Share

5. Memang siapa yang selingkuh?

Ellard hanya mengetukkan jemari keatas meja. Ia kesal karena tidak ada satu pesan masuk selain dari Bahri yang mengatakan Bella menolak ikut mobilnya.

Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi wanita itu tapi beberapa menit lalu tidak lagi bisa tersambung karena Bella mematikan ponselnya.

"Oh ayolah Bella."

Ellard tentu tidak bisa berdiam diri, lantas memutuskan menjemput sendiri Bella ke kantor. Persetan dengan paparazzi, Ellard hanya tidak ingin Bella tiba-tiba menolak tinggal bersamanya.

"Mau kemana?"

Namun keberuntungan bukan miliknya kali ini. Kemunculan Deril yang tiba-tiba, memaksa langkah Ellard terhenti.

"20 menit lagi, ada meeting dengan pihak produser." Deril mengingatkan dengan amat sangat menyebalkan, "kurasa kau tidak lupa."

Ellard sudah muak sekali rasanya, tapi ia juga tidak bisa menolak. Lantas Ellard daratkan kembali bokongnya kesofa. "Tidak bisakah meetingnya didatangi oleh kau saja? Aku sibuk hari ini."

Deril memutar bola matanya jengah, "apa kau lupa? Meeting sebelum-sebelumnya siapa yang menghadiri kalau bukan aku?" Ingin sekali rasanya Deril benturkan kepala Ellard ketembok biar lelaki itu sadar." Tapi kali ini mereka benar-benar ingin kau yang disana. Mereka ingin berdiskusi langsung denganmu. Jadi tolonglah...."

Pada akhirnya Deril lagi yang memelas. Layaknya hanya figuran dalam hidup Ellard, Deril kerap sekali diabaikan lelaki itu. Padahal Deril begini juga demi kebaikan siapa?

"Okay. Aku akan menghadiri meetingnya."

"Nah ini baru Ellard William yang aku suka." Deril bersorak seraya tertawa bangga.

"Ya... Ya... Ya... Terserah apa kata kau saja."

Lagipula apa yang bisa Ellard lakukan selain pasrah meski kini kepalanya nyaris pecah karena tidak mendapat kabar dari Bella.

***

Yang Ellard tidak sangka adalah Alura ternyata turut hadir dalam meeting tersebut.

Mengenakan dress pink sederhana namun tetap tampak elegan di tubuhnya yang ramping.

"Kenapa tidak pulang tadi malam?"

Kena serangan mendadak seperti itu lantas membuat Ellard agak terkejiut. Mereka sudah menyelesaikan acara meetingnya. Beberapa orang sudah keluar ruangan, makanya Alura bisa mendekat pada Ellard dan menanyakan hal yang membuat ia penasaran.

"Padahal aku tahu, jadwalmu sedang senggang akhir-akhir ini."

Tentu saja, Alura memaksa Deril untuk memperlihatkan rekap jadwal Ellard bulan ini.

"Kau tidak harus menanyakannya ditempat umum seperti ini." Ellard menjawab ogah-ogahan. Lalu menampilkan senyum tiba-tiba saat seseorang menyambut tangannya untuk bersalaman.

"Senang kau bisa datang kali ini, Ellard."

Fahmi Mochtar salah satu petinggi penting yang turut dalam mensponsori program mereka.

"Iya. Maafkan aku yang terlalu sibuk belakangan ini." Ellard mulai bermain peran, menunjukkan sisi aktornya untuk memanipulasi orang ini, "Tahu sendiri drama series ku baru rampung di Minggu lalu."

Fahmi mengangguk maklum, "aku sampai lupa memberikan selamat atas tropi yang kau terima sebagai aktor terfavorit kemarin... Selamat ya."

"Terimakasih." Balas Ellard sopan, sementara dari ujung matanya Ellard dapat melihat Alura mendelik tidak suka. "Sejujurnya aku sangat tidak menyangka bisa mendapatkannya ditengah persaingan yang ketat."

Tertawa formal, Fahmi kembali berseru. "Tentu saja. Memang siapa yang bisa mengalahkan seorang Ellard William."

Ellard juga tahu. Tapi akalnya masih cukup berfungsi untuk mengakui itu terang-terangan. "Jangan membuatku merasa seolah yang paling hebat Tuan Mochtar. Artis-artis muda asuhan anda juga memiliki kualitas yang tentu tak kalah dariku."

Saling meninggikan satu sama lain, khas orang-orang yang bernaung di industri hiburan sekali.

"Tawaranku belum berubah, Ellard. Jika kau bosan bersama Golden entertainment, kau bisa menghubungi nomor telepon pada kartu nama yang ku berikan waktu itu. " Agensi besar milik kerabat Fahmi siapa yang tidak tahu. Namun Ellard cukup mengerti mana yang benar-benar terbaik dari sekedar terkenal.

"Aku pastikan kau akan mendapatkan lebih dari kau dapatkan Sekarang."

Ellard hanya tertawa ringan, membungkuk sopan ketika Fahmi menepuk pundaknya berpamitan.

Pujian yang berakhir perekrutan terselubung itupun ada ujungnya. Fahmi sudah berjalan keluar.

Tinggal lah ia bersama Alura didalam ruangan. Tatapan tidak suka masih ia dapatkan dari isterinya yang kini bersedekap dada.

"Lalu... Apa malam ini kau tidak pulang lagi?" Alura tentu belum puas bertanya pada lelaki yang ia nikahi sembilan hari lalu ini.

Tapi Ellard tampak nya tidak menjadikan beban atas kemarahan Alura.

"Ada banyak hal yang harus aku kerjakan Alura."

"Ck! Pembohong!"

Ellard nyaris saja tergelak, wanita itu ternyata bisa mengatainya juga. Ia hanya mengedikan bahu seraya mengambil beberapa lembar kertas dimeja belakang Alura.

"Aku segera pulang kalau urusannya sudah selesai."

Wanita itu menghela napas. Terang-terangan mengerucutkan bibirnya, yang Ellard tangkap sebagai upaya protes yang tidak dapat ia lontarkan dengan kata-kata.

"kau bahkan tidak meneleponku." Alura merajuk seperti itu membuat nya terlihat seperti anak kecil sedang meminta uang jajan pada ayahnya ketimbang seorang isteri yang sedang mengandung anak pertama.

"Maafkan aku. Lain kali aku akan menghubungi mu, biar kau tidak khawatir lagi." Katanya menenangkan lalu mengecup sekilas pipi sang isteri.

Bahkan Ellard juga bingung terbuat dari apa dia ini sebenarnya? Kenapa pandai sekali mengembalikan keadaan seolah tidak pernah ada yang terjadi. Alura yang tadinya berapi-api bisa ia atasi kurang dari 5 menit.

Entah Alura yang terlalu gampang terbujuk atau bagaimana. tapi senyum malu-malu dan pipi yang merona benar-benar membuat Ellard merasa sudah berhasil menipu isterinya.

"Aku merindukanmu tahu." Rengek nya manja. "Anak kita merindukan ayahnya katanya." Bisik Alura kemudian tertawa geli. Menyebut 'anak kita' sepertinya masih asing bagi Alura. Sesuatu terasa menggelitik perutnya saat kata itu keluar.

Ellard tersenyum, sebelah tangannya menangkup wajah Alura, "Aku juga sangat merindukan kalian."

Nyatanya tidak seperti itu. Bahkan sekarang saat Alura bergelendot mesra dilehernya, Ellard tetap memikirkan Bella. "Tapi pekerjaan ku benar-benar sedang tidak bisa ditinggalkan. Kau mengerti kan sayang?"

Helaan napas lesu Ellard terima sebagai jawaban. Ia sendiri tahu Alura kesal padanya. Tapi mau bagaimana lagi, ada hal lebih penting yang harus Ellard urus sekarang.

Bella Nayaka, Ellard harus menemukannya dan membawa wanita itu ke apartemen segera.

"Sekarang kau pulang. Aku akan menyuruh Bahri untuk mengantar mu."

Mendengus kecil, Alura tidak terima pulang sendirian. "Kalau begitu biar Bahri saja yang menjadi suamiku."

Alura merutuk, lalu pergi setelah menghentak keras sebelah kakinya sebagai bentuk kekesalannya pada sang suami.

***

Memutuskan pulang naik angkutan umum bukanlah pilihan yang tepat.

Hampir satu jam lamanya Bella menunggu, satupun belum ada bus yang lewat. Terduduk di bangku panjang halte, Bella mengaktifkan kembali ponselnya yang sempat ia matikan.

Hal pertama yang ia dapatkan ketika ponselnya menyala adalah nama Ellard yang menyerbu log panggilan. Dan beberapa pesan yang tidak ingin Bella baca.

"Masih berapa bus lagi?"

"Pak Sean?"

Sontak Bella berdiri, ketika sosok dingin bossnya bersitatap dengannya.

"Bapak mau naik bus juga?"

Bodoh! Bella merutuki pertanyaan tidak berbobot yang keluar dari mulutnya barusan.

"Hmm... Mobil saya mogok, maka itu hari ini saya naik angkutan umum."

Bella mengangguk mengerti, "bus nya masih lama sepertinya, pak. Mungkin karena hujan, apa tidak seharusnya bapak naik taksi saja?" Bella menyarankan karena mungkin Sean tidak akan nyaman nanti berdesakan. Belum lagi aroma-aroma tidak sedap pasti tidak akan mengenakan untuk Sean.

"Kalau tahu busnya tidak akan datang kenapa kau tetap menunggu?"

Bella diam. Menghindari Ellard adalah jawabannya.

"Cepat pesan taksinya!" Perintah Sean seraya mengibas kemejanya yang terkena air hujan. "Kau ini ada-ada saja."

"I-iya pak."

Dominasi seorang Sean Xabilo membuat Bella melakukan perintah tanpa protes.

"Iya satu pak. Iya ditunggu ya pak." Ia tutup panggilan itu setelahnya, "Tunggu lima menit lagi, kata bapak taksinya." Bella memberitahu seraya memasukan kembali ponselnya setelah melakukan panggilan pemesanan taksi barusan. Sean juga sudah duduk disebelahnya.

Sama-sama diam, karena Bella sendiri bingung harus memulai pembicaraan seperti apa. Mereka tidak terlalu dekat, walaupun saling mengenal dalam waktu yang lama.

"Bella Nayaka."

Namun Sean yang tiba-tiba menyebut nama lengkapnya sontak membuat Bella mengalikan pandangannya. Sean menatapnya datar, "saya baru tahu nama lengkapmu, Bella Nayaka." Lanjutnya meluruskan.

"Ah... Iya." Bella mengangguk kecil, karena benar-benar tidak punya kata untuk menanggapi itu.

"Sejak satu bulan lalu nama mu sering sekali hadir di televisi rumah saya."

Seluruh televisi Indonesia tepatnya, Bella mengkoreksi dalam hati. "Dan... Dari situ saya juga tahu ternyata kau mantan kekasih seorang aktor."

Sean bukanlah tipe orang yang suka memperhatikan hal tidak penting seperti acara gosip ditelevisi. Baginya mempelajari trik kenaikan harga saham lebih menarik ketimbang isue tentang artis. Jadi mengetahui Sean mengenal dirinya dari tayangan televisi, Bella jadi sadar dia memang seterkenal itu.

"yahh... Seperti itulah."

Tiba-tiba sudut matanya membentuk kubangan kecil yang langsung Bella samarkan dengan melebarkan bola matanya bersama hembusan kecil napasnya.

Sean tahu ia sudah salah dalam memilih topik pembicaraan, maka itu ia diam demi menyamankan bella kembali.

Detik-detik berjalan lambat. keterdiaman diantara mereka begitu jelas terasa. Hembusan angin menerpa kulit pun tidak enak dirasa.

Sampai kemudian sebuah mobil berwarna biru langit berhenti didepan mereka. Dari situlah Sean sadar didetik berikutnya adalah perpisahan mereka untuk hari ini.

Sean sudah berdiri dengan tas kerjanya,

"Ayo!"

Biar saja ia terlihat sedang mengusahakan tetap bersama Bella.

"Aku bisa memberimu tumpangan, itupun kalau Kau mau."

Bella mengerjap, "aku?"

Seketika Sean gelagapan. Dia memang menyebut dirinya dengan sebutan 'aku', tapi percayalah itu tidak sengaja. "Hmm. Ayo!"

Namun tiba-tiba tatapan Bella jadi tidak tenang. Bola matanya berlarian yang Sean tahu sedang mencari alasan menolak ajakannya.

"Emmm... Saya pesan taksi lain saja pak." Bella berkila, "lagipula kita tidak searah kan?"

Memang benar. Tapi jika Bella mau Sean bisa mengantar Bella dulu baru menuju kearah rumahnya.

"Kalau begitu saya duluan." Pamit Sean dan Bella hanya mengangguk.

Sejatinya, sosok Ellard sudah Bella tangkap dijalan seberang, menatap tajam kearahnya seolah mengatakan 'awas saja kalau kau ikut bersama lelaki itu'.

Langsung menghampirinya begitu mobil yang membawa Sean pergi, Ellard menurunkan kacamata hitamnya.

"Masuk!"

Memang Bella bisa lari kemana lagi kalau sudah begini?

Rahang Ellard mengeras ketara sekali, Bella berdecak seraya memasang seatbelt ditubuhnya. "sekarang Ellard William makin berani menampakkan diri. Tidak takut wajah ini kena scandal lagi?"

Bella mencibir sang kekasih yang hari ini sama sekali tidak memakai penyamaran, seperti tidak ada takut-takutnya.

"Aku lebih takut kekasihku diambil lelaki tadi daripada kehilangan karirku."

Mana mungkin! Ellard tidak akan meninggalkannya dan berakhir menikahi Alura jika yang ia katakan adalah benar. 

"Pokoknya aku tidak mau kau berbicara lagi dengan lelaki itu. Aku cemburu."

Terserah apa kata Ellard saja, Bella sedang tidak ingin berbicara dengan lelaki itu.

Kaca mobil ia turunkan, menikmati sisa air hujan adalah favorit Bella. Aroma khas menenangkan untuk dihirup.

"Kenapa tidak menerima panggilan ku?"

"Aku sibuk."

"Ck! Sibuk selingkuh." Tuduhnya sontak membuat Bella melemparkan tatapan sengit. "siapa membicarakan siapa sekarang?"

Belum redah rasanya kekesalan Bella soal reality show yang ia dengar tadi pagi. Tapi lelaki ini malah melemparkan tuduhan tidak masuk akal yang memancing dirinya berkata kasar, walaupun tertahan.

"Kalau lelaki lain masih terlihat menarik untuk ku, untuk apa aku disini bersamamu?" Bella marah, "Aku mencintaimu, apa itu belum cukup untuk kau dengar?"

Bella kira dengan ia berbicara demikian Ellard akan balas mengatakan hal yang membuat ia kian terpancing, ternyata Ellard malah tersenyum seraya mengusapkan ibu jari ke bibirnya sendiri. "Aku juga mencintaimu, Bella."

Saat itu juga Bella mendelik, berbicara dengan Ellard membuat ia lelah.

"Sudahlah Ellard. Aku lelah, lebih baik kau antar aku pulang kerumah."

"Kita hanya akan ke apartemen."

Selalu seperti itu. Khas Ellard sekali, pemaksa!

"Terserah kau saja."

Bella juga tahu menolak hanya akan menjadi usaha yang sia-sia. Jadi ia diam saja, memasrahkan diri akan kemana Ellard membawanya.

Dan ya.

Ellard memang tidak pernah bermain-main dengan ucapannya. Arah rumahnya, seharusnya belok kanan bukan lurus. Tujuan Ellard benar-benar apartemen seperti katanya barusan.

Menghela napas penat, Bella hanya diam saja bahkan saat mobil berada diujung tujuan. Mereka tiba pada basement. Turun sebelum Ellard membukakan pintu untukny. Ia bahkan berjalan mendahului Ellard.

"Bell?"

"Bella... Tunggu!"

Bella hanya ingin cepat tiba dan tidur.  Kemudian ketika pintu terbuka, keremangan ruangan ia terima.

"Aku mau langsung tidur."

Bahkan nada bicaranya saja tidak ia gunakan dengan benar. Ellard juga entah kenapa hari ini tidak banyak bicara dan membiarkan ia dengan mudah ke kamar.

Kamar utama yang seluas itu, malam ini biarkan Bella huni sendiri. Ia kunci pintu setelah debuman kuat memukul telinga.

Bella bahkan tidak ingin repot-repot membersihkan diri seperti yang ia lakukan biasanya. Langsung merebahkan diri diatas kasur setelah mematikan lampu.

Ia butuh menenangkan diri, untuk bisa bertahan dari hari ke hari. Meski nyatanya mata Bella tetap tidak bisa terpejam, keputusan menerima Ellard rasanya masih sangat mengganjal.

Padahal Bella sendiri tahu Ellard memiliki seorang isteri dan Bella sendiri pula yang mengatakan kalau ia tidak masalah akan hal itu. namun entah kenapa melihat Ellard mesra bersama Alura didepan publik seperti tadi pagi membuat ia sakit sendiri.

Reality show? Yang benar saja.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status