“Stop!” Agnes merentangkan tangan kanannya bak seorang polisi wanita yang sedang menghentikan laju kendaraan dari arah depan. Detak jantungnya menggila seperti telah berolahraga selama berjam-jam. “Jangan bergerak!” Aksa semakin memangkas jarak di antara mereka. Ketika lelaki itu mengulurkan tangan, Agnes kontan mematung. Kedua kakinya tercacak dan tak mampu bergerak. Sekujur tubuhnya kini bagai ditotok pada setiap titik sehingga hanya bisa tegak bergeming. Bola matanya bergerak liar, mengikuti setiap gerakan Aksa. Lelaki itu kian memepet dirinya. Saking dekatnya, kini dia dapat menghirup aroma parfum yang menguar dari tubuh suaminya itu. Keharuman musk tercium sangat sensual dan hangat. Memberi kesan lembut dan elegan sehingga menghadirkan rasa nyaman sekaligus membangkitkan reaksi feromon dalam diri Agnes. Tanpa sadar, Agnes memejamkan mata. Menikmati sensasi tenang yang didapatnya dari wangi tubuh Aksa. Dia sangat menyukai aroma itu. Aksa menangkap sesuatu yang merayap lambat
“Aku tak menyangka jam kerja Anda sangat santai, Nona Agnes!” Kehadiran Agnes di kantornya disambut dengan sapaan bernada sindiran oleh Nevan. Tangan kiri lelaki itu bersembunyi di dalam saku celana, sementara sebelah tangan lainnya sibuk mengembang buku desain Agnes. Tak sedikit pun Nevan berpaling kepada Agnes. Tatapannya fokus pada skesta desain setengah jadi, hasil karya imajinasi Agnes. Dia harus mengakui bakat dan kemampuan istimewa rekan bisnisnya itu. “Aku baru tahu seorang Tuan Nevan terbiasa bersikap bebas seperti di rumah sendiri saat sedang bertamu dan tuan rumah tidak ada.” Gerakan jari-jari Nevan sontak menegang. Dia melepaskan buku desain Agnes dan secepatnya balik badan. Giginya mengerit erat. Wanita yang berdiri di depannya itu benar-benar terlihat angkuh. Wajah datar Agnes membuat Nevan ingin menghukum wanita itu dengan caranya. “Jadi, begitu caramu menghormati rekan bisnis yang sedang bertamu?” Nevan terpaksa meredam kejengkelannya lantaran ia sadar bahwa saat
Agnes tiba di kantor Nevan sepuluh menit lebih awal dari jadwal seharusnya. Dia memilih untuk langsung menemui para model yang menunggu di ruang khusus. Bercengkerama dengan mereka lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu dengan obrolan kosong yang membuat tegang urat leher bersama Nevan. Seperti menemukan bongkahan berlian, para model tersebut semangat sekali berbincang-bincang dengan Agnes serta berkonsultasi seputar dunia mode. Agnes pun tak segan-segan berbagi tips dan trik untuk menyiasati penampilan agar tetap terlihat gaya dan trendi, walaupun dengan stok pakaian lama. “Kenapa Anda tidak memberitahuku kalau Anda sudah datang, Nona Agnes?” Suara bariton Nevan menghentikan obrolan santai Agnes dan para model cantik tersebut. Semuanya langsung terdiam seperti baru saja melihat hantu lewat di depan mereka. “Kalau aku tahu, aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu Anda seperti sekumpulan semut mengerubuti sebutir kembang gula.” Nevan melanjutkan komentar pedasnya tanpa
Keberadaan mahasiswa yang tidak diketahui identitasnya itu dapat mengurangi sedikit rasa takut Agnes. Namun, beberapa detik kemudian pikirannya berubah. Bagaimana kalau ternyata mereka adalah preman kampus yang suka mengisengi gadis-gadis? Terbayang aksi brutal beberapa mahasiswa berandal yang pernah melecehkan teman sejurusannya, Agnes bergidik. Dia pun berinisiatif untuk mengambil langkah seribu. “Oke. Akan kubuktikan pada kalian bertiga!” lantang sebuah suara, menghentikan langkah Agnes. Rasa penasaran menggiring kaki Agnes untuk bergerak mundur alih-alih melarikan diri dari sana. Merasa mengenali suara tersebut, Agnes menempelkan kuping pada daun pintu. “Jangan panggil aku Nevan kalau aku tidak berhasil membuat Agnes bertekuk lutut dan tergila-gila padaku!” Riuh tepuk tangan bergema seperti deru air bah di telinga Agnes. Tubuhnya membeku. Ketakutan yang tadi sempat menggerogoti keberaniannya telah beralih rupa menjadi gelegak amarah. Dia merasa terhina karena dirinya telah dija
Embusan angin membelai permukaan kabut tebal yang menggantung, menariknya perlahan ke atas dan mengajaknya menari seperti awan tipis berarak gemulai. Ketika kabut tipis itu menghilang, Agnes mendapati sebuah ruangan mewah bak istana, mengambang di atas gumpalan awal tebal yang tetap bertahan di tempatnya, tak ikut melebur bersama tarian bayu yang mencabik-cabik sebagian dari ketebalannya. Iris mata Agnes menatap kagum pada seorang bocah perempuan berusia lima tahun yang sedang asyik bermain boneka. Kulit beningnya terbalut gaun putih dengan mahkota tiara, bertakhtakan intan permata. “Bundaaa! Kakak nakal lagi ….” Bocah tersebut tiba-tiba berteriak nyaring tatkala seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun merampas dan membawa lari boneka kesayangannya. Seorang perempuan berparas cantik berjalan menghampiri si gadis cilik. Jubah kebesaran seorang ratu menambah anggun penampilannya. Diusapnya pipi mulus bocah kecil itu sembari tersenyum lembut. “Kakak hanya menggodamu,” komentarny
“Mana Kyra?” tanya Aksa penuh rasa ingin tahu ketika tak menemukan senyuman ceria gadis cilik itu menyambut kedatangannya. “Dia tidak sakit, kan?” Tidak biasanya bocah berwajah ayu dan bermata bulat itu mengabaikan kepulangannya. Serasa ada sesuatu yang hilang dari diri Aksa. Gadis itu selalu menjadi penghapus lelah setelah seharian penuh berpacu dengan waktu untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang dibasuh luruhan peluh. “Enggak kok, Mas. Dia masih tidur.” Ainun menyahuti pertanyaan Aksa dengan senyum terkembang. Aksa membuang pandang pada jam dinding. Lima belas menit lagi tepat pukul enam sore. “Sebaiknya kau bangunkan dia,” saran Aksa. “Tidak baik tidur menjelang magrib.” Aksa melepaskan jaket yang membalut tubuhnya. Gerah sekali. Dia ingin cepat-cepat berlari ke kamar mandi dan berendam diri. Setengah hari menghabiskan waktu bersama Agnes membuat jantungnya berpacu cepat dan suhu tubuhnya memanas. Ainun beranjak ke kamar Kyra. Menjalankan perintah terselubung Aksa tanpa ba
Waktu terus bergulir seperti sebongkah bola salju meluncur dari ketinggian. Dua hari bagai dua menit. Ainun tegak sambil melenturkan pinggangnya yang terasa pegal. Cukup lama dia membungkuk, mengemasi pakaian mereka ke dalam koper. “Jadi, aku benaran bakal ketemu opa sama oma ya, Ma?” Kyra merangkak naik ke atas kasur dan duduk menjelepok di belakang koper yang belum dipindahkan Ainun. Dia menjulurkan kedua tangan mungilnya, memeluk permukaan koper. Mata bulatnya mengerjap penuh harap. Jujur saja, dia sudah sangat lama memendam renjana untuk bertemu dengan kakek dan neneknya itu. Dia juga ingin merasakan kasih sayang kakek dan nenek seperti teman-temannya, yang biasa bermain bersama kakek dan nenek mereka. Ainun berjongkok. Menyejajarkan ketinggian tubuhnya dengan Kyra. Dielusnya puncak kepala putri kecilnya tersebut. “Iya, Sayang.” “Yeay!” Kyra berseru riang. Wajah cantiknya semakin berbinar cerah. Sinar matanya berpijar terang, mengalahkan indahnya kerlip bintang. Kalbu Ainun
“Kukira bangau yang sudah terbang jauh enggak bakal balik lagi ke kubangan.” Seuntai kalimat mencemooh serta seringai mengejek langsung tertangkap oleh telinga dan netra gelap Aksa begitu dia memutar tubuh. Agung, kakak sulungnya, melangkah pongah mendekatinya. “Aku tidak berniat untuk pulang kalau bukan papa sendiri yang minta.” Jawaban bernada santai Aksa sukses menstimulasi munculnya kilat tidak suka dari bola mata kakaknya. “Benarkah? Lima tahun papa tidak pernah peduli padamu, kau pikir aku percaya?” sanggah Agung. “Kau lelah berpetualang di luar sana?” Aksa mengeritkan gigi rapat-rapat. Lima tahun melarikan diri dari keluarga, dia pikir kakak sulungnya itu akan merindukan dirinya. Ternyata dia salah. Agung belum berubah. Lelaki itu masih membencinya, walaupun dia tidak pernah tahu apa penyebab dari percik api kebencian itu. “Hidupku sudah sangat tenang, jauh dari keluarga,” balas Aksa. “Kalaupun sekarang aku kembali, itu semata-mata hanya untuk menghormati papa.” Malas ber