"Kau tak ingin pulang?" Kembali pada realita, Zenaya mendongak pada sosok Lucas yang berdiri di depannya dengan membawa dua kaleng soda yang pria itu beli di mesin otomatis.
Lucas menyeret kursi, lalu duduk di sana menaruh dua kaleng soda itu ke atas meja. "Tidakkah kau rindu kedua orangtuamu, dan juga—"
"Aku tak punya muka untuk bertemu dengan Alan."
"Bukan kau yang bersalah, tapi aku dan juga keluargamu, Nay." Lucas mendesah pelan.
"Itu sama saja, Alan menderita karena perbuatan keluargaku. Lagipula, aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Brigston. Aku akan menetap di Taiwan, mereka juga tidak mencariku, bukan. Bahkan ini sudah bertahun-tahun. Aku tidak peduli lagi dengan mereka, Luc."
Lucas meraup kasar wajahnya. Tidak tahu lagi harus bagaimana membujuk sepupunya ini. Lagipula, dirinya juga sudah putus kontak dengan keluarga besarnya. Ia menenggelamkan dirinya dengan penyesalan, tanpa berani mengaku di depan semua orang. Terdeng
"Berengsek, apa yang kau lakukan!" seru Alan ketika Gavin menarik lengannya dan dihempaskan di atas sofa. Pria itu menyeringai penuh kelicikan. Dia sudah tidak tahan dengan godaan yang atasannya ini lakukan. Dia pria normal yang memiliki nafsu, digoda sedemikian rupa tentu dirinya akan goyah. Apalagi ia tak pernah lagi melakukannya dengan Luna karena muak dengan wanita itu.Gavin menindih tubuh Alan dengan tatapan lapar. Mencekal kedua lengan itu agar wanita cantik tersebut tak melakukan perlawanan. Gavin menyeringai, tak akan ada yang mampu menolak pesonanya seorang tuan muda Wildberg. Bahkan banyak wnaita di luar sana yang berlomba ingin tidur dengan pria tampan sepertinya. Oh, Gavin dengan segala tingjat halusinasinya yang terlalu tinggi, karena sekarang dirinya bukanlah siapa-siapa. Bola mata biru itu membara, menggambarkan gejolak tinggi yang menakutkan.Gavin menjilat bibirnya yang kering, merapatkan tubuh ke arah si cantik. Namun, ketika bibir itu baru saja ingin menjamah bibi
Gavin terbangun dengan napas memburu. Dadanya naik turun dengan dahi basah akibat keringat. Dia melirik jam di nakas, masih pukul 2 pagi. Ternyata yang dia lihat hanyalah mimpi. Gila, kenapa di alam mimpi bisa sosok bossnya adalah mantan istrinya. Apakah karena fantasi liar yang selalu membelenggu kepalanya dan rasa penyesalan ia akan masa lalu. "Kenapa aku bisa bermimpi seperti itu?"Matanya melirik ke arah samping, di mana sosok Luna tertidur masih mengenakan hells dan pakaian yang wanita itu kenakan saat pergi.Gavin mendekatinya, bermaksud untuk membangunkan sang istri, namun bau alkohol yang menyengat membuat dia tahu jika Luna mungkin baru saja kembali, dan istrinya ini mabuk. "Luna, bangun!" serunya. Dia mengguncang tubuh istrinya dengan kasar. "Apa kau mabuk?" kembali dia melontarkan pertanyaan yang hanya dihadiahi gumaman, dan erangan dari sang istri.Gavin mengusap kasar wajahnya, memilih beranjak ke arah kamar mandi hanya untuk sekedar membasuh wajahnya yang berkeringat.S
"Lama tak bertemu, Alanair Welington," ucapnya memaksakan senyum pada wanita itu, yang justru ditanggapi acuh. Alan memilih membuang muka ke samping. Berusaha menjauh ketika tidak tahu malunya, Gavin malah semakin mendekat. Sayang sekali tembok di belakangnya menghalangi semua itu. Hingga ia hanya bergerak ke samping untuk pertahanan diri.Alan tidak tahu, betapa senangnya hati Gavin saat ini. Seperti baru saja memenangkan undian berhadiah senilai ratusan ribu dollar. Wanita yang telah ia campakan dulu, kini berada di depan matanya dengan penampilan yang sangat berbeda. Membuat Gavin menelan ludah kepayahan.Gavin menyadari jika sebenarnya, Anne sangat tak nyaman dengan kehadirannya, namun dia memilih abai dan terus mendekat."Kau ke mana saja, ah maaf maksudku apa kabarmu, Alan?" Gavin salah tingkah. Berniat berbasa-basi, tapi malah berakhir mempermalukan diri sendiri, saat Alan memilih mengacuhkannya."Alan," panggilnya lembut. Menarik Alan untuk menoleh pada sosok mantan suaminya,
"Ada apa lagi ini!" seru Grifida ketika menemukan putranya terbaring lesu dengan wajah berantakan di atas sofa. Dia juga tidak menemukan sosok sang menantu juga cucunya. Biasanya, Patricia akan meraung menempeli kakinya ketika melihat dirinya datang."Aku bertemu dengan Alanair, Ma." Grifida masih terlihat biasa saja. Bukankah seperti biasa putranya bertemu dengan Alanair Smitt. Bossnya yang cantik juga seksi plus pewaris tahta kerajaan bisnis nomor satu di Amerika. "Bukankah setiap hari kau bertemu dengannya, jangan bilang dia memecatmu, Gav. Jika kau sampai dipecat, habislah kita. Mau makan apa kita, aku juga ingin dia menjadi menantuku secepatnya, agar derajat keluarga Wildberg kembali terangkat," ujarnya percaya diri.Gavin langsung beranjak dari atas sofa hanya untuk memberikan tatapan tajam pada ibunya. "Hentikan obsesimu, Mama. Sudah cukup kau menjodoh-jodohkanku.""Kapan aku menjodohkanmu? Kau yang menghamili wanita jahat itu. Lihat saja sekarang, di mana dia? Seharusnya dia
Semenjak terbongkarnya identitas Alan oleh Gavin, wanita itu selalu memililiki cara untuk menghindari pekerjaan apapun dengan Gavin. Bahkan hari itu juga, Alan mengganti posisi Gavin yang awalnya menempati asisten pribadinya, kini dipindahkan menjadi asisten direktur pemasaran.Dia tahu, menghindar adalah cara paling bodoh yang dilakukan orang. Akan tetapi, dia tidak ingin lagi terlena akan pria itu. Apalagi kata-kata menyesal yang Gavin lontarkan. Dia tidak ingin lagi menjadi lemah seperti memohon atau mengemis cinta pria itu. Tidak, dia tidak akan melakukan itu seperti halnya dulu.Lain hanya dengan Alan, Gavin sekarang makin rajin berangkat ke kantor dan mencari-cari alasan, agar bisa dipertemukan dengan sang mantan istri, dan bicara berdua. "Bagaimana perasaanmu sekarang, Gav?" tanya Greg Martin ketika mereka berdua tengah berada di Caffe tak jauh dari apartemen milik Greg, untuk sekedar minum kopi seusai pulang dari kantor."Buruk, Alan bahkan menggantikan posisiku dengan orang
"Gavin!" serunya tak percaya. Namun, Alan berhasil menguasai tubuhnya, dan menekan ekpresi menjadi biasa saja. "Dia benar putramu."Alan menegakkan tubuh, menatap angkuh pada sang mantan suami. "Seperti yang kau lihat, Mr. Wildberg. Aku sudah memiliki seorang putra." Hati Gavin teremas, rasanya begitu sakit. Memikirkan mantan istrinya ini telah menikah lagi, dan memiliki seorang anak dengan pria lain."Kenapa kau...." Gavin tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Hatinya terlalu meradang ketika tahu kenyataan ini. Jika Ken melihat ibunya memasang wajah dingin. Ia justru melihat orang yang telah menyelamatkannya ini terkejut dengan kaca bening di mata, dan turun melintasi pipi. Seperti ia yang sering melihat ibunya termenung di malam hari seorang diri."Kenapa, tentu saja karena aku ingin. Apakah aku butuh izinmu untuk memiliki seorang anak. Ingat, Gav. Kau bukan siapa-siapaku," ujar Alan begitu percaya diri."Tapi kenapa secepat itu, kita bah—""Gavin Wildberg, cukup!" teriak Alan, ba
Alan menggerakkan kepala ke atas menatap sang mantan suami tak percaya. Gigi putih dan rapi milik Alan bergemeletuk, mengingat ia hamil juga karena perbuatan keduanya, namun pria itu justru mencampakkannya dulu."Kenapa aku harus memberitahumu?""Siapa pria itu? Katakan padaku, Alan!" serunya."Apa hakmu mencari tahu. Kau bukan siapa-siapa bagiku, apa kau tidak malu ikut campur urusanku, Gavin Wildberg."Tangan yang tadi mencekal lengan Alan begitu kuat, kini berangsur melonggar dan jatuh terkulai. "Kenapa kau ... Katakan!" Kali ini, Alan bisa melihat amarah yang terpancar dari kedua mata biru Gavin. Tarikan napas serta dadanya yang kembang kembis, membuktikan jika pria itu menahan emosi sedemikian rupa."Katakan siapa pria berengsek itu, Alan!"Alan mendengus, dia sudah mengatakannya tadi, bukan. Jika di antara mereka sudah tak ada hubungan apa-apa lagi. Gavin yang memaksanya dulu menandatangani dokumen perceraian mereka. Meskipun dia sendiri tidak pernah hadir dalam sidang percera
Gavin merasakan kepalanya pusing bahkan rasanya hampir pecah. Pandagannya mengabur dan hampir saja roboh, ketika dia duduk di meja kerjanya pagi ini."Kau kenapa, Gav?" tanya Greg Martin yang baru saja tiba, dan duduk di kursi tepat di depan Gavin. Dia mengkhawatirkan rekan kerjamya ini yang tampak lesu sejak kemarin.Gavin hanya mampu menggelengkan kepalanya pelan, lalu menghempaskan kepala dengan surai pirang itu di atas meja dengan lesu."Alan sudah memiliki Anak dengan pria lain, Greg," ujarnya tiba-tiba. Menarik Greg Martin untuk menaikan satu alis karena penasaran akan ucapan pria tersebut."Yang benar saja? Tidak ada gosip yang beredar jika Presdir memiliki suami dan seoramg anak, Gav. Kau pasti salah."Kekesalan Gavin semakin menjadi. Pria itu kalap, dan memukul meja. Sungguh, dia tak mampu menahan sedikit saja luapan emosi di hatinya."Tapi dia memilikinya, kau tahu anak yang kuselamatkan saat kebakaran di tempat bimbingan belajar kemarin itu.""Iya, kenapa?""Kau masih tanya