Share

MASUK RUMAH SAKIT

Gian—ayah Zenan—masih berusaha mendobrak pintu kamar Zenan yang terkunci. Sejak pulang jam satu dini hari, sejak saat itu putra semata wayangnya itu mengurung diri. Sesekali terdengar pecahan beling dan sesekali terdengar jeritan frustrasi Zenan. Makian, kalimat penyesalan, bermunculan dari mulut Zenan. Suara pukulan beberapa benda pun terdengar. Hal itu  membuat Gian sangat mengkhawatirkan kondisi mental Zenan. Ia takut jika putranya itu melakukan hal yang bodoh.

“Zenan! Zenan! Buka pintunya, Nak! Jangan siksa dirimu seperti ini! Kita masih punya jalan keluar!” teriaknya berusaha menyadarkan Zenan.

Usaha Gian sia-sia, tak ada jawaban apapun dari dalam kamar Zenan. Hanya suara jeritan tangis penyesalan dari mulut lelaki hebat itu.

“Papi akan menemui Neona, hari ini,” tegasnya.

***

Tuti dan Rara terkejut dengan kedatangan sosok dua pria luar biasa. Benar, Theo dan Adnan memutuskan datang untuk menjenguk Neona di rumah sakit. Kedua lelaki itu tampak berkarisma menelusuri lorong rumah sakit. Tak jarang mata genit perawat wanita bermain ke arah wajah sejuta pesona kedua pria.

“Wah, Sri, kapan ya gue punya laki kayak mereka?” tanya Suster Rani, bagian resepsionis.

“Ya, Tuhan apalagi yang pake kemeja navy, uh gantengnya! Suami masa  depanku,” suara suster Sri Rahmawati, memfokuskan pandangannya pada Adnan.

“Ya, Tuhan kenapa gue terlahir jadi cowok ya? Coba kalau gue cewek, udah gue embat tuh cowok,” komentar Deri, Sang perawat laki-laki.

Dan beberapa deretan kalimat kekaguman juga tatapan kagum setiap yang melihat keduanya.

Tepat di depan kamar rawat Neona, Tuti dan Rara saling melempar tatapan, kaget juga kagum. Satu yang membuat mereka terkejut adalah sosok lelaki yang berdiri di samping Theo. Bagi Tuti, wajah itu tidak asing. Sosok pria yang sering Tuti lihat di pajangan majalah bisnis Asia dan Internasional. Bahkan kerap bertemu di beberapa pertemuan bisnis dunia hiburan sejak ia mulai berkerja di PH milik Theo—Sen Production House, salah satu anak cabang bisnis Theo. Adnan juga sosok donator beberapa perusahaan besar termasuk perusahaan PH milik Theo.

“Ra, itu, kan, Tuan Bagas?” lontar Tuti.

“I-iya mbak, duh cowok cool eke. Pak Bagas emang idaman, Mbak,” puji Rara mengganjen. - rev

“Sore Tuti, apa kabarmu?” sapa Theo.

“Eh, sore, Pak Theo,” jawab Tuti.

Gadis itu tak memalingkan wajah pada sosok tenang yang berdiri di samping Theo. Ia pun menyiku Rara yang masih memasang mata genit.

Adnan hanya mengulas senyum dan tak lama Theo mulai masuk ke dalam kamar inap Neona.

Tuti dan Rara tak mau ketinggalan berita terheboh yang selama ini mengganjal dalam pikirannya, tentang sosok Neona. Keduanya pun berjalan mengekori dua lelaki tampan itu memasuki ruangan Neona.

Mata Adnan disambut dengan pemandangan kaki Neona yang sudah terbungkus gips putih. Gadis itu masih terlihat santai. Dia membaca majalah dan duduk di bibir ranjang.

Adnan terkesiap. Matanya mengedar pada bentuk kaki Neona.

Laki-laki itu hanya menatap sejurus, fokus, melipat tangan di dada, tanpa berucap sepatah kata pun. Neona cukup memahami arti sikap Adnan saat itu. Tuti dan Rara merengut melihat ekspresi Sang big bos yang menampilkan berbagai spekulasi. Theo tersenyum geli mencoba mengganggu Neona untuk mencairkan kacanggungan yang tercipta.

“Wah, Neona bagus banget sepatu syutingmu,” ledeknya.

“Ih, Pak Theo apaan, sih? Bukannya bersimpati malah ngejekin,” timpal Neona mengerucutkan bibir.

Sesaat mata Neona melirik ke arah Adnan yang masih menyorot dingin ke arahnya. Neona langsung memalingkan pandangan. Ia mengedarkan bola mata ke arah sembarang untuk menghindari sorot dari Adnan.

Theo menyerep ke arah Tuti dan Rara, meminta kedua wanita itu untuk meninggalkan ruang rawat Neona. Dengan langkah pelan, kedua tangan Theo menarik Tuti dan Rara untuk segera beranjak meninggalkan ruangan itu. Tuti sudah mencium ada hubungan tak biasa antara Neona dengan laki-laki yang dikenal dengan nama Bagas dalam dunia bisnis itu.

Benar, sebuah fakta jika dalam dunia bisnis, Adnan lebih dikenal dengan nama Bagaskoro. Lelaki itu lebih sering menggunakan nama belakangnya dalam melakukan transaksi bisnisnya.

Dalam dunia hiburan pun nama Bagaskoro sudah sangat terkenal sebagai sosok billionare yang sering menyuntikkan modal kepada beberapa PH. Namun lelaki itu tak pernah menunjukkan batang hidungnya terutama pada Sen PH. Hanya sekali ia menunjukkan diri saat penyelenggaraan penghargaan pada insan hiburan.

Ini adalah kali kedua Tuti dan Rara bertemu dengan sosok legendaris itu. Dan yang lebih mencengangkan lagi, laki-laki itu memiliki hubungan tak biasa dengan sosok artis yang ia ayomi selama setahun terakhir itu.

            “Apa kamu sudah puas sekarang, Neona?” suara bariton Adnan yang mulai mengintimidasi Neona.

            Gadis itu hanya diam, mengedar padangannya dan menggigit bibir. Rasa cemas sudah tertampil dari logat Neona yang sudah tak beraturan. Dalam hati ingin rasanya Adnan menyentuh lagi kedua ujung bibir Neona, mengulang kembali kemesraan yang pernah ada antara keduanya dulu. Melihat gadis itu sekarang ia sangat menyesal kenapa sebuah kebenaran harus terasa sepahit itu.

            Adnan mengangkat wajah, memandang langit-langit kamar rumah sakit, berkacak pinggang, dan rasa kesal membuat ia menghentakkan sebelah kakinya ke lantai, hingga membuat suara deru dalam ruangan itu.

            “Jawab aku Neona!” hardik Adnan.

            “Aku belum puas!” sergah Neona dengan suara yang sedikit pelan. “Aku belum puas, bahkan jika kalian sampai mati, aku belum puas!”

            “Apa kesalahan kami sangat fatal hingga kami harus menerima hukuman sekejam ini, Neona? Aku, Moly, dan Laras, bahkan sekarang Zenan. Apa kamu tahu akibat perbuatanmu? Zenan hancur, Na. Zenan sekarang hancur! Sangat hancur! Kau puas?!”

            “Kenapa nggak sekalian aja dia mati?” sergah Neona melambungkan suaranya. “Sekalian aja dia bunuh diri, juga ayahnya. Bila perlu semua yang bersangkutan dengannya menyusul ayah Buyung ke alam baka!”

            “Neona!” teriak Adnan.

             "Kak Adnan! Jika kakak keberatan dengan perubahanku ini, seharusnya kakak berpikir terlebih dahulu, sebelum kakak memutuskan untuk membohongiku tiga tahun lalu. Dua tahun! Dua tahun, kak, selama dua tahun kakak membohongiku dan bahkan berhasil membuat ikatan denganku. Lalu apa bedanya kakak dengan Zenan, Laras, dan Moly, sekutumu itu!" pungkasnya.

            Neona menyeringai, setidaknya itu yang harus ia lakukan di hadapan lelaki baik itu. Neona harus berkerja keras berakting di hadapan Adnan, karena itulah jalan terbaik yang dapat ia pikirkan untuk laki-laki terbaik di hadapannya saat ini.

            “Jika bukan karena kalian, aku tidak akan seperti sekarang ini. Tidak akan ada Neona si angkuh, dingin, dan jahat!” suara ketus Neona.

            Gadis itu membuang padangannya. Ia berusaha menyembunyikan perasaan. Apalagi lelaki itu kini tengah duduk mencari sedikit celah kebaikan hati.

            “Kamu tau persis hubungan kita seperti apa, Neona. Dan sampai detik ini kamu masih menyandang status nyonya Bagaskoro, camkan itu! Jadi, jika aku mau, kau bisa hancur detik ini juga,” ancam Adnan dengan suara dingin.

            “Jadi jika aku mau, aku bisa membuatmu menyesal lebih dari sebelumnya, Nyonya Bagaskaro.” Suara Adnan kini lebih terdengar mengerikan dari sebuah ancaman belaka. Bahkan kalimat itu berhembus seiring napas jengkel yang sudah menguasainya saat ini.

            Neona memejamkan kedua matanya, ia menelan ludah. Saat ini hatinya tengah bergetar untuk suara lelaki yang menekan statusnya dengan sangat jelas. Ia bahkan dapat merasakan hembusan napas Adnan yang sudah meniup di sisi telinga sampingnya. Membuat seurat rambut menyibak karena hembusan napas kecewa itu.

            Maaf, Kak Adnan. Maaf, aku harus menyakitimu lagi, suamiku tersayang, batin Neona.

            “Itulah kenapa kita lebih baik tidak bertemu. Selamanya,” tegas Neona.

            Adnan menarik tubuh ketika jawaban dingin itu keluar lagi dari mulut Neona. Sampai detik ini ia bahkan tak bisa memahami isi hati gadis itu. Adnan beringsut berdiri, laki-laki itu mendengus kesal, ia kemudian berbalik dan melangkah menuju pintu keluar.

            Terasa berat baginya untuk melanjutkan langkah. Sejenak ia berbalik menoleh ke arah bayangan Neona, namun gadis itu masih tak bergeming. Dia masih larut dengan pandangannya ke luar jendela seolah ada sesuatu yang menarik perhatiannya, yang sebenarnya tidak ada.

            Adnan meninggalkan ruangan Neona, namun ketika tangannya membuka daun pintu, sosok tubuh Laras menerobos masuk begitu saja dan berjalan melewati Adnan yang mematung terkesiap dengan tingkah Laras.

            PLAK PLAK

            Dua tamparan mendarat di pipi kiri dan kanan Neona. Sontak Neona tercekat dan memegangi kedua pipinya. Matanya menangkap wajah Laras yang sudah memasang wajah membunuh ke arahnya.

            Adnan hanya menatap dingin, sementara Theo dan dua orang manajer Neona yang mengintip dari luar pun tak kalah terkejutnya dengan kelakuan Laras.

            “Lo manusia apa bukan sih, Na? Jahat lo, ya! Tega lo! Dosa apa, sih, sampai gue kenal sahabat kayak lo, Neona. Kalau gue tau semuanya bakalan kayak gini, gue nyesel kenal sama elo, Neona!” omel Laras tak merubah pandangannya.“Itu baru tamparan, lain kali gue bunuh lo kalau terjadi apa-apa sama Zenan dan kak Adnan!”

            “Adnan,” gumam Tuti yang menangkap nama baru dari suara Laras, ia sama sekali tidak mengetahui jika pemilik nama itu tengah ada di tengah-tengah mereka.

            “Sumpah demi tuhan, Neona, gue pernah lihat preman paling kejam di muka bumi ini, tapi elo bahkan lebih kejam dari mereka, Na. Sadis!”

            “Udah puas lo ngomelnya? Sekarang lo pergi! Pergi! Jangan pernah muncul lagi di hadapan gue. Tuti! Lain kali gue nggak mau ketemu lagi dengan dua orang bego ini!” teriak Neona yang terdengar keras dan melengking. ---

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status