Share

Rencana Alan

Alan tersenyum licik. Saat sudah menemukan benda yang tepat. Di gengamannya tersemat botol obat yang akan memuluskan rencananya.

Dia tidak ingin menjadi wanita bodoh dan lemah lagi, jika Luna bisa merebut suaminya kenapa dia tidak. Dia harus menjadi lebih kuat dari wanita itu.

Jika Luna menggunakan bayinya untuk meraih simpati dan perhatian Gavin, dia akan melakukan hal yang sama. Semua rencananya sudah terekam jelas di dalam kepalanya. 

Setelah membayar di kasir, Alan segera melesat keluar dari toko, dan kemudian menyetop Taksi. Ia masuk ke dalam kendaraan roda empat berwarna kuning tersebut.

"Kita akan ke mana, Nyonya?" tanya si Supir setelah melihat penumpangnya duduk nyaman di dalam kursi jok belakang.

"Woodridle strett nomor lima puluh tiga," jawabnya. 

"Baik," ucap si pengemudi Taksi yang sudah hampir memasuki usia senja telihat dari rambutnya yang telah memutih semua. Lelaki itu lantas melajukan Taksinya membelah jalanan padat kota Brigston. Tangan kirinya mencari-cari lagu lawas dalam ponselnya untuk dia setel.

Dalam sekejap suara tinggi penyanyi terkenal di tahun 70an, Elvis Presley dengan lagunya Can't Help This Falling Love bergema dan cukup membuat ramai seisi Taksi.

"Anda penggemar Elvis Preslye?" tanya Alan yang cukup menikamti lagu tersebut.

"Tidak juga, hanya menyukai jenis musiknya," jawabnya sedikit keras karena khawatir penumpangnya itu tak akan mendengar suaranya karena kalah dengan sura musik yang kencang.

Alan mengangguk saja tak mmberi tanggapan apapun. Netranya yang berwarna cokelat memilih memfokuskan arah pandanganya pada pemandangan di luar lewat kaca jendela Taksi yang dirinya tumpangi. 

Alan tersenyum sepanjang jalan, mengingat rencananya akan berhasil malam ini. Dia begitu percaya diri. Mula-mula ia akan menggoda suaminya. Gavin adalah pria sehat tentu dia tak akan menolaknya, bukan.

Tidak sampai satu jam, Taksi itu berhenti tepat di depan mansion Wildberg yang mewah. Dia segera turun setelah mengeluarkan beberapa lembar uang dengan nominal 1 dollar dari dompetnya.

"Terima kasih, Nyonya. Anda bekerja di rumah keluarga konglomerat Wildberg?" Si supir telihat bertanya, dan pria tua itu sepertinya serba ingin tahu.

Miris, sangat miris. Apakah penampilannya memang mirip seorang pelayan? Tetapi, Alan tak mampu berbuat apa-apa, hanya anggukan lemah sebagai jawaban dari pertanyaan si supir Taksi. Dia tak mungkin menjawab dengan 'Aku adalah Nyonya muda di rumah ini' sangat tidak mungkin atau ia akan dianggap sebagi orang gila oleh si supir Taksi. Siapa yang akan percaya, sudah cukup ia tak ingin mempermalukan dirinya sendiri.

"Rumornya dia menikahi putri keluarga Welington, karena gadis itu hamil diluar nikah, apakah benar, Nyonya?"tanya si pengemudi Taksi sekali lagi.

Alan tertegun, ternyata supir taksi ini hobi bergosip. "Ya, begitulah. Kurasa putri Tuan Welington memang menggodanya, karena Tuan muda Wildberg adalah pria kaku," jawab Alan seadanya. Biar saja dia menjelekkan Luna. Alan besorak dalam hati, biarkan saja, untuk apa menutupi segala kebusukan Luna. Dia juga bisa berbuat keji pada adik angkatnya itu.

Si supir taksi mengangguk-anggukan kepalanya. Tangan kanannya memegang stir kemudi, dan satu tangannya lagi melembai ke arah Alan untuk mendekat.

"Nyonya, aku ingin bertanya sesuatu, sudah berapa lama kau bekerja di rumah itu?" Lagi-lagi si supir ini kembali bertanya. Semua sikap ingin tahunya membuat Alan sedikit kesal.

"Belum lama, sekitar satu tahun yang lalu. Ada apa, Tuan?" jawab Alan sekenanya. 

"Ah, tidak aku hanya mendengar gosip jika WG group hampir bangkrut. Namun, hal itu tidak terjadi karena pemiliknya, Tuan Joseph Wildberg selalu mengemis bantuan pada JYB groub, perusahaan terbesar nomor satu di daratan Amerika."

Deg

Hati Alan mencelos mendengarnya. JYB? Bukan hanya familiar, Alan bahkan sangat tahu perusahaan itu. Apakah benar, Tuan besar Wildberg mengemis pada perusahaan itu, astaga apakah mereka semenyedihkan itu. Lalu, bagaimana kinerja Gavin selama ini. Apakah dia berniat menghancurkan perusahaan dan muka ayahnya.

Alan tak lagi ingin menanggapinya. Dia tak mau si supir kembali bertanya macam-macam.

Dia hanya tersenyum sebagai jawaban, "Ah, Tuan. Saya permisi," ucap Alan.

"Silakan Nyonya."

Alan pun bergegas berlari masuk ke dalam rumah besar tersebut. Dia masuk dari pintu belakang yang menghubungkannya langsung dengan dapur. 

Dia bergegas setelah menggantung mantel miliknya di dekat pintu dan berganti dengan sandal rumah, dia harus menyusun rencananya mulai sekarang.

"Hei, apa yang kau lakukan!" seru Grifida entah datang dari mana sudah berdiri menjulang di belakangnya. Tangan yang berada di pinggang adalah ciri khasnya, dengan makeup menor dan wajah pongah menyebalkan menatap ke arah Alan.

"Mama, maaf aku..." Belum selesai ia berbicara, Grifida sudah terlebih dahulu berteriak kencang.

"Siapa yang menyuruhmu memanggiku, Mama. Aku tidak sudi. Kau bukan bagian dari keluarga Wildberg!" teriaknya.

Alan diam menunduk. Wajahnya bergerak gelisah. Gavin bahkan belum menceraikannya, namun Alan sudah tak dianggap di rumah ini. Menyedihkan sekali, bukan. Jikapun dianggap ada, dia layaknya seonggok sampah di rumah ini.

"Kau ingin mengatakan, jika kau masih istri putraku, jangan konyol. Cepat atau lambat aku akan membuangmu dari sini. Suamiku memang ceroboh dalam memilih menantu. Bisa-bisanya dia memilih wanita tidak jelas sepertimu, tidak berpendidikan, tidak memiliki masa depan dan yang pasti kau bukan dari keluarga terhormat. Hanya seorang gelandangan. Benar-benar menyedihkan sekali, kau bahkan sudah mencoreng nama baik keluarga Wildberg yang terhormat," desisnya tajam.

Alan mengepalkan kedua tangannya di masing-masing sisi tubuhnya. Andai saat ini dia bisa kembali, dia ingin kembali ke tempat seharusnya dia berada dan menyumpal mulut wanita itu. 

"Maaf, aku tidak tahu jika aku dijodohkan dengan orang terhormat, aku pikir, aku akan dinikahkan dengan gelandangan juga, jadi aku terima saja," ucapnya teramat berani.  Setelah mendengar cerita dari si supir taksi, jika Keluarga Wildberg mengemis pada Keluarga Smitt pemilik JYB Group, Alan mulai menunjukan taringnya. Meskipun dia sendiri tidak tahu akan bagaimana nasibnya nanti. Ia tak akan peduli, buat apa. Cepat atau lambat ia juga akan di depak dari rumah ini.

Dia hanya tidak ingin terus menangis, dan menjadi bodoh. Sudah cukup.

Plakk

Satu tamparan keras mendarat di pipi kirinya, bersamaan dengan teriakan Grifida yang bergema di seluruh penjuru mansion mewah itu.

"Kurang ajar! Berani sekali kau, manusia sampah sepertimu tak pantas berada di dalam lingkungan Wildberg yang terhormat!" teriak Grifida.

Alan fak menjawab, dia hanya bisa bungkam sembari memegang pipi kananya yang terasa nyeri. Tidak sampai di situ, Grifida kini mendorong tubuhnya hingga jatuh terjerembab di atas lantai.

Grifida lantas pergi meninggalkan Alan, tak peduli dengan menantunya yang meringis menahan perih di pipinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status