan ibu-ibu usil dan bermulut ember tersebut. Ibu-ibu yang senantiasa memanfaatkan momen berkumpul mereka untuk bergosip dan mengorek aib orang lain. Apa mereka tidak takut dosa? Atau mereka memang sangat ingin memakan daging busuk di neraka nanti? Entahlah.
Aksa menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Asap tipis mengepul dari mulutnya begitu udara hangat yang dia keluarkan berbenturan dengan dinginnya cuaca malam. Di bentang cakrawala, rembulan kembali menampakkan rupa dengan pendar emasnya yang melingkar indah.
Setiap dialog yang terjadi antara dirinya dan Agnes tadi siang terus berputar seperti rekaman video pembelajaran yang selalu ditayangkan ulang agar dia benar-benar paham.
Dari balik jendela kamarnya, Ainun menyaksikan semua kegelisahan Aksa dengan air mata jatuh menitik. Dia tidak tahu kenapa dia menangis. Mungkin itu bukti valid dari ketajaman intuisi seorang wanita.
***
“Aku tidak pernah memintamu untuk tetap menunggu di mobil.”
Agnes berkata serius dengan tatapan setajam belati kepada Aksa. Lelaki itu masih belum menunjukkan tanda-tanda akan segera turun dari mobil.
“Di sini lebih nyaman, Mbak.” Aksa menyahut enteng.
Tidak ada alasan baginya untuk mengikuti ke mana pun Agnes pergi. Dia sopir, bukan pengawal pribadi. Lagi pula, kerja sama yang akan dijalani Agnes tidak ada kaitan sama sekali dengan dirinya. Dia tidak terlibat sedikit pun.
“Ikut aku!” Agnes balik badan dan langsung melangkah pergi.
Aksa bengong, menatap punggung Agnes yang semakin menjauh. Hatinya bimbang. Benarkah dia perlu mendampingi Agnes?
“Tunggu apa lagi?!”
“Oh … i–iya, Mbak.”
Buru-buru Aksa memutus kebingungannya dan berjalan cepat, menyusul Agnes yang menunggunya dengan raut muka sedingin es.
Meskipun tidak mengerti dengan kelakuan Agnes, Aksa tidak berani menguntai tanya. Apalah daya, dia tidak lebih dari sekadar seorang pekerja. Sudah lumrah bagi bawahan untuk bersikap patuh kepada atasan kalau tidak ingin didepak dari kedudukannya.
Seorang petugas resepsionis menyambut ramah kehadiran Agnes.
“Nona Agnes Fan?”
Pertanyaan konfirmasi tersebut disambut Agnes dengan anggukan kepala. Tak lupa dia juga membalas senyuman hangat sang resepsionis cantik. Dengan sudut matanya, Agnes sempat membaca nama ‘Rara’ tertera pada dada gadis muda tersebut.
“Mari, Nona!” ajak Rara. “Tuan Nevan sudah menunggu Anda.”
Agnes melangkah anggun di samping Rara. Begitu pula dengan Aksa. Dia tidak berani menarik diri setelah menerima lirikan tajam dari Agnes.
“Silakan, Nona!”
Rara memberi kode dengan jari agar Agnes masuk sendiri ke ruangan Nevan. Kewajibannya hanya mengantar sampai ke depan pintu ruang kerja bos besarnya itu. Selanjutnya, dia tidak perlu tahu.
“Terima kasih,” ujar Agnes.
Dia mengetuk pintu yang berdiri kokoh di depannya sebanyak tiga kali. Ketukan tersebut menghasilkan irama yang khas dan bernada tegas.
“Masuk!”
Terdengar teriakan dari dalam. Agnes pun tidak membuang waktu. Didorongnya daun pintu secara perlahan. Suara entakan sepatu bertumit tinggi segera bergema di dalam ruangan tertutup itu.
“Ah, Nona Agnes!” sambut Nevan.
Senyuman riang terukir indah di bibirnya ketika menyadari kedatangan wanita yang sudah ditunggunya sedari tadi. Refleks dia meninggalkan singgasana kebesarannya untuk menyongsong Agnes.
“Sepertinya kedatanganku sedikit mengganggu,” komentar Agnes.
Mata jelinya mengamati tumpukan berkas yang berserakan di atas meja kerja Nevan.
“Apa yang kau bicarakan?” kekeh Nevan. “Kau tidak menggangguku sama sekali. Ayo duduk!”
Agnes mengenyakkan pantat di atas sofa yang tersedia di sisi kiri meja kerja Nevan.
“Wah, aku baru tahu Anda mempekerjakan seorang asisten sekarang,” kelakar Nevan setelah melihat Aksa ikut duduk tidak jauh dari Agnes.
“Dia Aksa,” sahut Agnes, memperkenalkan Aksa kepada Nevan.
“Nevan.”
Nevan memperkenalkan diri ketika Aksa mengulurkan tangan kepadanya. Tak sedikit pun kesombongan membias di wajahnya, tetapi kilat tak suka berkelebat pada sinar matanya.
“Jadi, kapan aku bisa bertemu dengan para model itu?” tanya Agnes pada Nevan.
“Santai saja, Nona. Tidak perlu terburu-buru.”
“Anda tahu? Aku akan kehilangan banyak hal jika terbiasa menunda.”
“Benar sekali! Aku tidak salah telah memilih Anda sebagai partner,” komentar Nevan. “Tapi … aku lebih tertarik untuk melihat rancangan Anda terlebih dulu.”
Agnes mengeluarkan sebuah buku desain dari dalam tas kerjanya dan menyerahkan buku tersebut kepada Nevan.
“Kalau ada detail yang perlu diubah, katakan saja! Aku akan memperbaikinya.”
Tatapan Nevan menyapu bersih setiap detail yang tergores halus pada rancangan gaun-gaun wewah yang dihasilkan Agnes. Sesekali dia mendecak sembari menggeleng pelan dengan sudut bibir sedikit naik, membentuk senyuman puas.
“Aku kehabisan kata,” pungkas Nevan setelah menutup kembali buku desain milik Agnes.
Ditaruhnya buku tersebut di atas meja. Sorot matanya tak mampu menyembunyikan bias kekaguman pada sosok wanita cantik yang duduk di depannya itu.
“Terima kasih. Itu artinya tidak ada yang perlu diubah, bukan?”
Agnes bertanya untuk memastikan kebenaran kesimpulannya atas sikap Nevan terhadap hasil karyanya.
“Itu sudah sangat sempurna,” tegas Nevan. “Aku yakin kerja sama ini akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar.”
Agnes hanya tersenyum tipis mendengar keyakinan Nevan. “Hanya kalau aku punya cukup waktu untuk mengerjakannya setelah mengukur para model.”
Nevan menyipitkan mata. Dia merasa Agnes sangat kaku dan terkesan ingin menghindari pertemuan dengannya.
“Haha … tidak perlu tergesa-gesa, Nona Agnes,” tukasnya. “Anda masih punya banyak waktu untuk melakukan semua itu.”
Agnes melayangkan tatapan dingin pada Nevan. Dia jengah setiap kali berhadapan dengan para pebisnis muda. Begitu pula berurusan dengan Nevan. Isi kepala lelaki itu tidak hanya seputar kerja sama. Dasar lelaki! Apa tidak bisa sehari saja berhenti mencari celah untuk menggoda wanita?
“Anda tahu? Desain yang sudah kubuat itu tidak bisa menggunakan bahan sembarangan,” jelas Agnes. “Butuh waktu untuk memilih dan menemukan dasar yang sesuai. Bukan hanya karena soal harga, tetapi juga sehubungan dengan ketersediaan stok bahan. Tidak mudah untuk mendapatkan semua bahan yang dibutuhkan.”
Wajah santai Nevan kini berubah serius. Dia seperti baru saja tersadar dari sebuah lamunan panjang.
'Sial! Kenapa aku lupa?'
Nevan memaki dirinya sendiri dalam hati. Bisa-bisanya dia lupa bahwa Agnes memang seorang desainer yang selalu mempersembahkan gaun-gaun spesial dengan bahan kualitas terbaik dan sulit didapat.
Seorang Agnes akan lebih memilih untuk menunda atau bahkan membatalkan jadwal peluncuran karya terbarunya bila tidak berhasil menemukan bahan yang sesuai dengan gaun rancangannya.
“Baiklah, Nona,” ujar Nevan. “Tunggu sebentar!”
Nevan kembali ke meja kerjanya dan menghubungi seseorang.
“Aks—”
Panggilan Agnes terhenti. Tubuhnya seketika membatu. Aksa tidak lagi berada di tempat semula. Ke mana dia?
***
Detak jantung Agnes berdebar kencang ketika menyaksikan Nevan telah meletakkan gagang telepon dan berpaling kepadanya. Senyuman yang terbit di wajah lelaki tersebut terlihat mengerikan dengan bola mata berkilat licik. Dalam hati, Agnes tak henti-hentinya melafal doa agar Aksa segera kembali. Atmosfer ruang kerja Nevan mendadak terasa pengap dan lembap. Aura hangatnya telah berganti dengan suasana dingin dan mencekam, laksana sebuah gua gelap yang belum pernah terjamah. Langkah kaki Nevan yang berjalan mendekat terdengar seperti dentuman meriam di medan perang. Begitu menakutkan dan membuat bulu kuduk merinding. “Maaf! Aku butuh ke toilet sebentar!” pamit Agnes, buru-buru tegak. Dia mengayun langkah panjang menuju pintu sebelum Nevan semakin memangkas jarak di antara mereka. Nevan mengatupkan rahang rapat-rapat begitu Agnes menghilang di balik pintu tanpa menunggu persetujuannya. “Tak seorang pun bisa melarikan diri dariku,” geram Nevan. Manik matanya berkilat semakin tajam. Dia s
“Terima kasih, Mbak!” ujar Aksa begitu turun dari mobil. “Besok tidak usah kerja dulu,” tegas Agnes. “Istirahatlah sampai kondisimu benar-benar pulih!” “Ya, Mbak.” “Tunggu!” Baru beberapa langkah berjalan, Aksa kembali balik badan. Agnes memanggilnya. Apa wanita itu berubah pikiran? “Ya, Mbak?” Aksa mendekat dan sedikit membungkuk pada jendela mobil Agnes. “Ambil ini!” Agnes menyodorkan kantong keresek berisi kotak kepada Aksa. Ragu-ragu Aksa mengulurkan tangan dan meraih kantong tersebut. “Apa ini, Mbak?” tanyanya. “Hanya hadiah kecil untuk keluargamu.” Agnes menyahut santai, lalu mengoper gigi persneling dan menginjak pedal gas untuk meninggalkan rumah Aksa. Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Tidak enak jika istri Aksa melihat kehadirannya. Aksa hanya bisa tegak bengong seperti orang linglung, menatap kepergian Agnes yang menyisakan kabut putih tipis dari hasil pembakaran mesin kendaraannya. UHUK! UHUK! Aksa terbatuk. Entah karena efek karbon monoksida yang ditinggalk
Agnes berjalan mondar-mandir bak setrikaan sedang bekerja. Jari-jarinya agak bergetar. Sedari kemarin dia menunggu Aksa menghubunginya, tetapi teleponnya tidak sekali pun berdering. Mendadak Agnes menjadi semakin gugup. Apa Aksa marah? Dia tidak bermaksud menjatuhkan harga diri lelaki tersebut. Dia hanya ingin membantu. Agnes mengeluarkan gawai dari sakunya. Menggenggamnya erat seakan-akan takut barang itu akan terlepas dari tangannya. 'Telepon tidak ya?' Pertanyaan penuh keraguan terus bergema di kepala Agnes. Sebagian sisi hatinya ingin sekali menghubungi Aksa detik itu juga. Namun, sisi hati yang lain justru mencegahnya. Entah sudah berapa lama Agnes bolak-balik dari ujung ke ujung di ruang kerjanya tersebut. Adakalanya dia menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Berusaha melonggarkan rongga dadanya yang terasa bagai diimpit batu besar. “Bagaimana kalau dia marah dan tidak terima?” Agnes terus bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu. “Jadi … benar Mbak yang mengir
“Gila kamu, Aksa!” Dendra memaki keponakannya sembari menghentikan langkah dan tegak dengan berkacak pinggang. Dari kejauhan dia masih bisa menyaksikan bayangan Agnes bercengkerama dengan mamanya dari balik kaca jendela yang sedikit gelap. “Cuma itu yang terlintas di pikiranku, Paman.” Aksa juga tidak tahu kenapa pada saat Ranty meminta jaminan, bibirnya spontan mengucap janji dengan lantang bahwa dia tidak akan menceraikan Agnes kecuali jika Agnes sendiri yang mengajukan gugatan cerai kepadanya. “Seharusnya kamu pakai batas waktu.” Dendra sangat menyayangkan kecerobohan Aksa. Walaupun dia tidak berharap rumah tangga keponakannya itu hancur di tengah jalan, dia juga tidak yakin Aksa mampu memegang teguh janjinya. Terlebih dengan mengingat usia Aksa yang lebih muda dari Agnes dan perkenalan mereka yang terbilang singkat. “Sudahlah, Paman,” tukas Aksa. “Semua sudah terjadi. Doakan saja aku bisa memenuhinya. Memangnya Paman tidak senang melihat rumah tanggaku langgeng?” “Bukan begi
Siluet sebuah benda yang melayang tepat ke arahnya memicu gerak refleks Aksa untuk segera menangkap benda itu. Sebuah bantal kini berada di dalam genggaman tangannya. Aksa memutar kepala ke kiri. Tampak Agnes sedang merapikan tempat tidur. Bersikap seolah-olah dia tidak tahu apa-apa mengenai bantal terbang yang menyasar tubuh Aksa. 'Ah, nyaman sekali bisa berbaring seperti ini,' pikir Agnes setelah merasakan penat di sekujur tubuhnya akibat prosesi pernikahannya dengan Aksa. Kelopak matanya yang sempat terkatup rapat mendadak terbuka lebar. Dia terlonjak bangkit, lantas duduk bersila di atas pembaringan. “Kamu boleh tidur di atas sofa itu.” Agnes menunjuk sofa besar yang terbentang di bawah jendela kamarnya. Pandangan Aksa mengikuti arah jari telunjuk Agnes. Sebuah sofa besar berwarna ungu gelap seperti memang sudah siap menyambut kehadirannya. 'Yang benar saja!' gerutu Aksa dalam hati. Dia tidak pernah bermimpi bahwa di malam pertama pernikahannya dia akan diminta untuk tidur
Menjejakkan kaki di dalam kamar, Aksa mendapati atmosfer ruang kamar itu seperti sedang dihantam angin badai disertai sambaran petir. Agnes berdiri di depan cermin, lalu balik badan begitu mendengar pintu berderit pelan dan Aksa berdiri di sana. Wajah cantiknya telah beralih rupa menjadi sosok dedemit yang sangat mengerikan. Kedua matanya melotot merah seakan-akan siap memancarkan sepasang sinar laser dari sana untuk meluluhlantakkan sekujur tubuh Aksa menjadi serpihan debu, yang akan menghilang tertiup angin. Gigi gerahamnya saling bertaut dan mengerit kuat. Membayangkan daging dari setiap bagian tubuh suaminya itu sedang dikunyahnya sekuat tenaga. “Masih pagi kok teriak-teriak,” komentar Aksa, berusaha memasang wajah setenang permukaan air danau tanpa embusan angin. “Ada apa?” “Kamu?!” Agnes menggeram. “Apa yang kamu lakukan pada tubuhku?!” Agnes menarik kerah bajunya lebar-lebar dan mengancakkan dua bercak merah keunguan yang menghiasi leher putih jenjangnya. Aksa menyeringai
Kyra mengangkat kepala. Dia sangat mengenali suara itu. Refleks dia memutar kepala ke arah pintu. “Papaaa ….” Jeritan leganya berkumandang ketika melihat sosok Aksa berdiri di tengah pintu dengan kedua tangan terisi penuh. Kyra menghambur ke dalam pelukan papanya, tepat pada saat Aksa menjatuhkan beban di tangannya dan berjongkok menyambut kehadiran Kyra. “Aku kira Papa tidak akan pulang,” cerocos Kyra, bergelayut manja pada leher papanya. “Itu mustahil, Sayang …” sanggah Aksa sambil terus berjalan menuju sofa dengan Kyra tetap berada di dalam gendongannya. Sejuta tanya memenuhi kepala Ainun. Ingin rasanya dia menguntai tanya itu satu per satu, tetapi diurungkannya. Dia tidak ingin melenyapkan senyum bahagia yang merekah di bibir putri kecilnya hanya karena menuruti naluri seorang wanita. Ainun merapikan lagi penampilan Kyra setelah Aksa mendudukkan gadis itu di atas sofa. Kristal bening yang tadi sempat menghujani wajah imut Kyra kini telah sirna, tak berbekas. Digantikan oleh
Ainun melangkah gontai menuju kamar tidur Kyra. Dibukanya pintu secara perlahan. Pemandangan Aksa mendekap hangat tubuh Kyra yang sudah tertidur lelap langsung terekam jelas dalam retina matanya. Sudut bibirnya spontan melengkung naik, membentuk seulas senyuman. Ada kehangatan yang menjalari hatinya saat mendapati betapa besar kasih sayang Aksa untuk Kyra. Lelaki itu benar-benar bertindak sebagai seorang ayah yang menjadi kekasih pertama bagi putrinya. Seiring pendar rembulan yang kian memudar di luar sana, senyuman Ainun pun turut sirna ditelan resah. Apa yang salah dengan dirinya hingga lelaki itu tidak pernah lagi tertarik untuk menyentuhnya? Seminggu setelah pernikahan mereka, Aksa pamit untuk berangkat ke luar kota sehubungan dengan pekerjaannya. Janjinya hanya dua hari, tetapi ternyata suaminya itu pulang terlambat. Sebenarnya Ainun tidak mempermasalahkan hal tersebut. Melihat Aksa kembali pulang saja dia sudah sangat lega setelah sempat dirundung gelisah. Hanya saja, dia tid