Share

9. Persepsi Yang Berbeda

Agnes berjalan mondar-mandir bak setrikaan sedang bekerja. Jari-jarinya agak bergetar. Sedari kemarin dia menunggu Aksa menghubunginya, tetapi teleponnya tidak sekali pun berdering.

Mendadak Agnes menjadi semakin gugup. Apa Aksa marah? Dia tidak bermaksud menjatuhkan harga diri lelaki tersebut. Dia hanya ingin membantu.

Agnes mengeluarkan gawai dari sakunya. Menggenggamnya erat seakan-akan takut barang itu akan terlepas dari tangannya.

'Telepon tidak ya?'

Pertanyaan penuh keraguan terus bergema di kepala Agnes. Sebagian sisi hatinya ingin sekali menghubungi Aksa detik itu juga. Namun, sisi hati yang lain justru mencegahnya.

Entah sudah berapa lama Agnes bolak-balik dari ujung ke ujung di ruang kerjanya tersebut. Adakalanya dia menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Berusaha melonggarkan rongga dadanya yang terasa bagai diimpit batu besar.

“Bagaimana kalau dia marah dan tidak terima?” Agnes terus bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu.

“Jadi … benar Mbak yang mengirim paket itu?”

Tiba-tiba Aksa muncul dengan wajah yang masih terlihat sedikit pucat.

Seketika tubuh Agnes menjadi kaku. Dia tidak menduga Aksa akan datang hari ini. Bukankah dia sudah meminta lelaki itu untuk istirahat di rumah sampai kondisinya benar-benar pulih?

Sudah tidak bisa mengelak lagi. Kepalang basah, mandi sekali. Perlahan Agnes balik badan setelah berhasil menguasai kecemasannya.

“Kamu sudah sehat?” tanyanya, memasang wajah sedatar mungkin.

“Aku tidak selemah itu, Mbak.”

Aksa berjalan mendekati Agnes. Tatapan matanya terpaku pada sosok gadis yang tegak bergeming di depannya.

“Oh, syukurlah.”

Agnes beranjak ke tempat duduknya.

Aksa pun mengekori sang bos dan berhenti tepat di depan meja kerja Agnes.

“Kamu tidak harus bekerja hari ini,” ujar Agnes.

Saat dia berkata, kepalanya menunduk. Dia pura-pura menyibukkan diri dengan buku desainnya untuk menutupi rasa canggung yang tercipta di antara mereka.

“Niatku memang bukan untuk bekerja,” sahut Aksa. Kali ini nada bicaranya terdengar tegas.

Selama ini Agnes mengenal Aksa sebagai sosok lelaki yang cenderung berbicara dengan nada santai dan tenang. Baru pertama kali Agnes melihat Aksa begitu serius.

“Jangan salah paham!” tukas Agnes. “Aku mengirimkan motor semata-mata agar kamu bisa menghemat biaya transportasi saat tidak membawa pulang mobilku.”

Aksa meneleng. Tatapannya semakin intens. Sepertinya mereka adalah dua orang buta yang mendeskripsikan seekor gajah dari sudut pandang yang berbeda.

Reaksi Aksa membuat Agnes kian merasa tak enak hati. Dia tahu, harga diri dan ego merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi seorang lelaki. Jika salah satu dari dua hal itu terluka, bisa menimbulkan kekacauan besar.

“Maaf!”

Melihat Aksa mengunci mulutnya, Agnes hanya mampu melirihkan kata maaf. Meskipun dia tidak benar-benar melakukan kesalahan, setidaknya dia harus tetap menunjukkan bahwa dia memang tidak berniat untuk mempermalukan Aksa, apalagi memandang rendah dirinya sebagai seorang lelaki. Dia hanya peduli. Itu saja. Tidak lebih.

“Apa Mbak pikir aku ke sini karena merasa tersinggung dihadiahi motor?” selisik Aksa.

Agnes mendongak. Dahinya mengerut. Kalau bukan karena itu, lalu angin apa yang menyebabkan lelaki itu datang ke kantornya dengan tampang sedingin es di Kutub Utara?

“Apa tebakanku salah?”

“Salah besar!”

Aksa menarik sebuah kursi dan mengempaskan bobot tubuhnya dengan cepat. Dia duduk dengan membiarkan kedua kakinya terbuka. Kedua tangannya saling bertaut di atas meja. Sepasang netra gelapnya terus terpaku pada wajah cantik Agnes.

Hati kecilnya mengakui bahwa kecantikan Agnes memang sangat memesona walau hanya dengan polesan riasan minimalis. Sampai detik ini, dia masih belum paham kenapa wanita itu menginginkan dirinya. Padahal kalau Agnes mau, tidak sulit baginya untuk meluluhkan hati seorang pria tampan dan mapan dengan memanfaatkan pesona kecantikannya itu.

Ditatap intens begitu oleh Aksa, detak jantung Agnes berpacu cepat. Tiba-tiba saja dia merasa terintimidasi. Namun, sebisa mungkin dia tetap memperlihatkan ekspresi tenang dan datar di balik gemuruh dadanya yang bertalu-talu.

“Lalu?” tanya Agnes.

Aksa membuang napas kencang. “Aku bersedia menikahimu.”

DUAR!

Pengakuan Aksa seperti gelegar halilintar di telinga Agnes. Mulutnya ternganga. Walaupun dia sangat berharap Aksa akan memenuhi keinginannya, tetapi dia tidak menyangka lelaki itu benar-benar akan menyetujuinya.

Bola mata Agnes bergerak liar. Mencari-cari kebenaran yang membayang dari pancaran manik mata kelam Aksa.

“Kamu tidak sedang bercanda, kan?”

“Apa aku terlihat seperti sedang bergurau?”

“T–tidak sih, tapi … aku tak percaya kamu akan menerimanya secepat ini.”

Jujur saja, Agnes senang keinginannya terpenuhi. Bahkan, lebih cepat dari waktu berpikir yang dia berikan kepada Aksa.

“Kamu yakin tidak akan menyesal setelah menikah denganku?” konfirmasi Agnes.

“Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

Agnes menjadi semakin kikuk. Aksa yang duduk di depannya kini sungguh terlihat seperti orang yang berbeda dari Aksa yang selama ini dikenalnya.

“I–itu …" sahut Agnes. “A–aku kan lebih tua darimu.”

Agnes menggigit bibir bawahnya setelah mengungkapkan kenyataan itu. Bagaimanapun, dia memang tiga tahun lebih tua dari Aksa. Karena itulah, dia tidak berani terlalu berharap bahwa lelaki tersebut akan menerima pinangannya.

“Tidak masalah. Menjadi dewasa bukan hanya faktor usia, melainkan lebih pada cara berpikir,” balas Aksa. “Lagi pula, Mbak tampak lebih muda dari usia sebenarnya.”

Tak khayal pipi Agnes bersemu merah ketika mendengar penilaian Aksa tentang tampilan wajahnya. Walau Aksa bukan orang pertama yang berpendapat begitu, tetapi rasanya sedikit berbeda.

'Ingat, Agnes! Aksa sudah punya keluarga! Dia hanya berbuat baik untuk membantumu, bukan mencintaimu.'

Agnes membatin. Mengingatkan dirinya sendiri tentang fakta yang sesungguhnya. Tujuan pernikahannya dengan Aksa tidaklah murni berdasarkan rasa saling cinta. Ini hanya semacam pernikahan bisnis yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak.

Agnes mengembuskan napas panjang, seperti sedang membuang segala beban yang memberati dadanya.

“Baiklah. Aku akan segera mempersiapkan segalanya,” putus Agnes. “Kita akan menikah secara sederhana, tapi … tidak ada salahnya kalau kamu ingin mendatangkan anggota keluargamu pada hari pernikahan kita.”

“Aku akan menjalankan bagianku sebagaimana layaknya sebuah pernikahan akan berlangsung,” tutur Aksa. “Walau mungkin bukan orang tua kandungku, tetap aku akan datang melamarmu bersama keluargaku.”

Agnes sungguh merasa dirinya berada di dunia mimpi ketika Aksa benar-benar datang menemui mamanya. Ia didampingi oleh seorang lelaki paruh baya yang diperkenalkan Aksa sebagai paman dari pihak ayahnya. Aksa meminta kesediaan Ranty untuk melepas anak gadisnya. Dia menyatakan siap menjadi suami Agnes tanpa ada keraguan sedikit pun dalam nada suaranya.

“Aku mungkin memang tidak bisa menjanjikan kemewahan, tapi … aku akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Agnes, Tante.”

Aksa berkata dengan nada mantap dan sangat meyakinkan laksana seorang kesatria yang berjanji dengan sepenuh hati.

Agnes terperanjat. Dia tidak menyangka Aksa akan mendalami dengan serius perannya sebagai calon suami. Tanpa disadari, seulas senyuman tipis terlukis di wajah Agnes. Secuil rasa senang menyusupi hatinya. Dia tidak salah pilih. Meskipun nasib rumah tangga mereka ke depannya masih terlihat buram, setidaknya dia tidak perlu khawatir bahwa Aksa akan menyakitinya secara fisik.

Ranty mengamati wajah Aksa dan seluruh penampilan calon menantunya itu dari ujung kepala hingga ke kaki. Dia tidak mengerti mengapa putri semata wayangnya justru lebih memilih untuk menikahi sopir pribadinya itu, padahal sudah banyak pria yang lebih mapan datang melamarnya.

“Aku butuh jaminan.”

Perkataan Ranty menyebabkan Aksa dan pamannya saling lempar pandang. Jaminan? Apa yang diinginkan Ranty? Mendadak sebutir peluh sebesar jagung jatuh menggelinding di pelipis Aksa.

Terpaku di tempat duduknya, Agnes merasa dirinya seakan sedang berdiri di bibir jurang.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status