Share

2# Pingsan

Lisa masih tidak habis pikir dengan kejadian aneh nan menyebalkan yang menimpa dirinya beberapa menit lalu di toko buku. Karena suasana hatinya menjadi buruk, akhirnya ia memutuskan untuk tidak membeli buku apapun. Bahkan ketika ia dan Bima sudah berpindah tempat ke Mcd, gadis itu masih memasang wajah kecut. Ia sedang berpikir keras. Bima yang sedari tadi bingung ada apa gerangan, hanya bisa menggeleng pasrah dan memilih untuk fokus saja dengan kentang goreng di hadapannya. Lelaki itu terlihat tidak begitu peduli.

“Bim, Bima.”

Di bawah meja, Lisa menendang pelan kaki Bima, tatapannya menerawang ke tembok sebelah meja mereka.

“Apa?” Bima menyerngit, lalu menyuap beberapa keping kentang goreng ke mulutnya.

Lisa menatap Bima lurus. “Menurutmu apakah aneh jika ada orang yang menguntitku?”

“Tentu saja,” jawab Bima mantap. “Karena itu tidak mungkin.”

“Kenapa bisa tidak mungkin?” Lisa mendengus. 

“Sekarang lihat,” ujar Bima sembari menunjuk hidung Lisa dengan kentang goreng yang mulai agak layu di jemarinya, “Untuk apa ada orang menguntitmu? Memangnya kau ini siapa?”

Bima melanjutkan argumennya, “Coba pikir, memangnya ada, orang yang sangking kurang kerjaannya sampai-sampai harus mengikutimu ke mana-mana tentu saja kecuali … aku?”

Lisa mendengarkan Bima masih dengan tatapan menerawang, kemudian ia manggut-manggut. Sepertinya kata-kata Bima ada benarnya juga.

“Memangnya ada yang mengikutimu? Siapa?”

Lisa mengangkat bahu. “Entahlah, kurasa iya.”

“Jangan bohong,” Bima berkilah, kali ini ia menyuap kentang goreng lebih banyak.

“Memangnya aku pernah berbohong, ya?” Lisa melotot.

“Memangnya kau tipe orang yang seperti apa sampai-sampai ada orang yang menguntitmu? Dan aku yakin seribu persen, wajahmu tidak mencerminkan sebagai orang yang banyak uang sehingga harus diikuti.”

“Mulut ini yang tadi bicara, huh?!” Lisa mencubit bibir Bima hingga tubuh cowok itu tertarik maju.

“Brutal!!” sembur Bima.

“Yang terakhir itu namanya penghinaan!” Lisa menyalak ketus, “Semakin lama menghabiskan waktu denganmu aku jadi semakin yakin bahwa aku sungguh telah melakukan dosa besar.”

“Kau terlalu melebih-lebihkan,” Bima mencibir. “Lagi pula memangnya ada ya, hal yang tidak masuk akal begitu? Memangnya siapa yang berani mengganggumu? Di mana? Masih mengikuti sampai sini?!” cowok itu malah meledek Lisa dengan pertanyaan bertubi-tubi, sambil berlagak gaya memasang ekspresi was-was. Kepalanya sampai menoleh ke kanan kiri seolah-olah ketakutan, tapi tentu saja itu hanya pura-pura.

Trust me, Bim. Ada seseorang yang menggangguku dan aku tidak berbohong.”

Bima menghentikan makannya, kali ini lelaki itu menatap Lisa serius. Yang tadinya mulutnya gatal ingin berceloteh, kini mengatup kembali. Sesaat Lisa ingin menertawakannya, tapi gadis itu memilih untuk menahannya sejenak dan melanjutkan ceritanya.

Lisa melipat lengannya di dada.

“Sebenarnya tadi di toko buku ada seseorang, hemm, entah siapa, dia tiba-tiba datang dan tanpa ba-bi-bu, mengambil buku yang sedang kubawa. Ya, aku tidak mengerti apa alasannya, intinya dia merebut bukuku.”

“Hah, yang benar?”

Lisa mendesah. “Iya, benar.”

“Itu sih namanya dia menginginkan buku itu, bukan ingin menguntitmu,” Bima mencibir.

Lisa menggeleng. “Orang itu bahkan berkata seolah-olah jika aku tau siapa dia, aku akan menyesal.”

“Kau yakin, tak mengenalnya sama sekali?” tanya Bima dengan nada meremehkan, “Memangnya buku apa yang kau bawa, sampai-sampai dia merebutnya darimu?”

“Yaa buku ... buku, novel, emm,” Lisa tergagap, lalu menggeleng cepat. “Ah, tidak. Lupakan saja deh.”

“Buku apa?” Bima malah penasaran. Matanya sampai membulat. “Serius nih, aku jadi penasaran.”

Lisa berdecak. Mana mungkin dia mengatakan pada Bima jika ia diam-diam membaca novel dewasa? Walaupun mereka memang bersahabat bertahun-tahun, tapi Lisa tidak mungkin membuka aibnya sendiri. Menceritakannya sama saja dengan upaya mematahkan harga dirinya sendiri.

“Ah, tidak. Lupakan saja,” tukas gadis itu. Lalu ia melanjutkan ucapannya, “Anggap saja tadi aku tidak menceritakan apa-apa.”

“Yee, aneh,” Bima mencibir. Disuapnya kembali kentang goreng terakhir yang ada di meja. Tapi sedetik kemudian lelaki itu menatap Lisa tajam. “Tapi berjanjilah padaku jika ada yang mengganggu atau pun menguntitmu, aku pasti akan menghajarnya.”

Sejenak Lisa memejamkan matanya. Tidak, pasti kejadian ini hanya kebetulan semata. Anggap saja lelaki yang merebut bukunya adalah benar-benar orang asing dan tidak akan ada lagi pertemuan kedua maupun ketiga. Lisa hanya bisa berharap seperti itu. Sungguh, ini pertama kali ada seseorang dalam hidupnya yang sudah membuatnya malu setengah mati, namun justru orang tersebut tidak dikenalinya sama sekali.

Thanks, Bim. Tapi kurasa kau benar,” gumam Lisa, mengangguk kecil sambil meyakinkan dirinya sendiri. “Aku terlalu melebih-lebihkan. Anggap saja orang itu memang mengincar bukunya.”

***

Gadis itu memilih untuk tidak memikirkan kejadian buruk hari ini. Bahkan saat tiba di rumah dan bertemu Ibunya, wajahnya kembali ceria seperti biasanya. Mendekati pukul enam sore, Lisa buru-buru menyiapkan makan malam. Kali ini ia membuat sup ayam favoritnya. Seperti biasa, Lisa selalu memasak menu makan malam untuk dimakan berdua dengan bunda. Sejak kecil Lisa memang hanya tinggal berdua. Sementara ayahnya yang merupakan seorang fotografer yang cukup handal pada masanya meninggal dan menjadi salah satu korban hilang pada bencana tsunami di Jepang. Kejadian itu terjadi saat Lisa masih berumur lima tahun dan di Jepang sedang musim semi. Kebetulan itu adalah momen emas bagi para fotografer untuk mengabadikan momen sebagai salah satu karyanya di kontes internasional. Namun siapa sangka bencana itu datang, sehingga Lisa kehilangan sosok ayah dengan jalan seperti ini? Tentu saja kehilangan salah satu orang tua merupakan pukulan keras baginya, terlebih lagi Ibunya.

Usai makan malam, gadis itu pergi ke kamar menyiapkan alat tulis, buku, dan seragam untuk sekolah besok. Walaupun biasanya di hari pertama sekolah masih belum memulai pelajaran dan diisi dengan perkenalan, tapi mempersiapkan segala hal dari awal juga tidak ada salahnya. Hanya sebagai formalitas untuk berjaga-jaga.

“Hei, sweetheart!” suara Bunda terdengar lalu beliau muncul dari balik pintu hanya dengan menampakkan sedikit kepalanya.

“Bunda boleh masuk?”

“Tentu,” jawab Lisa sambil membuka almari pakaiannya dan mengeluarkan seragamnya.

Bunda membuka pintu lebih lebar lalu berjalan memasuki kamar. Sejenak mengedarkan pandangan, lalu ia duduk di atas kasur.

“Kau harus berjanji akan menjadi anak yang manis besok.”

Lisa terkekeh pelan. Kemudian mengacungkan jempolnya dan tersenyum.

“Jadi, bagaimana persiapanmu?” Bunda tersenyum. Tangannya terlipat di depan dada.

“Sudah semua,” jawab Lisa enteng, gadis itu berkacak pinggang. “Mulai besok, Lisa akan jadi anak SMA.”

“Bagusss …,”

Gadis itu memeluk Bundanya. “Bunda,”

“Apa?”

“Karena Lisa sudah SMA, itu tandanya boleh?”

“Boleh apa?” alis Bunda menyergit.

“Sudah boleh pacaran?”

No, honey!” Bunda menggeleng keras. Melihat Lisa mendesah, Bunda membuka mulutnya lagi, “Kenapa tiba-tiba ingin punya pacar? Bukannya sudah ada Bima yang selalu menemanimu ke mana pun?”

Lisa cemberut. “Bunda tau bahwa itu pengecualian.”

Bunda mengacak-acak rambut anaknya dengan sayang.

“Malam ini tidur dengan Lisa, ya?” Lisa memohon. Tapi Bunda menggeleng sambil terkekeh.

“Malam ini Bunda lembur. Banyak naskah yang harus ditinjau kembali, entahlah Bundamu ini juga tidak tau pasti kapan semua ini selesai,” eluh Bunda sambil mengangkat alis matanya. “So, mungkin besok atau lain kali kita bisa tidur bersama.”

Pekerjaan Bunda adalah seorang editor. Setiap hari ia harus memeriksa satu persatu naskah yang ada. Bunda termasuk spesies manusia yang selalu betah berada di depan layar komputer berjam-jam. Di mata Lisa, Bunda-nya itu memang seorang wanita pekerja keras. 

Lalu tiba-tiba Bunda melepas pelukannya dan beranjak mendekati pintu. Sebelum benar-benar pergi ia membalikkan badannya dan berkata, “Jangan lupa untuk bangun lebih pagi, kau tau sendiri kebiasaan Bunda usai lembur, kan?”

“Bangun siang, tidak bisa diganggu seperti orang mati,” Lisa menjawab dengan ekspresi datar. Tapi justru karena ekspresi itulah membuat Lisa terlihat seakan akan mengejek, Bunda malah tertawa memegangi perutnya.

“Bunda selalu curang.”

"Ah, baiklah, tapi siapa tau kalau tiba-tiba Bunda bisa bangun lebih dulu? Walaupun kemungkinannya keciiil sekali. Tapi, bagaimana pun terima kasih, kau memang putri terbaik Bunda!”

“Bunda selalu curang!” Lisa mengulang kata-katanya lagi. Ciri khasnya jika sedang menekan seseorang.

Bunda menatap Lisa masih dengan sisa tawanya.

“Apa lagii?”

“Lisa boleh pacaran ya?”

“Kenapa dibahas lagi ...” ujar Bunda sambil berlalu dan pintu kamar pun tertutup.

Lisa meringis. Dalam hati gadis itu tersenyum. Bunda dan segala percakapan sederhananya. Satu hal yang paling disukai Lisa dari Bunda adalah sesibuk apapun Ibunya, ia akan selalu menengok dirinya ke kamar sebelum tidur, memastikan anak semata wayangnya baik-baik saja. Satu kebiasaan kecil yang membuat gadis itu menyadari bahwa tidak ada cinta yang lebih besar ketimbang cinta ibu pada anaknya.

***

Upacara penerimaan siswa-siswi baru dilaksanakan hari ini ini. Sesuai dengan hasil tes psikotes yang dilangsungkan bersamaan dengan hari pendaftaran ulang tempo hari, Lisa dan Bima sepakat untuk mengambil jurusan IPS. Dan sepertinya takdir kembali berpihak pada mereka karena nyatanya dari sekian kelas yang ada di IPS, mereka malah dipersatukan di kelas IPS-1.

“Panasss ...” Lisa berbisik pada Bima yang berbaris tepat di depannya. Padahal upacara apel belum dimulai, tapi gadis itu sudah mengeluh setidaknya empat kali.

“Kau pikir kita sedang di puncak?” balas Bima setengah berbisik. Sementara Lisa menggumamkan hal yang tidak jelas.

“Bertahanlah sedikit lagi,” ujar Bima masih berbisik, lelaki itu tidak menoleh sedikit pun. “Jika kau bisa diam tanpa mengeluh sampai upacara ini berakhir, aku berjanji akan mentraktirmu makanan enak.”

Lisa mendesah pelan. Ia sedikit menyesal karena pagi ini bangun kesiangan dan terpaksa tidak sarapan sebelum berangkat sekolah. Bahkan ia juga tidak membangunkan bundanya.

Beberapa saat kemudian upacara dimulai. Nampak segelintir guru dan staf mulai ikut berbaris sejajar menghadap barisan murid. Upacara nan membosankan itu berlangsung sekitar setengah jam, sebelum barisan murid dibubarkan kepala sekolah naik ke podium dan memperkenalkan guru dan staf satu persatu.

“Jadi di sebelah kanan saya ada Pak Aslam Subadyo, guru mata pelajaran sejarah. Beliau sudah menjadi guru di sekolah ini selama sepuluh tahun dan selalu menjadi guru terfavorit," ucap Pak Edi a.k.a kepala sekolah sambil mempersilahkan, kemudian yang ditunjuk tersenyum dan melambai. Tepuk tangan seluruh murid pun langsung terdengar riuh.

“Bim,” Lisa berbisik, “Bima ...,”

Bima tidak menyahut karena karena suaranya yang terlalu pelan. Tiba-tiba tubuh Lisa agak terhuyung, namun sesaat kemudian ia berusaha berdiri tegak. Gadis itu lapar. Dirabanya perutnya yang bergemuruh pelan, lalu ia mendesah lagi. Salah satu hal yang menjadi kelemahannya adalah ia tidak bisa menahan lapar. Sedari kecil gadis itu memang sudah memiliki lambung yang mudah bermasalah, bahkan waktu SD ia pernah dirawat inap di rumah sakit selama seminggu karena maag akut. Lisa mengatur napasnya yang terasa sesak. Sengaja melewatkan sarapan adalah kebodohan yang harusnya tidak ia lakukan.

“Kemudian ada guru olahraga kita yang baru, beliau masih muda sekali, umurnya 22 tahun dan hari ini adalah hari pertamanya mengajar. Namanya Pak Pramana Adi!” lanjut Pak Edi. Si pemilik nama itu pun tersenyum dan membungkuk sopan. Senyumnya manis sekali, hingga membuat barisan siswi perempuan sedikit riuh, tapi kemudian Pak Edi menyuruh mereka untuk kembali tenang.

Lisa melihat guru itu dan berpikir sejenak. Pramana Adi. Guru olahraga muda itu memakai seragam seperti guru yang lainnya. Lisa merasakan perasaan yang aneh, karena lelaki itu terlihat tidak asing. Bahkan gesture tubuhnya mengingatkan Lisa pada suatu ingatan yang mengganggu pikirannya.

Kepala sekolah pun melanjutkan pengenalan guru yang lain, namun mata Lisa masih tidak lepas dengan guru olahraga bernama Pramana itu, tubuh jangkungnya, senyumnya. Lisa terus berpikir keras. Tapi semakin diingat, malah menyiksa dan membuatnya semakin lapar. ia  masih mengawasinya sambil mengingat-ingat. Terlihat bahwa Pramana tengah mengedarkan pandangan ke barisan murid masih dengan senyumnya yang lebar. Namun sedetik kemudian, tatapannya berhenti tepat pada Lisa. Untuk beberapa saat tatapan mereka saling bertemu.

Lisa terbelalak. Mata coklat seperti kayu itu ....

Tiba-tiba Lisa mendadak pusing. Rasa lapar pada perutnya kini berubah menjadi mual yang luar biasa. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya, ia mencoba untuk tetap berdiri. Lisa terhuyung pelan, pandangannya kabur.

“Bim,“ lirih Lisa sambil mencoba menggapai punggung Bima, tapi tidak sampai. Bima tetap bergeming karena sepertinya lagi-lagi lirihan Lisa hampir tidak terdengar olehnya.

Lisa yakin ini bukan kebetulan. Kejadian menyebalkan kemarin sore seketika muncul kembali di ingatannya, seperti ada layar televisi super besar tengah memutar ulang momen itu. Sepersekian detik kemudian gadis itu terhuyung ke belakang, badannya limbung. Rasa mual dan pusing itu semakin menguasai tubuhnya. Kali ini ia tidak bisa mempertahankan tubuhnya lagi. Lalu tak sampai semenit, semua mendadak gelap.

Tapi satu hal yang sempat diingatnya sebelum benar-benar pingsan, adalah sekelebat bayangan seseorang tengah berlari ke arahnya secepat kilat. Lisa ingin bertahan namun tubuhnya menolak. Andai ia tau bahwa seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah si pemilik mata sewarna kayu kemarin sore.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status