“Terima kasih, Mbak!” ujar Aksa begitu turun dari mobil.
“Besok tidak usah kerja dulu,” tegas Agnes. “Istirahatlah sampai kondisimu benar-benar pulih!”
“Ya, Mbak.”
“Tunggu!”
Baru beberapa langkah berjalan, Aksa kembali balik badan. Agnes memanggilnya. Apa wanita itu berubah pikiran?
“Ya, Mbak?”
Aksa mendekat dan sedikit membungkuk pada jendela mobil Agnes.
“Ambil ini!” Agnes menyodorkan kantong keresek berisi kotak kepada Aksa.
Ragu-ragu Aksa mengulurkan tangan dan meraih kantong tersebut. “Apa ini, Mbak?” tanyanya.
“Hanya hadiah kecil untuk keluargamu.”
Agnes menyahut santai, lalu mengoper gigi persneling dan menginjak pedal gas untuk meninggalkan rumah Aksa. Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Tidak enak jika istri Aksa melihat kehadirannya.
Aksa hanya bisa tegak bengong seperti orang linglung, menatap kepergian Agnes yang menyisakan kabut putih tipis dari hasil pembakaran mesin kendaraannya.
UHUK! UHUK!
Aksa terbatuk. Entah karena efek karbon monoksida yang ditinggalkan mobil Agnes atau lantaran dinginnya udara malam. Gara-gara merasa lemas seharian ini, dia terpaksa merepotkan Agnes untuk mengantarnya pulang.
“Papa!”
Jeritan bocah yang sudah sangat dikenalnya memanggil balik kesadaran Aksa. Tergabas dia berjalan pulang sambil tetap menenteng kado mungil pemberian Agnes.
“Kyra makan kuenya sama mama ya,” ujar Aksa. Dia mengelus lembut pipi gadis mungil yang selalu ceria menyambut kepulangannya.
Sudah biasa Aksa membawa pulang kue kesukaan Kyra setiap kali balik kerja. Hanya saja, kali ini dia tidak tahu kue apa yang dibelikan Agnes untuk anaknya. Dia juga heran bagaimana bos cantiknya itu bisa tahu kebiasaannya. Apa cuma kebetulan?
“Sama Papa juga dong …” rengek Kyra.
Gadis mungil itu sangat merindukan papanya. Semenjak mendapatkan pekerjaan tetap, papanya sering pulang malam dan tidak punya banyak waktu untuk bermain dengannya.
Aksa memaksakan bibirnya untuk mengukir senyuman di sela-sela rasa letih yang masih menggerogoti sekujur tubuhnya.
“Maaf, Sayang … malam ini, papa lelah sekali,” jelas Aksa. “Papa mau istirahat dulu.”
“Papa sakit?” tanya Kyra.
Gadis imut itu menempelkan telapak tangan mungilnya pada kening Aksa. Mau tidak mau, senyuman Aksa semakin terkembang.
Aksa menggeleng pelan. “Tidak, Sayang. Papa hanya capek.”
CUP!
Kyra mendaratkan kecupan sayang pada pipi kanan Aksa. “Aku sayang Papa,” cetus Kyra.
Aksa mengusap gemas puncak kepala Kyra. “Papa juga,” balasnya.
Hati Aksa berdenyut perih saat mendengar dan membalas perkataan Kyra. Dia merasa seakan tertusuk ribuan duri. Matanya sampai berkaca-kaca, tetapi sedapat mungkin ditahannya agar bulir bening yang terkumpul di sana tidak benar-benar meluruh dan membasahi wajahnya.
Berdiri terpaku di belakang Kyra, Ainun hanya mampu menatap ekspresi ganjil Aksa dengan untaian tanya yang tak pernah terjawab.
Ini bukan pertama kalinya dia melihat Aksa begitu lara. Setiap kali Kyra mengucapkan kata sayang, awan mendung pasti menggelantung di wajah suaminya itu. Ada apakah gerangan? Kenapa Aksa tampak terbebani seolah-olah dia merasa bersalah dan menyembunyikan sesuatu. Aneh sekali!
“Aku ingin tidur lebih cepat,” kata Aksa saat melintasi Ainun. Seulas senyuman tipis terpahat pada wajah lelahnya.
Ainun mendengkus kecewa. Selalu saja begitu. Aksa telah mencukupi semua kebutuhan lahirnya, tetapi lelaki itu tidak pernah memberikan nafkah batin. Yang membuat Ainun bingung, Aksa tidak pernah menunjukkan sikap permusuhan ataupun benci kepadanya.
Lelaki itu senantiasa bersikap ramah, tetapi kenapa dia tidak pernah ingin menyentuhnya? Jika Aksa menyimpan perempuan lain dalam hatinya, tentu lelaki itu akan mengabaikan dirinya. Kenyataannya, Aksa selalu pulang ke rumah.
Ah, Ainun benar-benar dibuat bingung oleh tingkah laku Aksa. Kalau memang sudah bosan, kenapa lelaki itu tidak meninggalkan dirinya?
Di luar sana, langit malam semakin kelam. Namun, mata Aksa belum jua mau terpejam. Segala pelayanan Agnes masih menari-nari di dalam ingatannya. Perhatian dan kelembutan wanita nan baik hati itu mengganggu ketenangannya.
Terngiang kembali permintaan Agnes beberapa waktu yang lalu. Berbagai pertimbangan yang muncul di benaknya justru semakin menggiringnya ke dalam labirin kebimbangan. Entah berapa lama raga letih Aksa bergelut dengan kekalutan pikirannya hingga akhirnya dia jatuh tertidur.
Aksa bangun keesokan harinya setelah tubuhnya diguncang berulang kali oleh Ainun.
“Ada apa? Kenapa wajahmu pucat sekali?” tanya Aksa begitu membuka mata dan mendapati Ainun duduk gugup di tepi ranjang. Dia terlihat masih rungau dan kembali mengucek mata.
“Oh, syukurlah kamu bangun, Mas,” ucap Ainun, menarik napas lega.
Hangat sinar mentari yang menembus kaca jendela membuat Aksa terlonjak kaget. “Ya Tuhan! Kenapa kau baru membangunkan aku sekarang?” protesnya. Tak ia pedulikan Ainun yang mengabaikan pertanyaannya.
Aksa membuang pandang ke luar jendela. Bias matahari pagi tak lagi lembut, pertanda perputaran raja siang itu sudah cukup tinggi. Sudah sangat terlambat baginya untuk berangkat kerja.
“Maaf, Mas,” lirih Ainun. “Aku tidak tega untuk membangunkanmu. Tampaknya Mas kurang sehat.”
Aksa melenguh. Dia kecewa dengan kelalaian Ainun. Akan tetapi, ketika teringat bahwa Agnes memberinya kesempatan untuk memulihkan diri, dia pun menelan kekesalannya.
“Mas!”
Pekik Ainun menahan Aksa untuk menjatuhkan diri dan melanjutkan lagi tidurnya.
“Hem?”
“Itu … a–ada tamu,” beritahu Ainun. Dia tidak berani menantang mata Aksa.
“Kau saja yang menemuinya. Aku masih lelah.”
“Tidak bisa, Mas,” protes Ainun.
“Kenapa? Kau juga penghuni rumah ini. Jadi, apa bedanya?”
“Tapi … mereka ingin bertemu langsung denganmu, Mas.”
Aksa mendengkus jengkel. Melawan rasa letih yang masih tersisa, dia beranjak turun dari ranjang.
“Keluarlah! Aku akan menyusul.”
Tanpa menunggu diusir dua kali, Ainun berlalu dari hadapan Aksa. Namun, langkahnya terhenti saat sudut matanya menangkap sosok Aksa berjalan terhuyung menuju kamar mandi.
“Tidak usah! Aku bisa jalan sendiri!”
Ainun menarik kembali tangannya yang sudah terulur. Di saat yang sama, hatinya seperti baru saja disayat sembilu. Perih sekali.
Penolakan Aksa membuat batinnya terluka, walaupun tidak mengeluarkan darah. Ke mana perginya keromantisan Aksa dulu?
Dua orang lelaki muda segera berdiri begitu melihat kemunculan Aksa di ruang tamu.
“Tuan Aksa Dwiguna?” tanya salah satu dari mereka.
“Ya,” sahut Aksa, sedikit bingung karena merasa tidak mengenal mereka.
Kedua lelaki tersebut memperkenalkan diri secara singkat dan menerangkan maksud kedatangan mereka sehingga Aksa tahu nama mereka adalah Chandra dan Dewa.
Aksa hanya bisa termangu. Berasa dirinya sedang berada di alam mimpi atau mungkin dia tengah melindur akibat tidur dengan tubuh yang teramat lelah.
“Silakan tanda tangan, Tuan!”
Perintah Chandra menyentak kesadaran Aksa kembali ke dunia nyata. Dia tidak sedang bermimpi. Dua lelaki tersebut benar-benar berdiri di depannya. Bahkan, salah satu dari mereka masih menyodorkan sehelai kertas kepadanya dengan sebuah pulpen yang menggantung di udara.
“Maaf, mungkin kalian salah orang,” ujar Aksa.
Dia mengusap tengkuk, sekadar untuk menghilangkan perasaan aneh yang tiba-tiba saja datang menyerangnya.
Chandra membaca ulang alamat yang tertera di atas kertas itu. Dia sedikit mengernyit. Tidak ada yang salah. Dia sudah datang ke tempat yang benar.
“Tidak, Tuan,” sangkalnya. “Ini sudah sesuai dengan apa yang tertulis di sini. Tolong tanda tangani saja, Tuan!”
Chandra mengulurkan lagi lembaran kertas di genggamannya kepada Aksa. Tatapan matanya setengah memohon. Masih banyak barang yang harus dia antar. Jika berlama-lama di rumah Aksa, maka sebagian pekerjaannya akan tertunda.
Dengan berat hati, terpaksa Aksa menandatangani tanda terima yang disodorkan Chandra. Sementara otaknya terus berpikir tentang identitas dan alasan seseorang mengiriminya sebuah paket yang cukup mahal bila diukur dengan kantong pribadinya.
***
Agnes berjalan mondar-mandir bak setrikaan sedang bekerja. Jari-jarinya agak bergetar. Sedari kemarin dia menunggu Aksa menghubunginya, tetapi teleponnya tidak sekali pun berdering. Mendadak Agnes menjadi semakin gugup. Apa Aksa marah? Dia tidak bermaksud menjatuhkan harga diri lelaki tersebut. Dia hanya ingin membantu. Agnes mengeluarkan gawai dari sakunya. Menggenggamnya erat seakan-akan takut barang itu akan terlepas dari tangannya. 'Telepon tidak ya?' Pertanyaan penuh keraguan terus bergema di kepala Agnes. Sebagian sisi hatinya ingin sekali menghubungi Aksa detik itu juga. Namun, sisi hati yang lain justru mencegahnya. Entah sudah berapa lama Agnes bolak-balik dari ujung ke ujung di ruang kerjanya tersebut. Adakalanya dia menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Berusaha melonggarkan rongga dadanya yang terasa bagai diimpit batu besar. “Bagaimana kalau dia marah dan tidak terima?” Agnes terus bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu. “Jadi … benar Mbak yang mengir
“Gila kamu, Aksa!” Dendra memaki keponakannya sembari menghentikan langkah dan tegak dengan berkacak pinggang. Dari kejauhan dia masih bisa menyaksikan bayangan Agnes bercengkerama dengan mamanya dari balik kaca jendela yang sedikit gelap. “Cuma itu yang terlintas di pikiranku, Paman.” Aksa juga tidak tahu kenapa pada saat Ranty meminta jaminan, bibirnya spontan mengucap janji dengan lantang bahwa dia tidak akan menceraikan Agnes kecuali jika Agnes sendiri yang mengajukan gugatan cerai kepadanya. “Seharusnya kamu pakai batas waktu.” Dendra sangat menyayangkan kecerobohan Aksa. Walaupun dia tidak berharap rumah tangga keponakannya itu hancur di tengah jalan, dia juga tidak yakin Aksa mampu memegang teguh janjinya. Terlebih dengan mengingat usia Aksa yang lebih muda dari Agnes dan perkenalan mereka yang terbilang singkat. “Sudahlah, Paman,” tukas Aksa. “Semua sudah terjadi. Doakan saja aku bisa memenuhinya. Memangnya Paman tidak senang melihat rumah tanggaku langgeng?” “Bukan begi
Siluet sebuah benda yang melayang tepat ke arahnya memicu gerak refleks Aksa untuk segera menangkap benda itu. Sebuah bantal kini berada di dalam genggaman tangannya. Aksa memutar kepala ke kiri. Tampak Agnes sedang merapikan tempat tidur. Bersikap seolah-olah dia tidak tahu apa-apa mengenai bantal terbang yang menyasar tubuh Aksa. 'Ah, nyaman sekali bisa berbaring seperti ini,' pikir Agnes setelah merasakan penat di sekujur tubuhnya akibat prosesi pernikahannya dengan Aksa. Kelopak matanya yang sempat terkatup rapat mendadak terbuka lebar. Dia terlonjak bangkit, lantas duduk bersila di atas pembaringan. “Kamu boleh tidur di atas sofa itu.” Agnes menunjuk sofa besar yang terbentang di bawah jendela kamarnya. Pandangan Aksa mengikuti arah jari telunjuk Agnes. Sebuah sofa besar berwarna ungu gelap seperti memang sudah siap menyambut kehadirannya. 'Yang benar saja!' gerutu Aksa dalam hati. Dia tidak pernah bermimpi bahwa di malam pertama pernikahannya dia akan diminta untuk tidur
Menjejakkan kaki di dalam kamar, Aksa mendapati atmosfer ruang kamar itu seperti sedang dihantam angin badai disertai sambaran petir. Agnes berdiri di depan cermin, lalu balik badan begitu mendengar pintu berderit pelan dan Aksa berdiri di sana. Wajah cantiknya telah beralih rupa menjadi sosok dedemit yang sangat mengerikan. Kedua matanya melotot merah seakan-akan siap memancarkan sepasang sinar laser dari sana untuk meluluhlantakkan sekujur tubuh Aksa menjadi serpihan debu, yang akan menghilang tertiup angin. Gigi gerahamnya saling bertaut dan mengerit kuat. Membayangkan daging dari setiap bagian tubuh suaminya itu sedang dikunyahnya sekuat tenaga. “Masih pagi kok teriak-teriak,” komentar Aksa, berusaha memasang wajah setenang permukaan air danau tanpa embusan angin. “Ada apa?” “Kamu?!” Agnes menggeram. “Apa yang kamu lakukan pada tubuhku?!” Agnes menarik kerah bajunya lebar-lebar dan mengancakkan dua bercak merah keunguan yang menghiasi leher putih jenjangnya. Aksa menyeringai
Kyra mengangkat kepala. Dia sangat mengenali suara itu. Refleks dia memutar kepala ke arah pintu. “Papaaa ….” Jeritan leganya berkumandang ketika melihat sosok Aksa berdiri di tengah pintu dengan kedua tangan terisi penuh. Kyra menghambur ke dalam pelukan papanya, tepat pada saat Aksa menjatuhkan beban di tangannya dan berjongkok menyambut kehadiran Kyra. “Aku kira Papa tidak akan pulang,” cerocos Kyra, bergelayut manja pada leher papanya. “Itu mustahil, Sayang …” sanggah Aksa sambil terus berjalan menuju sofa dengan Kyra tetap berada di dalam gendongannya. Sejuta tanya memenuhi kepala Ainun. Ingin rasanya dia menguntai tanya itu satu per satu, tetapi diurungkannya. Dia tidak ingin melenyapkan senyum bahagia yang merekah di bibir putri kecilnya hanya karena menuruti naluri seorang wanita. Ainun merapikan lagi penampilan Kyra setelah Aksa mendudukkan gadis itu di atas sofa. Kristal bening yang tadi sempat menghujani wajah imut Kyra kini telah sirna, tak berbekas. Digantikan oleh
Ainun melangkah gontai menuju kamar tidur Kyra. Dibukanya pintu secara perlahan. Pemandangan Aksa mendekap hangat tubuh Kyra yang sudah tertidur lelap langsung terekam jelas dalam retina matanya. Sudut bibirnya spontan melengkung naik, membentuk seulas senyuman. Ada kehangatan yang menjalari hatinya saat mendapati betapa besar kasih sayang Aksa untuk Kyra. Lelaki itu benar-benar bertindak sebagai seorang ayah yang menjadi kekasih pertama bagi putrinya. Seiring pendar rembulan yang kian memudar di luar sana, senyuman Ainun pun turut sirna ditelan resah. Apa yang salah dengan dirinya hingga lelaki itu tidak pernah lagi tertarik untuk menyentuhnya? Seminggu setelah pernikahan mereka, Aksa pamit untuk berangkat ke luar kota sehubungan dengan pekerjaannya. Janjinya hanya dua hari, tetapi ternyata suaminya itu pulang terlambat. Sebenarnya Ainun tidak mempermasalahkan hal tersebut. Melihat Aksa kembali pulang saja dia sudah sangat lega setelah sempat dirundung gelisah. Hanya saja, dia tid
Pagi ini cuaca lebih dingin dari biasanya. Namun, dinginnya hati Ainun yang dipagut sunyi jauh lebih membekukan aliran darah daripada tebalnya gumpalan halimun yang menyelimuti puncak gunung. Sepintas lalu tidak ada yang salah dalam rumah tangga mereka bila dilihat oleh orang luar. Mereka tak pernah bertengkar. Selalu rukun dan damai. Aksa sangat bertanggung jawab terhadap segala kebutuhan keluarga secara finansial. Kalau saja Aksa memenuhi kebutuhan nafkah batinnya sebagai seorang wanita, sungguh Ainun merasa hidupnya benar-benar sempurna. Hidup dalam kesederhanaan, tetapi cukup dan penuh dengan kasih sayang, akan lebih membahagiakan daripada tinggal di sebuah mahligai indah dan bergelimang harta. Namun, selalu diwarnai dengan pertengkaran serta sikap saling curiga. Akankah mimpi itu mewujud di dunia nyata? Ainun melayangkan pandang pada sosok Aksa yang sedang menikmati sarapan pagi, sepiring nasi goreng dan secangkir kopi. Tatapan teduhnya terpaku pada wajah tampan Aksa. Suaminya
“Stop!” Agnes merentangkan tangan kanannya bak seorang polisi wanita yang sedang menghentikan laju kendaraan dari arah depan. Detak jantungnya menggila seperti telah berolahraga selama berjam-jam. “Jangan bergerak!” Aksa semakin memangkas jarak di antara mereka. Ketika lelaki itu mengulurkan tangan, Agnes kontan mematung. Kedua kakinya tercacak dan tak mampu bergerak. Sekujur tubuhnya kini bagai ditotok pada setiap titik sehingga hanya bisa tegak bergeming. Bola matanya bergerak liar, mengikuti setiap gerakan Aksa. Lelaki itu kian memepet dirinya. Saking dekatnya, kini dia dapat menghirup aroma parfum yang menguar dari tubuh suaminya itu. Keharuman musk tercium sangat sensual dan hangat. Memberi kesan lembut dan elegan sehingga menghadirkan rasa nyaman sekaligus membangkitkan reaksi feromon dalam diri Agnes. Tanpa sadar, Agnes memejamkan mata. Menikmati sensasi tenang yang didapatnya dari wangi tubuh Aksa. Dia sangat menyukai aroma itu. Aksa menangkap sesuatu yang merayap lambat