Share

Bab VI

Hujan deras turun menyelimuti kota Bandung. Hawa dingin menelusup masuk ke dalam kulit, Sia memeluk dirinya guna menghangatkan tubuhnya. Sesekali meniup tangannya dan menggosoknya, ia menatap ke luar jendela, dilihatnya awan yang sedang mendung, matahari tak kunjung datang.

Ia menghela napas, Arsa janji akan ke rumahnya hari ini, kalau hujan begini kemungkinan besar lelaki itu tak akan datang. Sia mengambil guling dan memeluknya. Bagaimanapun ia juga tidak ingin Arsa sakit dan mendesak lelaki itu mengunjunginya.

TRING!

Notifikasi pesan masuk, dengan segera ia membuka pesan yang di kirimkan siapa lagi kalau bukan Arsa.

Arsa

|Aku udah di depan rumah kamu1

  11.07

Sia membelalakkan matanya dan segera bangkit menuju balkon, terlihat Arsa yang berada di bawah luar gerbang rumahnya, yang masih duduk di motornya. Arsa hanya memakai jaket kulit dan bawahan celana jeans, tapi pakaiannya sudah basah kuyup semua.

Dengan cepat Sia keluar dari kamarnya dan turun kebawah, "Bi Jami! Ada payung ga?" pekik Sia.

Bi Jami yang lagi memotong sayuran terkejut dengan Sia yang teriak dari atas. Tanpa bertanya Bi Jami langsung menurut mengambil payung yang berada di sudut ruang tamu dan memberikan kepada Sia.

Sia langsung keluar rumah dan berlari sambil memegang payung. Bi Jami langsung mengekori Sia, ia melihat ada seorang pria sedang menatap nonanya dengan senyum yang amat tulus. Pak Udin terkejut melihat Sia yang membuka gerbang, tanpa memerintahkannya. Apa lagi sekarang sedang hujan, Pak Udin buru-buru keluar dari pos nya dan ia melihat Arsa berada di seberang jalan.

Arsa menyuruh Sia untuk tidak menyebrang, karena banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Arsa langsung menghampiri Sia, "Kamu basah kuyup, Sa."

Lelaki itu tersenyum, jarinya tangannya membenarkan letak rambut Sia ke belakang telinga, "Ga papa, lo ngapain keluar. Disini dingin, nanti bokap lo marah, ayo masuk," tutur Arsa sambil mendorong tubuh gadis itu.

Sia menggeleng, "Engga, ayo ganti baju di dalam, nanti kamu bisa sakit," seru Sia sambil menggenggam tangan Arsa yang dingin.

"Gua kuat, mending lo yang masuk. Ayo masuk, gua ga mau liat Putri cantik dari Widyatama sakit demam cuma karena seorang lelaki." Sia menggigit bibirnya bawahnya, kalau ia meninggalkan Arsa sekarang mungkin lelaki itu akan terus hujan-hujanan disini, tapi di satu sisi kalau ia tidak segera meninggalkan Arsa dan masuk ke dalam, Om Johnny selaku bodyguard Papanya menyusulnya kesini dan menghajar Arsa habis-habisan.

Arsa mensejajarkan tubuh dan menatap wajah Sia yang sedang serius memikirkan sesuatu, "Ayo masuk, disini udah dingin."

"Non, ayo masuk. Bentar lagi tuan pulang," seru Bi Jami membuat Sia menoleh dan kembali menatap Arsa.

Lelaki itu mengacak rambut gadis bersurai coklat di depannya, "Gua ga bakalan sakit, gua kuat. Gua Arsa," ucapnya, membuat Sia tersenyum manis.

Gadis itu memberikan payungnya kepada Arsa, Bi Jami dengan sigap mempayungi Sia dan mereka masuk, Sia sesekali menengok kebelakang melihat Arsa yang mengayunkan tangannya, menyuruh Sia masuk.

Gadis itu masih menoleh ke belakang melihat Arsa. Bi Jami membuka pintu, ia terkejut melihat lelaki berbadan tinggi yang sudah memasuki usia kepala empat itu sedang berdiri di depan pintu dan mengikuti arah tatapan Sia. Bi Jami langsung menyenggol lengan Nonanya, Sia yang disenggol langsung menoleh ke arah Bi Jami. Bi Jami mengarahkan matanya ke samping, Sia menurut dan langsung menoleh ke depan, ternyata lelaki yang sering ia panggil Om Johnny selaku bodyguard Papa nya tengah menatap Arsa dengan tatapan tajam.

Sia meneguk air liurnya, "Kenapa keluar Sia? Dia siapa?" tanya Johnny membuat Sia menggigit bibir bawahnya.

Gadis itu menggeleng, " ...Hm, anu—"

Ia terlalu takut menjawab pertanyaan yang dilontarkan lelaki yang mempunyai proporsi tubuh yang tinggi serta besar yang berada di depannya. 

Johnny melihat Sia yang diam sambil menundukkan kepalanya enggan menatap wajahnya. Karena tak kunjung dapat jawaban dari Sia, Johnny berjalan menerobos hujan membuat Sia menutup mulutnya, ia sangat takut Arsa seperti lelaki yang lainnya. Sia hendak mengejar Johnny tapi tangannya dicekal oleh Bi Jami.

Pak Udin melihat mata Johnny yang menunjukkan amarah membuatnya mengindik ngeri. Arsa yang dihampiri oleh seseorang dengan setelan jas lengkap dan juga memiliki tinggi yang sama dengannya.

"Ada apa gerangan anda disini?" tanya orang di depannya yang sudah basah kuyup.

Arsa dengan santai menjawab, "Saya pacarnya, Sia." perkataan itu terlontar begitu saja dari mulut Arsa, membuat Pak Udin menepuk keningnya.

Orang yang berada di depannya ini terkekeh kecil walaupun terdengar samar-samar karena suara hujan yang begitu deras, "Besar juga tekad mu," ucapnya.

Lelaki di depannya mengusap wajahnya, menyeka air hujan yang membuat pandangannya buram, "Selagi saya masih baik, hendaknya anda pergi dari sini."

Arsa mengerutkan keningnya, "Maksud anda, kenapa saya harus pergi?" tanya Arsa, lelaki di depannya menunduk sambil menghela nafas kasar.

Ia mulai menatap Arsa, tatapan lelaki itu berubah seperti ia ingin membunuh Arsa. Lelaki itu mengarahkan tangannya, mengisyaratkan Arsa pergi. Arsa yang bingung sekaligus amarahnya yang terpancing membuatnya emosi.

Arsa menghela napas dan menutup payungnya serta menghempaskan payung tersebut dengan kasar, "Bikin kesel," cicitnya.

Johnny terkejut, emosinya makin naik. Lantas ia langsung menarik baju kaos Arsa. Sia yang melihat itu langsung membelalakkan matanya, menahan amarah, ia mencoba melepaskan cengkraman tangan Bi Jami. Bi Jami menggeleng, "Jangan Non," pinta Bi Jami.

Arsa menyinggungkan senyumnya. Johnny heran di buatnya, lelaki ini sangat berani di bandingkan lelaki yang ingin mendekati Nona Sia yang semuanya pengecut, saat melihat ia saja lelaki yang lain sudah berlari terbirit-birit. Tapi, lelaki di depannya ini malah berbanding terbalik, ia menantang Johnny.

Karena merasa dirinya sedang ditantang, Johnny langsung melayangkan tinjunya ke wajah Arsa, membuat lelaki itu tersungkur.

"Arsa!" teriak Sia, napasnya naik turun dibuatnya. Bi Jami menyeretnya masuk ke dalam.

Arsa bangkit, ia menyentuh pinggir bibirnya yang terluka. Air hujan yang turun cukup deras menyentuh wajahnya membuat lukanya cukup perih.

"Sekarang kamu pergi, itu pukulan peringatan dari saya," kata Johnny. Arsa menatap lelaki di depannya dengan tatapan tajam.

"Setelah lo ngerusak wajah gua, lo nyuruh gua pergi?" cetus Arsa sambil melangkah maju membuat tidak ada jarak diantaranya.

TIN TIN

Klakson mobil membuat mereka menoleh ke depan, sebuah mobil mercedes tepat di depan mereka. Supir mobil tersebut turun sambil memegang payung dan membukakan pintu belakang, terlihatlah Brian keluar menatap mereka berdua. Johnny segera membukuk hormat kepada Brian, setelah itu ia pergi ke samping Brian dan membisikkan sesuatu.

Brian berjalan kearah Arsa, "Kamu, pacarnya anak saya?"

Arsa merubah raut wajahnya dan segera memberikan senyum tipis sambil menunduk memberi hormat, "Saya Arsa, pacarnya—" 

PLAK

Tamparan keras mendarat di wajah Arsa, salam lelaki itu terpotong. Arsa meringis sambil memegang pipinya, "Jauhi anak saya, jangan datang lagi kesini," perintah Brian menatap Arsa tajam.

Setelah itu Brian masuk ke dalam mobilnya, Pak Udin segera membuka lebar gerbang tersebut. Sebelum masuk Johnny menatap tajam Arsa, setelah itu masuk meninggalkan Arsa yang berdiri di tengah derasnya hujan yang mengguyur tubuhnya.

(...)

"Aw, sakit. Pelan-pelan anjing," ringis Arsa. Radit tengah mengobati wajah Arsa yang lebam akibat tamparan dan pukulan yang ia dapatkan tadi.

Lelaki itu tiba-tiba datang ke bar dengan tampilan pakaian yang basah dan wajahnya yang lebam. Teman-temannya agak terkejut melihat penampilan Arsa, untung saja Satria membawa beberapa lembar pakaian di dalam mobilnya, "Ya lo juga belum ada status, tiba-tiba bilang pacar sama bapaknya," celetuk Satria.

Radit selesai dengan pengobatannya, ia pun segera membereskan perlengkapan obat-obatan tersebut ke dalam wadahnya, setelah itu memberikannya kepada pemilik bar tersebut.

"Lo juga ngebet banget mau deketin Sia. Udah nyerah aja kali," ujar Radit dan di angguki oleh Gibran. Lelaki itu pulang, ia tidak tahan untuk berlama-lama di rumah sakit.

"Jangan-jangan lo suka sama Sia," sahut Gibran, membuat Radit dan Satria membelalakkan matanya.

Satria menggebrak meja, membuat seluruh atensi pengunjung bar tersebut menatap kearahnya. Gibran segera meminta maaf kepada semua pengunjung, "Bener anjir, jangan-jangan gitu timbul benih-benih cinta,"

Arsa dengan cepat menggeleng, "Gua cuma tertantang aja untuk ga nyerah," jawabnya.

Radit menyipitkan matanya dan menggeleng, "Ga, menurut gua lo suka dia tapi malu buat ngomongnya, ya kan?"

"Ngawur anjir," sahut Arsa.

Gibran menyilangkan tangan di depan dada, "Gue bingung, masa alasan lo tertantang doang. Lo rela hujan-hujanan cuma buat dia, apa lagi sampai di pukul gini ..."

" ...Lo beneran suka kan sama dia?" sambung Gibran.

Arsa menghela napas, "Oke gua ngaku, gua bukan suka sama dia melainkan gua pengen dia suka sama gua sampai tergila-gila, ngerti ga?"

Mereka semua mengangguk mengerti, "Tapi kok gua kurang percaya," cetus Satria. Arsa segera melemparnya dengan bantalan sofa.

"Terserah kalian mau percaya apa engga," ucap Arsa dan mengambil gelas yang berisikan whisky dan meneguknya. 

Radit tertawa, "By the way, tuh cewe kayaknya udah tertarik ke lo." Arsa mengangguk dan menyinggungkan senyumnya sambil menyisir rambutnya kebelakang.

"Yoi, makanya gua ngebet deketin dia. Tuh cewe gampang banget, mudah baperan, dan juga tuh cewe terlalu naif. Apa lagi body nya, beuh mantep," jelas Arsa, Gibran menggeleng saja mendengarnya.

Satria memukul bahu Arsa, "Awas aja nanti ada cerita lo kecantol sama tuh cewe," kata Satria.

Arsa menggeleng, "Ga bakal, janji gua."

'Lagi pula gua bakalan mati, ga bakalan mikirin pacaran,' batin Arsa.

"Oh iya, lo balikan sama Tamara?" tanya Radit ke Gibran dan di balas anggukan.

Satria tertawa kencang dan kakinya langsung di tendang oleh Arsa, "Congrats, semoga langgeng kalian," celetuk Arsa, di balas anggukan oleh Gibran.

"Kalau putus lagi jangan telepon gua, jangan lari juga ke alkohol. Ga asik, sakit hati teh ke alkohol," seru Satria, membuat Radit tertawa. Sedangkan Gibran menatap sinis keduanya.

to be continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status