Alan berusaha tegar setelah semalaman dia menangis karena pernyataan Gavin yang ingin menceraikannya. Hancur sudah, tak ada harapan lagi. Namun, dia akan tetap berusaha agar Gavin kembali menarik kata-katanya.
"Wah, baunya harum sekali. Boleh untukku ya, Al," serobot Nay.
Nay yang datang tiba-tiba berusaha merebut kotak berisi makan siang yang Alan buat untuk Gavin.
"Kau bisa ambil di dapur, ini untuk Gavin," ujar Alan.
Gadis enerjik itu mencebilkan bibirnya, namun mata birunya berkilat tersirat penuh godaan.
"Wah, kau memasak spesial untuk Gavin, ya. Al, kau baik-baik saja." Kedua alisnya naik turun.
"Aku baik, kenapa?" Mata indah Alan yang tersembunyi di balik kacamata tebal bergerak gelisah.
"Soal ucapan Gavin kemarin, jika dia...."
"Aku akan berusaha, agar Gavin menarik kata-katanya lagi. Bukankah aku juga istrinya, sudah cukup aku menangis, tidak ada gunanya. Aku akan rela berbagi dengan Luna."
Nay sedikit aneh, bukan karena dia tak suka perubahan sikap Alan. Tetapi, apa yang membuat wanita ini tiba-tiba menjadi sosok pemberani hanya dalam waktu semalam.
Nay lantas menempelkan tangannya di dahi Alan secepat kilat, memeriksa tubuh Alan apakah wanita itu baik-baik saja.
"Aku tidak apa-apa, Nay." Alan berusaha menyingkirkan tangan Zenaya dari atas dahinya.
"Kau aneh, kau yakin?"
"Why not, I will try to be strong, even though it hurts so much," jawabnya.
"Tapi, aku tidak pernah sanggup memikirkannya. Kau harus kuat, Al."
Alan memamerkan senyumnya. "Aku akan pergi ke kantor Gavin, memberikan ini." Dia mengangkat kotak bekalnya di udara tepat di hadapan Zenaya dengan dengan senyum lebar.
"Baiklah, tapi berhati-hatilah." Gadis itu menepuk-nepuk pundak Alan dengan penuh semangat.
Bahkan satu tangannya suda mengepal di udara dan bergumam 'Semangat' pada Alan. Yang ditanggapi dengan anggukan.
"Terima kasih, doakan aku. Semoga Gavin menyukainya."
"Pasti, sudah sana pergi ..., hush, hush. Semoga berhasil."
Alan mengangguk sekali lagi, dan berbalik lalu berjalan ke luar. Hari ini dia akan naik taksi saja. Jarak kantor dan Mansion Wildberg tidaklah jauh. Hanya memakan waktu 15 menit dengan kendaraan umum.
***
"Tolong antarkan aku ke WG Group, Tuan," ucap Alan setelah masuk ke dalam Taksi yang dia pesan.
"Baik, Nyonya," ucap sang supir paruh baya dengan rambut yang hampir separuhnya memutih.
Tidak berapa lama, Taksi yang yang ditumpangi oleh Alan bergerak pelan membelah ramainya jalan-jalan di kota Brigston. Kemacetan memang akan terjadi di mana-mana mengingat saat ini adalah jam makan siang.
Alan tersenyum, ini adalah masakan yang dia buat begitu spesial untuk suaminya. Dia tersenyum sepanjang jalan memperhatikan pemandangan kota Brigston yang didominasi bagunan klasik bergaya eropa kuno.
Angannya melayang, tentang ketika bagaimana nanti sambutan suaminya jika ia datang membawa makanan kesukaan suaminya. Bibirnya sempat terulas senyum tipis sembari mencium aroma harum makanan yang ia bawa dari luar kotak bekal berwarna hijau.
"Semoga Gavin menyukainya," gumamnya pelan. Alan kembali memperhatikan pemandangan dari dalam jendela Taksi. Pemandangan pohon yang meranggas. Memasuki musim gugur, betapa indahnya, batin Alan. Bayangan berkencan berdua dengan suaminya di bawah guyuran pohon maple menjadi lamunan terindahnya saat ini. Namun, apakah mungkin terjadi. Rasanya sangat mustahil mengingat sikap Gavin yang acuh padanya. Hingga tanpa terasa suara sang supir menyentaknya
"Sudah sampai, Nyonya."
Alan segera mengalihkan atensinya. Dia membuka pintu setelah menyerahkan 3 lembar uang pecahan 1 dolar ke arah si pengemudi taksi.
Alan lalu keluar dari taksi berwarna kuning tersebut. Langkahnya mantap dengan dada berdebar. Membayangkan suaminya akan senang memakan masakan hasil buatannya.
Selama ini Gavin memang bersikap dingin padanya, namun laki-laki itu tak pernah menolak apapun makanan yang dirinya masak.
"Maaf Nyonya, anda ingin ke mana?" tanya seorang wanita yang bertugas di resepsionis, setelah wanita berkacamata tebal itu sampai di lobi perusahaan milik keluarga Wildberg.
Alan berhenti untuk menatap sosok wanita cantik dengan rambut bergelombang sebahu berwarna pirang. Matanya yang berwarna coklat di balik kacamata retro menelisik Alan dari atas hingga bawah.
"Ah, maaf perkenalkan nama saya Alanair Welinton, saya ingin bertemu dengan Tuan Gavin Wildberg," ucapnya.
"Anda sudah membuat janji?" Wanita itu bertanya lagi.
Alan menggeleng cepat.
"Tapi Saya .., saya mengenalnya dengan akrab. Tuan Gavin tidak akan marah meskipun saya tidak membuat janji bertemu dengannya," ujar Slan yang tak ingin berdebat dan bergegas berlalu dari tempat itu.
Alan melanjutkan langkahnya. Tidak peduli wanita dengan name tag, Rosella itu berteriak di belakangnya. Dia setengah berlari menuju lift. Alan memang istri dari Gavin. Namun, keluarga Wildberg tidak pernah mengumumkannya di depan publik. Jadi, semua orang di sini tidak mengenal siapa dirinya. Menyedihkan, bukan.
Alan turun di lantai 5, di mana ruangan Gavin berada. Alan menapak lantai dengan pelan, menengok ke kanan dan ke kiri. Dia tidak ingin diintrogasi dan berakhir diusir dari sini karena tidak membuat janji.
Gadis itu lantas melanjutkan langkahnya, dirasa koridor itu begitu sepi. Dia mempercepat langkah kakinya, dan berhenti di depan ruangan bertuliskan Gavin Wildberg, chief executive officer
Alan mengembangkan senyumnya, dia hampir meraih handle pintu tersebut, sampai suara seseorang membuatnya urung untuk membuka pintu berwarna cokelat yang terlihat mengkilat tersebut.
"Maaf, anda siapa? Apa yang anda lakukan di depan ruangan Mr. Wildberg?" tanyanya.
Alan menelisik penampilan wanita cantik yang berdiri di belakangnya dengan wajah pongah. Rambut hitam panjangnya sepinggang digerai dengan kedua tangan tertaut di depan dada.
Alan memperhatikannya name tag bertuliskan Ariana Mourwitt di dada kirinya.
"Maafkan saya. Saya ..., ah saya seorang pengantar makanan, ingin bertemu dengan Mr. Wildberg," bohongnya. Dia tidak ingin membuat situasi menjadi lebih rumit lagi jika dia mengaku sebagai istri Gavin.
"Berikan saja padaku, orang asing dilarang masuk ke dalam ruangan Tuan Wildberg."
Alan bimbang, dia tidak mungkin menyerahkan bekal yang ia buat pada Ariana Mourwitt. Dia harus mencari akal.
"Maaf, tapi Tuan Wildberg berpesan agar saya langsung menyerahkannya pada beliau."
Ariana berdecih, "Jangan berbohong, cepat berikan!" sentaknya.
"Tidak bisa, Nona Mourwitt. Saya harus masuk." Alan memaksa.
Alan tak peduli, dia bergegas meraih handle pintu hingga berbunyi klek, dan berhasil. Ruangan itu tidak terkunci, dan Alan yang buru-buru masuk ke dalam sebelum Ariana mengusirnya dia lantas mengunci ruangan Gavin dari dalam. Mengabaikan Ariana yang menggedor pintu ruangan Gavin dari luar.
Alan menghela napasnya sebentar. Dia tersenyum lebar karena berhasil masuk ke dalam ruangan suaminya. Akan tetapi, ruangan Gavin kosong. Tak ada sosok suaminya di sana.
"Kenapa sepi sekali, ke mana Gavin?"
Alan berjalan masuk, tidak ada sosok Gavin di mana-mana, hingga suara desahan yang berasal dari kamar khusus yang berada di dalam ruangan ini membuat tubuhnya meremang seketika.
Dia mencoba menajamkan telinganya, mencari di mana sumber suara laknat yang tertangkap kedua telinganya.
Saat dia menemukan sebuah pintu lain di dekat meja kerja suaminya.
Ia lantas memberanikan diri untuk mendekat ke depan kamar tersebut. Tangannya sedikit tremor. Dengan dada berdegub dan ludah yang ia telan paksa, tangannya terjulur untuk membuka pintu itu, dan seketika matanya membola dengan tangan yang reflek membekap bibirnya.Alan rasanya sudah tak kuat lagi berdiri. Tubuhnya rasanya ingin ambruk, dan kaki yang terasa lemas seperti jelly. Dengan mata telanjangnya dia menyaksikan suaminya bercumbu dengan Luna di kamar pribadi milik pria tampan itu yang berada di dalam ruangan ini. Inikah kejutan yang ia dapat. Setelah bayangan menyenangkan yang sempat Alan idamkan saat dirinya berangkat ke tempat ini, dan semuanya musnah dalam sekejab pandangan mata. Gadis itu mendesah nikmat dengan tubuh terlentang di atas ranjang. Napasnya terengah-engah dengan tubuh nyaris tanpa busana di bawah kungkungan sosok tegab suaminya. Tangan kurus Alan bergetar hebat, dengan irama jantung yang semakin cepat seolah ingin segera berlari keluar dari tubuh Alan. Tas berisi kotak bekal yang dia bawa dari rumah meluncur bebas begitu saja. Hingga menimbulkan bunyi 'Brakk' yang cukup nyaring, membuat Gavin langsung menyadari orang lain yang berada di dalam ruangannya. Lel
Alan tersenyum licik. Saat sudah menemukan benda yang tepat. Di gengamannya tersemat botol obat yang akan memuluskan rencananya. Dia tidak ingin menjadi wanita bodoh dan lemah lagi, jika Luna bisa merebut suaminya kenapa dia tidak. Dia harus menjadi lebih kuat dari wanita itu. Jika Luna menggunakan bayinya untuk meraih simpati dan perhatian Gavin, dia akan melakukan hal yang sama. Semua rencananya sudah terekam jelas di dalam kepalanya. Setelah membayar di kasir, Alan segera melesat keluar dari toko, dan kemudian menyetop Taksi. Ia masuk ke dalam kendaraan roda empat berwarna kuning tersebut. "Kita akan ke mana, Nyonya?" tanya si Supir setelah melihat penumpangnya duduk nyaman di dalam kursi jok belakang. "Woodridle strett nomor lima puluh tiga," jawabnya. "Baik," ucap si pengemudi Taksi yang sudah hampir memasuki usia senja telihat dari rambutnya yang telah memutih semua. Lelaki itu lantas melajukan Taksinya membelah jalan
Saat ini Alan tengah sibuk di dapur merancang rencananya untuk menjebak suaminya. Malam ini Alan tidak ingin ada kegagalan. Wanita itu pergi ke dapur, membuat susu hangat kesukaan Gavin. Dia yakin Gavin tidak akan menolak apapun buatannya, meskipun pria itu tak memiliki perasaan pada dirinya. "Kali ini aku pasti berhasil," gummanya begitu lirih. Bahkan semut pun tak mampu mendengarnya. Alan begitu bersemangat membuat susu hingga tak menyadari jika Nay sudah berdiri bersandar pada tembok tepat di di belaknganya dengan tersenyum manis seperti biasa. "Ehem." Gadis itu berdehem hingga membuat Alan terlonjak karena kaget. Dia takut, untung saja Nay belum melihatnya memasukan obat itu ke dalam susu milik Gavin. Jika Nay tahu, gadis itu pasti akan mengomel dan menentang rencananya. "Astaga, Nay. Sejak kapan kau di situ. Dirimu benar-benar membuatku hampir terkena serangan jantung," ujarnya.
Desahan saling bersahutan memenuhi kamar Alan malam ini. Wanita itu mabuk akan sentuhan yang suaminya lakukan. Akhirnya, mimpinya menjadikan Gavin miliknya seutuhnya terwujud malam ini meskipun dengan cara licik dia membuat laki-laki itu tak berdaya di bawah pengaruh obat. Alan menahan segala gejolak nikmat di dalam dadanya, saat keringat dari tubuh Gavin bercampur dengan miliknya. Gairahnya memuncak seolah dia terbang ke atas nirwana. Tubuhnya terlonjak di atas ranjang saat gempuran dari Gavin terus menghujamnya. Meleburnya menjadi nikmat yang tiada tara hingga saat dia mencampai puncak, dan bersamaan dengan pria itu yang menanamkan benihnya di dalam rahim Alan yang subur. Tubuh Gavin ambruk tepat di samping istrinya. Laki-laki itu menarik selimut dengan seperempat kesadarannya yang tersisa. Tenaganya terkuras habis. Alan yang menyaksikan suaminya hanya tersenyum puas dan dia benar-benar bahagia dengan hal yang baru saja dia lakukan bersama Gavin. Alan
Desiran angin malam menyibak helaian rambut hitam milik gadis lugu yang kini memilih duduk meringkuk di sudut balkon kamarnya. Kepalanya tertelungkup berbantalkan lutut di antara kedua kakinya yang ia tekuk. Wajahnya sudah basah oleh air matanya yang terus deras mengalir tanpa mau berhenti. Dadanya begitu nyeri. Apakah mencintai seseorang itu sebuah dosa? Kenapa rasanya begitu sulit, rasanya begitu sakit. Apalagi suara desahan yang terus terdengar di sepanjang malam hingga dini hari membuat hatinya semakin remuk. Sudah tidak ada harapan lagi, Gavin sudah bahagia dengan adik tirinya. Tidak ada kesempatan lagi untuknya bersama dengan suami yang paling ia cintai. Jujur, sejak tawaran ayah mertuanya untuk menikahkannya dengan Gavin membuatnya bahagia, impiannya untuk menjadi pasangan orang nomor satu di hatinya akhirnya terwujud. Tetapi, itu hanyalah ilusi semu, harapan masa depan bahagia dengan pemuda Wildberg itu tidak akan pernah terealisasikan. Jangankan
Makan siang di keluarga Wildberg terasa sunyi, hanya Gavin dan Luna yang saling melempar senyum bahagia. Bahkan membuat Nay muak dengan adegan kemesraan di depannya itu. Rasanya ia ingin muntah saat ini juga karena sikap Luna yang terlewat manja di matanya. Alan masih asyik dengan kebisuan dan kepala menunduk, bahkan piring di depannya masih penuh dengan makanan, belum sedikitpun tersentuh oleh si empunya. Jangan tanyakan kenapa ia masih berada di sini, itu karena Nay yang terus memohon agar ia tak pergi dari sini, dan sekali lagi Alan hanya bisa mengangguk pasrah. Apalagi setelah itu Joseph datang dan memintanya untuk tetap bertahan, dan ia bisa apa jika ayah mertuanya itu sudah turun tangan. Ia tak mungkin membuat laki-laki yang telah baik padanya itu kecewa. "Setelah makan, Papa ingin bicara pada kalian, dan
Gerimis masih saja mengguyur kota Brigston. Langit bahkan masih muram di atas sana. Kota terlihat lebih sepi, mungkin karena udara yang dingin juga waktu telah masuk tengah malam tepatnya pukul 1 dini hari waktu Brigston. Tubuh kurus itu bergetar sepanjang jalan. Tubuhnya ia dekap kuat-kuat menghalau dinginnya angin malam dan tubuh yang telah basah kuyup diterpa gerimis sejak sore. "Aku harus ke mana lagi sekarang," ujarnya putus asa. Wanita kurus itu adalah Alanair. Langkahnya terseok, bahkan hampir limbung. Perutnya terus berbunyi sejak beberapa jam yang lalu, karena memang belum terisi apa-apa sejak dia meninggalkan mansion mewah Wildberg. Apa salahnya, hingga jalan hidupnya begitu pedih seperti ini. Mungkin ini hukuman untuknya karena perbuatannya di masa lalu. Tetapi, itu bukan semua salahnya. Pemuda itu yang harus disalahkan. L
Grifida mengguncang tubuh Joseph yang hanya diam di atas sofa di dalam ruangan kerjanya. Pria itu tak merespon ucapannya. Joseph memang tengah marah kepada istrinya karena membuat menantu kesayangannya harus pergi dari rumah ini. Joseph pasti akan merasa berdosa seumur hidupnya. Dosa yang tidak akan mampu pria itu lupakan. Grifida terus berteriak, dan gendang telinga Joseph rasanya hampir pecah. Dia juga khawatir dengan kepergian Nay sore tadi. Putri bungsunya itu ikut kabur mencari Alan setelah memastikan Alan tak kembali ke rumah keluarga Welington, dan lagi-lagi Joseph tak mampu berkutik. Ia terlalu pengecut, atau mungkin dia terlalu takut. "Joseph! Kenapa kau hanya diam, huh! Cepatlah kau cari Nay, bahkan ini sudah tengah malam!" teriak Grifida membahana. Mungkin saja teriakannya itu mampu membangunkan se