Sesudah mengantarkan Athanasia pulang, Arsa balik ke rumah sakit, raut wajahnya berubah seketika. Gibran yang masih berada di sana menyadari itu, "Lebih baik jujur walau begitu menyakitkan, dari pada terus-terusan dipendam," celetuknya.
Arsa menghela napas, ia duduk di sofa yang berada di sudut ruangan. Ia termenung, memikirkan kejadian hari ini. Kenapa begitu menyedihkan menjadi dirinya.
"Gua pulang ya, bokap gua udah neleponin dari tadi," cetus Gibran dan dibalas dengan anggukan oleh Arsa.
Gibran memasuki ponselnya ke dalam saku celana, "Kalau ada apa-apa telepon gua," ujarnya dan Arsa hanya mengangguk menjawabnya.
Gibran melihat tingkah laku Arsa, menghela napasnya, "Jawab iya kali anjir. Lo mikirin Athanasia?" tanyanya.
Arsa memijat pelipi
Laki-laki bertubuh bongsor masuk ke dalam halaman rumahnya. Matahari mulai menampakkan cahayanya, begitu juga satpam rumahnya yang sudah berganti shift dan para pembantu rumah yang mulai mengerjakan pekerjaan.Setelah memarkirkan motornya di bagasi, Arsa memasuki pintu utama. Ia membukanya dengan kuat membiarkan suara pintu menggelegar mengisi seluruh ruangan. Tama yang masih sarapan di temani oleh Arka serta Diana. Awalnya mereka makan dengan khidmat, tetapi ketika mendengar suara pintu, gerakan mereka berhenti dan menatap lurus ke arah pintu utama yang menampilkan Arsa.Laki-laki itu melangkahkan kakinya dengan santai melewati ruang makan. Suara batuk dari Tama mampu memberhentikan langkah seorang Arsa, "Dari mana saja kamu?" tanya Tama sembari kembali menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya."Bukan urusan anda," jawabnya dan kembali melangkahkan kakinya.Tama langsung menoleh menatap tajam Arsa yang dengan santainya menaiki anak tangga. "Sekali d
Arsa menunggu namanya dipanggil, minggu ini adalah jadwalnya konsultasi ke Dokter Daniel dengan ditemani oleh Athanasia. Awalnya ia menolak karena ditemani oleh gadisnya, ia takut Athanasia mengetahui betapa pendek umurnya.Karena Athanasia yang begitu keras kepala memaksa untuk ikut, akhirnya Arsa memperbolehkannya dengan alasan ia menunggu di luar. Athanasia pun menyetujuinya.Sembari menunggu namanya dipanggil, Arsa memupuk pelan kepala gadisnya yang berada di pundaknya. Gadisnya itu terlalu lama menunggu sampai tertidur di pundaknya."Arsa Putra Pangestu," panggil seseorang resepsionis rumah sakit. Arsa menoleh ke arah Athanasia yang masih tertidur.Dengan pelan Arsa menggoyangkan tubuh Athanasia untuk membangunkannya. Untung gadis itu cepat bangun, ia mengucek matanya sambil menerjapkan matanya melihat sekitar."Pasien Arsa Putra Pangestu," panggilnya lagi.Arsa mengangkat tangannya, "Saya Sus, sebentar," jawabnya. Athanasia sontak lang
Terlihat Diana yang sedang membersihkan kamar putranya–Arka itu pun tiba-tiba menoleh ke arah pintu coklat yang berada di ujung lorong, yang tak lain adalah kamarnya Arsa. Entah mengapa ia tertarik untuk masuk ke dalam kamar tersebut.Walaupun ia tahu Arsa melarang orang-orang yang berada di rumah untuk masuk ke dalam kamarnya, tanpa terkecuali Diana—sang ibunda.Tangannya tergerak untuk membuka kenop pintu. Gelap, hanya itu yang ia lihat, karena sang pemilik belum pulang ke rumah. Ia mulai menekan saklar lampu yang ada di sana. Ruangan serba hitam dan beberapa pernak-pernik serta botol alkohol terpampang jelas memenuhi seisi kamar.Ia beralih ke arah rak buku kecil berdebu yang berada tepat di samping ranjang, sejuta kenangan berada di sini. Kalau diingat-ingat, sudah hampir sepuluh tahun ia tidak masuk ke dalam kamar ini.Diana tergerak untuk membersihkannya, ia mulai membersihkan debu yang berada di tempat-tempat tertentu. Walaupun berdebu,
Radit sedang asyik main PlayStation bersama di rumah dengan sepupunya sehabis pulang dari apartemen Satria, karena permainannya tidak seru dan itu membuatnya tidak fokus ke permainan, dikarenakan Radit sejak tadi kalah dengan sepupunya yang masih bocah berumur empat belas tahun."Ah lo mah Bang, ga asik anjir," seru anak remaja yang sedang duduk di sampingnya sambil memakan cemilan yang disediakan oleh ibunya.Radit mendecak sebal dan membanting stick PlayStation tersebut, "Bodo amat deh, gua cape. Main sendiri aja lo cil," sahutnya sambil rebahan di kasur tercintanya."Mending gua tidur," sambungnya.Saat ingin masuk ke dalam dunia mimpi, ponselnya yang berada di samping sepupunya berdering, "Bang ada telepon!" pekik bocah laki-laki tanpa memalingkan pandangannya dari layar komputer."Ambilin dah, mager."Bocah itu hanya mendecih tanpa memalingkan pandangannya dari permainan tersebut, "Ambil sendiri lah, lo kan punya tangan s
Radit sampai di rumahnya, raut wajahnya ditekuk, penampilannya acak-acakan serta mata yang sembab. Radit memasuki pintu utama dan memperlihatkan ibunya sedang santai membaca majalah. Ibunya Radit menoleh kepada anaknya yang baru saja datang dengan penampilan urak-urakan.Radit memasuki kamarnya sembari memijit pelipisnya. Ia menghiraukan ibunyayang sudah memanggilnya berulang kali. Sesampainya di kamar, ia mendudukkan bokongnya di pinggir ranjang, tangannya ditaruh di belakang guna menompang tubuh, kepalanya mendongak ke atas dan matanya menutup perlahan.Ia tak mengira bahwa sahabatnya yang ia kira adalah pelindung untuk para temannya ternyata menyimpan rahasia yang cukup besar selama ini dari mereka. Radit hanya bisa menghela napasnya dengan gusar, hatinya begitu sakit mendengar kalau Arsa mempunyai penyakit yang amat serius
Radit tengah mengantar Arsa keliling rumah sakit, katanya untuk mencari udara segar karena suntuk di ruangan.Saat tengah berjalan di koridor rumah sakit, tiba-tiba langkah Arsa terhenti melihat dua orang sedang menuju ke arahnya dari ujung koridor. Radit memincingkan pandangan matanya menatap dua orang dengan setelan pakaian yang rapi.Pandangan mata Radit menatap Arsa dan dua orang itu secara bergantian. Ia menatap lamat dua orang yang mendekati mereka, seperti ia mengenal siapa orang itu.Dua pria yang berada di ujung lorong tadi sudah ada tepat di depan mereka. Tepat di depan Arsa, seorang pria paruh baya dengan setelan jas serta dasi yang terpasang rapi tengah menatap Arsa dengan serius. "Kita perlu bicara," celetuknya.Radit menatap ke arah Arsa, seolah meminta penjelasan dari temannya. Arsa mengangguk setuju dengan perkataan pria tersebut dan menatap ke Radit seolah memberi isyarat untuk meninggalkannya."Tapi kondisi lo kayak gi
Selepas menjenguk Arsa ke rumah sakit. Athanasia dan Brian pergi ke pemakaman umum tempat peristirahatan terakhir seorang yang dipanggil mama olehnya. Tak lupa sebelum berkunjung Athanasia membeli satu buket bunga Krisan berwarna putih, kata papa ini bunga kesukaan mama.Sampainya di pemakaman umum, mereka berdua kompak turun bersama. Brian memandu jalan untuk Athanasia, sang putri. Perlu waktu beberapa menit untuk sampai di tempat mama tinggal.Makam berwarna hitam dengan corak putih membuatnya terkesan indah. Mereka berdua berjongkok guna menyapa sang kekasih dambaan hati.Athanasia menaruh bunga krisan tepat di gundukan yang telah ditumbuhi rumput. Dengan senyuman merekah dari mereka yang ditampilkan hanya untuk mama. Begitu juga Brian yang menampilkan senyumnya hanya untuk Siska perempuan yang dicintainya dari tiga puluh tahun yang lalu sampai sekarang.Senyum mereka tak pernah pudar menatap makam di depannya. Tangan Athanasia tergerak mengusap pelan
Satria memasuki apartemennya dan ternyata sepi tak ada siapapun di sana. Ia juga sudah menelepon teman-temannya, tapi tak ada satupun respon dari mereka. Akhirnya ia masuk dan duduk di sofa sembari mengirimkan pesan ke grup obrolan mereka.————SUKSES DULU, SOBSatria : Gue lagi di apartemen, kok sepi?Satria : Nih grup juga sepi amat, kayak ga ada penghuninya.Satria : Woi, pada di alam barzah semua ya?Satria : Sinting, gue ngetik sendiri.Satria : Respon kek j4nc0k.Radit : Ada apa sih kawan, bawa santai aja brodi.Satria : Apartemen kosong gini, kalian pada ke mana?Radit : Di rumah lah.Satria : Bohong, gue ke rumah lo tadi.Radit : Barusan pulangSatria : Gibran sama Arsa mana, liburan ya.Gibran : Asal aja.