Namun lagi-lagi Dewa Kambala tertipu, karena tiba-tiba tubuh Dewa Seta Me’e hanya tinggal berupa bayangan menghitam yang mengepungnya. Itulah jurus pamungkas yang bernama Jurus Seta Me’e (Jurus Iblis Hitam) yang dimiliki oleh Dewa Seta Me’e. Dewa Kambala benar-benar dibuat tak berdaya. Jangankan untuk lanjut menyerang, untuk mempertahankan diri saja dia sudah kehilangan siasat dan akal. Sampai pada akhirnya...
Crasss...!!!
Crasss...!!!
Crasss...!!!
Terdengar suara kulit yang koyak akibat terkena tebasan demi tebasan golok yang entah berapa kali jumlahnya yang berbarengan dengan jeritan-jeritan yang menyayat hati yang keluar dari mulutnya Dewa Kambala, lalu kemudian sepi. Tubuh laki-laki yang tin
Selanjutnya, pertarungan yang keempat adalah antara Dewa Rontinawa dan Dewa Poro. Ada pun kedua tokok ini sama-sama merupakan tokoh besar di Pulau Sangiang dan menjadi orang-orang kepercayaan mendiang Panglima maupun Paduka Sandaka sendiri. Tingkat kedigdayaan keduanya pun berada pada taraf yang sama, dan merupakan raja dalam memainkan senjata andalannya masing-masing.Dewa Rontinawa(Tuan Perenggut Nyawa) yang dahulu di jagat persilatan dikenal dengan julukanJawara Kondo Peke Tuta(Pendekar Kalung Tengkorak), dan juga masyhur dengan julukanRaja Tiki (Dewa Tongkat), karena permainan tongkatnya sangat ampuh untuk melumpuhkan lawan-lawannya. SementaraDewa Poro(Tuan Cebol) atau dahulu di jagat persilatan berjulukJawara Poro Ta Ele(Pendekar Cebol dari Timur). Jawara yang bertubuh pendek ini s
“Nanda Jawara,” bisik Bumi Osu di dekat telingan La Mudu, “ calon yang bernama Dewa Na’e itu adalah petinggi yang paling tinggi ilmunya di antara kedelapan calon tua lainnya. Dulu ia dikenal sebagai Jawara Na’e(Pendekar Agung), namun juga masyhur dengan julukanRaja Sondi(Raja Pedang) danRaja Nda’u(Raja Jarum). Nanda Jawara tentu paham mengapa ia diberi julukan itu. Namun senjata rahasia yang paling mematikan adalah jarum-jarum beracunnya yang sebesar lidi yang sewaktu-waktu dapat ia lepaskan untuk membunuh lawan-lawannya. Jika di tengah pertarungan tiba-tiba ia memasukkan tangan kanannya di balik baju lapangnya itu, maka waspadalah.” “Sekali lagi, terima kasih banyak, Bumi Osu atas peringatannya,” sahut La Mudu tanpa menoleh. Matanya memandang lurus ke tengah gelanggang pertarung
Persembahan hiburan itu hanya berlangsung sepeminuman kopi. Setelah itu pajuri pengatur pertandingan kembali memasuki arena pertarungan. Usai menghaturkan tabik kepada Paduka Sandaka Dana, ia lalu mengumumkan empat calon yang akan melanjutkan perang tanding di babak kedua. “Baiklah, untuk babak kedua ini, kita akan menyaksikan dua pasang calon yang akan bertemu di babak ketiga atau babak penghujung untuk hari ini. Setelah kami merundingkan, maka kami telah menetapkan, bahwa, Dewa Seta Me’e akan berhadapan dengan jawara muda kita yaitu pendekar Tapak Dewaaa...!!” Baik Dewa Seta Me’e maupun Pendekar Tapak Dewa sama-sama bangkit berdiri dari kursinya lalu saling menghaturkan tabik hormat dengan setengah membungkukkan badannya.
Sebuah retakan bumi yang menganga memanjang tampak di depan mata mereka. Tubuh Dewa Seta Me’e lenyap di tempatnya. Namun, tiba-tiba terdengar suara teriakan dalam rengkahan bumi yang membahana. Itu suara Dewa Seta Me’e yang sedang meminta tolong. Tak ada yang berani menengok di pinggir rengkahan apalagi untuk menolongnya. Pendekar Tapak Dewa tak peduli dengan suara minta tolong yang menyayat hati itu. Karena saat itu pula gendang telinganya seolah-olah mendengar ribuan orang yang berteriak meminta tolong, lalu suara mereka terhenti. Mereka dibantai secara tanpa ampun!&n
Namun betapa heran keduanya, karena mereka tak merasakan mata pedangnya telah menebas sasarannya. Terasa seperti hanya menebas asap. Dan lebih terhenyak lagi keduanya saat menyaksikan, bahwa pemuda itu telah lenyap di tempatnya. Mata keduanya terbuka lebar ketika di hadapannya mereka menyaksikan sebuah bekas lobang yang sudah tertutup. Haahh...!” “Hei, saya di sini...!” Mendengar sebuah suara tiba-tiba ada di belakang mereka, keduanya pun serta-merta membalikkan tubuhnya. Namun belum lagi keduanya menghadap ke belakang dengan sempurna, dada mereka sudah langsung disambut dengan hantaman dua tapak tangan Pendekar Tapak Dewa dengan cukup keras. Bugghhkk...!!!&nbs
Sejak Pendekar Tapak Dewa keluar sebagai calon tunggal sebagai panglima angkatan perang di tahap pertama, rumah kediamannya langsung dijaga ketat oleh ratusan prajurit khusus pengawal kediaman panglima. Jalan yang melintas di depan perkampungan utara itu pun langsung dipagar betis oleh para pajuri yang bersenjatakan tombak itu, tak siapa pun yang boleh lewat sembarangan di jalan itu. Termasuk yang bukan pengawal kediaman panglima. Dalam waktu sekejap La Mudu alias Pendekar Tapak Dewa telah dianggap sebagai calon petinggi di negeri kecil ini. Apa pun keperluan sang calon panglima sudah dijamin sepenuhnya oleh Paduka Sandaka Dana selaku kepala negeri. Tentu yang boleh bebas berada di dalam dan sekitar kediaman sang calon panglima adalah kelima sahabatnya, yaitu La Turangga, La
La Mudu menggeleng-geleng heran. Peristiwa tragis pemusnahan sebuah keluarga atau banyak keluarga tanpa berdosa, cukup dia dan ratusan keluarga Desa Tanaru saja yang mengalaminya, dan jangan lagi terhadap keluarga dari para mendiang calon panglima itu, atau terhadap keluarga mana pun. Kebiadaban serupa harus dilenyapkan di atas muka bumi! “Tidak, Bumi Osu. Kita memang dikenal sebagai bangsa biadab, tetapi tidak boleh berlaku biadab terhadap penduduk Sangiang sendiri, apalagi mereka tak memiliki dosa apa-apa. Terkecuali sesuatu hal yang mengharuskan sebagai sebuah aturan atau dosa yang tak termaafkan. Lagi pula, apa salah dan dosa mereka terhadap saya sehingga saya harus menjatuhkan hukuman terhadap mereka? Tidak! Justru saya meminta agar mereka semua dijamin hidup dan kenyamanan hidupnya. Saya memutuskan untuk melindungi mereka!” Mend
Udara pantai berhembus sepoi-sepoi, mampu menetralkan terik matahari yang terasa menyengat. Di hari menjelang siang itu, Meilin berada di pantai yang terletak di belakang kampungnya, tempat di mana ia dengan La Mudu pernah mengucapkan janji cinta mereka. Ia sedang menunggu La Sangga, La Parange, La Landa, La Sunta, dan La Geta yang sedang melaut untuk memanah ikan atau udang karang. Kelima penyamun insyaf itu melaut menggunakan perahu sewaan milik penduduk setempat. Meilin tidak berada sendiri di pantai, namun banyak penduduk lain yang sedang menunggu kepulangan suami, saudara, atau ayah mereka yang sedang melaut. Ia juga dikawal oleh La Parada, salah seorang anggota penyamun yang kini menjadi salah satu kakak angkatnya. Sambil menunggu itu, Meilin dan La Parada manfaatkan dengan mencari berbagai hewan laut kecil seperti kerang-