Share

8. Sebuah Paket Kejutan

“Terima kasih, Mbak!” ujar Aksa begitu turun dari mobil.

“Besok tidak usah kerja dulu,” tegas Agnes. “Istirahatlah sampai kondisimu benar-benar pulih!”

“Ya, Mbak.”

“Tunggu!”

Baru beberapa langkah berjalan, Aksa kembali balik badan. Agnes memanggilnya. Apa wanita itu berubah pikiran?

“Ya, Mbak?”

Aksa mendekat dan sedikit membungkuk pada jendela mobil Agnes.

“Ambil ini!” Agnes menyodorkan kantong keresek berisi kotak kepada Aksa.

Ragu-ragu Aksa mengulurkan tangan dan meraih kantong tersebut. “Apa ini, Mbak?” tanyanya.

“Hanya hadiah kecil untuk keluargamu.”

Agnes menyahut santai, lalu mengoper gigi persneling dan menginjak pedal gas untuk meninggalkan rumah Aksa. Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Tidak enak jika istri Aksa melihat kehadirannya.

Aksa hanya bisa tegak bengong seperti orang linglung, menatap kepergian Agnes yang menyisakan kabut putih tipis dari hasil pembakaran mesin kendaraannya.

UHUK! UHUK!

Aksa terbatuk. Entah karena efek karbon monoksida yang ditinggalkan mobil Agnes atau lantaran dinginnya udara malam. Gara-gara merasa lemas seharian ini, dia terpaksa merepotkan Agnes untuk mengantarnya pulang.

“Papa!”

Jeritan bocah yang sudah sangat dikenalnya memanggil balik kesadaran Aksa. Tergabas dia berjalan pulang sambil tetap menenteng kado mungil pemberian Agnes.

“Kyra makan kuenya sama mama ya,” ujar Aksa. Dia mengelus lembut pipi gadis mungil yang selalu ceria menyambut kepulangannya.

Sudah biasa Aksa membawa pulang kue kesukaan Kyra setiap kali balik kerja. Hanya saja, kali ini dia tidak tahu kue apa yang dibelikan Agnes untuk anaknya. Dia juga heran bagaimana bos cantiknya itu bisa tahu kebiasaannya. Apa cuma kebetulan?

“Sama Papa juga dong …” rengek Kyra.

Gadis mungil itu sangat merindukan papanya. Semenjak mendapatkan pekerjaan tetap, papanya sering pulang malam dan tidak punya banyak waktu untuk bermain dengannya.

Aksa memaksakan bibirnya untuk mengukir senyuman di sela-sela rasa letih yang masih menggerogoti sekujur tubuhnya.

“Maaf, Sayang … malam ini, papa lelah sekali,” jelas Aksa. “Papa mau istirahat dulu.”

“Papa sakit?” tanya Kyra.

Gadis imut itu menempelkan telapak tangan mungilnya pada kening Aksa. Mau tidak mau, senyuman Aksa semakin terkembang.

Aksa menggeleng pelan. “Tidak, Sayang. Papa hanya capek.”

CUP!

Kyra mendaratkan kecupan sayang pada pipi kanan Aksa. “Aku sayang Papa,” cetus Kyra.

Aksa mengusap gemas puncak kepala Kyra. “Papa juga,” balasnya.

Hati Aksa berdenyut perih saat mendengar dan membalas perkataan Kyra. Dia merasa seakan tertusuk ribuan duri. Matanya sampai berkaca-kaca, tetapi sedapat mungkin ditahannya agar bulir bening yang terkumpul di sana tidak benar-benar meluruh dan membasahi wajahnya.

Berdiri terpaku di belakang Kyra, Ainun hanya mampu menatap ekspresi ganjil Aksa dengan untaian tanya yang tak pernah terjawab.

Ini bukan pertama kalinya dia melihat Aksa begitu lara. Setiap kali Kyra mengucapkan kata sayang, awan mendung pasti menggelantung di wajah suaminya itu. Ada apakah gerangan? Kenapa Aksa tampak terbebani seolah-olah dia merasa bersalah dan menyembunyikan sesuatu. Aneh sekali!

“Aku ingin tidur lebih cepat,” kata Aksa saat melintasi Ainun. Seulas senyuman tipis terpahat pada wajah lelahnya.

Ainun mendengkus kecewa. Selalu saja begitu. Aksa telah mencukupi semua kebutuhan lahirnya, tetapi lelaki itu tidak pernah memberikan nafkah batin. Yang membuat Ainun bingung, Aksa tidak pernah menunjukkan sikap permusuhan ataupun benci kepadanya.

Lelaki itu senantiasa bersikap ramah, tetapi kenapa dia tidak pernah ingin menyentuhnya? Jika Aksa menyimpan perempuan lain dalam hatinya, tentu lelaki itu akan mengabaikan dirinya. Kenyataannya, Aksa selalu pulang ke rumah.

Ah, Ainun benar-benar dibuat bingung oleh tingkah laku Aksa. Kalau memang sudah bosan, kenapa lelaki itu tidak meninggalkan dirinya?

Di luar sana, langit malam semakin kelam. Namun, mata Aksa belum jua mau terpejam. Segala pelayanan Agnes masih menari-nari di dalam ingatannya. Perhatian dan kelembutan wanita nan baik hati itu mengganggu ketenangannya.

Terngiang kembali permintaan Agnes beberapa waktu yang lalu. Berbagai pertimbangan yang muncul di benaknya justru semakin menggiringnya ke dalam labirin kebimbangan. Entah berapa lama raga letih Aksa bergelut dengan kekalutan pikirannya hingga akhirnya dia jatuh tertidur.

Aksa bangun keesokan harinya setelah tubuhnya diguncang berulang kali oleh Ainun.

“Ada apa? Kenapa wajahmu pucat sekali?” tanya Aksa begitu membuka mata dan mendapati Ainun duduk gugup di tepi ranjang. Dia terlihat masih rungau dan kembali mengucek mata.

“Oh, syukurlah kamu bangun, Mas,” ucap Ainun, menarik napas lega.

Hangat sinar mentari yang menembus kaca jendela membuat Aksa terlonjak kaget. “Ya Tuhan! Kenapa kau baru membangunkan aku sekarang?” protesnya. Tak ia pedulikan Ainun yang mengabaikan pertanyaannya.

Aksa membuang pandang ke luar jendela. Bias matahari pagi tak lagi lembut, pertanda perputaran raja siang itu sudah cukup tinggi. Sudah sangat terlambat baginya untuk berangkat kerja.

“Maaf, Mas,” lirih Ainun. “Aku tidak tega untuk membangunkanmu. Tampaknya Mas kurang sehat.”

Aksa melenguh. Dia kecewa dengan kelalaian Ainun. Akan tetapi, ketika teringat bahwa Agnes memberinya kesempatan untuk memulihkan diri, dia pun menelan kekesalannya.

“Mas!”

Pekik Ainun menahan Aksa untuk menjatuhkan diri dan melanjutkan lagi tidurnya.

“Hem?”

“Itu … a–ada tamu,” beritahu Ainun. Dia tidak berani menantang mata Aksa.

“Kau saja yang menemuinya. Aku masih lelah.”

“Tidak bisa, Mas,” protes Ainun.

“Kenapa? Kau juga penghuni rumah ini. Jadi, apa bedanya?”

“Tapi … mereka ingin bertemu langsung denganmu, Mas.”

Aksa mendengkus jengkel. Melawan rasa letih yang masih tersisa, dia beranjak turun dari ranjang.

“Keluarlah! Aku akan menyusul.”

Tanpa menunggu diusir dua kali, Ainun berlalu dari hadapan Aksa. Namun, langkahnya terhenti saat sudut matanya menangkap sosok Aksa berjalan terhuyung menuju kamar mandi.

“Tidak usah! Aku bisa jalan sendiri!”

Ainun menarik kembali tangannya yang sudah terulur. Di saat yang sama, hatinya seperti baru saja disayat sembilu. Perih sekali.

Penolakan Aksa membuat batinnya terluka, walaupun tidak mengeluarkan darah. Ke mana perginya keromantisan Aksa dulu?

Dua orang lelaki muda segera berdiri begitu melihat kemunculan Aksa di ruang tamu.

“Tuan Aksa Dwiguna?” tanya salah satu dari mereka.

“Ya,” sahut Aksa, sedikit bingung karena merasa tidak mengenal mereka.

Kedua lelaki tersebut memperkenalkan diri secara singkat dan menerangkan maksud kedatangan mereka sehingga Aksa tahu nama mereka adalah Chandra dan Dewa.

Aksa hanya bisa termangu. Berasa dirinya sedang berada di alam mimpi atau mungkin dia tengah melindur akibat tidur dengan tubuh yang teramat lelah.

“Silakan tanda tangan, Tuan!”

Perintah Chandra menyentak kesadaran Aksa kembali ke dunia nyata. Dia tidak sedang bermimpi. Dua lelaki tersebut benar-benar berdiri di depannya. Bahkan, salah satu dari mereka masih menyodorkan sehelai kertas kepadanya dengan sebuah pulpen yang menggantung di udara.

“Maaf, mungkin kalian salah orang,” ujar Aksa.

Dia mengusap tengkuk, sekadar untuk menghilangkan perasaan aneh yang tiba-tiba saja datang menyerangnya.

Chandra membaca ulang alamat yang tertera di atas kertas itu. Dia sedikit mengernyit. Tidak ada yang salah. Dia sudah datang ke tempat yang benar.

“Tidak, Tuan,” sangkalnya. “Ini sudah sesuai dengan apa yang tertulis di sini. Tolong tanda tangani saja, Tuan!”

Chandra mengulurkan lagi lembaran kertas di genggamannya kepada Aksa. Tatapan matanya setengah memohon. Masih banyak barang yang harus dia antar. Jika berlama-lama di rumah Aksa, maka sebagian pekerjaannya akan tertunda.

Dengan berat hati, terpaksa Aksa menandatangani tanda terima yang disodorkan Chandra. Sementara otaknya terus berpikir tentang identitas dan alasan seseorang mengiriminya sebuah paket yang cukup mahal bila diukur dengan kantong pribadinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status