"Gavin!" serunya tak percaya. Namun, Alan berhasil menguasai tubuhnya, dan menekan ekpresi menjadi biasa saja. "Dia benar putramu."Alan menegakkan tubuh, menatap angkuh pada sang mantan suami. "Seperti yang kau lihat, Mr. Wildberg. Aku sudah memiliki seorang putra." Hati Gavin teremas, rasanya begitu sakit. Memikirkan mantan istrinya ini telah menikah lagi, dan memiliki seorang anak dengan pria lain."Kenapa kau...." Gavin tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Hatinya terlalu meradang ketika tahu kenyataan ini. Jika Ken melihat ibunya memasang wajah dingin. Ia justru melihat orang yang telah menyelamatkannya ini terkejut dengan kaca bening di mata, dan turun melintasi pipi. Seperti ia yang sering melihat ibunya termenung di malam hari seorang diri."Kenapa, tentu saja karena aku ingin. Apakah aku butuh izinmu untuk memiliki seorang anak. Ingat, Gav. Kau bukan siapa-siapaku," ujar Alan begitu percaya diri."Tapi kenapa secepat itu, kita bah—""Gavin Wildberg, cukup!" teriak Alan, ba
Alan menggerakkan kepala ke atas menatap sang mantan suami tak percaya. Gigi putih dan rapi milik Alan bergemeletuk, mengingat ia hamil juga karena perbuatan keduanya, namun pria itu justru mencampakkannya dulu."Kenapa aku harus memberitahumu?""Siapa pria itu? Katakan padaku, Alan!" serunya."Apa hakmu mencari tahu. Kau bukan siapa-siapa bagiku, apa kau tidak malu ikut campur urusanku, Gavin Wildberg."Tangan yang tadi mencekal lengan Alan begitu kuat, kini berangsur melonggar dan jatuh terkulai. "Kenapa kau ... Katakan!" Kali ini, Alan bisa melihat amarah yang terpancar dari kedua mata biru Gavin. Tarikan napas serta dadanya yang kembang kembis, membuktikan jika pria itu menahan emosi sedemikian rupa."Katakan siapa pria berengsek itu, Alan!"Alan mendengus, dia sudah mengatakannya tadi, bukan. Jika di antara mereka sudah tak ada hubungan apa-apa lagi. Gavin yang memaksanya dulu menandatangani dokumen perceraian mereka. Meskipun dia sendiri tidak pernah hadir dalam sidang percera
Gavin merasakan kepalanya pusing bahkan rasanya hampir pecah. Pandagannya mengabur dan hampir saja roboh, ketika dia duduk di meja kerjanya pagi ini."Kau kenapa, Gav?" tanya Greg Martin yang baru saja tiba, dan duduk di kursi tepat di depan Gavin. Dia mengkhawatirkan rekan kerjamya ini yang tampak lesu sejak kemarin.Gavin hanya mampu menggelengkan kepalanya pelan, lalu menghempaskan kepala dengan surai pirang itu di atas meja dengan lesu."Alan sudah memiliki Anak dengan pria lain, Greg," ujarnya tiba-tiba. Menarik Greg Martin untuk menaikan satu alis karena penasaran akan ucapan pria tersebut."Yang benar saja? Tidak ada gosip yang beredar jika Presdir memiliki suami dan seoramg anak, Gav. Kau pasti salah."Kekesalan Gavin semakin menjadi. Pria itu kalap, dan memukul meja. Sungguh, dia tak mampu menahan sedikit saja luapan emosi di hatinya."Tapi dia memilikinya, kau tahu anak yang kuselamatkan saat kebakaran di tempat bimbingan belajar kemarin itu.""Iya, kenapa?""Kau masih tanya
Suara deru mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan rumah mewah yang merupakan mansion Smitt. Sang pengemudi yang adalah Alanair Smitt turun dari mobik, wnaita itu membuka pintu kendaraan roda 4 itu dengan tak sabaran menimbulkan suara 'Brakk' cukup nyaring dari bantingan pintu saat Alan menutupnya.Terlihat sekali wanita itu sedang berada dalam emosi tingkat tinggi, bahkan para pelayan di mansion itu merasakan aura mencekam yang keluar dari tubuh Alan.Tak memperdulikan apapun, Alan segera melesat masuk ke dalam mansion. Hentakan hells tinggi yang ia kenakan menggema di rumah bak istana itu, namun salam dari semua pelayan pun ia abaikan. Biasanya wanita itu akan tersenyum dan menyapa beberapa pelayan. "Hore, Mama pulang!" teriak si kecil Ken, ketika melihat sang ibu memasuki pintu utama. Ia berlari meninggalkan kakeknya yang sudah berada di rumah setelah kepulangan pria itu dari Jepang dalam acara bisnis, sekaligus mengunjungi makam sang istri yang berada di negeri sakura itu."
"Kau yakin ini tempat sekolah dari putra Boss kita?" tanya Greg, ketika pria itu berhasil mengantarkan Gavin di depan salah satu sekolah swasta di kota Brigston. Greg melirik ke arah Gavin yang sudah lebih baik dari kemarin. "Ya, aku mencari info dari sekretaris pribadi Alan."Greg terkekeh. "Kau bahkan lebih leluasa dengan hanya memanggil namanya saja.""Karena dia istriku," ucapnya percaya diri. "Jika kau masih dianggap." ketika Gavin berdecak, Greg justru tertawa lantang."Sialan!" Gavin segera melepaskan sabuk pengamannya, dan keluar dari mobil. Meninggalkan sahabatnya yang memilih duduk di balik kemudi mengawasi pergerakan rekan kerjanya ini.Gavin melangkah ke arah area sekolah. Mengamati beberapa anak yang telah keluar dari dalam kelasnya masing-masing. "Kenan Yoshiro Smitt!"Langkah kaki Gavin terhenti saat itu juga. Ia menggerakan mata ke samping, saat seorang guru perempuan berambut pirang menyebut nama itu. Seperti ada bom atom yang melesak seisinya dan Gavin merasakan
Setelah Alan merasa jauh dan jauh dari jangkauan mantan suaminya. Wanita cantik itu segera menyembunyikan tubuhnya di balik tiang bangunan. Hanya berdiri di sana tanpa melakukan apapun, memperhatikan sepatu hells merahnya yang menggesek tanah. Matanya berkaca-kaca menahan emosi yang sedari tadi dirinya tahan. Hanya saja Alan kalah, hatinya sakit, dan dadanya terasa sangat sesak sekarang. Saat ini ia hanya bisa menepuk dadanya, berharap mengikis semua rasa sakit yang menumpuk di sana, namun semua sia-sia. Rasa sakit itu semakin menjadi, membuat tangisnya kini pecah tak mampu ia bendung lagi."Mama, Mama menjemputku?" Suara melengking di depannya membuat Alan mendongakkan wajah."Mama menjemputku?" ulangnya. Dia berlarian kecil saking senangnya, karena sang ibu menjemputnya di sekolah. "Iya, Mama menjemputmu, kau senang?""Tentu saja senang," ujarnya sembari memeluk kaki Alan, karena tinggi anak itu hanya sepinggang ibunya. Bibirnya terkembang senyum lebar seolah ia baru saja memenangk
"Laporan apa yang kau buat ini? Apa kau tidak becus membuatnya, huh?" Sebuah kertas dilempar begitu saja oleh Alanair, begitu ia membaca laporan yang Gavin berikan padanya."Apanya yang salah?" tanyanya. "Apa matamu buta? Atau sudah rusak? Lihat saja sendiri, kau sama sekali tak becus membuatnya. Pantas saja WG hancur karena dipimpin oleh orang macam kau." Amarah Alan menggebu-nggebu saat ini.Sakit di hati Gavin semakin menjadi, bukan karena amarah wanita ini. Akan tetapi, status mereka yang seharusnya masihlah suami istri, namun ketika mereka sudah sedekat ini. Kenapa ego memisahkan masing-masing. Ia menyesal dengan perbuatannya, ia tahu ia salah. Namun, Alan tak memberinya sedikitpun kesempatan untuk memperbaiki dirinya sendiri. "Astaga, kamu kalau marah menggemaskan sekali." Gavin mencoba mencairkan suasana denagn menggoda sang istri, ah masihkah boleh Gavin menyebutnya seperti itu, sementara Alan sudah menganggap mereka bercerai. Lagipula, dia sudah tidak mau bersama pria ini.
"Dia Alanair Wellington, istriku dan bocah kecil itu adalah putraku, putraku dengan Alan." Gavin mengatakan dengan gamblang. Alan melotot, begitupula dengan Grifida, wanita itu menatapnya tak percaya. Grifia membekap bibirnya dengan telapak tangan. Dia tertawa miris dengan apa yang ia dengar di telinganya saat ini. "Bohong, kau pasti bohong. Mana mungkin dia adalah si jelek Alanair Welington?"Alan mendengus malas. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Sejak dulu, kau tak pernah berubah, ya, Nyonya Wildberg?""Karena aku percaya kau bukan Alanair, mana mungkin." Grifida masih bersikukuh."Karena Anda takut, bukan begitu. Anda takut mengakui saya sebagai Alanair Welington, Anda takut dengan kesalahan dan dosa Anda di masa lalu, Nyonya." Alan tertawa sinis, membuat wajah Grifida pucat pasi.Wanita itu memundurkan langkah. Mungkin Alan benar, dia takut dengan dosa masa lalunya. Dosanya yang telah mencampakkan menantunya yang polos, dan bahkan berhati mulia. Justru dia memelihara