Arsa duduk di halaman rumah sakit. Ia memijat keningnya. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi dan perkataan Dokter tadi membuatnya merenung.
Flashback on
Arsa berlari memasuki rumah sakit dan menaruh Mira di salah satu ranjang pasien ruang UGD. Ia meminta perawat lekas memanggil Dokter. Tapi saat ia ingin pergi mencari Dokter yang berada di sekitar sana juga, tangannya dicekal oleh Mira, "Sa, anak aku ga bakal kenapa-kenapa kan?" tanyanya dengan mata yang sudah bengkak karena menangis sepanjang jalan ke rumah sakit.
Arsa menggeleng, "Lo jangan mikir yang macem-macem. Gua panggil Dokternya dulu," ucap Arsa dan melepas tangan Mira.
Dokter tersebut datang bersama perawat tadi dan langsung memeriksa Mira. Arsa menunggu di luar. Setelah menunggu beberapa menit, Dokter tersebut datang.
Arsa langsung menghampirinya, "Bagaimana keadaannya, Dok?"
"Tidak terjadi apa-apa, cuma kontraksi dari bayinya karena sang Ibu stress dan itu membuat pe
Mereka berangkat bersama dengan mobil Satria. Setelah sampai di tempat tujuan, mereka semua turun dan berjalan masuk.Sebelum memasuki pintu masuk, Arsa berhenti dan membalikkan tubuhnya, "Kalian tunggu di sini, gua aja sendiri yang ke dalam. Ini masalah gua sama dia," celetuknya.Radit menggeleng, "Engga, kalau lo kenapa-napa nanti nambah ribet, mending salah satu dari kita temenin lo di dalam. Gua takut teman-temannya malah buat lo babak belur, sementara kondisi lo aja masih begini," jelasnya. Satria serta Gibran mengangguk menyetujui ucapan Radit.Arsa menghela napasnya, "Yaudah Dit, lo ikut gua. Satria dan Gibran, kalian tunggu di sini, jangan kemana-mana."Mereka berdua mengangguk mengikuti instruksi dari Arsa. Setelah itu, Arsa dan Radit masuk ke dalam Kelab Malam itu, suasana di sana sangat riuh dan juga suara musik yang mampu memekakkan telinga.Dengan santai mata Arsa fokus menyusuri setiap sudut ruangan di Kelab Malam tersebut. Kare
Arsa : Lo di mana? Arsa : Gua mau ngejelasin semuanya Arsa : Mungkin memang terlambat Arsa : Tapi tolong beri kesempatan buat gua, sekali aja untuk menjelaskan semuanya. Arsa : Setelah itu, semuanya tergantung pada keputusan lo Arsa : Kalau lo minta gua buat ga lanjutin hubungan ini, gua akan terima apa adanya. Arsa : Gua mohon sama lo untuk jawab pesannya. Arsa : Dan satu pesan gua buat lo. Jangan pernah melawatkan jam makan. Pesan singkat dari Arsa membuat Sia termenung memikirkannya.
Mira meminta bertemu dengan Sia. Sebenarnya sudah tak ada hal yang terkait dengan Sia, pikir gadis itu. Karena Sia sudah menjauhi Arsa sesuai kemauan gadis tersebut.Mira duduk seraya mengelus perutnya yang sudah besar. Sia datang mengedarkan pandangannya mencari sang empu, setelah memerlukan waktu 2 menit untuk mencari gadis itu. Sia menghampirinya dan mendudukkan bokongnya di kursi tepat depan gadis berambut sebahu itu."Datang juga lo, gue kira ga bakalan dateng karena ga mau melepaskan Arsa," ketus Mira dengan pandangan tajam ke arah Sia.Sia menghembuskan napasnya, seolah-olah ia lelah dengan gadis dihadapannya itu, "Berulang kali aku tegaskan kalau Arsa dan aku udah ga ada hubungannya lagi. Jadi berhenti menelepon terus," tuturnya.Mira menyunggingkan senyumnya, "Oh gitu, kenapa masih kontakan sama ayahnya Aurel," ucapnya dengan menekankan kata Ayah Aurel di kalimatnya."Segitu ngemisnya ya sama Arsa. Sampai kamu ngaku-ngaku kalau itu anak Ar
Arsa berjalan cepat menuju tempat parkir meninggalkan Gibran yang berusaha menyusulnya dari belakang.Sesampainya di sana, Arsa membalikkan badannya dan melihat Gibran sedang mengatur napasnya, "Kunci," ucapnya kepada Gibran.Lelaki jangkung yang berusaha mengatur napasnya yang sudah tak karuan malah diajak berbicara oleh Arsa. Tanpa berpikir panjang Gibran melempar kunci mobilnya ke Arsa dan lelaki itu dengan cepat masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi setir.Gibran yang melihat itu menautkan kedua alisnya, " ...Bentar lo yang mau b-bawa mobil?" tanyanya dengan napas tersengal-sengal."Gua pinjem bentar. Lo bisa balik pesen taksi kan, gua buru-buru," cetusnya dan langsung menancapkan pedal gas meninggalkan sang pemilik di area parkiran dengan raut wajah bingungnya.Sedangkan Arsa, perasaannya tak karuan sekarang. Antara bingung dan kesal, kesal karena seharusnya ia tak langsung menuduh Sia tanpa bukti apapun.Ia kalut de
Diana tak bisa berdiam diri di kamar. Sudah hampir 2 jam Arsa berada di dalam ruang kerja Tama—Sang Ayah. Dengan perasaan khawatir, Diana menunggu Arsa keluar dari ruangan tersebut. Ia mondar-mandir dengan perasaan khawatir di depan pintu ruangan itu. Sudah memakan waktu cukup lama, biasanya hanya sampai 30 menit ataupun 1 jam. Tapi ini hampir 2 jam.Diana tak bisa mendengar suara yang berada di dalam karena ruangan tersebut kedap suara. Mereka juga tak berani untuk melawan perintah Tama, apa lagi untuk mendongkrak masuk.Seperti yang dikatakan Arsa, mereka boneka Tama. Pria paruh baya itu begitu kejam dan setiap perkataan atau perintahnya tak bisa ditolak.CklekPintu ruangan itu terbuka, keluarlah Tama beserta anak buahnya dari ruangan itu, "Arsa mana?" tanya langsung Diana.Tama menghiraukan pertanyaannya istrinya dan pergi meninggalkan ruangan itu begitu saja. Arka masuk, semua barang di sana berantakan. Pecahan
Mereka berdua memutuskan untuk berbicara di rooftop. Kedua lelaki itu diam seribu bahasa, tak ada satu pun yang membuka suara. Sibuk akan pikiran masing-masing."Sejak kapan Arsa menyembunyikan penyakitnya?" celetuk Arka.Gibran menghela napas panjang, "Dia bilang sejak 5 tahun lalu. Gua juga baru tau.""Kenapa kamu ga kasih tau saya atau keluarga, ini penyakit mematikan kamu tau!" ujar Arka, nada bicara lelaki itu mulai meninggi. Ia tak bisa mengontrol emosinya.Laki-laki jangkung itu mendengus kecil. Ia mendekat ke arah Arka dan menarik kerah baju kemeja lelaki itu, "Gua aja baru tau ini. Lo bayangin dia nyembunyiin ini lima tahun. Lo sebagai anggota keluarga kenapa ga tau, semestinya lo tau anjing!"Arka menutup matanya, menyesali semuanya, "Lo tau Arsa pecandu alkohol karena kalian bangsat! Dia begitu karena pangen diperhatiin sama orang tuanya," timpalnya."Ga guna buat menyesal, sekarang sudah terjadi. Kalian ga bisa bua
Flashback"Arsa! Keluar kamu!" teriak Pria berkepala tiga itu saat memasuki rumah membuat seluruh penghuni rumah yang mendengarnya ketakutan."Arsa!" teriaknya lagi. Tak ada satupun yang berani muncul di depan Pria yang sedang tersulut emosi.Arka dan Arsa yang baru pulang dari sekolah tersenyum gembira satu sama lain seperti tidak ada yang terjadi. Netra Tama dan kedua anaknya bertemu. Tama menghampiri Arsa, anak umur 10 tahun itu memberikan senyuman manisnya ke arah sang ayah."Selamat siang ayah aku dan Arsa—" ucapan Arka terpotong tatkala Tama menarik Arsa dengan paksa ke ruang kerjanya.Arka yang terkejut melihat itu langsung berusaha menarik tangan Arsa dengan sekuat tenaga, "Ayah, Arsa mau dibawa kemana?!" tanyanya sembari menarik tangan saudara kembarnya.Diana yang baru memasuki rumah dan baru saja pulang dari kegiatannya berbelanja terkejut melihat pem
FlashbackDelapan tahun laluArsa memarkirkan motornya di garasi rumah. Ia membuka pintu utama dan terlihat Tama sedang menunggunya di sofa ruang tamu. Arsa yang melihat itu hanya bisa menghela napas dan berusaha untuk menghiraukan Tama.Ia berjalan dan mengacuhkan Tama. Akan tetapi baru beberapa langkah sebuah buku tebal mendarat tepat di kepalanya. Arsa langsung menoleh ke arah Tama, siapa lagi yang melemparinya kalau bukan Ayahnya sendiri. "Di sekolah apa kamu ga diajarkan untuk bertatakrama? Di mana etika kamu, di depan orang tua seperti itu. Lihat penampilan kamu yang begitu urakan tak terurus, membuat malu saja."Laki-laki dengan pakaian SMA itu berusaha untuk menahan emosinya, walaupun tanga