“Berhati-hatilah, Kak Mudu. Mereka para jawara sakti,”La Shinta Panala yang duduk di kursi di sebelah kiri La Mudu membuka suaranya, memberikan nasihatnya. Di wajahnya terpancar rasa khawatirnya. Tentu ia yang la
Tubuh Pendekar Tapak Dewa laksana sebuah meteor yang berwana keemasan. Kelima puluh pendekar uji yang menyaksikan jurus yang teramat dahsyat itu, hanya melongo sesaat, kemudian kocar-kacir untuk menyelamatkan diri. Tetapi malang bagi mereka. Sebelum mereka sempat menyelamatkan diri, bayangan cepat ribuan tapak raksasa telah lebih dahulu menghantam tubuh mereka secara bersamaan. Buummm...!!! Sebuah ledakan dahsyat menggelegar mengguncang bumi, membuat tubuh siapa pun mencelat dan jatuh ke belakang, termasuk juga Paduka Sandaka
“Hm...!” La Mudu tersenyum saat ia sudah membuktikan kelemahan lawannya, seperti bisikkan kiriman gurunya, Dato Hongli, barusan. Sebenarnya, ia bisa saja memusnahkan lawannya itu dengan pukulan Tapak Dewa tingkat ringan hingga tingkat menengah. Tetapi sejak tadi ia hendak mengetahui ketinggian ilmu sang lawannya yang sangat ditakuti oleh segenap jawara di Kepulauan tenggara itu. “Kenapa, Afi Sangia...?!” seru La Mudu, “Apakah sambaran ujung kain ikat pinggangku membuatmu menderita?” “C
La Mudu membawa saudara kembarnya, Putri Mantika, ke tempat duduknya. Ia mempersilakan Putri Mantika untuk duduk di kursi yang ditempatinya tadi, diapit oleh La Nilam Pambinta dan La Shinta Panala. Kepada saudara kembar dampitnya itu, ia memberitahukan, bahwa La Nilam Pambinta dan La Shinta Pambinta sejak semalam sudah menjadi adik angkatnya, adik angkat mereka berdua. Begitu juga ibu dari kedua gadis itu telah menjadi ibu angkat mereka. Putri Mantika langsung memeluk kedua gadis itu satu persatu dengan penuh haru. Kepada Dewa Ngoja La Mudu memerintahkan untuk mengambil alih penjagaan di Goa Harta. “Pilih beberapa puluh pajuri untuk melaku
Hari sudah menjelang siang dan warung makan Baojia sedang ramai-ramainya oleh penikmat masakannya yang terkenal lezat, ketika dua ekor kuda muncul di halaman depan warung yang cukup luas itu. Meilin yang saat itu sedang sibuk melayani pelanggan, menengok ke luar melalui jendela. “Eh, Kakak Rangga dan Kakak Pabise...!”teriaknya sangat gembira dan langsung menghambur keluar. Baojia dan istrinya Fang Yin pun ikut menengok keluar. Wajah suami-istri itu pun ikut berbinar senang. “Kak Mudu dan lainnya kenapa tak datang...?” tanya Meilin lagi.&nb
La Mudu duduk mengawasi di beranda depan istana yang luas. Ia didampingi oleh Putri Mantika di sebelah kanannya, di sebelah kiri La Turangga. La Lewamori, dan La Santara duduk di kursi di sebelah kirinya La mudu. Di wajah sang murid Dato Hongli senantiasa tersenyum, menyiratkan kebahagiaan yang dipancarkan oleh hatinya saat melihat wajah seluruh warga Sangiang itu tampak sumringah. Tak ada kesedihan di wajah mereka. Sementara La Turangga lebih tertarik untuk menoleh kepada gadis cantik di sampingnya, berkali-kali, walau dilakukannya seolah-olah sambil lalu. Rupanya Putri Mantika mengetahui kelakuannya itu, hanya menyembunyikan senyumny
Dewa Na’e, Bumi Osu, dan Bumi Ntau ra Wara datang menghadap. Bumi Ntau ra Wara bertanya kepada La Mudu, “Apa yang selanjutnya saya laksanakan, Ananda jawara?” “Untuk hari ini, Bumi Ntau ra Wara harus selesaikan pembagian kapal-kapal itu lepada seluruh calon pemiliknya. Ditunjuki saja kepada tiap calon pemilikinya.” “Itu sedang dilakukan, Ananda Jawara,” jawab Bumi Ntau ra Wara. “Bagus!” ucap La Mudu, lalu bertanya, “Apakah Bumi Ntau ra Wara dan Dewa Na’e sudah diberitahuka
Sejak matahari sudah berada di atas kepala, di sepanjang pantai timur di sekitar pelabuhan Wadu Mbolo telah dipenuhi oleh orang-orang yang akan menyambut kepulangan La Mudu serta para sahabatnya. Di antara mereka ada Dato Hongli yang ditemani oleh Baojia sekeluarga dan keenam anak angkatnya. Mereka berdiri di pinggir atas pesisir di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Karena Pulau Sangiang tak begitu jauh, keadaan di pantai Wadu Mbolo itu telah dilihat oleh La Mudu dan seisi kapal lainnya. “Apakah semua kapal sudah dimuati...?” bertanya La Mudu kepada kelima sahabatnya dengan setengah berteriak, agar bisa suaranya tidak lenyap oleh suara deburan ombak dan angin laut. “Kapal-kapal kami semuanya sudah dimuatin deng
Setelah itu La Mudu mempersilakan semua yang ada untuk duduk di atas hamparan permadani dalam ruangan kapal yang luas. Lalu kepada Ama Pancala ia bertanya, “Bagaimana Ama Pancala, apakah orang-orang di bawah adalah orang-orang akan membantu membongkar muatan kapal?” “Benar sekali, Tuan Muda. Mereka berasal dari desa-desa sekitar pesisir. Mereka semua sangat kaget dan sekaligus berbahagia jika Desa Tanaru akan dibangun kembali,” jawab Ama Pancala. “Lalu, berapa orang keluarga dari para mendiang penduduk Desa Tanaru yang bersedia tinggal lagi di desa tanaru?” “Ada sekitar dua ratus orang, Tuan Muda.” “Hm, baiklah. Jarak dari