“Baguss ....”
Lisa menghela napas. Hari ini adalah hari terakhir liburannya sebagai siswi SMP. Mulai besok ia harus memulai hari yang baru menjadi seorang siswi di SMA Nusa Bhakti, SMA Negeri yang terkenal biasa saja tapi cukup membuat gadis itu bernapas lega. Sebenarnya bukan tidak mungkin bagi dirinya untuk mendapatkan tempat yang lebih baik dari ini, hanya saja ini keputusannya dan Bima. Walaupun bukan SMA Favorit, tapi bagi Lisa bisa satu sekolah dengan Bima a.k.a sahabatnya sudah lebih dari cukup. Mengingat mereka memang selalu bersama semenjak TK, rasanya memilih sekolah yang sama sudah menjadi tradisi sejak dulu. Bahkan saat papi-mami Bima pindah ke Malaysia dua tahun lalu untuk urusan pekerjaan, lelaki itu lebih memilih tetap tinggal di sini bersama bibinya hanya demi agar tidak berpisah dengan Lisa.
Hari ini Lisa dan Bima pergi ke toko buku. Seperti biasa mereka akan berpisah sesaat setelah memasuki toko. Bima pergi ke rak komik, sementara Lisa ke bagian novel. Kali ini gadis itu iseng melirik ke bagian genre novel dewasa. Tentu saja tanpa sepengetahuan Bima, Lisa mengintip buku dewasa berjudul ‘My Sexcretary’ yang sampul plastiknya sudah terbuka, lalu dengan sigap menculik buku itu dan mengendap-endap mengambil spot di dekat jendela, duduk bersila serta mulai membaca. Gadis itu terhanyut dari halaman satu ke halaman yang lain. Bahkan dari halaman awal saja sudah menunjukkan bahwa ini benar-benar novel dewasa. Lisa terkikik pelan. Dunia orang dewasa memang menyenangkan.
“My ... Sexcretary?”
Slap! Lisa terkejut buru-buru menutup bukunya dan menoleh. Ternyata pemilik suara itu adalah seorang lelaki berbadan jangkung tengah berjongkok di sebelahnya. Sejenak ia tercenung. Sorot mata lelaki itu tajam, hidungnya mancung tapi tidak berlebihan, kulitnya sawo matang, manis sekali. Lucunya, lelaki itu memiliki bulu mata yang lentik, seperti wanita. Satu hal yang menarik darinya adalah warna matanya, sungguh coklat sekali seperti kayu. Lisa mengerjapkan matanya pelan. Jarang-jarang ia menemukan orang dengan warna mata seunik itu, terlebih lagi dengan wajah Indonesia yang kental.
“Entah sudah sejauh mana kau membacanya, tapi tolong berikan buku itu!” katanya kemudian dengan nada memerintah.
Sadar bahwa dirinya tengah dipergoki, Lisa hanya melongo. Siapa sebenarnya lelaki ini?
Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya, kepalanya sedikit miring ke kanan. “Berikan!”
Lisa terperanjat dan beringsut mundur. Ia masih tidak bisa bereaksi apapun karena telah tertangkap basah. Di samping itu ia juga heran, berani-beraninya lelaki asing ini berniat merebut buku ini darinya.
“Mana?”
“Tidak, aku tidak akan memberikannya pada orang asing sepertimu,” akhirnya Lisa bersuara walau setengah takut. Baru kali ini ada seseorang yang berani mengusiknya saat di toko buku. “Memangnya siapa kau?”
“Siapa aku itu tidak penting, tapi tolong berikan bukunya,” kata lelaki itu dengan nada menyuruh, “Aku tau persis, kau belum cukup umur untuk itu.”
Lisa menyerngit heran. “Tau dari mana?” lalu ia memandang ke arah lain. “Lagi pula aku yang pertama kali mengambilnya.”
“Jadi kau benar-benar tidak tau siapa aku?” lelaki itu mendesah. “Cepat berikan atau aku yang akan merebut paksa.”
Dari perkiraan Lisa, sepertinya lelaki ini usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Mungkin hanya terpaut beberapa tahun di atasnya, atau hampir sepantaran dengannya? Entahlah, ia tidak tau pasti. Tapi intinya lelaki itu nampak masih muda dan segar. Lisa diam-diam memperhatikannya dari kepala hingga kaki. Menurut sepanjang ingatannya, gadis itu yakin bahwa ini adalah kali pertama mereka bertemu.
Sejenak Lisa menduga bahwa lelaki ini salah satu pekerja di toko buku, tapi pikiran itu segera hilang karena lelaki itu jelas tidak memakai seragam seperti pegawai lainnya. Dia hanya memakai celana jins putih tulang dengan atasan turtleneck sweater hitam. Dia nampak normal, seperti pengunjung pada umumnya.
“Memangnya siapa kau?” tanya Lisa sewot, “Penguntit, ya?!”
Lelaki itu tidak sabar, direbutnya buku itu dari genggaman Lisa.
“EHH??” Lisa terkejut. Tapi gadis itu pun tak mau kalah, ditariknya kembali buku itu ke dekapannya. Namun, lelaki itu justru balik merebutnya. Walhasil, keduanya saling berebut. Mungkin kejadian seperti ini akan lumrah jika terjadi pada orang lain entah karena stok bukunya terbatas karena buku itu adalah buku limited edition keluaran lama, bukan buku genre dewasa semi porno seperti sekarang ini. Sungguh perebutan yang sengit, tapi sekaligus menggelikan.
"Lepaskan!” Lisa menarik buku itu sekuat tenaga. “Lepaskan atau aku akan berteriak?!”
“Berteriaklah sesukamu!” lelaki itu menarik bukunya lebih kuat. “Kau yang harus melepaskan!”
Untungnya situasi toko buku itu lumayan lengang, jadi setidaknya mereka tidak jadi tontonan. Tragedi saling berebut buku itu sekilas seperti pertarungan kucing dan banteng, alias sama sekali tidak imbang. Jelas saja Lisa kalah kuat. Akhirnya buku itu pun berhasil direbut oleh sang cowok.
“EEEHHH?!!” pekik Lisa kesal. Gadis itu hampir terjengkang karena sangking kuatnya tenaga lelaki itu. “Apa-apaan sih??”
Alih-alih meminta maaf, lelaki itu malah tersenyum puas.
“Tunggu sampai waktunya tiba, kau baru boleh membaca buku seperti ini.”
Lisa melotot tidak percaya. Ini pertama kalinya ada seseorang yang belum dikenalnya tapi sudah membuat dirinya kesal luar biasa. Dadanya naik turun karena sibuk mengatur napasnya yang masih satu dua. Belum sempat merecoki lelaki aneh itu, tiba-tiba si pemilik tubuh jangkung itu mendekatkan wajahnya lalu berbisik pelan, “Nanti, kau akan menyesal jika tau siapa aku.”
Badan Lisa seketika menegang. Ia menelan ludah. Gadis itu mengerjap tidak mengerti. Namun kali ini ia tidak menanggapi lelaki itu lagi.
Setelah mengucapkan kalimat itu, lelaki itu buru-buru berdiri dan pergi meninggalkan Lisa. Tentu saja buku itu juga dibawanya. Melihatnya berlalu, rasa kesal gadis itu berlipat ganda. Ditambah lagi saat melirik rak buku yang ada di depannya, ia berdecak karena buku berjudul My Sexcretary yang dibawa lelaki tadi adalah buku yang terakhir.
“Apa-apaan barusan itu,” Lisa menggerutu, “Sial, memangnya dia siapa?!”
Lisa bangkit dari duduknya lalu buru-buru merapikan bajunya. Gadis itu berjanji pada dirinya sendiri bahwa mulai detik ini ia akan selalu mengingat wajah lelaki menyebalkan itu selamanya. Setidaknya, jika ada kemungkinan suatu saat bertemu lagi di tempat lain ia harus balas dendam.
Pandangannya tidak lepas dari punggung lelaki itu yang mulai berjalan menjauh. Alih-alih mengejarnya, gadis itu malah berdiri mematung. Sejenak ia berpikir, jangan-jangan lelaki itu benar-benar mengenalinya? Tapi, di mana?
***
Pramana tersenyum. Gadis itu. Ini kali kedua mereka tak sengaja bertemu. Ya, gadis tanpa nama itu lagi-lagi membuat dadanya berdesir. Gadis manis dengan lesung pipit yang tidak terlalu dalam itu mengingatkannya akan masa lalunya. Rasanya, gadis tanpa nama itu terlalu mirip dengan Anjani.
Tentu saja pertemuan kedua yang tidak disangka-sangka rupanya akan menjadi kenangan yang tidak menyenangkan bagi gadis itu. Tapi bagaimanapun juga Pramana tetap bersikukuh bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang benar dan sama sekali tidak menyesalinya. Lelaki itu tau persis bahwa suatu saat jika gadis tanpa nama sudah mengetahui siapa dirinya, pasti juga akan berpikiran sama. Tapi yang jelas, gadis itu akan terkejut setidaknya sampai besok di acara upacara penerimaan siswa-siswi baru di SMA Nusa Bhakti.
Pertemuan pertama mereka tepatnya terjadi dua hari lalu. Sebenarnya sama tidak sengajanya dengan hari ini. Namun sepertinya gadis itu tidak menyadari atau mungkin sama sekali tidak ingat. Padahal pertemuan yang remeh temeh ini nyatanya berhasil membuat Pramana tersenyum lagi. Tentu saja sejak setelah sekian lama kisahnya bersama Anjani berakhir.
Pertemuan awalnya adalah saat Pramana sedang melakukan cek ulang dan membuat list alat-alat olahraga untuk keperluan inventaris di ruang peralatan olahraga seorang diri. Sebagai guru olahraga muda, ini adalah kali pertamanya ia diterima bekerja di SMA Nusa Bhakti. Usai lulus dan menyandang gelar sarjana di jurusan olahraga, selama satu tahun penuh ia mendedikasikan dirinya sebagai asisten dosen sekaligus menyibukkan diri mengurus berkas-berkas persiapan S2-nya. Pada akhirnya di tahun keduanya berkuliah S2, ia memutuskan untuk mencoba mendaftarkan diri sebagai guru SMA dan di sinilah ia berada sekarang.
Kebetulan hari ini sekolah sedang disibukkan dengan kegiatan pendaftaran ulang bagi siswa-siswi baru yang sudah dinyatakan lolos. Hal itu membuat atmosfer sekolah menjadi lebih ramai, terbukti dari tadi pagi saat belum genap pukul delapan sudah banyak orang yang memadati aula. Dapat dipastikan mereka adalah calon siswa-siswi baru.
Usai menuntaskan pekerjaannya, Pramana menghela napas puas. Ia melirik jam tangan, jarumnya menunjukkan pukul sebelas kurang sedikit. Lelaki itu cukup senang tugasnya selesai lebih cepat dari dugaan. Ia pun menyambar tas ranselnya berniat untuk bergegas meninggalkan sekolah, terlebih lagi ia memang tidak tergabung di panitia penyelenggara pendaftaran ulang siswa baru. Jadi, intinya kali ini ia bebas pulang lebih awal.
Baru saja lelaki itu ke luar dari ruang peralatan olahraga, dari kejauhan matanya menangkap seorang anak laki-laki dan perempuan seumuran belasan sedang berlarian di lapangan basket. Menurut dugaannya, bisa jadi keduanya adalah calon murid yang akan melakukan daftar ulang. Anak laki-laki itu memiliki postur tubuh agak kurus namun lumayan tinggi, sedangkan yang perempuan bertubuh mungil dan rambutnya tergerai sebahu. Keduanya berlarian seperti anak-anak, sesekali saling menjewer telinga, kemudian saling mengejar lagi.
Pramana senyum tak acuh, menutup pintu ruang peralatan olahraga lalu menguncinya. Sayup-sayup ia mendengar suara celoteh mereka.
“Berhenti atau kubakar habis bulu kakimu!”
“Hahahahahahaaha!”
Pramana menoleh, ternyata suara gadis itu.
“Berhentiiiiii!!”
“Hahahahahahahaha!” nampaknya gadis itu tengah mengejar si anak laki-laki, tapi yang dikejar malah semakin berlari menjauhinya. “Tangkap aku, cepat tangkap!”
Pramana terkekeh sambil mengamati keduanya. Si anak gadis mulai ngos-ngosan dan berhenti mengejar. Sementara si anak laki-laki tetap berlari, tapi mulai melambat.
Wajah gadis itu merah sekali, sangat kontras dengan kulit lengannya yang putih. Sambil membungkuk memegangi lutut, gadis itu menatap temannya geram dengan napas tersengal. Sesaat kemudian gadis itu membuat gerakan tiba-tiba, dan … hap! Ia berhasil menangkap teman laki-lakinya, merangkul dengan gerakan sedikit memutar.
Pramana tergelak, tidak menyadari bahwa ia mulai menikmati apa yang dilihatnya. Nampak gadis itu meringis lalu terbahak. Sejenak jantung Pramana berdesir, senyum gadis itu manis dengan lesung pipi yang tidak terlalu dalam, hidungnya kecil dan matanya bulat sekali. Saat tertawa, gadis itu memamerkan gigi kelincinya dengan gesture imut yang tidak berlebihan. Anjani, senyum dan gelagat gadis itu mirip sekali dengan gadisnya. Pramana menggeleng cepat. Mungkin ini hanya kebetulan.
“Kena kau!” pekik gadis itu, masih dengan senyuman lebarnya. “Bilang maaf, tidak?!”
Pramana masih tersenyum mengamati mereka.
“Cepat katakan!” katanya lagi. Gadis itu menggaet leher temannya.
“Iya iya baweeel!”
“Cepetaaan!”
Pramana tersenyum lagi. Tubuh gadis itu memang kecil, tapi justru itu yang membuatnya terlihat manis sekali.
“Maaa-aaaf!” anak laki-laki itu meringis namun mulutnya berusaha berbicara, “Udah, maaf, aduh leherku sakit sekali.”
Gadis itu baru mau melepaskan rangkulannya.
“Bagusss.”
Tanpa sadar Pramana tersenyum. Tapi sepertinya gadis itu mulai ngeh jika tengah diperhatikan, lalu sedetik kemudian terkesiap menoleh. Gadis itu mendapati Pramana yang diam mematung di depan pintu ruang peralatan olahraga, tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Pramana tersenyum tipis, gadis itu mengangguk kecil dan tersenyum samar. Mata mereka saling beradu beberapa detik. Pramana menyipit, sepertinya ia harus menahan diri untuk tidak berpikir yang tidak-tidak, karena gadis itu bagaimanapun juga adalah siswinya nanti.
“Siapa dia?” tanya anak laki-laki itu, “Kau mengenalnya?”
Gadis itu menggeleng. Tapi tatapannya masih lurus ke arah Pramana.
Kejadian itu tak berlangsung lama, namun lucunya Pramana merasa degup jantungnya tiba-tiba menjadi berpacu dua kali lebih cepat, sehingga kemudian menjadi alasan mengapa ia mendadak jadi salah tingkah. Lelaki itu membenahi ransel di pundak, lalu buru-buru meninggalkan tempat itu.
Setelahnya, Pramana hanya berjalan lurus menuju parkiran dan tidak menoleh lagi. Degup jantungnya masih tak beraturan. Senyum gadis itu masih memenuhi pikirannya. Bagaimana bisa, dua wanita yang berbeda terlihat begitu sama hanya dengan melihat senyumannya?
Tanpa sadar mulutnya menggumam lirih, “Dia bukan Anjani. Mereka hanya mirip, sadarlah, Pramana.”
Pramana menyalakan mesin motornya dan meninggalkan sekolah. Sejak hari itu, ia akan terus mengingat dengan baik gadis pemilik senyuman dengan lesung pipi tidak terlalu dalam. Setidaknya, kali ini Pramana bisa menahan diri. Degup jantungnya adalah pertanda bahwa mungkin ini hanya sebatas rasa kagum, tidak lebih dari itu.
***
Lisa masih tidak habis pikir dengan kejadian aneh nan menyebalkan yang menimpa dirinya beberapa menit lalu di toko buku. Karena suasana hatinya menjadi buruk, akhirnya ia memutuskan untuk tidak membeli buku apapun. Bahkan ketika ia dan Bima sudah berpindah tempat ke Mcd, gadis itu masih memasang wajah kecut. Ia sedang berpikir keras. Bima yang sedari tadi bingung ada apa gerangan, hanya bisa menggeleng pasrah dan memilih untuk fokus saja dengan kentang goreng di hadapannya. Lelaki itu terlihat tidak begitu peduli. “Bim, Bima.” Di bawah meja, Lisa menendang pelan kaki Bima, tatapannya menerawang ke tembok sebelah meja mereka. “Apa?” Bima menyerngit, lalu menyuap beberapa keping kentang goreng ke mulutnya. Lisa menatap Bima lurus. “Menurutmu apakah aneh jika ada orang yang menguntitku?” “Tentu saja,” jawab Bima mantap. “Karena itu tidak mungkin.” “Kenapa bisa tidak mungkin?” Lisa mendengus. “Sekarang lihat,” ujar Bima semba
Ketika Pak Edi memperkenalkan dan menyebut namanya, Pramana tersenyum dan melambai pada barisan murid. Saat mengedarkan pandangan, matanya terhenti pada salah satu siswi. Siswi itu berdiri di tengah, tepat di deretan pertama siswi perempuan. Seketika senyum Pramana memudar. Dia adalah gadis yang sama dengan yang ia pergoki di toko buku kemarin. Untuk beberapa saat mereka saling menatap. Nyatanya dugaannya tidak meleset, gadis itu benar-benar menjadi muridnya. Namun Pramana merasa seperti ada yang salah dengan gadis itu, ia melihat dengan jelas bahwa raut wajah gadis itu gelisah dan pucat. Gadis itu jelas sedang tidak baik-baik saja. Sesekali matanya mengerjap-ngerjap, lalu ia mencoba meraih punggung teman yang ada di depannya namun tidak sampai, dan Pramana melihat bahwa temannya itu tidak menyadarinya. Gadis itu limbung, tapi tetap berusaha bertahan. Pramana terus mengawasi gerak-geriknya yang aneh. Gadis itu kini memejamkan matanya, ia terhuyung pelan
Sore itu gerimis membasahi jalanan kota. Untungnya Lisa dan Bima buru-buru naik angkutan umum dan hujan berhenti beberapa saat kemudian. Mereka tiba di rumah dengan aman tanpa basah sedikit pun. Saat Lisa membuka pagar rumah nampak Bundanya sedang duduk di kursi teras seorang diri sambil menggenggam mug hijau kesayangannya. Lalu menyesap isinya pelan-pelan. “Hai Bunda,” Lisa menyapa ibunya sekilas, melepaskan sepatu lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Bunda menanggapinya dengan mengangkat mug di tangannya dan tersenyum. Gadis itu melempar tas ranselnya ke sembarang tempat, lalu menghempaskan diri di sofa ruang tamu. “Haloo Bundaaa,” suara Bima terdengar menggelegar menyapa, “Bunda membuat panekuk hari ini?” “Tentu saja. Ambil saja di dapur. Ada selai nanas dan madu, ambil mana pun sesukamu.” Bima meringis senang. “Asyikkk!” setelah melepas sepatunya lelaki itu melengos masuk dan tidak menghiraukan keberadaan Lisa sedikit pun. Hal ini sudah lumrah bag
Pramana menghela napas panjang begitu menutup layar laptopnya. Sebelum mengajar, pagi ini semua guru dikumpulkan untuk meeting dadakan karena ada pembahasan mengenai pergantian guru di beberapa kelas. Tadinya Pramana dipercayai untuk mengajar mata pelajaran olahraga hanya di seluruh kelas sebelas baik dari jurusan IPA, IPS maupun Bahasa. Kebetulan guru olahraga di sekolah ini ada tiga orang, dua laki-laki termasuk dirinya sendiri dan satu perempuan. Namun ternyata satu guru olahraga lelaki pengajar kelas sepuluh telah genap pensiun tahun ini, sehingga saat ini tersisa dirinya dan satu guru perempuan bernama Bu Nike. Selain guru olahraga yang berkurang formasinya, juga ada dua guru lain yang harus paripurna tugas di tahun ini. Orang itu adalah guru matematika dan bahasa Inggris. Pihak yayasan juga sudah membuka pengumuman secara terbuka terkait lowongan tersebut. Selagi menunggu posisi itu terisi, untuk sementara waktu guru mata pelajaran yang ada harus merangkap dan
Lisa mendecakkan lidah lalu memutar bola matanya. Belum sempat ia membalas perkataan Pramana, Naomi datang tanpa diminta dan menendang tulang kering kakinya pelan. Sementara Pramana hanya melirik, tidak menegur karena Lisa rupanya tidak merasa sakit sama sekali. “Berbarislah segera. Kumohon,” pinta Naomi kemudian. Lalu ia tersenyum manis pada Pramana sekilas, kemudian berlalu sambil mengikat rambutnya menjadi ikatan ekor kuda. Lisa buru-buru mengekor pada Naomi lalu berbaris bersama yang lainnya. Nampaknya gadis itu sedang tidak ingin berbicara apapun dengan gurunya. Alis Pramana terangkat, lalu ia mengangguk kecil. Baguslah, batinnya. “Alvin, kemari!” Pramana melambaikan tangannya memanggil Alvin. Siswanya itu lalu datang tergopoh-gopoh. “Tolong ambil beberapa bola basket di ruang peralatan, pintunya tidak terkunci, tapi jangan lupa menutupnya kembali nanti.” “Baik Kak!” Alvin memberi isyarat pada Bima bermaksud mengajaknya, lalu ber
“Aku sudah memperingatkanmu dua kali sebelumnya, kan?” Lisa hanya diam. Gadis itu tidak menghiraukan ucapan Bima dan terus berjalan menuju kelas mereka. Kelas olahraga baru selesai sekitar lima menit lalu, dan sekarang waktunya jam istirahat pertama. “Jangan memasang wajah kesal seperti itu,” ujar Bima mengikuti langkah Lisa yang mendekati loker. Lelaki itu membuka melanjutkan ucapannya, “Lagi pula tidak ada yang menyalahkanmu. Kami semua memakluminya.” Mendengar penjelasan Bima, Lisa tersenyum masam. Memaklumi apanya? Memangnya siapa yang akan memaklumi seseorang yang ceroboh memilih ukuran setelan olahraga sehingga baju dalamnya sampai terlihat? Sepertinya Lisa lebih percaya bahwa sebenarnya teman-temannya diam-diam menertawakan dirinya di belakangnya. Ya walaupun tidak semua temannya seperti itu. Namun satu hal yang pasti, saat ini ia memang ‘malu setengah mati’. Kalau boleh jujur, walaupun niat Pramana tak lain dan tak bukan adalah melind
Pramana menghempaskan tubuhnya di kursi begitu selesai mengajar kelas terakhirnya di hari ini. Wajahnya menengadah ke atas dan ia menghembuskan napas keras. Tubuhnya cukup letih bukan hanya karena usai mengajar, tapi juga belum makan siang. Saat melirik jam dinding ruang guru, jam menunjukkan pukul satu. Bel tanda pulang siswa-siswinya memang masih kurang dua jam lagi, namun untuk guru yang memang sudah menyelesaikan kelasnya bisa meninggalkan sekolah tanpa harus menunggu. Kebetulan Pramana memang ada kuliah sore ini, jadi tidak ada alasan lagi untuk ia tetap di sekolah. Akhirnya setelah berkemas, lelaki itu menenteng ranselnya dan menyambar jaket biru yang tersampir di lengan kursinya. Ia tercenung sejenak, tiba-tiba teringat dengan kejadian hari ini saat mengajar di kelas sepuluh IPS-1. Mengenai gadis bernama Lisa yang memakai setelan olahraga ketat, hingga berujung pada percakapannya dengan gadis itu di koridor ruang peralatan olahraga. Pramana masih mengingat raut wajah
“Kau tidak keberatan jika kita nanti berjauhan?” Lisa menelan salivanya sendiri. Pertanyaan Bima terus berulang di kepalanya saat ini. Gadis itu tidak langsung menjawab, melainkan ia menatap Bima lamat-lamat. Sejujurnya ia juga tidak tau harus menjawab apa. Bima membenahi posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Lisa. “Ada apa denganmu? Kenapa kau diam saja?” “Tidak, aku tidak apa-apa,” gumam Lisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian menghela napas. Sejujurnya ada sepercik rasa kecewa jika membayangkan ia harus berjauhan dengan Bima saat di masa perkuliahan nanti. “Kau tidak keberatan? Sama sekali?” ulang Bima, lelaki itu ingin memastikan bahwa Lisa mengijinkannya. Mengingat dari TK, hingga SMA mereka selalu bersama di sekolah yang sama, rasanya memilih untuk berkuliah di luar negeri adalah keputusan yang harus dibicarakan bersama. Bahkan mereka juga berbagi rahasia dan cerita mengenai keluarga merek