Share

3# Bertemu Lagi

Ketika Pak Edi memperkenalkan dan menyebut namanya, Pramana tersenyum dan melambai pada barisan murid. Saat mengedarkan pandangan, matanya terhenti pada salah satu siswi. Siswi itu berdiri di tengah, tepat di deretan pertama siswi perempuan. Seketika senyum Pramana memudar. Dia adalah gadis yang sama dengan yang ia pergoki di toko buku kemarin. Untuk beberapa saat mereka saling menatap. Nyatanya dugaannya tidak meleset, gadis itu benar-benar menjadi muridnya.

Namun Pramana merasa seperti ada yang salah dengan gadis itu, ia melihat dengan jelas bahwa raut wajah gadis itu gelisah dan pucat. Gadis itu jelas sedang tidak baik-baik saja. Sesekali matanya mengerjap-ngerjap, lalu ia mencoba meraih punggung teman yang ada di depannya namun tidak sampai, dan Pramana melihat bahwa temannya itu tidak menyadarinya. Gadis itu limbung, tapi tetap berusaha bertahan.   

Pramana terus mengawasi gerak-geriknya yang aneh. Gadis itu kini memejamkan matanya, ia terhuyung pelan ke arah depan, sebelah tangannya memegangi perut. Firasat Pramana mendadak buruk, ia berpikir sepertinya gadis itu akan pingsan.

Pramana tidak bisa mengalihkan pandangannya sedikit pun. “Celaka,” desisnya pelan.

“Pak,” Bu Rini, guru Bahasa Indonesia yang berdiri di sebelah Pramana berbisik. “Saya rasa siswi yang itu—”

Pramana menelan ludah, bahkan belum sempat Bu Rini menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba murid yang dia maksud terhuyung ke belakang. Pramana refleks meninggalkan barisan guru dan berlari secepat mungkin ke arah barisan murid. Tidak peduli bahwa apa yang ia lakukan justru menjadi pusat perhatian seluruh warga sekolah.

“EHHH?!”

Beberapa guru yang ada di barisan terkejut dengan langkah Pramana yang terkesan tiba-tiba. Sementara anak-anak PMR kelas sebelas yang sedang berjaga di belakang barisan terlihat kebingungan, sepertinya mereka tidak menyadari ada salah satu peserta upacara yang sedang membutuhkan pertolongan mereka. Barisan siswa-siswi kelas sepuluh seketika terbelah dan dalam hitungan detik formasi upacara otomatis berantakan.

Pramana menahan tengkuk siswinya tepat sebelum kepala gadis itu akan mendarat ke beton lapangan. Tak butuh lama, beberapa orang mulai berhambur mendekat karena penasaran apa yang sedang terjadi. Namun salah seorang siswa berusaha membubarkan teman-temannya yang berkerumun. Siswa itu adalah anak yang tadi berdiri tepat di depan barisan gadis yang pingsan sekaligus anak lelaki yang sama dengan yang dilihat Pramana beberapa hari lalu tengah saling kejar di lapangan dengan gadis di dekapannya.

“Minggir! Minggir kalian semua! Ada yang pingsan, dia butuh udara!” pekik siswa itu sedikit berteriak. Kemudian ia menahan lengan Pramana dan berkata, “Pak, biar saya saja!” tatapannya cemas sekali. Bahkan sekilas Pramana mendapati tangan yang menahan dirinya sedikit bergetar. Kerumunan orang semakin tidak terkendali.

Beberapa orang mengalah mundur dan memberi ruang, lalu Pramana mencoba merengkuh tubuh muridnya yang pingsan itu. Anak-anak PMR datang tergopoh-gopoh di belakangnya sambil menggelar tandu.

“Tandunya sudah siap, biar kami yang bawa, Pak," ucap salah seorang anak PMR mencoba mengambil alih.

Pramana menatap mereka sejenak tapi kemudian ia membuka mulut, “Tidak usah, biar saya yang urus.”

Lalu Pramana berjalan pelan menyibak kerumunan.

“Tolong salah satu anak PMR ikut saya.”

Pramana mengambil langkah yang terburu-buru dan dibopongnya gadis itu ke UKS. Anak-anak PMR itu menurut dan melipat kembali tandunya, sementara itu Pak Edi mencoba untuk menenangkan suasana yang mendadak kacau.

***

Pramana membaringkan siswinya di kasur UKS. Sementara itu, anak-anak PMR masih berjaga di lapangan dan hanya satu orang yang berjaga di UKS. Pramana lalu memintanya untuk pergi ke dapur sekolah mengambil teh panas. Saat ini di ruangan itu hanya tinggal Pramana dan siswinya yang pingsan. Pramana mengambil salah satu kursi yang ada di sana, lalu duduk dan memperhatikan siswinya. Wajahnya begitu pucat, bibirnya terkatup rapat, dan matanya masih terpejam.

Lelaki itu melirik name tag yang tercantum di seragam siswinya, tertulis nama ‘A L I S A’ di sana. Nama yang bagus, batinnya. Melihat Alisa yang tengah terbaring lemah, ia jadi teringat dengan buku yang dibelinya kemarin. Tentu saja buku itu masih terbungkus di dalam kantong plastik, tersimpan rapi di laci apartemennya. Belum sempat ia memikirkan hal lain lagi, kemudian datang siswi anggota PMR tadi sambil membawa teh di atas nampan.

“Masih panas, ya?” tanya Pramana berdiri lalu menghampirinya. “Tapi dia belum bangun, nanti jika sudah siuman, tolong berikan padanya.”

Anak PMR perempuan itu mengangguk ragu. Tapi saat Pramana akan meninggalkan UKS, tiba-tiba muridnya mencegah.

“Eh, anda mau kembali?”

“Iya,” kata Pramana menaikkan alis matanya, “Kenapa?”

“Aduh, pak, saya boleh minta tolong sebentar, Pak? Saya sudah tidak kuat menahan … ingin ke toilet, sebentar saja, pak,” ujar anak PMR itu dengan nada meminta, “Tidak sampai lima menit, saya janji akan buru-bu—”

“Oke. Silahkan saja,” sahut Pramana sambil tersenyum, “Jangan khawatir, saya akan jaga UKS-nya.”

Setelah mengucapkan terima kasih, anak PMR itu pergi melesat ke toilet. Namun saat Pramana berbalik, ia mendapati Alisa bergerak. Mata gadis itu sekilas mengerjap-ngerjap, lalu terpejam kembali. Pramana buru-buru melangkah mendekat untuk memastikannya.

***

Lisa terbangun karena ada suara derap kaki seseorang mendekat. Kemudian sayup-sayu ia mendengar suara laki-laki dan perempuan sedang berbicara, entah siapa.

“Sshh,” Lisa mengerang, tubuhnya lemas sekali.

Saat matanya terbuka, hal pertama yang ia lihat adalah lelaki itu, si pemilik mata sewarna kayu, alias gurunya yang bernama Pramana. Lelaki itu tengah berdiri tak jauh dari kasur, menatapnya dengan cemas. Alih-alih bangun, Lisa pun buru-buru memejamkan matanya lagi. Ia masih terlalu malas dan malu untuk menghadapinya. Sungguh suatu kebetulan yang kurang beruntung, karena sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa lelaki menyebalkan kemarin sore adalah salah satu guru di sekolahnya.

“Kau sudah bangun?”

Deg! Lisa terkejut. Tapi gadis itu tetap memejamkan matanya, masih pura-pura tertidur.

Hening beberapa saat.

Apakah orang itu sudah pergi?

Lisa mencoba untuk memicingkan mata, mengintip sedikit untuk memastikan keadaan. Ternyata gurunya sedang berdiri membelakanginya, menghadap kotak P3K tengah mencari sesuatu, lalu mendesah seperti tidak menemukan apa yang ia cari. Saat lelaki itu menoleh ke arahnya, Lisa buru-buru memejamkan matanya lagi.

Gggrr, krucuk krucuk.

Tiba-tiba perut Lisa bergemuruh. Suara menyebalkan itu berlangsung beberapa detik tanpa bisa dicegah. Dalam hati Lisa mengumpat, tubuhnya benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama di situasi seperti ini.

“Bangun dan minum tehnya.”

Mendengar suara gurunya lagi, Lisa terkejut. Gadis itu masih diam, belum berani membuka mata.

“Aku tau kau sedang berpura-pura tidur.”

Deg! Lisa merasa jantungnya akan melompat ke luar. Sepertinya usahanya untuk tetap tidur sia-sia, karena suara perutnya memang terdengar jelas. Ia masih saja tak bergerak, bingung harus bereaksi seperti apa.

Tiba-tiba ia merasakan tangan hangat yang menyentuh dahinya pelan. Lisa tidak bisa berpura-pura lagi karena ia terlalu terkejut untuk yang ke sekian kalinya. Ditambah lagi ia bukan tipe orang yang pandai berbohong. Diam-diam gadis itu membuka matanya pelan. Bagaimana pun juga ia harus menghadapi situasi ini walaupun sebenarnya harga dirinya sudah jatuh sekarang. Namun ketika mendapati wajah gurunya berada sangat dekat dengannya, ia terkejut setengah mati dan refleks menjauhkan diri.

“EH?!”

“Maaf, maaf,” ujar Pramana buru-buru menarik diri, “Kurasa kau baik-baik saja. Tidak demam ... sama sekali.”

Lisa melotot. Masih belum berani mengucapkan sesuatu karena saat ini ia sibuk mengontrol detak jantungnya yang mendadak tidak karuan. Lisa tidak habis pikir bahkan di hari pertama sekolah pun ia harus bertemu dengan seseorang yang tidak ia harapkan.  

“Minum tehnya agar tenagamu cepat pulih,” ujar Pramana sambil mengedikkan dagunya ke arah meja.

Pelan-pelan Lisa mencoba bangkit dari tidurnya dan terduduk. Diambilnya teh yang asapnya masih mengepul itu. Ia menyesapnya perlahan, sensasi hangat langsung mengalir di kerongkongannya yang kering. Sejenak gadis itu melupakan rasa malunya. Ternyata teh itu berhasil membuatnya sadar sesadar-sadarnya. Tak butuh waktu lama tubuhnya pun terasa jauh lebih baik dari sebelumnya.

“Enak?”

Lisa mengangguk pelan, sedikit malu-malu.

“Kalau begitu habiskan,” lanjutnya. Lisa pun menurut, meneguknya sampai habis lalu menaruh gelasnya kembali.           

"Karena kau sudah bangun, aku akan kembali ke lapangan.”

Lisa bergeming, tidak begitu peduli. Pramana hanya tersenyum simpul sambil memperhatikannya. Lelaki itu beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu, mengambil sepatunya yang ada di rak lalu memakainya. Namun saat lelaki itu akan benar-benar pergi, Lisa terperanjat buru-buru membuka mulutnya, ia ingin memastikan sesuatu sebelum lelaki itu pergi dari sini.

“Tunggu,” Lisa menelan ludah, berdehem sekali, berusaha mengontrol diri untuk tidak meninggikan suara dan melanjutkan kalimatnya, “Kenapa anda bisa di sini?”

Pramana menoleh dan menyembunyikan tangannya di saku.

“Karena kau pingsan.”

“Dan yang menolongku adalah ...?” tanyanya sedikit tidak yakin. Gadis itu mencoba memastikan bahwa bukan lelaki itu yang menolongnya. “Anak PMR?”

Gurunya terdiam, menatap gadis itu sejenak. Lalu ia tersenyum.

“Ya. Tentu saja.”

“Syukurlah,” desis Lisa. Tanpa sadar ia mendesah pelan, ada perasaan lega di dadanya. 

“Anak PMR sedang pergi sebentar ke toilet dan aku diminta menjagamu sementara, setidaknya sampai bangun.”

Lisa mengangguk kecil, sedikit ragu.

“Oh iya, namaku, eh, nama saya Pramana,” kata gurunya kemudian, “Kalau-kalau kau ingin tau.”

Lisa menelan ludah. Pipinya memanas, wajahnya menjadi merah karena malu.

“Tunggu sampai dua tahun lagi, baru kau bisa mendapatkannya.”

“Mendapatkan?” Lisa mendongak tidak mengerti. Alisnya menyerngit heran.

“Buku itu,” jawab lelaki itu enteng, “Karena kulihat, kemarin kau sangat kesal. Sepertinya kau begitu menginginkannya.”

Mulut Lisa terbuka membentuk huruf ‘O’ kecil, gadis itu melongo. Ia tidak menyangka lelaki itu akan membahas hal ini lagi. Menerima kenyataan bahwa ia telah dipergoki seseorang yang tidak dikenalinya di toko buku kemarin sebenarnya sudah membuatnya malu, ditambah lagi ia baru tau jika seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah gurunya di sekolah.

Lalu sekarang begitu mudahnya lelaki-gurunya itu membahasnya di sekolah? Sungguh, Lisa benar-benar merasa harga dirinya sudah terkuras habis. Sadar bahwa saat ini wajahnya terlihat bodoh sekali, gadis itu buru-buru mengatupkan bibirnya. Hari pertamanya menjadi anak SMA nyatanya tidak semenyenangkan itu.

Melihat reaksi Lisa, lelaki itu lagi-lagi cuma tersenyum. Tangannya terulur merapikan kemejanya sendiri.

“Kalau begitu, saya sudah boleh pergi sekarang?”

“Sebentar! Eh, maaf sebelumnya,” ujar Lisa sambil menatap gurunya tajam, “Saya tau yang saya lakukan kemarin di toko buku memang salah dan juga baru menyadari kalau anda, eh ... Bapak adalah guru saya di sekolah ini. Tapi tolong, bisa kah untuk tidak perlu membahas hal ‘itu’ di sini?”

Berbeda dengan Lisa, justru lelaki itu menanggapinya dengan santai.

“Hal itu?”

“Ya, hal itu.”

“Jadi, menurutmu di mana kita bisa membahas ‘itu’?”

Lisa terhenyak lalu berkata, “Tidak di mana pun. Ehm, maksud saya, sebaiknya tidak dibahas sama sekali.”

“Tapi sebagai guru, saya rasa saya berhak menegur murid yang melakukan hal yang tidak seharusnya, kan?” Pramana menekankan kata ‘guru’ saat mengucapkannya.

“Yah ...” Lisa mendesah. “Tapi anda bukan Ayah saya, kan?”

Hening. Lelaki itu hanya menatap Lisa dengan ekspresi tenang. Sepertinya dia menunggu Lisa selesai berbicara.

“Saya rasa tidak etis jika ... jika Bapak juga ikut mencampuri urusan murid di luar sekolah,” jelas Lisa lagi. Gadis itu masih setengah tidak percaya bisa berbicara semacam ini dengan seorang guru.

“Jadi begitu?”

“Ya.” Lisa mengangguk. Gadis itu menatap lelaki yang ada di hadapannya dengan ragu.

“Baiklah, kalau begitu,” jawab lelaki itu lalu mengangguk kecil. “Jika tidak ada lagi yang perlu disampaikan, saya pergi.”

Lisa menatap gurunya itu dengan tatapan tidak senang. Gadis itu membuang muka. Ia bersumpah, baru kali ini ia tidak menyukai seseorang terlebih lagi orang itu adalah gurunya.  

“Sebelum pergi saya ingin menyampaikan bahwa … jangan panggil saya dengan sebutan ‘Pak’, karena saya masih 22 tahun,” ujar Pramana sambil melipat tangannya di dada, “Masih terlalu muda untuk disebut sebagai bapak-bapak.”

Setelah mengucapkan sederet kalimat itu, Pramana berbalik dan meninggalkan UKS.

Lisa hanya bisa memandangi punggungnya yang mulai berjalan menjauh. Ia mendesah kesal. Ternyata selain suka mencampuri urusan orang lain, lelaki itu juga terlalu percaya diri. Lisa hanya berharap guru mata pelajaran olahraga di kelasnya adalah orang lain. Walaupun kemungkinannya kecil, tapi ia berdoa agar tidak lagi berurusan dengan guru bernama Pramana itu.

***

“Ada seseorang mencarimu,” ucap Sekar menepuk lengan Lisa saat gadis itu baru saja duduk di bangkunya, “Kurasa anggota PMR, badge kelas 12, tapi entah siapa namanya.”

Lisa mengangguk mengucapkan terima kasih, lalu segera pergi ke luar kelas. Apa mungkin ada sesuatu miliknya yang tertinggal di UKS? Tapi sepertinya tidak.

“Hai, Lisa,” sapa seorang cewek berperawakan tinggi di koridor kelas saat Lisa tiba di ambang pintu. Sekar benar, ternyata yang mencarinya adalah anak PMR.

“Oh iya, ada apa Kak?” Lisa tersenyum. “Kurasa tidak ada yang tertinggal kan? Tadi waktu pingsan aku cuma bawa topi.”

“Ah, enggak, bukan,” ujar anak PMR itu dan menyodorkan roti coklat di bungkusan plastik. “Ini ada titipan dari Kak Pram.”

“Kak Pram siapa, ya?” tanya Lisa menyerngit heran.

“Guru olahraga yang tadi di UKS juga bersamamu. Dia bilang kau pingsan karena belum makan.”

Lisa menerima bungkusan itu sedikit ragu. Gadis itu heran, beberapa saat lalu ia berfikir bahwa gurunya adalah orang paling menyebakan sedunia, tapi sekarang ia malah mendapati lelaki itu sengaja menitipkan makanan untuknya melalui anak PMR. Gadis itu terkekeh, apa mungkin ini usaha lelaki itu untuk meminta maaf karena telah mencampuri urusannya? Aneh sekali.            

“Makasih,” ucap Lisa akhirnya, “Ada lagi?”

“Tidak, tidak ada. Mungkin itu saja.”

“Ah, hampir lupa!” Lisa menepuk dahinya sendiri. “Aku belum mengucapkan terima kasih pada anak PMR yang sudah menolongku, maaf tadi aku langsung pergi ke kelas dan tidak bertemu dengan mereka sama sekali.”

“Eh, tapi sebenarnya bukan kami yang menolongmu,” jelasnya, “Justru harusnya kau berterima kasih pada Kak Pram. Dia yang membawamu dari lapangan ke UKS,” lanjutnya dengan ekspresi bersalah, “Aku sebagai ketua PMR sekaligus yang sedang berjaga di upacara hari ini jadi merasa bersalah karena kurang memperhatikan gerak-gerikmu yang ... sedang sakit, bahkan mungkin kalau Kak Pram tidak segera menghampirimu, kepalamu bisa saja terluka karena membentur lantai beton.”

Mata Lisa membulat. Sayup-sayup ia teringat kejadian sebelum ia benar-benar pingsan, ada seseorang yang berlari ke arahnya secepat kilat namun gadis itu tidak bisa mengingat siapa orang itu. Apakah jangan-jangan ...?

“Jadi dia yang ...?”

Anak PMR mengangguk kecil.

“Iya, maaf ya, semoga tidak terulang lagi,” jawabnya lalu ia mengulurkan tangan, “Kenalkan, aku Vivi.”

“Lisa.” kata Lisa lalu menyambut jabatan itu. 

Setelah berbasa-basi, lalu Vivi pamit pergi kembali ke kelasnya karena mendengar bel tanda masuk berdentang. Begitu pun dengan Lisa. Sejenak Lisa tercenung, kalau dipikir-pikir walaupun Kak Pramana itu menyebalkan dan membuat dirinya kesal, di sisi lain dia baik juga. Gadis itu langsung teringat dengan kejadian saat di UKS tadi.

“Kenapa anda bisa di sini?”

“Karena kau pingsan.”

“Dan yang menolongku adalah ...?” tanyanya sedikit tidak yakin. Gadis itu mencoba memastikan bahwa bukan lelaki itu yang menolongnya. “Anak PMR?”

“Ya. Tentu saja.”

“Syukurlah.”

“Anak PMR sedang pergi sebentar ke toilet, dan aku diminta menjagamu sementara, setidaknya sampai bangun.”

Lisa masih tidak mengerti kenapa lelaki itu harus repot-repot menutupinya, kemudian ia menggeleng. Toh, gurunya itu berniat tidak mengatakannya, jadi walaupun ia belum sempat mengucapkan terima kasih, anggap saja hal ini tidak pernah terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status