Share

6. Lorong Gelap

“Aaargh!”

Aksa bangkit dari pembaringan dan meremas rambutnya dengan frustrasi. Dia berjalan lesu meninggalkan kamar dan duduk di teras samping.

Rembulan menggantung di langit malam. Sedikit bersembunyi di balik pucuk pohon. Kerlip taburan bintang yang biasa memagari sang dewi malam kini tak lagi terlihat. Ke mana bintang-gemintang itu menghilang?

Aksa memandang sayu pada pendar rembulan yang kian memudar. Kesendirian seakan telah menyebabkan dewi malam itu bermuram durja. Tiba-tiba saja Aksa merasa dia tak ubahnya seperti bulan yang mulai menghilang, tersaput mega kelam.

Perlahan Aksa bangkit, mengayun langkah menuju halaman yang tidak begitu luas. Dia melangkah gontai dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana. Sesekali dia menarik kerah bajunya untuk melindungi lehernya dari serangan hawa dingin.

'Ya Tuhan, tidak adakah jalan lain yang bisa kutempuh?' batin Aksa, bertanya gundah.

Agnes menolak keras untuk memotong gajinya sebagai jalan pelunasan utang. Gilanya, wanita itu malah meminta dirinya untuk menikahinya. Apa sekarang zaman benar-benar sudah semakin edan sampai-sampai enau memanjat sigai?

Bagaimana bisa seorang wanita secantik dan sesukses Agnes terlihat begitu putus asa dan menginginkan pria yang baru dikenalnya untuk menjadi suaminya? Jelas-jelas Agnes sudah tahu bahwa dia memiliki keluarga. Lalu, dari mana ide konyol itu muncul?

“Kamu tidak harus menjawabnya sekarang,” kata Agnes. “Pertimbangkan saja dulu! Lagi pula, aku tidak akan menuntut waktumu untuk bersamaku selain dari jam kerja.”

“Tapi, Mbak—”

Kibasan tangan Agnes memotong sanggahan Aksa. “Aku tidak mau mendengar penolakanmu sekarang,” lirih Agnes. “Ini akan menjadi simbiosis mutualisme untuk kita. Utangmu lunas dan kamu tetap mendapatkan gaji secara utuh.”

“Lalu, Mbak dapat apa?” Aksa merasa hanya dia yang diuntungkan di sini.

“Aku?” Agnes melirik serius pada Aksa. Aksa mengangguk.

“Aku akan terbebas dari rongrongan mamaku.” Agnes melempar pandang ke luar jendela. Ada kabut tipis yang menutupi bola mata indahnya. “Syukur-syukur pernikahan ini juga akan mengunci mulut para tetangga.”

Agnes membuang napas resah. Dia sudah sangat lelah dengan semua cibiran dan tatapan mengejek yang dilayangkan ibu-ibu usil dan bermulut ember tersebut. Ibu-ibu yang senantiasa memanfaatkan momen berkumpul mereka untuk bergosip dan mengorek aib orang lain. Apa mereka tidak takut dosa? Atau mereka memang sangat ingin memakan daging busuk di neraka nanti? Entahlah.

Aksa menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Asap tipis mengepul dari mulutnya begitu udara hangat yang dia keluarkan berbenturan dengan dinginnya cuaca malam. Di bentang cakrawala, rembulan kembali menampakkan rupa dengan pendar emasnya yang melingkar indah.

Setiap dialog yang terjadi antara dirinya dan Agnes tadi siang terus berputar seperti rekaman video pembelajaran yang selalu ditayangkan ulang agar dia benar-benar paham.

Dari balik jendela kamarnya, Ainun menyaksikan semua kegelisahan Aksa dengan air mata jatuh menitik. Dia tidak tahu kenapa dia menangis. Mungkin itu bukti valid dari ketajaman intuisi seorang wanita.

***

“Aku tidak pernah memintamu untuk tetap menunggu di mobil.”

Agnes berkata serius dengan tatapan setajam belati kepada Aksa. Lelaki itu masih belum menunjukkan tanda-tanda akan segera turun dari mobil.

“Di sini lebih nyaman, Mbak.” Aksa menyahut enteng.

Tidak ada alasan baginya untuk mengikuti ke mana pun Agnes pergi. Dia sopir, bukan pengawal pribadi. Lagi pula, kerja sama yang akan dijalani Agnes tidak ada kaitan sama sekali dengan dirinya. Dia tidak terlibat sedikit pun.

“Ikut aku!” Agnes balik badan dan langsung melangkah pergi.

Aksa bengong, menatap punggung Agnes yang semakin menjauh. Hatinya bimbang. Benarkah dia perlu mendampingi Agnes?

“Tunggu apa lagi?!”

“Oh … i–iya, Mbak.”

Buru-buru Aksa memutus kebingungannya dan berjalan cepat, menyusul Agnes yang menunggunya dengan raut muka sedingin es.

Meskipun tidak mengerti dengan kelakuan Agnes, Aksa tidak berani menguntai tanya. Apalah daya, dia tidak lebih dari sekadar seorang pekerja. Sudah lumrah bagi bawahan untuk bersikap patuh kepada atasan kalau tidak ingin didepak dari kedudukannya.

Seorang petugas resepsionis menyambut ramah kehadiran Agnes.

“Nona Agnes Fan?”

Pertanyaan konfirmasi tersebut disambut Agnes dengan anggukan kepala. Tak lupa dia juga membalas senyuman hangat sang resepsionis cantik. Dengan sudut matanya, Agnes sempat membaca nama ‘Rara’ tertera pada dada gadis muda tersebut.

“Mari, Nona!” ajak Rara. “Tuan Nevan sudah menunggu Anda.”

Agnes melangkah anggun di samping Rara. Begitu pula dengan Aksa. Dia tidak berani menarik diri setelah menerima lirikan tajam dari Agnes.

“Silakan, Nona!”

Rara memberi kode dengan jari agar Agnes masuk sendiri ke ruangan Nevan. Kewajibannya hanya mengantar sampai ke depan pintu ruang kerja bos besarnya itu. Selanjutnya, dia tidak perlu tahu.

“Terima kasih,” ujar Agnes.

Dia mengetuk pintu yang berdiri kokoh di depannya sebanyak tiga kali. Ketukan tersebut menghasilkan irama yang khas dan bernada tegas.

“Masuk!”

Terdengar teriakan dari dalam. Agnes pun tidak membuang waktu. Didorongnya daun pintu secara perlahan. Suara entakan sepatu bertumit tinggi segera bergema di dalam ruangan tertutup itu.

“Ah, Nona Agnes!” sambut Nevan.

Senyuman riang terukir indah di bibirnya ketika menyadari kedatangan wanita yang sudah ditunggunya sedari tadi. Refleks dia meninggalkan singgasana kebesarannya untuk menyongsong Agnes.

“Sepertinya kedatanganku sedikit mengganggu,” komentar Agnes.

Mata jelinya mengamati tumpukan berkas yang berserakan di atas meja kerja Nevan.

“Apa yang kau bicarakan?” kekeh Nevan. “Kau tidak menggangguku sama sekali. Ayo duduk!”

Agnes mengenyakkan pantat di atas sofa yang tersedia di sisi kiri meja kerja Nevan.

“Wah, aku baru tahu Anda mempekerjakan seorang asisten sekarang,” kelakar Nevan setelah melihat Aksa ikut duduk tidak jauh dari Agnes.

“Dia Aksa,” sahut Agnes, memperkenalkan Aksa kepada Nevan.

“Nevan.”

Nevan memperkenalkan diri ketika Aksa mengulurkan tangan kepadanya. Tak sedikit pun kesombongan membias di wajahnya, tetapi kilat tak suka berkelebat pada sinar matanya.

“Jadi, kapan aku bisa bertemu dengan para model itu?” tanya Agnes pada Nevan.

“Santai saja, Nona. Tidak perlu terburu-buru.”

“Anda tahu? Aku akan kehilangan banyak hal jika terbiasa menunda.”

“Benar sekali! Aku tidak salah telah memilih Anda sebagai partner,” komentar Nevan. “Tapi … aku lebih tertarik untuk melihat rancangan Anda terlebih dulu.”

Agnes mengeluarkan sebuah buku desain dari dalam tas kerjanya dan menyerahkan buku tersebut kepada Nevan.

“Kalau ada detail yang perlu diubah, katakan saja! Aku akan memperbaikinya.”

Tatapan Nevan menyapu bersih setiap detail yang tergores halus pada rancangan gaun-gaun wewah yang dihasilkan Agnes. Sesekali dia mendecak sembari menggeleng pelan dengan sudut bibir sedikit naik, membentuk senyuman puas.

“Aku kehabisan kata,” pungkas Nevan setelah menutup kembali buku desain milik Agnes.

Ditaruhnya buku tersebut di atas meja. Sorot matanya tak mampu menyembunyikan bias kekaguman pada sosok wanita cantik yang duduk di depannya itu.

“Terima kasih. Itu artinya tidak ada yang perlu diubah, bukan?”

Agnes bertanya untuk memastikan kebenaran kesimpulannya atas sikap Nevan terhadap hasil karyanya.

“Itu sudah sangat sempurna,” tegas Nevan. “Aku yakin kerja sama ini akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar.”

Agnes hanya tersenyum tipis mendengar keyakinan Nevan. “Hanya kalau aku punya cukup waktu untuk mengerjakannya setelah mengukur para model.”

Nevan menyipitkan mata. Dia merasa Agnes sangat kaku dan terkesan ingin menghindari pertemuan dengannya.

“Haha … tidak perlu tergesa-gesa, Nona Agnes,” tukasnya. “Anda masih punya banyak waktu untuk melakukan semua itu.”

Agnes melayangkan tatapan dingin pada Nevan. Dia jengah setiap kali berhadapan dengan para pebisnis muda. Begitu pula berurusan dengan Nevan. Isi kepala lelaki itu tidak hanya seputar kerja sama. Dasar lelaki! Apa tidak bisa sehari saja berhenti mencari celah untuk menggoda wanita?

“Anda tahu? Desain yang sudah kubuat itu tidak bisa menggunakan bahan sembarangan,” jelas Agnes. “Butuh waktu untuk memilih dan menemukan dasar yang sesuai. Bukan hanya karena soal harga, tetapi juga sehubungan dengan ketersediaan stok bahan. Tidak mudah untuk mendapatkan semua bahan yang dibutuhkan.”

Wajah santai Nevan kini berubah serius. Dia seperti baru saja tersadar dari sebuah lamunan panjang.

'Sial! Kenapa aku lupa?'

Nevan memaki dirinya sendiri dalam hati. Bisa-bisanya dia lupa bahwa Agnes memang seorang desainer yang selalu mempersembahkan gaun-gaun spesial dengan bahan kualitas terbaik dan sulit didapat.

Seorang Agnes akan lebih memilih untuk menunda atau bahkan membatalkan jadwal peluncuran karya terbarunya bila tidak berhasil menemukan bahan yang sesuai dengan gaun rancangannya.

“Baiklah, Nona,” ujar Nevan. “Tunggu sebentar!”

Nevan kembali ke meja kerjanya dan menghubungi seseorang.

“Aks—”

Panggilan Agnes terhenti. Tubuhnya seketika membatu. Aksa tidak lagi berada di tempat semula. Ke mana dia?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status