Share

1# Merebut

“Baguss ....”

Lisa menghela napas. Hari ini adalah hari terakhir liburannya sebagai siswi SMP. Mulai besok ia harus memulai hari yang baru menjadi seorang siswi di SMA Nusa Bhakti, SMA Negeri yang terkenal biasa saja tapi cukup membuat gadis itu bernapas lega. Sebenarnya bukan tidak mungkin bagi dirinya untuk mendapatkan tempat yang lebih baik dari ini, hanya saja ini keputusannya dan Bima. Walaupun bukan SMA Favorit, tapi bagi Lisa bisa satu sekolah dengan Bima a.k.a sahabatnya sudah lebih dari cukup. Mengingat mereka memang selalu bersama semenjak TK, rasanya memilih sekolah yang sama sudah menjadi tradisi sejak dulu. Bahkan saat papi-mami Bima pindah ke Malaysia dua tahun lalu untuk urusan pekerjaan, lelaki itu lebih memilih tetap tinggal di sini bersama bibinya hanya demi agar tidak berpisah dengan Lisa.

Hari ini Lisa dan Bima pergi ke toko buku. Seperti biasa mereka akan berpisah sesaat setelah memasuki toko. Bima pergi ke rak komik, sementara Lisa ke bagian novel. Kali ini gadis itu iseng melirik ke bagian genre novel dewasa. Tentu saja tanpa sepengetahuan Bima, Lisa mengintip buku dewasa berjudul ‘My Sexcretary’ yang sampul plastiknya sudah terbuka, lalu dengan sigap menculik buku itu dan mengendap-endap mengambil spot di dekat jendela, duduk bersila serta mulai membaca. Gadis itu terhanyut dari halaman satu ke halaman yang lain. Bahkan dari halaman awal saja sudah menunjukkan bahwa ini benar-benar novel dewasa. Lisa terkikik pelan. Dunia orang dewasa memang menyenangkan.

My ... Sexcretary?

Slap! Lisa terkejut buru-buru menutup bukunya dan menoleh. Ternyata pemilik suara itu adalah seorang lelaki berbadan jangkung tengah berjongkok di sebelahnya. Sejenak ia tercenung. Sorot mata lelaki itu tajam, hidungnya mancung tapi tidak berlebihan, kulitnya sawo matang, manis sekali. Lucunya, lelaki itu memiliki bulu mata yang lentik, seperti wanita. Satu hal yang menarik darinya adalah warna matanya, sungguh coklat sekali seperti kayu. Lisa mengerjapkan matanya pelan. Jarang-jarang ia menemukan orang dengan warna mata seunik itu, terlebih lagi dengan wajah Indonesia yang kental.

“Entah sudah sejauh mana kau membacanya, tapi tolong berikan buku itu!” katanya kemudian dengan nada memerintah.

Sadar bahwa dirinya tengah dipergoki, Lisa hanya melongo. Siapa sebenarnya lelaki ini?

Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya, kepalanya sedikit miring ke kanan. “Berikan!”

Lisa terperanjat dan beringsut mundur. Ia masih tidak bisa bereaksi apapun karena telah tertangkap basah. Di samping itu ia juga heran, berani-beraninya lelaki asing ini berniat merebut buku ini darinya.

“Mana?”

“Tidak, aku tidak akan memberikannya pada orang asing sepertimu,” akhirnya Lisa bersuara walau setengah takut. Baru kali ini ada seseorang yang berani mengusiknya saat di toko buku. “Memangnya siapa kau?” 

“Siapa aku itu tidak penting, tapi tolong berikan bukunya,” kata lelaki itu dengan nada menyuruh, “Aku tau persis, kau belum cukup umur untuk itu.”

Lisa menyerngit heran. “Tau dari mana?” lalu ia memandang ke arah lain. “Lagi pula aku yang pertama kali mengambilnya.”

“Jadi kau benar-benar tidak tau siapa aku?” lelaki itu mendesah. “Cepat berikan atau aku yang akan merebut paksa.”

Dari perkiraan Lisa, sepertinya lelaki ini usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Mungkin hanya terpaut beberapa tahun di atasnya, atau hampir sepantaran dengannya? Entahlah, ia tidak tau pasti. Tapi intinya lelaki itu nampak masih muda dan segar. Lisa diam-diam memperhatikannya dari kepala hingga kaki. Menurut sepanjang ingatannya, gadis itu yakin bahwa ini adalah kali pertama mereka bertemu.

Sejenak Lisa menduga bahwa lelaki ini salah satu pekerja di toko buku, tapi pikiran itu segera hilang karena lelaki itu jelas tidak memakai seragam seperti pegawai lainnya. Dia hanya memakai celana jins putih tulang dengan atasan turtleneck sweater hitam. Dia nampak normal, seperti pengunjung pada umumnya.

“Memangnya siapa kau?” tanya Lisa sewot, “Penguntit, ya?!”

Lelaki itu tidak sabar, direbutnya buku itu dari genggaman Lisa.

“EHH??” Lisa terkejut. Tapi gadis itu pun tak mau kalah, ditariknya kembali buku itu ke dekapannya. Namun, lelaki itu justru balik merebutnya. Walhasil, keduanya saling berebut. Mungkin kejadian seperti ini akan lumrah jika terjadi pada orang lain entah karena stok bukunya terbatas karena buku itu adalah buku limited edition keluaran lama, bukan buku genre dewasa semi porno seperti sekarang ini. Sungguh perebutan yang sengit, tapi sekaligus menggelikan.

"Lepaskan!” Lisa menarik buku itu sekuat tenaga. “Lepaskan atau aku akan berteriak?!”

“Berteriaklah sesukamu!” lelaki itu menarik bukunya lebih kuat. “Kau yang harus melepaskan!”

Untungnya situasi toko buku itu lumayan lengang, jadi setidaknya mereka tidak jadi tontonan. Tragedi saling berebut buku itu sekilas seperti pertarungan kucing dan banteng, alias sama sekali tidak imbang. Jelas saja Lisa kalah kuat. Akhirnya buku itu pun berhasil direbut oleh sang cowok.

“EEEHHH?!!” pekik Lisa kesal. Gadis itu hampir terjengkang karena sangking kuatnya tenaga lelaki itu. “Apa-apaan sih??”

Alih-alih meminta maaf, lelaki itu malah tersenyum puas.

“Tunggu sampai waktunya tiba, kau baru boleh membaca buku seperti ini.”

Lisa melotot tidak percaya. Ini pertama kalinya ada seseorang yang belum dikenalnya tapi sudah membuat dirinya kesal luar biasa. Dadanya naik turun karena sibuk mengatur napasnya yang masih satu dua. Belum sempat merecoki lelaki aneh itu, tiba-tiba si pemilik tubuh jangkung itu mendekatkan wajahnya lalu berbisik pelan, “Nanti, kau akan menyesal jika tau siapa aku.”

Badan Lisa seketika menegang. Ia menelan ludah. Gadis itu mengerjap tidak mengerti. Namun kali ini ia tidak menanggapi lelaki itu lagi.

Setelah mengucapkan kalimat itu, lelaki itu buru-buru berdiri dan pergi meninggalkan Lisa. Tentu saja buku itu juga dibawanya. Melihatnya berlalu, rasa kesal gadis itu berlipat ganda. Ditambah lagi saat melirik rak buku yang ada di depannya, ia berdecak karena buku berjudul My Sexcretary yang dibawa lelaki tadi adalah buku yang terakhir.

“Apa-apaan barusan itu,” Lisa menggerutu, “Sial, memangnya dia siapa?!”

Lisa bangkit dari duduknya lalu buru-buru merapikan bajunya. Gadis itu berjanji pada dirinya sendiri bahwa mulai detik ini ia akan selalu mengingat wajah lelaki menyebalkan itu selamanya. Setidaknya, jika ada kemungkinan suatu saat bertemu lagi di tempat lain ia harus balas dendam.

Pandangannya tidak lepas dari punggung lelaki itu yang mulai berjalan menjauh. Alih-alih mengejarnya, gadis itu malah berdiri mematung. Sejenak ia berpikir, jangan-jangan lelaki itu benar-benar mengenalinya? Tapi, di mana?

***

Pramana tersenyum. Gadis itu. Ini kali kedua mereka tak sengaja bertemu. Ya, gadis tanpa nama itu lagi-lagi membuat dadanya berdesir. Gadis manis dengan lesung pipit yang tidak terlalu dalam itu mengingatkannya akan masa lalunya. Rasanya, gadis tanpa nama itu terlalu mirip dengan Anjani.

Tentu saja pertemuan kedua yang tidak disangka-sangka rupanya akan menjadi kenangan yang tidak menyenangkan bagi gadis itu. Tapi bagaimanapun juga Pramana tetap bersikukuh bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang benar dan sama sekali tidak menyesalinya. Lelaki itu tau persis bahwa suatu saat jika gadis tanpa nama sudah mengetahui siapa dirinya, pasti juga akan berpikiran sama. Tapi yang jelas, gadis itu akan terkejut setidaknya sampai besok di acara upacara penerimaan siswa-siswi baru di SMA Nusa Bhakti.

Pertemuan pertama mereka tepatnya terjadi dua hari lalu. Sebenarnya sama tidak sengajanya dengan hari ini. Namun sepertinya gadis itu tidak menyadari atau mungkin sama sekali tidak ingat. Padahal pertemuan yang remeh temeh ini nyatanya berhasil membuat Pramana tersenyum lagi. Tentu saja sejak setelah sekian lama kisahnya bersama Anjani berakhir.

Pertemuan awalnya adalah saat Pramana sedang melakukan cek ulang dan membuat list alat-alat olahraga untuk keperluan inventaris di ruang peralatan olahraga seorang diri. Sebagai guru olahraga muda, ini adalah kali pertamanya ia diterima bekerja di SMA Nusa Bhakti. Usai lulus dan menyandang gelar sarjana di jurusan olahraga, selama satu tahun penuh ia mendedikasikan dirinya sebagai asisten dosen sekaligus menyibukkan diri mengurus berkas-berkas persiapan S2-nya. Pada akhirnya di tahun keduanya berkuliah S2, ia memutuskan untuk mencoba mendaftarkan diri sebagai guru SMA dan di sinilah ia berada sekarang.

Kebetulan hari ini sekolah sedang disibukkan dengan kegiatan pendaftaran ulang bagi siswa-siswi baru yang sudah dinyatakan lolos. Hal itu membuat atmosfer sekolah menjadi lebih ramai, terbukti dari tadi pagi saat belum genap pukul delapan sudah banyak orang yang memadati aula. Dapat dipastikan mereka adalah calon siswa-siswi baru.

Usai menuntaskan pekerjaannya, Pramana menghela napas puas. Ia melirik jam tangan, jarumnya menunjukkan pukul sebelas kurang sedikit. Lelaki itu cukup senang tugasnya selesai lebih cepat dari dugaan. Ia pun menyambar tas ranselnya berniat untuk bergegas meninggalkan sekolah, terlebih lagi ia memang tidak tergabung di panitia penyelenggara pendaftaran ulang siswa baru. Jadi, intinya kali ini ia bebas pulang lebih awal.

Baru saja lelaki itu ke luar dari ruang peralatan olahraga, dari kejauhan matanya menangkap seorang anak laki-laki dan perempuan seumuran belasan sedang berlarian di lapangan basket. Menurut dugaannya, bisa jadi keduanya adalah calon murid yang akan melakukan daftar ulang. Anak laki-laki itu memiliki postur tubuh agak kurus namun lumayan tinggi, sedangkan yang perempuan bertubuh mungil dan rambutnya tergerai sebahu. Keduanya berlarian seperti anak-anak, sesekali saling menjewer telinga, kemudian saling mengejar lagi.

Pramana senyum tak acuh, menutup pintu ruang peralatan olahraga lalu menguncinya. Sayup-sayup ia mendengar suara celoteh mereka.

“Berhenti atau kubakar habis bulu kakimu!”

“Hahahahahahaaha!”

Pramana menoleh, ternyata suara gadis itu.

“Berhentiiiiii!!”

“Hahahahahahahaha!” nampaknya gadis itu tengah mengejar si anak laki-laki, tapi yang dikejar malah semakin berlari menjauhinya. “Tangkap aku, cepat tangkap!”

Pramana terkekeh sambil mengamati keduanya. Si anak gadis mulai ngos-ngosan dan berhenti mengejar. Sementara si anak laki-laki tetap berlari, tapi mulai melambat.

Wajah gadis itu merah sekali, sangat kontras dengan kulit lengannya yang putih. Sambil membungkuk memegangi lutut, gadis itu menatap temannya geram dengan napas tersengal. Sesaat kemudian gadis itu membuat gerakan tiba-tiba, dan … hap! Ia berhasil menangkap teman laki-lakinya, merangkul dengan gerakan sedikit memutar.

Pramana tergelak, tidak menyadari bahwa ia mulai menikmati apa yang dilihatnya. Nampak gadis itu meringis lalu terbahak. Sejenak jantung Pramana berdesir, senyum gadis itu manis dengan lesung pipi yang tidak terlalu dalam, hidungnya kecil dan matanya bulat sekali. Saat tertawa, gadis itu memamerkan gigi kelincinya dengan gesture imut yang tidak berlebihan. Anjani, senyum dan gelagat gadis itu mirip sekali dengan gadisnya. Pramana menggeleng cepat. Mungkin ini hanya kebetulan.

“Kena kau!” pekik gadis itu, masih dengan senyuman lebarnya. “Bilang maaf, tidak?!”

Pramana masih tersenyum mengamati mereka.

“Cepat katakan!” katanya lagi. Gadis itu menggaet leher temannya.

“Iya iya baweeel!”

“Cepetaaan!”

Pramana tersenyum lagi. Tubuh gadis itu memang kecil, tapi justru itu yang membuatnya terlihat manis sekali.

“Maaa-aaaf!” anak laki-laki itu meringis namun mulutnya berusaha berbicara, “Udah, maaf, aduh leherku sakit sekali.”

Gadis itu baru mau melepaskan rangkulannya.

“Bagusss.”

Tanpa sadar Pramana tersenyum. Tapi sepertinya gadis itu mulai ngeh jika tengah diperhatikan, lalu sedetik kemudian terkesiap menoleh. Gadis itu mendapati Pramana yang diam mematung di depan pintu ruang peralatan olahraga, tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Pramana tersenyum tipis, gadis itu mengangguk kecil dan tersenyum samar. Mata mereka saling beradu beberapa detik. Pramana menyipit, sepertinya ia harus menahan diri untuk tidak berpikir yang tidak-tidak, karena gadis itu bagaimanapun juga adalah siswinya nanti.

“Siapa dia?” tanya anak laki-laki itu, “Kau mengenalnya?”

Gadis itu menggeleng. Tapi tatapannya masih lurus ke arah Pramana.

Kejadian itu tak berlangsung lama, namun lucunya Pramana merasa degup jantungnya tiba-tiba menjadi berpacu dua kali lebih cepat, sehingga kemudian menjadi alasan mengapa ia mendadak jadi salah tingkah. Lelaki itu membenahi ransel di pundak, lalu buru-buru meninggalkan tempat itu.

Setelahnya, Pramana hanya berjalan lurus menuju parkiran dan tidak menoleh lagi. Degup jantungnya masih tak beraturan. Senyum gadis itu masih memenuhi pikirannya. Bagaimana bisa, dua wanita yang berbeda terlihat begitu sama hanya dengan melihat senyumannya?

Tanpa sadar mulutnya menggumam lirih, “Dia bukan Anjani. Mereka hanya mirip, sadarlah, Pramana.”

Pramana menyalakan mesin motornya dan meninggalkan sekolah. Sejak hari itu, ia akan terus mengingat dengan baik gadis pemilik senyuman dengan lesung pipi tidak terlalu dalam. Setidaknya, kali ini Pramana bisa menahan diri. Degup jantungnya adalah pertanda bahwa mungkin ini hanya sebatas rasa kagum, tidak lebih dari itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status