Share

4# Pesan Bunda

Sore itu gerimis membasahi jalanan kota. Untungnya Lisa dan Bima buru-buru naik angkutan umum dan hujan berhenti beberapa saat kemudian. Mereka tiba di rumah dengan aman tanpa basah sedikit pun. Saat Lisa membuka pagar rumah nampak Bundanya sedang duduk di kursi teras seorang diri sambil menggenggam mug hijau kesayangannya. Lalu menyesap isinya pelan-pelan.

“Hai Bunda,” Lisa menyapa ibunya sekilas, melepaskan sepatu lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Bunda menanggapinya dengan mengangkat mug di tangannya dan tersenyum. Gadis itu melempar tas ranselnya ke sembarang tempat, lalu menghempaskan diri di sofa ruang tamu.

“Haloo Bundaaa,” suara Bima terdengar menggelegar menyapa, “Bunda membuat panekuk hari ini?”

“Tentu saja. Ambil saja di dapur. Ada selai nanas dan madu, ambil mana pun sesukamu.”

Bima meringis senang. “Asyikkk!” setelah melepas sepatunya lelaki itu melengos masuk dan tidak menghiraukan keberadaan Lisa sedikit pun. Hal ini sudah lumrah bagi mereka karena Bima memang sudah seperti keluarga. Persahabatannya dengan Lisa sudah terjalin sejak kecil, ditambah lagi rumah mereka terpaut dekat, hanya selisih dua rumah dari sini. Bahkan Bima juga tidak jarang menginap saat perayaan tahun baru.

Rumah Bunda yang minimalis bercat putih tulang disertai halaman rumput yang agak luas membuat siapa pun betah berlama-lama singgah. Terasnya tidak begitu besar, ada dua kursi antik bergaya kuno yang biasa dipakai untuk menikmati teh sambil bersantai sore. Saat memasuki ruang tamu, pandangan akan langsung menghadap ke dapur yang bersebelahan dengan lorong kecil menuju tempat makan. Lorong itu juga menghubungkan ruang keluarga dan satu ruangan kerja sederhana yang biasa digunakan untuk Bunda mengerjakan naskah-naskahnya. Di sebelah ruang keluarga juga terdapat tangga menuju lantai dua, di mana ada dua kamar tidur dengan masing-masing kamar mandi dan balkon yang lumayan besar menghadap ke Barat.

Bima menghampiri Lisa sambil membawa dua piring kecil dengan panekuk di atasnya. Lelaki itu duduk bersila dengan santainya. Saat ia memakan suapan pertama, terdengar langkah Bunda masuk ke dalam ikut bergabung bersama mereka.

Thanks,” kata Lisa kemudian, gadis itu lalu memotong panekuknya dan memasukkannya ke dalam mulut. Begitu Bunda duduk di antara mereka, Bima langsung berceloteh seperti biasa. Tentu saja lelaki itu mengadukan perihal kejadian hari ini di sekolah, termasuk Lisa yang pingsan dan membuat suasana upacara menjadi kacau. Lisa pun hanya mendengarkan tanpa memotong sedikit pun.

“Bunda harus tau, tadi Lisa pingsan dan mengacaukan upacara kami, bahkan kepala sekolah harus menenangkan semua barisan yang berhambur ingin melihatnya. Lisa pingsan lantaran dia sengaja melewatkan sarapannya untuk yang ke sekian kalinya. Oh, sungguh, anak ini merepotkan sekali, membuatku panik setengah mati,” jelas Bima, tatapannya kini beralih pada Lisa, “Lihat, ini akibatnya kalau kau sering mengabaikan teleponku di pagi hari.”

“Dan kau amat bangga karena menjadi alarm pribadiku?” Lisa mencibir.

“Seharusnya kau berterima kasih karena ada teman sebaik aku yang selalu mengkhawatirkanmu, manis.”

Bola mata lisa berputar, itu pertanda jika ia sedang lelah.

“Baiklah, terima kasih Nek.”  

“Oh, really? Tunggu dulu anak-anak, simpan semua peredebatan kalian untuk nanti,” ujar Bunda lalu menaruh mug-nya dan menatap anak gadisnya tajam, “Kau sungguh pingsan di sekolah? Melewatkan sarapanmu tanpa membawa snack sedikit pun?” tanyanya tidak percaya.

“Apakah Bunda membuat banyak panekuk hari ini? Aku mendadak berselera makan panekuk lebih banyak, kurasa jika iya sepertinya aku tidak membutuhkan makan malam kali ini,” tanya Lisa berusaha mengalihkan topik. Gadis itu sibuk melahap panekuknya.

“Lihat, lihat dia!” protes Bima, “Bahkan dia tidak ingin membahasnya sedikit pun. Ayolah, Bunda, omeli dia karena sudah membuat semua orang khawatir.”

“Bunda membuat banyak panekuk?” tanya Lisa lagi. Sebenarnya gadis itu sama sekali tidak menemukan masalah yang berarti pada tubuhnya, terlebih lagi setelah mengisi perutnya dengan roti coklat tadi pagi, lalu ditambah dengan makan siang soto ayam bersama Bima di kantin. Upaya Bima untuk menceritakan tragedi pingsan saat upacara merupakan hal yang kurang tepat, karena bagaimana pun juga Lisa tidak senang melihat ibunya mengkhawatirkan hal yang remeh temeh.

“Bunda, mulai besok aku janji akan lebih giat meneleponnya agar dia bangun lebih pagi dan tidak melewatkan sarapannya," tukas Bima mengambil ponsel di sakunya dan menekan layarnya beberapa kali. Lelaki itu kemudian menunjukkannya pada Bunda dan berkata, “Nah, sudah. Aku sudah memasang banyak pengingat agar aku tidak lupa untuk menelepon Lisa. Oh dan tentu saja Lisa harus membuat sarapan untuk Bunda juga. Bukan begitu, Bunda?”

Mendengar Bima yang bereaksi berlebihan membuat Bunda menahan diri untuk tidak tertawa.

“Oh, dear, maafkan Bunda karena tidak bangun lebih pagi dan membuatkanmu sarapan. Tapi perutmu baik-baik saja kan?”

“Tentu saja,” ucap Lisa mantap, kemudian berdiri dan berjalan ke dapur mengambil satu buah panekuk dan menyiramnya dengan sedikit madu di atasnya. “Jangan sekali-kali Bunda percaya pada lelaki itu. Dia sungguh pembohong kelas kakap. Khawatir bagaimana? Seingatku dia malah berlagak tidak mendengar saat aku mengeluh lapar di tengah upacara.”

“Besok jangan sampai melewatkan sarapan lagi. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang!” tegas Bima dengan nada menuntut. Melihat perlakuan Bima yang sedikit berlebihan, Lisa jadi bingung, sebenarnya yang pingsan itu dia atau Bima?

Tapi Lisa menanggapinya dengan mengangkat bahu tidak peduli. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Bima mengomelinya perihal kebiasaan pola makannya yang buruk, bahkan rasanya di segala hal Bima juga seringkali merecoki gadis itu. Lama kelamaan Lisa merasa bahwa sikap Bima lebih mirip seperti Neneknya sendiri. Tapi karena sudah cukup hapal dengan kebiasaan Bima yang seperti ini, Lisa lebih banyak diam dan menurut saja. Toh, sebenarnya maksud dan tujuan sahabatnya itu baik.

“Lagi pula siapa yang akan menyelinap pergi ke kantin di tengah-tengah upacara hanya untuk membelikanmu kudapan?” tanya Bima lagi.

Lisa menyipit. Sebenarnya ada.

“Kau bisa lihat sendiri saat ini keadaanku sungguh baik-baik saja. Sudah, jangan membahas itu lagi,” bisik Lisa, ia kemudian menyendok panekuknya lagi dan menunjukkannya, “Kau tidak ingin lagi?”

“Tidak. Aku sudah cukup kenyang. Oh, badanku lengket sekali. Sepertinya aku harus segera pulang dan mandi,” ujar Bima seraya menghabiskan suapan panekuk terakhir di piringnya sendiri lalu beranjak dari duduknya, membawa piring kotor dan berjalan menuju wastafel.

“Taruh saja di situ. Biar Bunda yang mencucinya,” ucap Bunda.

Thanks Bunda!” ujar Bima menengadah, tapi kemudian lelaki itu mengambil ranselnya dan berpamitan, “Bima harus pulang.”

“Baiklah, hati-hati di jalan. Sering-seringlah ke sini walau hanya untuk mengomeli anak gadis Bunda, ya,” pesan Bunda sambil mengacak rambut Bima dengan sayang. Mendengar itu Lisa hanya menggelengkan kepalanya heran.

“Siap Bunda!” tegas Bima, “Ah, panekuk Bunda enak sekali. Sepertinya besok aku harus mampir lagi.”

Lisa memperhatikan mereka berdua sambil menikmati panekuknya. Gadis itu tidak berkomentar apapun. Setelah Bima pergi, Bunda berjalan ke arah jendela dan melambaikan tangannya.

"Baru kali ini aku punya teman laki-laki yang banyak bicara seperti dia,” gumam Lisa.

“Tapi menurut Bunda, Bima anak yang baik.”

“Yayaya.”

Bunda tersenyum tipis.

“Bunda jadi ingat dengan permintaanmu semalam. Sepertinya Bunda akan menyetujuinya.”

“Permintaan yang mana lagi?” alis Lisa menyerngit.

“Tentang kau yang ingin berpacaran dengan seseorang.”

Bunda menaruh mug-nya di atas meja dan melenggang duduk di kursi pantry, lalu membuka mulutnya lagi, “Kau tau, teman seperti Bima memang merepotkan. Dia selalu merecokimu setiap hari namun sebenarnya itu adalah bentuk kepeduliannya terhadapmu yang berlebihan. Tapi ketahuilah bahwa dia adalah … teman yang baik. Bahkan bisa jadi dia akan menjagamu lebih dari dirimu sendiri.”

“Jadi maksud Bunda?”

“Ah, bukan maksud Bunda ingin menjodohkanmu dengannya,” kata Bunda menggeleng cepat. “Justru Bunda berharap kalian memang sepantasnya untuk berteman selamanya.”

“Lalu hubungannya dengan permintaanku semalam?”

“Maksud Bunda, melihatmu memiliki teman sepertinya malah membuat Bunda jauh lebih tenang. Jika suatu saat kau memiliki seorang kekasih di luar sana, Bunda yakin seribu persen  Bima akan melindungimu dan tidak akan membiarkan lelaki mana pun menyakitimu. Bukankah begitu?”

Lisa mendengarkan Bundanya lalu mengangguk setuju. Ia tidak menyangka Bunda akan berpikir sejauh ini. Tanpa sadar gadis itu terkekeh pelan. Walaupun menyebalkan, ternyata memiliki sahabat seperti Bima ada gunanya juga.

“Kata-kata Bunda ada benarnya.”

“Ah, atau kalau perlu jadikan saja dia kekasihmu?” Bunda melipat kedua lengannya di depan dada.

“Yang benar saja!” Lisa tertawa sumbang. 

“Mungkin jika itu terjadi, dia akan lebih banyak merecokimu ini itu setiap menit, kau akan pusing sampai kepalamu akan pecah!” ejek Bunda. Tawa Lisa semakin keras.

“Tidak, ah. Tapi Bunda tidak begitu merekomendasikannya untuk dijadikan sebagai pacarmu,” lanjutnya, “Karena orang seperti Bima harus benar-benar murni dijadikan sebagai teman.”

Lisa tersenyum tipis, membereskan piringnya ke wastafel dan menyalakan kran air.

“Kau ingin tau alasan Bunda mengatakan ini?” tanya Bunda penasaran.

“Memangnya kenapa?” Lisa bertanya balik tanpa menoleh. Gadis itu sibuk mencuci piring-piring yang ada di hadapannya.

“Hubungan sepasang kekasih akan ada kemungkinan untuk berpisah. Entah perasaan yang berubah atau alasan lainnya. Istilahnya ... akan menjadi mantan sewaktu-waktu,” jawab Bunda. “Cinta akan membawamu pada dua kemungkinan. Entah bahagia, atau rasa sakit karenanya.”

Lisa mendengarkan Bunda dengan seksama.

“Lalu?” ia memaksa seulas senyum. “Kalau menjadi teman?”

“Kalau perempuan dan laki-laki memutuskan untuk menjadi teman tanpa ada yang jatuh cinta, kalian mungkin akan selamanya bersama. Apa kau pernah mendengar ada istilah mantan sahabat? Kecuali jika salah satu dari kalian tiba-tiba jatuh cinta, selanjutnya keadaan akan berbeda,” Bunda menjelaskan dengan tenang, “Karena tentu saja hubungan persahabatan itu selamanya tidak akan sama lagi.”

***

Lisa menutup buku geografinya dan menumpuknya di antara buku-buku pelajaran yang lain. Usai mengobrol ini-itu dengan bunda, gadis itu melirik jam dinding kamarnya. Pukul setengah sembilan malam, rasanya masih terlalu sore untuk beranjak tidur. Ia memutuskan untuk menyiapkan seragamnya untuk besok dan menyiapkan buku pelajaran sesuai dengan jadwal yang ia sematkan di meja belajarnya.

“Geografi, olahraga, kesenian,” Lisa menyipitkan matanya, “Matematika,” ia berbicara dengan dirinya sendiri sambil mencari bukunya lalu memasukkannya ke dalam tas.

“Tunggu dulu ... besok ada kelas olahraga?”

Deg! Lisa terhenyak. Besok ada jadwal mata pelajaran olahraga. Ia terduduk di kursi belajarnya dan menimang-nimang. Perasaan khawatir langsung hinggap di kepalanya, tentu saja ia sedang menduga-duga hal yang sebenarnya tidak ia inginkan. Ia kemudian segera menyambar ponselnya, mencari nama Bima di kontak ponselnya lalu menekan tombol call.

Begitu nada dering tersambung, Lisa mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja. Tak lama kemudian, nada dering itu berubah dengan suara seseorang yang sangat dikenalinya. Bima. Tentu saja.

Allo?

“Hei, Bim, kuharap kau sedang tidak sibuk.”

“Ada apa?” Bima tertawa kecil.

“Aku ingin menanyakan sesuatu tentang mata pelajaran besok,” Lisa langsung mengutarakan maksudnya, “Apa kau tau semua nama guru pelajaran di kelas kita?”

“Tentu saja. Kenapa?”

“Siapa nama ... guru olahraga di kelas kita?”

“Guru olahraga? Tunggu,” ucap Bima pendek. Hening beberapa saat, tapi kemudian suaranya terdengar lagi, “Sebentar, kau meneleponku hanya untuk menanyakan siapa nama guru olahraga kelas kita besok?”

“Siapa?” tanya Lisa tidak sabar.

“Pak Helmi,” jawab Bima datar, “Memangnya kau tidak punya akun sistem akademik siswa, sampai-sampai harus menanyakan hal sepele seperti ini lewat telepon? Di situ bahkan kau bisa mengecek siapa nama staf tata usaha sekalipun yang bertugas di hari selasa.”

“Maaf aku melupakannya. Sungguh."

Tanpa sadar Lisa menepuk dahinya sendiri, Tapi sejujurnya ada sepercik rasa lega di dalam hatinya. Setidaknya ia tidak perlu repot-repot menghindari mata pelajaran olahraga karena sudah terlalu malas bertemu dengan Pramana. Gadis itu melanjutkan kata-katanya, “Oh, Pak Helmi? Syukurlah kalau begitu.”

“Memangnya kenapa? Kedengarannya kau nampak lega sekali.”

Lisa refleks menggelengkan kepalanya. “Tidak, hanya saja ingin memastikan sesuatu.” lalu sedetik kemudian Lisa menyesal. Mengucapkan hal yang membuat Bima penasaran tentu aja bukan ide yang bagus. Lisa menebak, rasa-rasanya setelah ini ia akan mendengar rentetan pertanyaan yang bertubi-tubi dari sahabatnya itu.

“Memastikan apa?”

“Emm, memastikan,” ucapan Lisa terhenti, ia berpikir cepat kemudian ia berkata, “Mungkin karena aku tidak begitu menyukai mata pelajaran ini, jadi kurasa aku akan lebih banyak membolos."

"Hah?"

“Bim, sepertinya sudah malam. Aku harus segera tidur karena besok harus bangun pagi dan menyiapkan sarapan sesuai kata-katamu tadi sore.”

Bima terdiam sesaat. Lelaki itu mendesah pelan, tentu saja Lisa mendengarnya.

“Jadi, kau masih belum bisa menyembuhkan traumamu sendiri? Ayolah, Lisa. Kau harus segera melawan ini semua.”

Lisa melirik jam dinding lalu memutar bola matanya. Ia tidak menyangka reaksi Bima malah melenceng jauh ke arah sana.

“Tidak, bukan, hanya saja ak—”

“Kau boleh trauma dengan kolam renang, air laut, berenang atau semacamnya. Tapi ketahuilah guru olahraga hampir tidak mungkin mengajarkan bab materi renang di awal semester.”

Gadis itu sudah mengira Bima akan salah memahami ini. Tapi itu lebih baik daripada harus menjelaskan pada lelaki itu perihal sesuatu yang terjadi antara guru olahraga bernama Pramana dan dirinya. Ya, Lisa memang memiliki trauma terhadap kolam renang, laut, serta segala tempat yang terdapat air menggenang di atasnya. Itulah alasan hingga saat ini gadis itu paling anti dengan berenang. Hal ini terjadi semenjak pasca kejadian kehilangan ayahnya, entah kenapa setiap melihat laut atau pun kolam renang, gadis itu malah mengingat hal yang buruk dan membayangkan bagaimana ayahnya tenggelam dan terseret arus saat tsunami. Bahkan saat SMP Lisa seringkali membolos kelas materi berenang di pelajaran olahraga, lantaran masih trauma.

“Tapi kurasa ada yang aneh,” gumam Bima kemudian, “Aku baru tau kita memiliki guru bernama Helmi. Bahkan tadi saat upacara, kepala sekolah juga tidak menyebutkan nama itu sama sekali.”

”Benarkah?”

“Kurasa begitu. Tapi entahlah, mungkin ingatanku yang salah.”

“Aku tau,” tukas Lisa akhirnya. Gadis itu membuka mulutnya lagi, “Baiklah, kalau begitu kututup ya? Ya ... oke, sampai jumpa besok.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status