Pov AuthorTiga hari sudah Mila dan Edwin mendekam di penjara polres. Hari ini, keduanya akan dipindahkan ke Lapas Cipinang untuk melanjutkan penyelidikan kasus yang menimpa keduanya. Berulang kali Edwin diinterogasi, berulang kali juga dia mengelak, bahwa obat yang ditemukan Ria di atas lemari adalah miliknya. Malah dia berdalih, wanita itu sengaja menjebloskannya ke penjara, karena menikah lagi dengan Mila.Edwin mungkin berkilah, tetapi untuk kasus Mila, wanita itu tidak bisa berkutik. Baru saja, Ria mengirimkan satu orang perawat dan petugas keamanan rumah sakit yang bersaksi untuknya. Keduanya bersaksi melihat Mila yang pertama kali menyerang Ria dan menampar wanita itu. Celakanya lagi, Ria tidak mau berdamai, walau Mila akan membayar untuk perdamaian.Bagi Ria, uang bukanlah suatu hal penting lagi. Dia sudah tidak ingin tergiur dengan nikmatnya dunia yang dipenuhi tipu daya, di
Enam Tahun 39Pov RiaAku benar-benar tak sabar menanti esok. Setelah berbicara panjang lebar dengan Mas Dirman, membuatku sulit untuk memejamkan mata. Jam sudah berdenting dua kali, pertanda sudah puku; dua dinihari, tetapi mataku tak mau mengantuk. Pikiranku melayang pada masa silam saat aku baru mengenal Mas Edwin. Kami dikenalkan oleh seorang teman—Nadia namanya. Saat itu Nadia berkata, bahwa Mas Edwin baru saja ditinggal meninggal pacarnya dan seperti orang depresi. Lalu kami dikenalkan dan awal dekat lelaki itu juga dingin padaku. Namun seiring berjalannya waktu, kami menjadi dekat dan memutuskan pacaran singkat.Aku pikir, saat lelaki itu melamarku setelah kami berpacaran dua bulan, itu pertanda dia sudah melupakan mantan pacarnya, dan sudah benar-benar mencintaiku. Sama seklai tidak ada dalam kepalaku kecurigaan atas dirinya. Namun, setelah aku menarik garis cerita masa lalu, aku rasa Mas Edwin menikahiku hanya
POV RiaSore ini cuaca sedikit gerimis. Langit gelap bagaikan menjelang magrib, padahal baru masuk pukul empat sore. Aku yang tadinya mau belanja kebutuhan dapur bersama Bik Isah, terpaksa membatalkan. Sudah dapat dipastikan, taksi online akan susah didapat bila dalam keadaan hujan seperti ini. Padahal, beberapa hari lagi aku akan mengadakan acara sukuran perceraian.Tetesan air hujan membuat perasaanku mengharu biru. Setelah dua pekan menunggu sidang putusan, akhirnya siang tadi, hal yang sangat aku nantikan tiba juga. Aku dan Edwin sudah sah bercerai secara agama dan negara. Seluruh berkas resminya akan dikirimkan paling lambat dua bulan dari sidang putusan.Berakhir sudah satu kisah cintaku yang memang tak pernah benar-benar bersambut. Pacaran sebelum menikah, takkan pernah menjamin kamu mengenal betul pasanganmu. Seperti diriku yang tak mengetahui ternyata begitu banyak rahasia hidup Mas Edwin.Saat in
Jangan kemana-mana, tunggu di sini sebentar,” ujar Dirman pelan, lalu berbalik dan meninggalkan ruang makan. Ria masih mengatur napasnya yang sedikit sesak, karena terlalu gembira mendapat kejutan dari Dirman malam ini. Dia juga belum berkomentar apapun, tetapi lelaki itu sudah pergi ke kamarnya. Ria menoleh saat pintu kamar terbuka dan lelaki itu berjalan mendekatsambil memegang kertas putih. Apa itu? gumam Ria dalam hati.Dirman sudah duduk kembali di samping Ria. Pria itu tersenyum, lalu menyodorkan kerta putih yang ia pegang. “Apa ini, Mas?” tanya Ria bingung.“Buka saja dulu,” pintanya. Ria menurut, lalu membuka amplop itu dengan rasa tak sabar. Matanya membaca urut dalam hati dari baris paling atas sampai bawah surat.“Mas … ini ….”“Iya. Pihak hotel mengirim saya untuk ikut lomba itu. Padahal saya masih baru, karena katanya memang ini kompetisi chef muda dan penda
Sudah dua pekan aku tidak bertemu Mas Dirman. Kompetisi memasak yang dia ikuti ternyata memang menyita banyak waktunya, termasuk tidak bisa bolak-balik pulang ke rumah. Di satu sisi aku merasa sepi, tetapi di sisi lain aku merasa bersukur. Paling tidak, kami bisa menjaga diri masing-masing dari godaan setan.Terakhir video call semalam. Pagi ini pasti dia kembali sibuk mengurus kompetisinya. Aku memaklumi, karena dia pun sedang berjuang memantaskan diri untuk bersamaku."Non, maaf. Ada mama Non di luar," ujar Bu Isah memberitahuku."Eh, iya Bik. Mama memang bilang mau ke sini. Saya kirain sore, ternyata pagi sudah sampai. Buatkan teh hijau seperti biasa ya Bik," kataku seraya turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar."Ma, sama siapa?" tanyaku begitu sampai di ruang tengah. Mama sedang memegang remot dan mengganti channel televisi. Kucium punggung tangannya dengan takzim, lalu ikut duduk di sampin
Tepat tujuh belas hari Mas Dirman belum pulang juga ke rumahku. Ponselnya sejak pagi hingga siang hari tidak aktif. Hanya malam saja, itu pun sudah pukul sebelas baru aktif. Sungguh baru kali ini, aku bisa merasakan dan memahami rindu itu sangat berat. Padahal, menjadi suamiku saja belum. Kami baru berencana dan tidak tahu juga kapan akan terealisasinya.Sudah pukul setengah sebelas malam, itu tandanya masih setengah jam lagi ponselnya baru aktif. Berulang kali aku menatap layar statusnya yang masih sama seperti kemarin, yaitu hanya berupa gambar sphagetti yang nampak sangat menggiurkan. Mataku pun sudah mengantuk, tapi hati dan isi kepalaku masih tetap semangat dan bertahan sampai bisa mendengar suara lelaki itu walau sebentar."Non, udah tidur?"Pesan singkat yang masuk ke dalam ponselku, langsung terbaca walau belum kubuka."Telpon, saya rindu." Sambil menggigit bibir, aku tak sabar menanti telepo
Dua satu plus"Saya terima nikah dan kawinnya Maria Septiani Putri binti Mario Daksa dengan mas kawin seperangkat alat salat dan perhiasan emas dibayar tunai.""Bagaimana Bapak,Ibu? Sah?""Sah."Semua orang mengucap Alhamdulillah dengan suara lantang dan penuh haru. Aku pun sama. Akhirnya, setelah melewati banyak rintangan, tanjakan, dan turunan, resmi sudah aku menjadi istri dari Mas Dirman Suteja. Lelaki yang dahulu kuanggap hanya sebagai sopir di rumahku, kini berubah menjadi suamiku. Sungguh takdir Tuhan tidak pernah ditebak oleh akal manusia."Silakan dicium bibir suaminya. Eh ... Salah deh saya. Cium bibir mah di kamar ya, kalau di sini nanti saya panas dingin," seru petugas KUA yang turut mendampingi penghulu. Semua orang tertawa, begitu pun Mas Teja dan aku.Dengan penuh hikmat, kucium punggung tangan lelaki yang suda
Pagi ini, cuaca di luar sedang gerimis. Aku sibuk menyiapkan menu sarapan terbaik untuk suami dan juga anak-anakku. Untuk pekerjaan rumah lainnya, masih ada Bik Isah yang membantuku menyelesaikannya. Mas Teja sudah rapi dengan celana bahan, serta kemeja berwarna pastel. Siwi dan Adam juga sudah duduk di kursi makan, siap menanti sarapan roti bakar keju dan juga sosis bakar yang sedang kutata di atas meja."Bunda, makan yuk!" ajak Siwi sambil memperlihatkan gigi depannya yang baru saja copot. Aku pun ikut tersenyum, lalu mengangguk. Baru akan menarik kursi di depan mereka, Mas Teja langsung menarikku untuk duduk di pangkuannya.Siwi dan Adam terkikik geli melihat kelakuan ayah mereka yang sangat aneh. Aku pun demikian. "Mas, malu ada anak-anak," ujarku dengan wajah merona merah."Gak papa. Mereka juga tahu kalau ayah dan bundanya sedang pacaran. Ya kan?" lelaki itu dengan penuh percaya dirinya mengedipkan sebelah mata pada