“Keadaan cuaca dan angin sedang bagus-bagusnya saat ini,” ucap Ama Taka sembari mengarahkan pandangannya ke arah depan, tanpa menoleh kepada La Mudu dan La Turangga. “Mudah-mudahan kita bisa sampai lebih cepat dari waktu kita tempo hari.”
“Saya pun sangat berharap demikian, Ama Taka,” sahut La Mudu. “Baiklah, kami akan kembali dulu ke ruangan utama. Nanti akan saya suruh La Pabise dan La rangga Jo untuk menemani Ama Taka di sini.”
“Baiklah, Ananda Jawara.”
Sebelum melangkah menuju ruangan utama, La Mudu dan La Turangga menyempatkan diri untuk turun ke lantai bawah. Di sana keempat sahabatnya, Gong Fai, serta para pemuda dari Desa Xianghu sedang bergembira dengan hasil pancingan mereka yang besar-besar. Ole
“Baiklah!” ucap La Mudu, “Yang penting sekarang semuanya tak ada masalah lagi. Kalian berempat tidur saja di ruangan bawah bersama yang lain. Karena besok semua laki-laki yang ada dalam semua kapal akan bekerja secara bergantian selama kita berlayar, mengingat anak buah kapal sudah dibagi-bagi dengan kelima kapal yang baru.” “Baiklah, Pendekar Muda. Permisi kami....” Belum sempat Qiang menyelesaikan ucapannya, terdengar teriakan para anak buah kapal yang bekerja di atas, bahwa ada sebuah kapal yang sedang mengejar mereka. Mendengar itu, kepanikan di seluruh penumpang wanita kembali terjadi. “Tak apa-apa, kalian tenang saja,”La Mudu berkata tanpa ditujukan secara khusus kepada siapa pun sebelum keluar dari ruangan kapal.
Jauh di Desa Tanaru, Dato Hongli memanggil Bumi Osu dan segenap pekerjanya serta keenam penyamun insyaf ke Istana Sandaka, dan meminta agar mereka mengosongkan dermaga utama. “Muridku akan segera tiba,”ucap Dato Hongli. Bukan saja Bumi Osu dan keenam penyamun insyaf yang gembira mendengar kabar itu, namun seiisi Istana Sandaka (Uma Na’e) pun merasakan hal yang sama, lebih-lebih Meilin dan Putri Mantika. “Kira-kira kapan kapal Kak Mudu berlabuh, Kek?” tanya Meilin. “Iya, Kek, kapan...?” tanya Putri Mantika pula. Dato Hongli memejamkan kedua matanya lalu ia menghela nafas panajang seolah-olah i
Saat itu, Dato Hongli sedang duduk di sebuah kursi di beranda depan. Ia sedang dikelilingi oleh orang-orang yang baru datang dari negerinya dan mengajak mereka berbincang-bincang dengan penuh keakraban. Di situ juga ada Meilin dan kedua orang tuanya, Baojia dan Fang Yin. Wajah-wajah mereka terlihat sangat bahagia, tentunya. Mereka tak menduga bisa bertemu kembali dengan keluarga dan handai tolan mereka. Suasananya demikian riuh karena sekali-kali dibumbui dengan tawa-tawa bahagia mereka. Ketika melihat kemunculan murid kesayangannya, dan rombongannya, Dato Hongli, juga Meilin dan kedua orang tuanya, langsung bangkit berdiri. Mereka menyambut kepulangan La Mudu dan para sahabatnya dengan wajah bahagia dan senyum sumringah. Begitu dekat, sang mantan jenderal perang itu langsung memeluknya dengan erat dan cukup lama. Kemudian k
Hal yang paling membuat La Mudu, terutama, dan seluruh penduduk Tanaru bahagia adalah ketika melihat orang yang sangat mereka hormati dan tuakan, Dato Hongli, telah bersatu kembali dengan keluarganya, anak-anak dan istrinya. Wajah dari sang mantan jenderal perang di kekaisaran Dinasti Ming itu terlihat sumringah dan lebih bersemangat. Sebagian jiwa dan hatinya yang tertinggal jauh kini telah kembali padanya. Hanya saja, ketika sang gurunya itu menyampaikan keinginan untuk tinggal terpisah dari Uma Na’e, La Mudu, Meilin, dan Putri Mantika serentak menolak. “Mengapa Ato mau tinggal di salah satu rumah itu lagi sedangkan istana ini sangat luas? Ada banyak kamar yang masih kosong. Ato dan Lao Ma adalah orang tua kami yang sesungguhnya,”ucap La Mudu.
La Mudu terdiam untuk beberapa saat. Tak ada sedikit pun kekagetan dari ekspresi wajahnya. Yang ada hanya sedikit tersenyum. “Sebenarnya...,”ucapnya kemudian, “saya sudah menyadari hal itu, Ato. Bahkan Mei Mei juga berpendapat demikian. Namun selama ini saya hanya mengingatkan dia agar tidak boleh berprasangka demikian kepada Kak Wei Wei.” Dato Hongli menoleh dan menatap wajah muridnya beberapa saat lamanya dan bertanya, “Mei Mei menaruh rasa cemburu...?” “Tidak, Ato. Bahkan dia merasa tidak ikhlas jika Kak Wei Wei akan dinikahi oleh pemuda-pemuda yang melamarnya itu. Dia malah lebih setuju jika saya yang melamar dan menikahi Kak Wei Wei. Karena menurutnya, di Sinae pun orang-orang besar memiliki istri lebih dari satu, bahkan banyak. Saya katakan, bahwa saya sangat mencintai dia dan t
Pada tahun keenam sejak Desa Tanaru dibangun kembali atau tahun kelima sepulang dari Daratan Sinae, pengiriman hasil laut berupa ikan, mutiara, dan sebagainya yang dilakukan oleh para pengusaha dari desa tersebut ke berbagai wilayah dan pulau, baik ke wilayah kepulauan timur, utara, maupun ke barat seperti Jawa dan Andalas. Selanjutnya, para pengusaha Tanaru bukan lagi hanya menjual hasil laut mereka, tetapi sudah berkembang ke arah usaha perdagangan berbagai barang lainnya, seperti rempah-rempah, dendeng rusa, madu, serta ternak. Jika mereka menjual hasil lautnya ke wilayah timur, makan mereka akan membawa pulang hasil rempah-rempah yang sangat banyak dan mahal harganya, lalu rempah-rempah itu dijual lagi ke berbagai negeri. Untuk barang ternak yang menjadi mata dagangan utama pengusaha Tanaru adalah kuda. Berkapal-kapal kuda tunggangan dan kuda perang dapat mereka angkut ke berbagai pulau atau k
Hari telah sore saat mereka sampai di pelabuhan Semarang. Malam itu mereka merencanakan akan berlayar kembali menuju Tanaru. Akan tetap tiba-tiba La Mudu berkata kepada Gong Fai, kelima sahabatnya, dan lain-lain, bahwa ia belum ikut kembali ke Tanaru. Ia ingin menjelajahi dulu Pulau Jawa, dan akan menyusul kemudian. Walau semuanya menampakkan kekagetan, namun mereka tak berminat untuk mengomentari keinginan Sang Pendekar itu. Mereka tau bahwa keputusan yang telah diambil oleh La Mudu itu sudah dipikirkannya matang-matang, dan tentu ada suatu tujuan tertentu yang tak perlu mereka tanyakan. “Katakan kepada Mei Mei, Wei Wei, Dato, dan yang lain, bahwa kemungkinan saya akan berada di Jawa agak sedikit lama. Selama saya berada di Jawa, seluruh urusan di Tanaru biarlah Dato yang tangani dulu,”ucap La Mudu tanpa melihat kepada siapa pun, karena
Begitu sudah mendekat, La Mudu segera meloncat dari punggung kudanya. “Syeh Maulana....! Izinkan saya untuk ikut denganmu...!”ucap La Mudu sembari berjalan menjejeri laki-laki yang berhidung mancung dan memiliki soro mata teduh namun tajam itu. “Mengapa kauingin ikut denganku, Angger...?”sahut Syeh Maulana dengan suara pelan namun jelas tanpa menoleh. “Saya ingin bertanya banyak hal kepada Kanjeng Syeh, terutama tentang apakah islam dan sholat itu? Tolonglah Syeh, biarkan saya ikut denganmu...!” Mendadak Syeh Maulana menghentikan langkahnya. Dan tanpa menoleh kepada La Mudu, ia berkata, “Jika