Aku menangis sejak kepergian Mas Edwin. Lelaki yang aku nikahi dengan dasar cinta sama cinta. Kami memadu kasih layaknya kebanyakan orang. Tidak terlalu intim, tidak juga renggang. Setahun saling mengenal membuat kami berkomitmen untuk meneruskan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Aku mengetahui teman-temannya. Aku juga mengetahui lingkungan kerjanya yang saat itu sudah menjabat seorang manager di sebuah hotel bintang lima Jakarta.
Dia lelaki baik, royal, dan bertanggung jawab. Meskipun jarang bersikap romantis, tetapi aku tahu lelaki itu mencintaiku. Sehingga aku berani mengangguk setuju saat Mas Edwin mengajakku menikah. Tak ada kecurigaan terlalu berlebihan terhadap lelaki itu, karena memang aku mengenal cukup baik semuanya. Termasuk keluarga besarnya.
Namun kini yang terjadi di depan mataku, sebuah kenyataan yang tak pernah ada dalam benakku sebelumnya. Begitu banyak yang terjadi dalam beberapa hari ini. Bumi tempatku berpihak seak
Pagi ini, Bik Isah kembali muntah-muntah setelah membuka bungkusan yang ternyata berisi cacing. Tepatnya ulat bulu. Karena kaget, Bik Isah meneriakinya cacing. Bahkan kotak itu terlepas dari tangannya karena sangat geli dan jijik dengan banyaknya ulat bulu di dalam kotak.Aku pun berteriak histeria hingga Mang Dirman datang dan menyemprotkan ratusan ulat bulu itu dengan cairan pembunuh serangga. Aku berlari masuk ke dalam kamar, sedangkan Bik Isah muntah-muntah hingga tak bisa bangun lagi."Mang, ayo bawa Bik Isah ke dokter," seruku pada lelaki yang kini tengah menyiram tanamanku. Mang Dirman menoleh, kemudian mengangguk, lalu menangkap kunci mobil yang aku lemparkan ke tangannya.Selagi Mang Dirman memanaskan mobil, aku pun bersiap dengan memakai pakaian sederhana, tanpa make up. Kedua mataku masih bengkak, sisa menangis semalam. Hanya pelembab dan juga lipglos yang kuoles tipis.Mang Dirman sudah membawa
POV EdwinBenar-benar Ria mengerikan. Rekeningku dikuras habis olehnya. Hanya tersisa beberapa ratus ribu saja di dalamnya. Hal inilah yang membuatku merasa begitu kesal dan kecewa. Saat melapor pada ibu, bukannya dibela, aku malah disalahkan karena sudah mempercayai semua harta bendaku atas nama Maria. Aku pun tak bisa menyanggah karena ibu tak tahu keadaanku saat ini. Jika aku jujur, maka tamatlah riwayatku sebagai anak. Masalah Raka aku pun belum berani jujur. Sungguh hidup yang dipenuhi kebohongan kecil, ternyata akan mendatangkan kebohongan-kebohongan lainnya.“Jadi, malam ini kalian semua tidur di rumah ibu?” tanya ibuku dengan suara terdengar keberatan.“Iya, Bu. Besok, saya akan cari kontrakan untuk tinggal bersama Raka,” jawabku dengan lemas.“Trus, siapa yang menjaga Raka? Bu Mila? Apa Bu Mila bersedia menjadi
"Non, kalau ngantuk tidur duluan saja. Saya gak lama kok. Nanti juga balik. Ucapan Non barusan saya anggap tidak pernah ada ya? Kita tidak bisa main-main dengan pernikahan," ujar Mang Dirman padaku. Sungguh aku sangat malu ditegur seperti ini, tetapi hatiku mengatakan bahwa Mang Dirman bisa menolongku."Saya takut. Saya ikut saja ke rumah sakit, Mang. Tunggu, saya ganti baju dulu." Tanpa menunggu persetujuan darinya, langsung saja aku melangkah lebar menuju kamar, lalu menguncinya. Jantungku berdetak sangat cepat. Antara malu dan juga gugup. Lancang sekali aku bicara seperti itu pada lelaki dewasa seperti Mang Dirman. Semoga ia tidak mengundurkan diri karena ucapanku barusan.Sambil berganti pakaian, aku membuka laci lemari untuk melihat berkas lamaran yang pernah aku terima dari Pak Rahmat;lelaki yang membawa Mang Dirman bekerja di rumahku sebagai sopir dan penjaga rumah.Ya ampun, aku baru tahu ia memiliki nama yang bagu
"Woy, jangan kabur lu!" teriak Mang Dirman berusaha mengejar lelaki yang baru saja kabur dengan melompat tembok rumahku."Aargh ... Malang tolooong! Ulaaar! Toloong!" mendengar teriakkanku, Mang Dirman kembali lagi dan melotot melihat banyak ular."Allahu Akbar! Non, cepat telepon security! Saya tangkap semampu saya dulu!" Mang Dirman mendorongku menjauh hingga keluar pagar, sedangkan dia mendekat ke teras sambil mengambil batu dan juga sapu yang ada di halaman rumah. Dengan gemetar, aku memencet nomor keamanan perumahan dan memberitahu bahwa banyak ular di rumahku.Tak lama kemudian, dua petugas datang sambil membawa kayu panjang dan besar. Aku bergidik ngeri sendiri. Kakiku gemetar, rasa tak mampu untuk kuat menginjak bumi saat ini. Entah apa yang mereka lakukan di sana, aku tak berani melihatnya.Bunyi sirine mobil pemadam kebakaran pun datang mendekat. Hampir semua warga yang ada di dekat rumahku, kelu
Aku sempat syok dengan banyaknya ceceran darah yang berasal dari kepala Edwin. Kakiku gemetar dan seluruh tubuh ini berkeringat. Bukan karena takut, tetapi aku merasa sangat parno dengan darah. Perutku serasa bergolak, hingga aku jatuh terduduk di lantai hotel yang dingin. Mang Dirman yang sempat pingsan dihajar oleh Mas Edwin, tiba-tiba saja bangun dan menghampiriku."Ya Allah, Non gak papa?" tanyanya dengan penuh rasa khawatir. Aku tak sanggup menjawab, hanya mampu menggelengkan kepala saja. Seorang petugas hotel datang membawakan ku minum dan memberikannya padaku.Tiga orang lelaki berbadan tegap menggotong Edwin keluar dari lobi dan secepat kilat petugas kebersihan hotel membersihkan ceceran darah tersebut."Sepertinya ini masalah keluarga, tetapi karena adanya kekerasan, sebaiknya Masnya dan Mbak segera ke kantor polisi saja. Melaporkan semua yang terjadi, sejak awal sampai terlukanya lelak
Keadaan hening untuk beberapa saat;bahkan aku mampu mendengar detak jantung yang berpacu dengan sangat cepat. "Jangan seperti ini lagi, Non. Kita belum sah. Saya khawatir, nanti saya yang tidak dapat mengendalikan diri. Saya lelaki normal dan sudah lama sendiri. Lebih baik kita sedikit berjarak ya. Non masis berstatus istri Tuan Edwin," ucap Mang Dirman padaku dengan penuh penegasan.Tidak bisa dibayangkan bagaimana malunya aku saat ini. Perbuatan konyolku malah membuat harga diriku terjun bebas di depan seorang lelaki dewasa seperti Mang Dirman."Iya, maaf," kataku lagi tanpa berani membalik tubuhku untuk menatapnya. Tak lama kemudian, langkah lelaki itu menjauh dan pintu kamar tertutup. Aku mengembuskan napas lega, lalu terduduk lemas di atas ranjang. Sungguh memalukan sekali yang kulakukan barusan. Sepertinya aku benar-benar wanita kurang belaian, dan semua ini gara-gara Edwin.POV Dirm
Damai. Itulah kesepakatan yang kami putuskan hari ini. Mas Edwin melupakan kejadian kemarin, sedangkan aku juga tidak meneruskan kasus teror dan gugatan tindakan kekerasan yang pernah dia lakukan. Biarlah untuk masalah rumah tangga, aku ajukan bukti kuatnya di pengadilan saja. Termasuk video Mas Edwin yang tengah berciuman di dalam mobil.Aku tahu, ibu mertuaku sempat tidak percaya dengan tuduhan yang aku layangkan pada anaknya. Tentu saja, mana ada orang tua yang bisa percaya begitu saja perihal kesehatan organ vital anaknya. Di kepalanya hanya ada aku yang mandul dan tidak bisa memberinya cucu. Dia sama sekali tidak curiga dengan Raka dan Mila. Apakah wanita paruh baya itu telah benar-benar diperdaya oleh anaknya?Soal harta Mas Edwin yang sudah atas namaku, berikut tabungan. Akan tetap aku perjuangkan di meja pengadilan agama. Dia yang memulai semuanya, sehingga aku memang harus sigap mengambil langkah agar harta penghasilan suamiku set
Pov Edwin"Ibu!" Aku berlari menghampiri ibu yang pingsan setelah mendengar kenyataan yang diucapkan oleh Mila."Mila, bantu aku bawa ibu ke rumah sakit!" pintaku padanya. Wanita itu mengangguk dan langsung berlari untuk membuka pintu, lalu menyiapkan mobil.Kami membawa ibu dengan perasaa khawatir. Mila duduk di belakang memangku kepala ibu di pahanya. Kuperhatikan ia jug sangat syok. Ibu pingsan setelah mendengar ocehannya tentang masa laluku yang tak ada siapapun yang tahu, kecuali Mila. Semua ini terpaksa aku sembunyikan dari Ibu, karena wanita yang melahirkanku ini tidak pernah suka dengan Eva. Apa jadinya jika ia tahu Eva mengandung anakku di luar nikah? Bisa-bisa namaku dicoret dari kartu keluarga dan tak memperoleh warisan sedikit pun.Sekarang, Ibu sudah tahu dan aku tak bisa lagi menghindar. Semua harus aku ceritakan begitu bel