Share

Bab VII

Tadi malam Arsa banyak sekali minum, sekarang kesusahan untuk tidur dan tubuhnya terasa sangat dingin. Arsa mencoba melilit tubuhnya dengan selimut dan mematikan AC nya, berusaha untuk tidur tapi tetap saja ia terbangun dari tidurnya.

Pagi ini Arsa benar-benar tidak enak badan. Suhu badannya juga tinggi, tubuhnya benar-benar lemah, apa lagi ia merasakan nyeri di bagian perutnya. Walaupun begitu Arsa harus bangkit dan pergi ke rumah Sia, karena lelaki itu sudah janji dan tidak ingin membuat gadis itu khawatir.

TRING!

Notifikasi pesan dari Sia masuk, Arsa mengambil ponselnya yang berada di meja kecil samping kasurnya.

Sia

Aku tunggu di balkon.

Hati-hati Sa ^.^

08.24 WIB

Dengan lemah Arsa mengukir senyumnya dan menuju ke kamar mandi membasuh tubuhnya. Setelah selesai dengan kegiatan membasuhnya, Arsa segera turun ke bawah. Arka serta Bunda ada di bawah, sementara Ayahnya masih di rumah sakit.

"Sa, ayo sarapan," ajak Bunda sambil tersenyum ke arah Arsa.

Arsa menghiraukannya dan pergi mengambil sepatunya di rak, tapi entah kenapa kondisinya benar-benar sangat lemah, saat ia ingin mengambil sepatu saja Arsa hampir jatuh. Diana selaku Bundanya Arsa langsung bangkit dari kursinya dan memegang tubuh Arsa.

Menyadari suhu tubuh Arsa sangat tinggi membuat Diana khawatir, "Sa, kamu demam. Di rumah aja ya, jangan kemana-mana nanti Bunda suruh Arka panggil dokter," tutur Diana. Tapi Arsa segera menepis tangan Bundanya dan pergi keluar.

"Arsa!" pekik Diana, tapi percuma Arsa sangatlah keras kepala.

Arka memegang pundak Bundanya, "Bun, ga papa. Arsa bisa jaga tubuhnya sendiri."

Diana menatapi tubuh putranya yang berjalan lunglai, "Tapi, Ka—" Arka menggeleng.

(...)

Arsa mengendarai motornya, nyeri perutnya masih ada, ia terus-terusan memegang perutnya sepanjang jalan. Arsa merasakan tubuhnya sangat lemah, ia memutuskan untuk berhenti di pinggir jalan dan mengambil ponselnya guna menelpon Daniel, dokter pribadinya.

"Halo?" panggil Daniel dari seberang telepon.

Arsa mengatur napasnya, "Dok... Jemput saya, lokasinya saya kirim sekarang ..." ujarnya, dengan cepat Arsa memberikan lokasinya kepada Daniel lewat chat.

"Sa, kuatin diri kamu sampai saya datang ke sana, jangan pingsan," tuturnya, Arsa mengangguk. Setelah itu Daniel menutup panggilan tersebut.

Arsa turun dari motornya dan duduk di trotoar, ia mencoba mengatur napasnya, berusaha membuat dirinya tetap sadar. Ia juga memegangi perutnya yang terus menerus nyeri dan untungnya ia belum sarapan pagi ini, kalau tidak ia akan mengeluarkan semuanya.

Beginilah setiap kali Arsa kambuh dan itu membuatnya ingin cepat-cepat pergi dari dunia ini, karena ini semua membuatnya tersiksa. Lelaki itu dibuatnya mengantuk, tapi Arsa berusaha keras untuk tetap sadar.

Sebuah mobil berhenti di depannya dan muncullah dokter Daniel yang melontarkan pertanyaan kepadanya, tapi sebelum menjawab pertanyaan dokter Daniel, Arsa sudah pingsan duluan. Dengan cepat dokter Daniel menyuruh bawahannya menggotong Arsa dan juga menyuruh mereka membawa motor Arsa ke kliniknya.

(...)

Sudah pukul dua belas lewat tiga puluh menit, Arsa tak kunjung datang. Sia mencoba positif mungkin lelaki itu sedang ada acara keluarga dadakan, tetapi tetap saja membuatnya khawatir, terlebih lagi kemarin lelaki itu hujan-hujanan dan juga menerima tamparan serta pukulan yang membuatnya semakin khawatir. Kenapa ia tidak mengirimkan pesan kepadanya, Sia menunggu serta menatap ponselnya, berharap mendapatkan kabar dari lelaki itu.

Tapi percuma, ini sudah lima jam berlalu. Sia enggan keluar dari kamarnya karena kejadian kemarin ia tidak ingin bertegur sapa dengan Papanya. Sia menghela napas kasar, "Arsa kemana ya?" celetuknya sambil menangkup wajahnya.

Ceklek

Pintu kamarnya terbuka, terlihat Brian tersenyum menatap punggung anaknya. Sia menoleh sebentar, saat melihat Papa nya, ia langsung membuang muka, "Segitu marahnya dengan Papa?" ucap Brian menutup pintu kembali dan mengambil langkah duduk di samping Sia.

Sia enggan menjawab pertanyaan Papa nya, apa lagi sekedar melihat Papa nya. Ia sekarang sangat marah dengan Papa nya, mungkin karena Papa nya, Arsa tidak datang ke sini, "Karena Papa, Arsa ga datang lihat Sia!" bentak Sia. Ia langsung membenamkan wajahnya dan tak lama terdengar isak tangis dari Sia.

Brian langsung memeluk putri semata wayangnya, awalnya Sia memberontak, tetapi seketika ia melunak dan menangis di pelukan sang Ayah, "Pa, Arsa ga ke sini." 

Brian menghela napas dan mengelus punggung putrinya, membiarkan Sia mengeluarkan semua keluh kesahnya, "Jangan nangis sayang, mungkin Arsa kamu lagi sibuk dan ga sempat memberitahu kamu," sahut Brian. 

(...)

Brian masuk ke dalam ruang kantornya dan menahan amarahnya, ia membuang semua benda yang berada di meja kerjanya, "Siapa lelaki bernama Arsa itu?!" pekiknya.

Satu bodyguard masuk ke dalam ruangannya, karena mendengar suara bising, "Ada apa tuan?" tanyanya.

Brian mengepalkan tangannya dan menghantamkan ke arah meja, matanya menunjukkan amarah yang membara, "Panggil Johnny kemari, cepat!" perintahnya, bodyguard itu langsung menuruti permintaan Brian.

Brian menghela napasnya panjang dan mendudukkan bokongnya, setelah itu ia mengusap wajahnya kasar. Johnny datang dan memberi salam, "Cari tahu lelaki bernama Arsa itu yang kemarin datang ke sini, cari semua yang berhubungan dengannya. Jangan sampai ada yang terlewat!" jelas Brian. Johnny langsung mengangguk mengerti dan meninggalkan ruangan tersebut.

Lelaki itu menggeram, napasnya naik turun, "Bisa-bisanya lelaki seperti dia membuat putriku menangis. Tunggu saja balasannya Arsa," ketus Brian.

(...)

Sudah 2 hari berlalu, Arsa sama sekali belum memberi kabar kepada Sia maupun temannya. Ia sama sekali belum mau menghidupkan ponselnya kembali, kondisinya saja belum seratus persen sembuh. Arsa memandangi ke arah jendela, menatapi indahnya pemandangan luar. Kota Bandung sekarang sedang di guyur hujan, akhir-akhir ini sering sekali hujan, mungkin karena sudah memasuki musimnya.

Arsa menatap teduh ke arah jendela, memejamkan matanya. Tapi sebuah ketukan pintu membuatnya mengurungkan niatnya untuk kembali memasuki alam mimpi.

Dokter Daniel masuk dan memberi senyuman kepada Arsa, "Syukurlah kamu sudah siuman," celetuknya.

Dokter Daniel menyentuh tangan Arsa dan menatapnya dengan lamat, setelah itu memeriksa mata Arsa, "Kamu cepat pulih dan juga cepat sekali sakit," tutur Daniel.

Arsa menyingung senyumnya, "Benar, maka dari itu saya ingin cepat pergi, Dok."

Daniel menggeleng, "Semangat, Sa. Kamu perlu merasakan indahnya dunia, jangan menyerah cuma gara-gara penyakit." 

Ia terkekeh kecil, "Bagaimana saya bisa semangat. Mungkin banyak yang memberikan semangat kepada saya, tapi itu cuma dengan kata-kata saja, tidak mempan buat saya, Dok," jawab Arsa.

Daniel menghela napas, "Setiap orang mempunyai penyemangatnya untuk tetap di dunia ini dengan orang-orang yang mereka sayang ataupun sesuatu. Kamu, cari itu, cari penyemangat kamu untuk tetap berada di dunia," jelasnya dengan menepuk pundak Arsa.

"Jangan patah semangat Arsa untuk sembuh, itu pesan saya, cintai diri kamu," sambung Daniel.

Setelah itu seorang suster masuk membawa makanan untuk Arsa serta obat-obatan, "Baiklah saya undur diri dulu, harus ada pasien lain yang harus saya beri semangat," tuturnya sambil tersenyum.

Arsa mengangguk dan Daniel pergi meninggalkannya. Ia berniat memejamkan matanya lagi, tapi perkataan suster itu membuatnya enggan melakukan aktivitasnya, "Dua hari kemarin, saat masnya dibawa kerumah sakit ini. Ponsel mas selalu bergetar terus menerus setiap menit, kalau ga salah nama kontak yang menelepon mas itu Sia, maaf mas atas kelancangan saya melihat ponsel mas dan juga kemarin baterai handphone nya lowbat kemarin, jadi saya charger," tutur Suster tersebut.

Arsa mengangguk serta tersenyum tipis ke suster tersebut, "Ga papa sus, malahan saya sangat berterimakasih," ucapnya.

Suster tersebut mengangguk, "Baik mas, kalau begitu saya tinggal."

Suster itu pergi meninggalkan ruangan Arsa. Ia melirik ke arah ponselnya yang terletak di atas lemari kecil sampingnya, mau tak mau Arsa mengambil ponsel tersebut dan menghidupkannya. Baru saja beberapa menit ponsel itu hidup, sudah banyak notifikasi pesan dari temannya, keluarganya, serta Sia.

Banyak pesan dari gadis itu, mungkin hampir seribu pesan dikirim gadis itu kepadanya, tanpa sadar Arsa mengukir senyumnya. Karena menurutnya gadis itu khawatir, Arsa meneleponnya.

"Arsa!" pekik gadis itu di seberang sana. Arsa menjauhkan ponselnya dari telinga, karena suara gadis itu mungkin mampu memecahkan gendang telinganya.

"Ga usah teriak gitu, sakit gendang telinga gua," cetus Arsa, gadis itu langsung mengecilkan volume suaranya.

Gadis tersebut berdeham, "Maaf, kamu dari mana aja, udah dua hari tidak menjawab panggilan telepon ku maupun membalas pesan ku," ucapnya.

Arsa tersenyum gemas mendengarnya, "Oh itu, nemenin kembaran gua olimpiade sains di Jakarta," jawabnya.

"Bener? Tapi kenapa ga jawab telepon aku ataupun sekedar jawab pesan ku. Kamu ga bohong kan?" ujarnya.

Arsa tersenyum kecut, "Kalau ga percaya tanya aja sama bokap gua," sahutnya.

Gadis itu terbata-bata, "... Aku kenal ayah k-amu aja engga, udah deh ubah percakapannya, sekarang kamu dimana?"

"Dimana ya?" ucapnya, ia sedikit menggoda gadis itu. 

Sepertinya gadis itu sedikit kesal dengannya, "Arsa!" pekiknya, Arsa tertawa cukup keras. 

"Jawab, sekarang kamu dimana? Jangan buat aku khawatir deh," seru Sia. Gadis ini adalah orang pertama yang membuatnya tertawa kencang seperti ini dan juga Sia adalah orang pertama yang Arsa kabari setelah ia bangun dari pingsannya, Arsa seperti menemukan rumah baru untuknya melanjutkan sisa umurnya.

Arsa menghela napasnya, "Oke, gua lagi di Jakarta untuk perjalanan pulang. Besok gua bakal ke rumah lo, mau ajak jalan-jalan."

Sia terbatuk-batuk mendengar perkataan Arsa, "Bagaimana cara keluar dari rumah?"

"Shut, rahasia. Besok tugas lo dandan yang cantik, tunggu di taman belakang rumah lo, gua bakal jemput lo disana," tutur Arsa.

"Tapi, bodyguard Papa pasti bakalan tau," seru Sia.

"Ga, percaya sama gua. Nanti gua jemput jam 8 malam, kalau sudah sampai disana gua bakal chat lo, jangan kasih tau siapa-siapa. Bi Jami juga ga boleh tau, ngerti kan?" perintah Arsa kepada gadis itu, walaupun ia tampak ragu dengan perkataan Arsa, tapi mau bagaimana lagi, kalau belum dicoba tidak tau kan bagaimana hasilnya.

Akhirnya Sia menyetujui perkataan Arsa tersebut, walaupun tindakannya terkesan seperti bunuh diri.

to be continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status