Sore perlahan turun. Pantai Naru yang berhadapan langsung dengan kokohnya Gunung Sangiang keadaannya tetap ramai oleh orang-orang yang melaut dan menunggu para suami atau saudara mereka yang pulang dari melaut. Wajah-wajah mereka terlihat ceriah penuh keakraban dan kekeluargaan. Sebuah suasana yang demikian lama tak mereka rasakan. Mereka adalah warga Tanaru dan desa-desa di sekitarnya.
“Kapan Kak Turangga memulai usaha penangkapan ikannya?”bertanya Putri Mantika. Saat itu keduanya sedang duduk bersisian di sebuah punggung batu karang di pinggir pantai.
“Kakak sudah membicarakannya dengan kakakmu, La Mudu. Sekembali dari Daratan Sinae, usaha itu akan segera Kakak buka. Tapi sebelum itu, ada hal penting yang akan Kakak lakukan...,” sahut La Turangga.
&
Yang paling merasa ditinggalkan di antara seluruh pengantar adalah Meilin, tentunya. Ia belum begitu lama menikmati kebersamaan dengan sang suami, tapi sudah harus berpisah. Ia berdiri di antara Putri Mantika yang merupakan kekasih dan calon istrinya La Turangga, Dewi Kamuni (Dewi Kemuning Senja) yang merupakan kekasih dan calon istrinya La Santara, La Nilam Pambinta yang merupakan kekasih dan calon istrinya La Jangga Jo, La Shinta Panala yang merupakan kekasih dan calon istrinya La Pabise, serta Dewi Wunta Ntara kekasihnya La Lewamori. Gadis pemalu yang terakhir ini adalah putri dari mendiang Dewa Bangga, dan usianya masih lebih muda dari gadis-gadis yang berdiri dengannya saat itu. Sederet gadis cantik itu tak bergeming di tempatnya berdiri hingga dua kapal yang mereka antar itu lenyap oleh lengkungan laut dan sudut pulau. Mereka mengiringi kepergian para laki-laki yang mereka cinta itu dengan
Selama sang murid mengadakan pelayaran, otomatis yang menjadi orang yang paling didengarkan kata-kata dan perintahnya oleh segenap orang yang berada di Desa Tanaru adalah Dato Hongli. Sang mantan jenderal perang dari kekaisaran Dinasti Ming itu menggantikan posisi sang murid dalam kebijakan apa pun yang menyangkut kepemimpinan di desa yang baru kembali dibangun itu. Beliau harus hadir dan menjadi petunjuk dalam setiap geliat kehidupan warga desa mulai terlihat di segala sektor itu. Bagi yang bekerja di sawah dan ladang mereka mulai sibuk menggarap wasah dan ladang mereka, begitu pun yang beternak. Lalu yang menggeluti kehidupan lewat laut, nelayan pun menjalankan pekerjaan mereka dengan tanpa rasa takut lagi akan diserang oleh perompak mana pun lagi. Untuk usaha pelayaran dan penangkapan ikan, orang yang sudah memulai usahanya adalah Bumi Osu. Enam kapal penangkap ikan dan satu kapal be
La Saladi menepuk dahinya. Ia nyaris lupa dengan tujuannya. Ah, gara-gara tertawan oleh kecantikan para bidadari ia menjadi lalai. “Iya, Dato. Kami datang ke mari dalam rangka membawa pesan dari Paduka Sangaji meminta kesediaan Dato atau Jawara Mudu untuk memberikan pelajaran ilmu beladiri dan ilmu kesaktian lainnya terhadap putra dan putri raja, atau mungkin terhadap pajuri-pajuri kerajaan.” “Hm...,” Dato Hongli manggut-manggut. “Ya, saya belum bisa memutuskan saat ini. Biarlah semua keputusan saya serahkan kepada murid saya, La Mudu. Saya pribadi ya senang-senang saja. Tapi seperti Tuan-Tuan lihat, usia saya adalah usia istirahat sembari menikmati ujung usia saya. Tapi jangan khawatir, saya akan membicarakannya dengan murid saya jika sudah kembali dari pelayarannya. Kelak saya akan mengirimkan utusan ke istana untuk membawa pesan keputusannya.”
Setelah melewati Kota Quanzhou, La Mudu dan kelima sahabatnya melintasi sebuah padang Dongbu Xi Shu Caoyuan yang luas dan panjang. Jalur itu merupakan salah satu jalur alternatif yang menghubungkan Kota Quanzhou dengan kota-kota atau daerah-daerah lain di sebelah timur bahkan menuju ke Ibu Kota Pey King. Dalam jarak tertentu, selalu ada pemukiman yang cukup luas dengan kehidupan masyarakatnya yang tenang. Namun dari kondisi rumah-rumah mereka yang tampak kurang begitu terawat, bisa dipastikan kondisi negeri ini belum begitu pulih benar setelah terjadi keruntuhan Kekaisaran dari Dinasti Ming beberapa puluh tahun yang silam. Saat keenamnya mampir untuk mengisi perut mereka di sebuah warung makan yang cukup ramai di sebuah pemukiman yang bernama Shezhihu, mereka kurang mendapat sambutan yang ramah dari pada pelanggan yang sedang menikmati maka
Saat rombongan La Mudu telah berada di mana kuda-kuda mereka diikat, pemuda yang tadi dikejar oleh lima laki-laki datang tergopoh-gopoh dan berkata, “Pendekar Mata Lebar, ijinkan saya untuk mengikuti rombongan kalian. Jika saya pulang sendiri saya pasti akan dihadang dan dibunuh oleh kelompok tadi. Kumohon...!” “Kami akan menuju Ziangxi. Tempat tinggalmu di mana?” tanya La Mudu. “Ya, saya juga tinggal di daerah sekitar itu. Tolonglah saya, Pendekar Mata lebar...!” La Mudu melihat ke lima sahabatnya lau mengamati wajah pemuda yang lusuh itu. “Namamu siapa...?” “Nama saya Shun Shin, Pendekar Mata Lebar...”&nbs
Malam itu bulan sedang purnama sehingga perjalanan dapat dilanjutkan kembali dengan tanpa banyak menemui hambatan. Sebelum malam larut mereka telah sampai di kota Bai Lianhua. Sebuah kota kecil yang cukup ramai. Menurut Shun Shin dulu kota ini merupakan kota yang sangat indah dan dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai penjuru untuk berlibur menikmati udara lereng pegunungan sejuk dengan alir sungainya yang indah dan jernih. Oleh Shun Shin, La Mudu dan kelima sahabatnya di bawa ke sebuah tempat penginapan yang termasuk paling bagus di kota itu. Penginapan itu berlantai dua. Lantai atas terdiri dari kamar-kamar yang disewakan, sementara di lantai bawah merupakan semacam restoran dan bar istilah kita zaman kini. “Paman, masih adakah kamar yang masih kosong?”
Desa Xianghu adalah sebuah desa yang terletak di sebuah lembah yang dikelilingi oleh lereng gunung dengan sebuah sungai besar yang yang menjadikan desa itu menjadi sebuah desa yang subur. Andaikata tanah-tanah pertanian di desa itu belum dimiliki oleh orang-orang kota yang memiliki uang, tentu rakyat desanya sangat makmur dengan berbagai hasil pertanian mereka yang dapat dipanen kapan saja. Desa itu berjarak tidak begitu jauh dari Kota Ziangxi. Menurut Shun Shin, penduduk desa itu banyak yang berpindah mencari penghidupan di kota, karena di desa mereka itu tak mampu menopang kehidupan mereka yang hanya sebagai buruh tani. Alur-alur sungai pun yang seharusnya bisa memakmurkan mereka dengan hasil ikannya yang melimpah, sudah dipatok dan dikuasai oleh para pemilik modal dari kota dengan membangun jaring-jaring bambu yang besar untuk menja
Rumah yang ditinggali oleh keluarga Baoyu seperti kebanyakan rumah di pedesaan, tidak terlalu besar dan tak ada hal yang istimewa apa pun, kecuali didominasi oleh kondisi kumuh, walau mungkin dulunya rumah kayu ini termasuk mewah. Kayu-kayunya masih terlihat yang asli, tak ada yang baru, menandakan bahwa tak ada perbaikan sama sekali. Menurut Yuwan, rumah itu warisan dari kakek mereka dari ayahnya. “Mengapa kalian tidak mencari penghidupan yang baru di kota seperti beberapa warga desa lainnya?” bertanya La Mudu. “Keadaan di kota pun belum terlalu nyaman untuk tinggali dan usaha, Saudara Ipar. Terlebih untuk kita orang desa yang masuk ke kota. Para bekas pesetia Dinasti yang runtuh masih sangat banyak yang berusaha untuk mengembalikan kaisar mereka yang