Saat rombongan La Mudu telah berada di mana kuda-kuda mereka diikat, pemuda yang tadi dikejar oleh lima laki-laki datang tergopoh-gopoh dan berkata, “Pendekar Mata Lebar, ijinkan saya untuk mengikuti rombongan kalian. Jika saya pulang sendiri saya pasti akan dihadang dan dibunuh oleh kelompok tadi. Kumohon...!”
“Kami akan menuju Ziangxi. Tempat tinggalmu di mana?” tanya La Mudu.
“Ya, saya juga tinggal di daerah sekitar itu. Tolonglah saya, Pendekar Mata lebar...!”
La Mudu melihat ke lima sahabatnya lau mengamati wajah pemuda yang lusuh itu. “Namamu siapa...?”
“Nama saya Shun Shin, Pendekar Mata Lebar...”
&nbs
Malam itu bulan sedang purnama sehingga perjalanan dapat dilanjutkan kembali dengan tanpa banyak menemui hambatan. Sebelum malam larut mereka telah sampai di kota Bai Lianhua. Sebuah kota kecil yang cukup ramai. Menurut Shun Shin dulu kota ini merupakan kota yang sangat indah dan dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai penjuru untuk berlibur menikmati udara lereng pegunungan sejuk dengan alir sungainya yang indah dan jernih. Oleh Shun Shin, La Mudu dan kelima sahabatnya di bawa ke sebuah tempat penginapan yang termasuk paling bagus di kota itu. Penginapan itu berlantai dua. Lantai atas terdiri dari kamar-kamar yang disewakan, sementara di lantai bawah merupakan semacam restoran dan bar istilah kita zaman kini. “Paman, masih adakah kamar yang masih kosong?”
Desa Xianghu adalah sebuah desa yang terletak di sebuah lembah yang dikelilingi oleh lereng gunung dengan sebuah sungai besar yang yang menjadikan desa itu menjadi sebuah desa yang subur. Andaikata tanah-tanah pertanian di desa itu belum dimiliki oleh orang-orang kota yang memiliki uang, tentu rakyat desanya sangat makmur dengan berbagai hasil pertanian mereka yang dapat dipanen kapan saja. Desa itu berjarak tidak begitu jauh dari Kota Ziangxi. Menurut Shun Shin, penduduk desa itu banyak yang berpindah mencari penghidupan di kota, karena di desa mereka itu tak mampu menopang kehidupan mereka yang hanya sebagai buruh tani. Alur-alur sungai pun yang seharusnya bisa memakmurkan mereka dengan hasil ikannya yang melimpah, sudah dipatok dan dikuasai oleh para pemilik modal dari kota dengan membangun jaring-jaring bambu yang besar untuk menja
Rumah yang ditinggali oleh keluarga Baoyu seperti kebanyakan rumah di pedesaan, tidak terlalu besar dan tak ada hal yang istimewa apa pun, kecuali didominasi oleh kondisi kumuh, walau mungkin dulunya rumah kayu ini termasuk mewah. Kayu-kayunya masih terlihat yang asli, tak ada yang baru, menandakan bahwa tak ada perbaikan sama sekali. Menurut Yuwan, rumah itu warisan dari kakek mereka dari ayahnya. “Mengapa kalian tidak mencari penghidupan yang baru di kota seperti beberapa warga desa lainnya?” bertanya La Mudu. “Keadaan di kota pun belum terlalu nyaman untuk tinggali dan usaha, Saudara Ipar. Terlebih untuk kita orang desa yang masuk ke kota. Para bekas pesetia Dinasti yang runtuh masih sangat banyak yang berusaha untuk mengembalikan kaisar mereka yang
Yue Yin, Ming Wei, dan Shun Shin menatap wajah La Mudu bersamaan. Yue Yin menggeleng-geleng. “Tidak Mudu, tempat ini sudah tak cocok lagi dengan kami. Terlalu banyak kenangan di tempat ini bersama Jenderal Hongli. Lagi pula kami makin kesulitan hidup di kota yang keras ini, sementara Gong Fai dan Ming Wei terbiasa hidup sebagai petani saja di desa.” “Umpama saya kasih Lao Ma modal yang cukup untuk hidup di sini dan memulai usaha, apakah Lao Ma tetap menolak untuk tinggal di sini?” “Kami tidak akan hidup di sini, Pendekar Mata Lebar! Sebagai apa kami ini tinggal di rumah sebesar ini?!”spontan Shun Shin alias Gong Fai berkata dengan nada yang tinggi. “Kalau Pendekar Mata Lebar mau membawa orang-orang itu untuk ikut ke negerimu, mengapa k
“Keadaan cuaca dan angin sedang bagus-bagusnya saat ini,” ucap Ama Taka sembari mengarahkan pandangannya ke arah depan, tanpa menoleh kepada La Mudu dan La Turangga. “Mudah-mudahan kita bisa sampai lebih cepat dari waktu kita tempo hari.” “Saya pun sangat berharap demikian, Ama Taka,” sahut La Mudu. “Baiklah, kami akan kembali dulu ke ruangan utama. Nanti akan saya suruh La Pabise dan La rangga Jo untuk menemani Ama Taka di sini.” “Baiklah, Ananda Jawara.” Sebelum melangkah menuju ruangan utama, La Mudu dan La Turangga menyempatkan diri untuk turun ke lantai bawah. Di sana keempat sahabatnya, Gong Fai, serta para pemuda dari Desa Xianghu sedang bergembira dengan hasil pancingan mereka yang besar-besar. Ole
“Baiklah!” ucap La Mudu, “Yang penting sekarang semuanya tak ada masalah lagi. Kalian berempat tidur saja di ruangan bawah bersama yang lain. Karena besok semua laki-laki yang ada dalam semua kapal akan bekerja secara bergantian selama kita berlayar, mengingat anak buah kapal sudah dibagi-bagi dengan kelima kapal yang baru.” “Baiklah, Pendekar Muda. Permisi kami....” Belum sempat Qiang menyelesaikan ucapannya, terdengar teriakan para anak buah kapal yang bekerja di atas, bahwa ada sebuah kapal yang sedang mengejar mereka. Mendengar itu, kepanikan di seluruh penumpang wanita kembali terjadi. “Tak apa-apa, kalian tenang saja,”La Mudu berkata tanpa ditujukan secara khusus kepada siapa pun sebelum keluar dari ruangan kapal.
Jauh di Desa Tanaru, Dato Hongli memanggil Bumi Osu dan segenap pekerjanya serta keenam penyamun insyaf ke Istana Sandaka, dan meminta agar mereka mengosongkan dermaga utama. “Muridku akan segera tiba,”ucap Dato Hongli. Bukan saja Bumi Osu dan keenam penyamun insyaf yang gembira mendengar kabar itu, namun seiisi Istana Sandaka (Uma Na’e) pun merasakan hal yang sama, lebih-lebih Meilin dan Putri Mantika. “Kira-kira kapan kapal Kak Mudu berlabuh, Kek?” tanya Meilin. “Iya, Kek, kapan...?” tanya Putri Mantika pula. Dato Hongli memejamkan kedua matanya lalu ia menghela nafas panajang seolah-olah i
Saat itu, Dato Hongli sedang duduk di sebuah kursi di beranda depan. Ia sedang dikelilingi oleh orang-orang yang baru datang dari negerinya dan mengajak mereka berbincang-bincang dengan penuh keakraban. Di situ juga ada Meilin dan kedua orang tuanya, Baojia dan Fang Yin. Wajah-wajah mereka terlihat sangat bahagia, tentunya. Mereka tak menduga bisa bertemu kembali dengan keluarga dan handai tolan mereka. Suasananya demikian riuh karena sekali-kali dibumbui dengan tawa-tawa bahagia mereka. Ketika melihat kemunculan murid kesayangannya, dan rombongannya, Dato Hongli, juga Meilin dan kedua orang tuanya, langsung bangkit berdiri. Mereka menyambut kepulangan La Mudu dan para sahabatnya dengan wajah bahagia dan senyum sumringah. Begitu dekat, sang mantan jenderal perang itu langsung memeluknya dengan erat dan cukup lama. Kemudian k